EMPAT - Sebagai Mama

Aku tidak mengerti tentang kehidupan, misterius. Dan rasanya semua bisa berjalan dengan mulus, tanpa cacat. Kebahagiaan yang sesungguhnya kami rasakan saat Timi lahir. Sempurna.

Lalu, ada saat di mana semua itu runtuh ke dasar secara tiba-tiba.

***

Lima tahun terasa cepat berlalu. Dan akhirnya aku di sini, berdiri di depan dinding. Aku harap ini tidak menyinggungmu, ya, Sayang, aku cuma kangen.

"Mama?"

"Ah, Timi." Aku menoleh ke suara manis yang belum genap itu, lalu mengangkat Timi yang ke pelukan, menimangnya beberapa kali sambil menunjuk foto. "Nah, itu Papa. Ganteng, 'kan?"

Timi seolah punya pandangan sama, menatapi foto lebih intens, kemudian menoleh ke wajahku. Mukanya yang masih bulat seperti bakpao terlihat bingung. Gemas sekali rasanya. Seperti ayahnya ...

Tiba-tiba, Timi menangis. Fokusku terpecah. Aku mulai menimangnya sedikit lebih berirama. "Ututu, mau makan? Mau?" Tentu tangisannya makin kencang, membuatku bergegas membawa Timi ke dapur sembari tertawa untuk menenangkannya.

Ya, semua bisa cepat terjadi. Dan, kalau kau ada di sini sekarang, semua akan lebih sempurna.

***

"Endah!" suara itu memekakkan telingaku, sampai hampir pecah gendangnya

.

Aku mengusap sekujur wajah sebelum mempersiapkan senyum termanis bagi Bu Bos terbaik di kantor yang menyenangkan ini. Tentu, dia satu-satunya, karena tidak ada bos secerewet ini di kantor lain, pasti. Aku menghela sebentar saat melihatnya keluar dari kantor, berjalan dengan langkah bergemeretak seperti tapal kuda.

"Endah!" Beliau meletakkan setumpuk kertas ke mejaku sembari menyunggingkan senyum terbaliknya. "Tolong tambahkan data ini. Selesaikan nanti sore atau gak ada cuti tambahan buat kamu!" Dia lalu pergi begitu saja.

Beberapa rekan kerjaku terlihat mengintip sebentar dari pos mereka, sebelum menyembunyikan kepala mereka kembali. Aku mendengus, menirukan kata-kata Ibu Bos dengan bibir dimanyunkan. Tapi tetap, itu tidak bisa menghiburku karena apa pun yang dilakukan, kertas-kertas masih berserakan di meja.

Aku melirik jam di dinding. Pukul setengah satu. Hatiku mencelos. Timi sebentar lagi pulang sekolah.

Aku mengambil selembar kertas dan membuka aplikasinya di komputer, tapi kepalaku benar-benar bukan pada pekerjaan saat ini. Setelah memijat kepala dan bernapas, aku memutuskan untuk melakukan semampuku.

***

Dalam bentuk sederhana, sekolah Timi ada di antara kantor dan rumah, sehingga hal ini memungkinkanku untuk menjemputnya untuk kemudian pulang. Tapi, aku menyadari kalau tidak mungkin Timi masih di sekolah; pukul empat sore. Sekolah Timi sendiri sudah lengang, hanya tersisa beberapa orang dan pak satpam. Aku menambah gas sedikit [menarik stang motor?] dan motorku melaju lebih kencang.

Begitu membuka pintu, aku dihadiahi televisi yang menyala, dan Indiarti bersama Timi di ruang tamu. Perempuan muda itu menoleh dan tersenyum padaku begitu pintu berderit terbuka. Aku menghela napas lega, mendekati mereka. [kalau ga salah kita beda pikiran di sini. Indiarti menurutku emak2, menurutmu di sini perempuan muda]

Setelah berterima kasih dan menyerahkan amplop, aku melompat ke sisi Timi, "Gimana sekolahnya? Seru?" tanyaku, berusaha sedikit antusias.

Timi menoleh ke arahku dan mengangguk, "Tadi kita dikenalin sama dinosaurus, gedeeee banget! Dan keren-keren!" Timi, masih dengan baju sekolahnya, kini merogoh tas dan mengeluarkan secarik kertas panjang, "Nih, Ma, gambaran Timi!"

Aku menerimanya. Itu adalah coretan-coretan yang membentuk raksasa, ada beberapa yang berjongkok dan berdiri. Aku tidak memahaminya.

"Wah, Timi hebat, ya, bisa gambar seperti ini! Banyak warnanya!"

Aku memeluk Timi, merasakan sedikit keringat hambar dari tubuhnya yang masih akan tumbuh. Aku tidak mengerti, tetapi pelukan seperti ini selalu memunculkan perasaan hangat tersendiri.

"Mama, kenapa tadi Timi gak dijemput?" Pertanyaan itu keluar begitu saja.

"Sayang." Aku melepaskan pelukan, membelai pipinya. "Maaf, ya, tadi ada yang harus Mama kerjain."

Timi mengangguk, lalu beranjak berdiri. Aku yang tidak tahu hanya memandangi kaki mungilnya bergerak menuju kulkas. Kudengar ada air mengalir. Tidak lama kemudian, Timi kembali, kini sembari menggenggam sebuah gelas untuk menyerahkannya padaku.

"Kak In bilang, kalau kerja itu capek. Kalau Timi capek, Timi rasanya mau minum."

Aku memeluknya sekali lagi. "Terima kasih, Timi ...." Timi, seperti seorang bangsawan, menganggukkan kepala. Lucu rasanya, entah perilaku itu ia contoh dari mana dan siapa, tapi rasanya ... bukan.

"Mama, kenapa nangis?"

"Eh, enggak." Kuusap kasar sudut mata ini. "Mama cuma kelamaan lihat komputer, kok."

Timi menelengkan kepalanya dan baru mengiyakan setelah kujelaskan tentang bahaya menatap layar gawai, selagi menunjuk ke televisi, hingga membuat mata sakit dan mengeluarkan air mata. Timi sangat lucu, bahkan ketika dia berlagak paham akan apa yang kukatakan.

"Sekarang ayo mandi." Aku menutul pipi tembamnya, mengikuti dari belakang setelah mematikan televisi.

Salah satu lagi bukti kalau Timi sudah bertambah besar adalah keengganannya untuk mandi bersama. Timi mengatakan dengan bangganya, "Mama tidur saja, atau nonton tivi." Aku mengusap kepalanya, sebelum bergerak kembali ke ruang keluarga.

Melemparkan tubuh ke sofa setelah hari yang melelahkan rasanya luar biasa. Rasanya seperti kelelahan itu menguap dari mulutku, "Haaah, nikmatnya." Aku meraih remot televisi, kembali menyalakannya sambil berharap acara masak itu belum selesai.

Melihat banyak makanan enak yang disajikan, rasanya mungkin enak bisa memasak sesuatu yang baru. Mengabaikan cerewetnya juri di acara itu, aku meraih kertas dan pena, untuk mencatat setiap menu masakan yang dibuat peserta.

"Timi, ada yang perlu dibantu?"

Sahutanku dibalas dengan, "Tidak!"

Aku mematikan televisi sekali lagi saat tidak ada lagi guyuran di kamar mandi. Aku menyimpan catatan itu, kemudian beralih ke tas sekolah Timi. Isinya buku-buku mungil, banyaknya gambar karya Timi, serta pensil warnanya. Sekali lagi aku meratapi hasil gambaran dinosaurus Timi, dan dengusan tawa sedikit merembes dari bibirku.

"Ini godzilla jatuhnya."

Saat hendak mengembalikan kertas itu dan mengambil kotak makan untuknya, tanganku bersenggolan dengan benda yang sepertinya plastik kemasan. Aku mengangkat benda itu, sebuah roti dengan merek ternama [cukup roti]. Kalau dilihat dari harga, rasanya mustahil Timi mau membeli roti kemasan ini, apalagi aku jarang memberikan uang saku.

"Itu dari kakek di ujung sana," Timi bersusah payah menunjuk ke tempat yang dia maksud selagi baju tengah dipakaikan ke tubuhnya, "Kakek bilang, rumahnya kelebihan roti, jadi, dibagi-bagi deh."

Aku menatap roti dalam kemasan itu. Kalau dari bentuknya, rotinya masih bagus.

"Boleh kumakan, Ma?"

"Timi, Nak ..." Aku memegang pundaknya. "Lain kali, jangan terima roti dari orang asing, ya? Takutnya kamu kenapa-napa."

Timi mengangguk.

"Boleh kumakan rotinya, Ma?" Timi masih berdiri di sampingku, wajahnya sedikit berharap.

Aku tersenyum dan menyerahkan roti itu, Timi mencium keningku sebelum setengah berlari ke kamarnya. Aku menyerukan agar Timi tidak lupa gosok gigi setelah makan.

***

"Mama, boleh minta cerita?" Timi merajuk ketika kuhendak mematikan lampu kamar.

"Cerita apa, sayang?"

Timi membetulkan posisi tidurnya hingga ia duduk sempurna. "Apa saja."

Aku duduk di sampingnya untuk segera menidurkan Timi. Tetapi ia menolak. Aku menunjuk ke pangkuanku, barulah Timi mengangguk. Aku mulai menceritakan sesuatu yang terlintas di pikiran sembari mengelus rambutnya.

"Suatu hari ada anak kecil pergi sekolah. Anak itu suka bermain dan melompat-lompat seperti kelinci. Suatu hari, dia pulang dari sekolah dan bertemu Ibunya. Mereka berpelukan, hingga sang anak lelah, lalu tertidur—"

Belum aku mengakhiri cerita itu, Timi segera memprotes, "Mama! Itu, 'kan, aku!"

Aku menahan tawa, "Lho, kok bisa?"

"Iya! Aku barusan pulang sekolah!" Dia kini duduk, melipat tangannya. Walaupun sedang sebal, selalu ada yang bisa menghibur dari Timi. Pipinya kini menggembung seperti bakpao.

"Yuk tidur lagi, Mama lanjutin." Dengan perkataan itu, aku berhasil membuat Timi menaikkan alisnya. Ia bertanya, bagaimana kelanjutan cerita itu, sementara aku terus memintanya kembali tidur. "Kalau tidurnya sudah benar, Mama lanjutin."

Timi mengecutkan ekspresi, mengalah untuk tidur di bantalnya sendiri. Aku menarik selimut, sampai ke dadanya, menutupi setiap bagian tubuh dan menyisakan kepala dan pundak.

Cerita itu berlanjut, ke anak yang tengah terlelap. Anak yang terlelap mulai memunculkan banyak hal, dari bulan sampai bintang di sekeliling. Ia mulai melayang dan terbang ke langit, tertawa bersama banyak hewan yang menyertainya.

Cerita yang cukup absurd, tetapi belum selesai. Timi sudah mulai mengantuk. Matanya berkedip pelan sebelum benar-benar tertutup saat sang bocah laki-laki dalam cerita tengah menghitung domba.

Aku mengecup kening Timi. Setelah itu berjalan ke jendela, menatapi perumahan yang mulai gelap gulita. Rumah-rumah juga mulai tertidur. Aku menggeser gorden.

Siapa yang memberi Timi roti? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top