DUA - Pak Sampa dan Kebahagiaannya
Sampah.
Mungkin rasanya jijik meletakkan tangan ke tumpukan plastik, sisa makanan, kardus, serta hal-hal lain yang terbuang. Belum lagi bau yang bercampur di udara terhirup, membuat mata berair atau menggerakkan tangan kita untuk menutup rongga pencium.
Tapi kadang, sampah mengingatkanku pada masa lalu: bisa lebih baik. Itu yang kupercaya hingga sekarang, bentuk berguna dari sesuatu yang tidak diinginkan lagi. Kepercayaan memang kadang membawa kita ke tempat yang nyaman.
Omong-omong soal tempat yang nyaman, kadang aku pernah berandai. Bagaimana rasanya tinggal di rumah bagus seperti yang berdiri kokoh di pinggir jalan itu? Atau, punya keluarga yang bahagia?
Yah, walaupun, dengan benda-benda kotor di sekitarku, aku tetap boleh berandai, 'kan? Bukan hanya setiap hari berputar pada kegiatan yang sama, terus-menerus.
"Oh, Pak Sampa!"
Suara itu kukenal jelas. Ialah Bu Endah dari ujung jalan. Beliau orang baik, suka tersenyum, dan menawari bekal makanan. Nasi bungkus bukan makanan jelek, tapi mungkin terbayang rasanya makanan mewah.
"Sekali lagi terima kasih, ya, Bu Endah, jadi ndak enak."
Bu Endah tersipu malu. Ia mengatakan kalau apa yang diperbuatnya hanya sesuatu yang kecil. Gaya wanita itu flamboyan, tetapi beliau banyak berbagi ke sana kemari. Mungkin, kuingin jadi seperti itu nanti.
Setelah menerima nasi bungkus rutinan dari Bu Endah, aku bergerak ke tempat lain bersama gerobak kesayanganku. Gerobak ini tidak begitu bersih jika dibandingkan dengan setiap pekarangan yang ada. Ada sedikit rasa malu ketika lewat di beberapa rumah penduduk. Sesekali aku menyaksikan beberapa dari mereka menutup hidung sambil saling berbisik, walau pada akhirnya mereka tersenyum ke arahku, meminta untuk dibalas serupa.
Selama bergelut dengan bau, sampah, dan lalat, ada satu yang cukup berkesan. Seorang perempuan muda di ujung jalan. Beliau perempuan baik, ia sesekali mengangkat langsung sampahnya ke gerobakku.
"Pagi, Bu. Hari ini dedeknya tidak diajak keluar lagi?" tanyaku saat beliau berjalan keluar pagar dengan sekantong plastik hitam.
Beliau tersenyum, menggeleng sembari menyerahkan kantong plastik itu. "Gimana tokonya, Pak? Ada alat-alat baru lagi?"
Aku cukup terkejut beliau tahu soal toko barang bekasku. Ya, aku tidak hanya mengambil dan membuang sampah. Kulihat ada beberapa sampah yang masih bagus untuk dibuat kerajinan, perkakas, dan mainan anak kecil. Sayangnya, di masa sekarang jarang ada yang membeli barangku, paling-paling hanya laku satu atau dua.
Melihat wajahku sebentar, ibu muda itu terkikik pelan, melanjutkan, "Dulu kami pernah ke toko. Timi minta sekop buat mainan dan kebetulan ada yang dijual. Karena harganya murah, jadi dibeli, deh."
Wajahku terasa hangat. Bagaimana bisa aku lupa satu pelanggan di saat tidak ada pelanggan lain yang datang?
"Kalau begitu, saya balik dulu." Ibu itu menunduk dan undur diri.
Tanpa sadar mataku mengikuti sosoknya yang mengarungi jalan setapak-melewati beberapa pot bunga dan rerumputan yang segar dipandang. Seakan tidak bisa dikendalikan, aku juga mengikuti beliau menapaki setiap anak tangga. Aku menunduk, menganggap itu sudah terlalu banyak. Tapi satu rengekan kecil menarik kembali perhatianku.
Saat pintu terbuka, anak itu melaju keluar di atas kursi rodanya. Ada topi merah mungil yang tertambat, sedikit miring dari kepalanya. Aku sedikit terkejut bagaimana benda itu melorot ke samping, dan hal itu terjawab seketika. Ibu muda tadi sedikit mengomeli anaknya yang keluar dari kamar sambil membetulkan posisi topi merah milik anak bernama Timi itu.
Mungkin, aku mengingat Timi. Entah kapan. Cara merengek itu terasa familiar, di mana Timi akan mengeluh beberapa kali, sebelum tunduk pada perkataan dan pada elusan sang Ibu.
***
Mungkin pekerjaanku sekarang lebih cocok dikatakan sebagai pekerjaan sukarela. Memang, sebelumnya ada bayaran tertentu dari kepala desa di sini. Tetapi sejak kepala desa sebelumnya turun pangkat dan diganti, bayaran juga menurun, sampai pada tingkat hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Toko terpaksa kututup karena tidak bisa lagi membeli keperluan, ditambah sedikitnya pembeli yang datang. Barang-barang bekas yang hendak kujadikan kerajinan teronggok begitu saja.
Selain memindahkan sampah, beberapa kali aku harus bekerja ekstra, mulai dari membersihkan halaman sampai mencuci motor. Hasilnya tidak begitu banyak, tapi cukup untuk membayar kos, tempatku tinggal.
"Pak Sampa," kata Bu Kos untuk kesekian kali, "uang segini kurang untuk bayar air dan listrik yang pak Sampa pakai."
Aku menunduk, berkali-kali mengangguk. Tidak lupa untuk memberikan janji bahwa aku akan segera melunasi hutang setiap bulan yang kurang. Kali ini Bu Kos memberikanku kesempatan.
"Tapi, ini yang terakhir. Tiga bulan lagi saya mau bebersih, menyewakan tempat ini ke orang lain. Kalau pak Sampa bisa bayar, bolehlah sewa lebih lama. Saya juga perlu uang, Pak."
Aku mengangguki kepergian Bu Kosianti sembari berpikir, bagaimana caranya membayar dengan gaji yang sekarang. Tanganku segera merogoh dompet. Ketika dibuka, aku miris sendiri. Isinya tidak lebih dari dua puluh lima ribu dan beberapa uang koin. Uang seratus dua puluh lima ribu sudah raib untuk membayar tiga bulan, yang bahkan belum lunas sepenuhnya. Aku juga berusaha mencari setiap rupiah yang tersisa, di bawah kolong kasur, di tas. Sirna, tidak ada.
Sedikit terpikir, apa baiknya kembali menjual barang daur ulang?
Mataku beralih ke plastik kecil berisi sampah dari toko yang bersarang tak terjamah di ujung ruangan. Dari yang terlihat cuma botol bekas, beberapa kualitasnya masih bagus, sementara sisanya sudah mulai mengeluarkan bau tak sedap.
Aku bergerak ke sana, membuka simpul ikatan, memilah apa yang masih bisa digunakan. Tutup botol, leher, bagian tengah, sampai penampangnya. Kudengar harga bahan terpisah lebih mahal dari sekadar menjualnya secara utuh. Lama-kelamaan, lebih banyak kantong plastik. Rasanya ada perasaan bangga, terlebih, setiap kantong plastik berisi satu bagian yang sama. Harganya bisa lebih mahal.
"Semoga cukup buat ditukar."
Aku mengakhiri kegiatan memilah dengan mengikat kantong sampah terakhir.
***
"Maaf, Pak. Untuk harganya memang segitu." Pengepul yang ada di hadapanku menyerahkan beberapa lembar ribuan. "Satu kilo untuk lima ribu. Tadi diukur Bapak cuma ada tiga perlima, jadi, tiga ribu saja."
Mulutku setengah terbuka saat kantong plastik itu mulai diangkut. Tanganku sempat terangkat karena sedikit tak rela. Hasil tiga-empat hari, dengan total tiga kantong ...
"Pak, ndak bisa ditambah lagi? Saya dah ngumpulin lama, lho ..."
Sayangnya, rajukanku dibalas gelengan tegas, "Yang mulung juga banyak, Pak. Ini sudah ketetapan."
Pengepul itu mengibas-ibaskan tangan. Beberapa orang di belakangku mulai berbisik-bisik, bahkan mendorong. Ternyata sejak tadi kami bicara, sudah ada antrian panjang di belakang. Mereka terus berbisik dan menatapku sinis, hingga aku terpaksa pergi, menerima tiga ribu pecahan di tangan. Entah karena apa, mengingat kerja kerasku hanya terbayar sebanyak ini, tenggorokanku terasa sesak dan kering di saat bersamaan, atau mungkin karena serbuk kaca dari pengolahan limbah di ujung sana. Segera saja aku menutupi hidung dengan lengan dan bergegas pulang.
Sekarang bukan saatnya mengeluh, karena masih ada beberapa kantong yang belum dipilah.
***
Kegiatan memulung botol plastik tetap kulanjutkan. Ada lebih banyak botol-botol dari rumah penduduk, bahkan beberapa di antara mereka memberikan secara sukarela satu plastik penuh. Walau tidak setiap hari, hal itu cukup membantu, setidaknya tambahan lebih banyak.
"Wah, Pak, masih semangat, 'kan?" Bu Endah berwajah ceria, menyerahkan bungkusan seperti biasa. "Tapi wajah sampeyan agak pucet, apa ndak apa-apa?"
Wajahku pucat?
"Ah, ndak apa-apa, Bu Endah. Cuma kelelahan barangkali." Aku tertawa kecil, mengusap keringat yang berusaha menghalangi pandangan.
"Oh, yasudah," kata Bu Endah, menutupi senyumnya, "kebetulan hari ini sampahnya botol semua, Pak. Semoga bisa membantu."
Aku berterima kasih. Segera aku bergerak ke tempat lain, mengosongkan setiap tempat sampah, juga beberapa plastik makanan dan botol yang berserak di jalan. Melihat kembali ke jejak yang terlewat, aku juga mengambil beberapa yang terjatuh dari gerobak. Rasanya sedikit lega.
Langkahku rasanya sudah terbiasa dengan jarak. Tidak terasa sudah sampai di rumah ujung jalan yang punya taman sejuk. Alih-alih ibu muda, kini aku berpapasan dengan seorang anak di kursi roda yang sekarang tidak duduk di kursi rodanya. Aku tidak tahu apa yang ia lihat, tetapi ia menatap ke tiang-tiang listrik untuk sejenak sebelum menyadari kehadiranku.
"Halo," aku yakin suaraku cukup ramah-setidaknya tidak menyeramkan untuk anak-anak.
Anak itu, Timi, memelototiku sejenak, sebelum berbalik dan berlari masuk ke rumah. Ibu muda keluar beberapa saat kemudian. Kami berbincang sebentar.
"Timi sudah sehat, ya," pancingku, selagi melempar beberapa sampah dari tong tetangga ke gerobak.
"Ah, iya, Mas, Timi sudah bisa keluar."
Keadaan itu diakhiri dengan 'oh' kecil dariku dan pamitan darinya. Selagi ibu muda itu berjalan, sekali lagi mataku tidak bisa untuk tidak mengikutinya. Tetapi, saat itu pula, batuk menyerang. Mungkin ini peringatan dari Tuhan.
***
Awalnya, aku mengabaikannya. Sedikit kuminum jahe atau yang hangat-hangat, berharap itu cuma batuk biasa. Beberapa kali semuanya membaik, tetap hanya bertahan selama beberapa jam sebelum rasa gatal di dada mulai menjadi-jadi. Makin lama, batuk itu makin terasa. Hampir setiap kegiatan rasanya bisa memicu batuk.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk membeli obat. Obat sendiri lebih mahal dari makan dan minum sehari-hari, sampai saat ini aku cuma mengandalkan Bu Endah untuk makan. Uang dari memulung dan memilah pun perlahan kutukar menjadi beberapa obat, tanpa tersisa banyak.
Batuk itu sendiri juga menghambat pekerjaanku. Beberapa kali, batuk muncul saat aku menarik gerobak. Orang-orang mulai menyarankan agar aku pulang, beristirahat. Aku menolak dengan sopan. Siapa yang bakal membayar kalau aku tidak bekerja.
Sampai suatu hari, hal selain dahak mulai keluar setiap aku batuk, membuatku mau tak mau mengiyakan saran dari para tetangga. Dadaku makin terasa kering, bahkan setelah kuminum air putih. Udara di kamar terasa tidak mengenakkan, padahal sampah sudah dibersihkan.
Aku berharap, dengan tidur sebentar, semua rasa sakit ini bisa berakhir.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top