DELAPAN - Mama

Aku takut. Takut hingga menghindari setiap hal yang berhubungan dengan mereka. Mereka yang ada di kehidupanku. Aku menenggelamkan diri, berpura-pura menekuni siksaan duniawi yang disebut "pekerjaan", dan berkutat dengan layar lebih lama.

Hanya, usaha itu membuatku semakin lelah. Maka setiap kenangan—ingatan yang berusaha kubendung—selalu bocor dari embernya, lantas membasahi wajahku dengan air mata. Aku jadi harus membuat alasan ke teman kerja yang berpura-pura khawatir.

Di sebuah tempat yang penuh dengan makam dan pohon kamboja, seorang wanita berdiri di sebuah nisan. Sesekali, pandangannya menoleh ke satu nisan lain yang lebih kecil. Melihat keduanya, wanita itu mengusap wajah, mengeratkan tudung hitamnya.

Di ujung lain, seorang pengurus makam tengah menyapu beberapa daun kering. Akhirnya mereka saling sapa setelah beberapa kali berpapasan, walau itu hanya sekali. Berbasa-basi, tentang siapa, mengapa, dan di mana, seolah itu hal wajib bagi setiap orang yang ingin sopan.

"Tidak, saya tidak melayat," ucap sang wanita sopan, sedikit menarik kerudungnya. "Saya cuma berkunjung."

Pengurus makam mengangguk takzim, ia mengeratkan pegangan pada sapu cariknya. "Benar juga, Bu. Kita cuma berkunjung. Saya juga sudah tua, walau belum setua ibu. Saya pikir, saya juga pada akhirnya akan berhenti berkunjung dan pulang."

"Kenapa, Pak?"

Bapak itu hanya terkekeh, menatap ujung sapu kerik malu-malu. Dibanding perasaan malu seorang pecinta, di matanya ada perasaan merana sebuah jiwa. Setelah cukup lama, pengurus makam itu beralih, tidak hanya meratapi sapu kerik kesayangannya, tapi juga sebuah makam tidak jauh dari mereka.

"Orang tua yang kesepian mungkin menemukan rumah saat mereka bertemu seseorang. Anak yang berjuang pasti menemukan sebuah akhir yang menggembirakan perjuangannya." Kata-kata Bapak itu syahdu, berbeda dari penampilannya, "Seorang yang tak putus asa, akhirnya kembali pada kemenangannya dalam bersabar. Banyak orang-orang di sini yang begitu, hidup dalam dunianya. Melakukan apa yang mereka bisa." Ada sebuah tarikan bagi sang wanita untuk melirik ke sekitar, mengikuti pergerakan kepala pengurus makam itu. "Tanpa sadar membuahkan lingkaran-lingkaran yang bergabung. Lingkaran-lingkaran yang berkesinambungan–"

"–membentuk ikatan." sahut wanita tua.

Penjaga makam menoleh dari perhatiannya ke makam itu untuk tersenyum membetulkan ucapan terakhir.

Sang wanita terdiam. Semua hal tentang lingkaran dan ikatan terasa tak masuk akal. Tapi mungkin, ia tak mampu menahan takjub, juga bingung, jadi ia memutuskan untuk tidak memusingkan hal-hal tersebut, menyimpan paksa di otak selagi mengalihkan pandangan.

Harusnya, ia kini menyesal, cepat bosan karena sekali lagi, hanya ada bentangan makam, dengan nisan beraneka ragam. Lingkaran kehidupan terdengar seperti pepatah yang aneh, karena sekarang tempat ini yang menjadi saksi.

Bahwa, pada akhirnya lingkaran itu terputus juga.

Ia pamit setelah beberapa saat, menitipkan sebuah amplop putih kepada sang pengurus makam. Lebih seperti amplop perpisahan, entah karena perkataan sang pengurus makam atau wanita itu yang jemu, ia tidak lagi datang sejak saat itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top