CHAPTER TWENTY ONE
Pusat perbelanjaan merupakan surga bagi para wanita. Pasalnya bangunan yang berisi puluhan hingga ratusan toko itu memiliki semua yang dibutuhkan oleh seorang wanita. Tak terkecuali di mana Su Li dan Nona Lin berada. Galaxy Soho. Sebuah bangunan dengan rancangan parametrik yang terinspirasi dari pelataran China klasik. Pada awalnya, Su Li tidak menyangka tempat pertemuannya adalah sebuah pusat perbelanjaan.
“Bangunan ini memiliki delapan belas lantai. Ritel dan pusat hiburan hanya tersedia di lantai pertama hingga lantai tiga. Lantai sepuluh, yang akan kita kunjungi termasuk daerah yang disiapkan untuk perkantoran. Lantai bisnis dimulai dari lantai empat hingga lima belas. Tiga tingkat teratas khusus didedikasikan untuk bar, restoran, dan kafe. Jika anda mau, saya akan mengantar Nyonya setelah pertemuan ini selesai. Saya dengar pemandangan seluruh kota bisa dilihat dari sana.”
Su Li menggeleng sopan. “Aku sudah memiliki janji malam ini,” ucapnya kemudian tersenyum.
Ketika melintasi skybridge yang berdinding kaca, Su Li kembali takjub. Tak heran, jika bagunan yang ternyata terdiri dari empat kubah itu sangat tersohor. Ia saja merasa jika sekarang mereka sedang syuting film bergenre Sci-Fi. Menurut preferensi pribadinya, Su Li lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk menjelajah bangunan itu daripada menghabiskan waktu tenggelam di antara toko-toko ritel yang menawarkan beragam barang dari brand ternama.
“Mari Nyonya,” ujar Nona Lin ketika mereka sudah sampai di depan ruang pertemuan. Dengan langkah percaya diri, Su Li memasuki ruangan. Tea-Length dress berwarna peach yang ia padankan dengan blazer putih membuat tampilannya memukau. Bagi Su Li, salah satu senjata dari sebuah pertemuan bisnis adalah penampilan. Karena dirinya selalu menilai lawan mainnya dari tampilan yang disuguhkan. Langkah mantap yang terbungkus oleh heels bermodel plump berwarna hitam keluaran salah satu brand ternama itu mendekati meja pertemuan. Senyum ramahnya tak lupa ia sematkan.
Pertemuan yang terjadwal berlangsung enam puluh menit itu dihiasi dengan perdebatan yang cukup alot. Angka kesepakatan belum bisa dicapai bahkan sampai menit terakhir pertemuan.
“Mengapa tidak bisa dengan usaha merger dibandingkan dengan franchising?”
Su Li memutar pulpen yang berada di genggamannya. Gadis itu diam menyimak kedua belah pihak yang sedang memperebutkan bagaimana sebaiknya perusahaan mereka bekerja sama.
“Aku tidak masalah jika perusahaanku melebur dengan Liang Tech. Masa depannya dapat terlihat. Jika memaksakan diri, kita akan selesai.”
Pilihan merger memang dibutuhkan saat perusahaan membutuhkan kekuatan untuk menghadapi persaingan pasar. Karena dengan sistem merger bisa melebur kompetitor, memperbesar modal dan mengembangkan jalur produksi. Sedang dengan metode waralaba atau franchising adalah pemanfaatan kekayaan intelektual sebuah usaha yang telah disetujui oleh kedua pihak. Bisa dikatakan, salah satu perusahaan sebagai pendistribusi terakhir kepada konsumen. Menggunakan nama dagang dan prosedur sesuai perjanjian.
Bagi perusahaan besar seperti Liang Tech, metode manapun tidak akan berpengaruh, lain hanya dengan dua perusahaan yang sedang ia hadapi saat ini. Keduanya memiliki keuntungan dengan porsi masing-masing. Karena di pertemuan kali ini Liang Tech berperan sebagai produsen. Prospek dan juga sumber daya yang Liang Tech butuhkan ada di dua perusahaan tersebut, sehingga Su Li menerima proposal kerja sama yang diajukan oleh keduanya. Hanya saja, ia tidak menyangka pertemuan ini lebih alot. Su Li memperhatikan waktu yang ia lihat dari Michael Kors yang bergelung cantik di pergelangan tangannya. Ia memiliki waktu kurang dari dua puluh menit lagi untuk pertemuan selanjutnya.
“Bagaimana jika begini saja.”
Suara Su Li berhasil menginterupsi perdebatan yang terjadi. “Saya sudah mendengar dan memahami apa yang sudah anda paparkan. Hanya saja, saya masih belum bisa melihat keuntungan apa yang bisa anda tawarkan kepada Liang Tech. Baik itu sistem merger atau franchising, pihak kami tidak masalah.”
“Saya yakin, kita sama-sama orang yang sibuk. Jadi, pertemuan ini kita tunda terlebih dahulu sampai anda semua bisa memberitahukan keuntungan apa yang akan kami dapatkan jika bekerja sama dengan perusahaan anda. Jika itu sama-sama menguntungkan, maka kerjasama bukanlah hal yang mustahil bagi kita.”
Su Li memutuskan untuk mengakhiri pertemuan tersebut dan meminta Nona Lin untuk menjadwalkan ulang. Kemudian keduanya bergegas meninggalkan ruangan, waktu untuk pertemuan keduanya. Untungnya lokasi pertemuan itu berada di gedung yang sama, hanya beda lantai saja.
Pertemuan kedua berjalan dengan cepat, karena ternyata Su Li hanya menjadi perwakilan dari Liang Tech dalam penandatanganan nota kerja sama dengan SOHO China pemilik gedung di mana mereka berada saat ini. Keduanya bekerja sama dalam pengembangan mega proyek smart city yang digadang-gadang oleh Pemerintah Beijing. SOHO China sebagai perancang dan pengembang real estate dan Liang Tech sebagai perancang teknologi, keduanya besar di jalurnya masing-masing.
“Jadwal hari ini sudah selesai. Selagi berada di sini, apakah anda mau jalan-jalan sebentar sebelum pulang?” tawar Nona Lin setelah selesai mengecek seluruh agenda kegiatan Su Li dari tablet yang selalu ia bawa
“Sepertinya bukan ide yang buruk. Aku ingin mencoba gelato yang berada di lantai dua tadi,” ucap Su Li sambil memasang sneakers putih kesayangannya. Heels yang tadi ia kenakan sudah berpindah tempat ke dalam paper bag yang Nona Lin bawa. “Akhirnya aku bisa merasakan menapak tanah,” lanjutnya yang mengundang senyum tipis dari Nona Lin. Selain pertemuan resmi, Su Li memang tidak pernah betah memakai sepatu berhak tinggi tersebut, jadi Nona Lin selalu siap sedia membawakan sepatu ganti untuknya.
Saat keduanya menuju gerai gelato yang Su Li maksud, maniknya menangkap kehadiran Ziang Chen di depan salah satu toko ritel yang menjual tas perempuan. Ia mengurungkan niat untuk memanggil ayah mertuanya tersebut kala melihat gerak-gerik tidak biasa yang pria paruh baya itu lakukan. Su Li dapat melihat dengan jelas, bagaimana Ziang Chen yang sibuk memantau sekeliling, dan seperti berjaga di depan pintu toko.
Ia yakin bahwa Ziang Chen seperti menunggu seseorang, tetapi argumennya itu dipatahkan saat ia melihat Ayah mertuanya berbalik menghadap seorang wanita. Su Li penasaran, siapa wanita itu karena tertutup dengan perawakan Ziang Chen yang lumayan tinggi. Keduanya kemudian menghilang masuk ke dalam toko sesaat setelahnya terlihat dalam perdebatan kecil.
[ Ziang Wu 18.40 : Aku sudah mendarat dengan selamat.]
Pesan dari sang Suami masuk ketika Su Li sedang menunggu pesanan gelatonya bersama Nona Lin. Belum selesai ia mengetikkan balasan, sebuah pesan kembali masuk dari orang yang sama.
[Ziang Wu 18.40: Bagaimana dengan makan malam, Nyonya?]
[Su Li 18.41: Diterima. Kau yang menentukan tempatnya.]
[Ziang Wu 18.41: Romantis? Japanese? Europe? Chinese?]
Su Li tersenyum, membayangkan bagaimana muka datar Ziang Wu kala mengetikkan hal tersebut membuatnya terhibur. Su Li terlihat menimbang-nimbang, kemudian ia berpikir untuk mengerjai Ziang Wu.
[Su Li 18.42: Bagaimana dengan Xiao Long Bao yang kau bawa untukku?]
Gadis itu terkekeh setelah mendapatkan balasan dari Ziang Wu hanya dalam hitungan detik dan terdapat beberapa pesan secara beruntun.
[Ziang Wu 18.42: Tidak ada.]
[Ziang Wu 18.42: Aku lupa beli.]
[Ziang Wu 18.43: Jadi kita akan makan malam di luar saja malam ini.]
Su Li benar-benar terhibur. Lengkung senyumnya semakin besar. Ia tidak menyangka jika kutu buku seperti Ziang Wu memiliki sisi kekanakan yang menggemaskan seperti ini.
“Nyonya Su.”
Panggilan dari Nona Lin kembali menyadarkan Su Li bahwa sekarang ia sedang bersama dengan sekretarisnya tersebut. senyum itu lenyap dan digantikan wajah datar andalannya. “Ini gelato anda,” ucap Nona Lin lagi sambil menyodorkan satu cone gelato rasa choco mint pesanan Su Li.
“Terima kasih,” ucapnya pendek sebelum menyambar cone tersebut kemudian beranjak meninggalkan dirinya. Nona Lin berusaha menahan senyumnya. Kedua pipi Su Li yang memerah sudah memperjelas jika saat ini atasannya itu sedang malu dan salah tingkah. Ah, ia juga ingin merasakan masa-masa menyenangkan seperti itu.
***
Pilihan Su Li jatuh pada makanan bernuansa Eropa yang disajikan oleh Temple Restaurant Beijing atau yang lebih dikenal dengan sebutan TRB Hutong, sebuah restoran yang dibuka pada bekas bangunan kuil yang berusia 600 tahun.
Restoran itu juga direkomendasikan oleh Nona Lin. “restoran tersebut uga menyabet penghargaan sebagai restoran fine dining terbaik menurut salah satu majalah bepergian pada tahun 2019 yang lalu. Jadi, Nyonya tidak perlu meragukan rekomendasi saya.”
Su Li hanya mengangguk sambil mengirimkan alamat restoran tersebut kepada Ziang Wu. Sebagai pecinta kuliner sejati, Su Li sangat tertarik berdasarkan apa yang Nona Lin tadi sebutkan. Sejauh ini ia tidak kecewa dengan beragam kuliner yang telah ia coba selama di Beijing.
“Kau tidak perlu menjemputku, besok kita langsung bertemu di kantor,” ucapnya setelah mereka sudah sampai di tujuan.
[Su Li 19.13: Aku sudah sampai. Nanti langsung masuk saja, reservasi atas namaku.]
Setelah mengirimkan pesan tersebut, Su Li melangkah masuk. Ia begitu takjub dengan bangunan yang berada di depannya. Seharusnya aku datang siang hari, sesalnya dalam hati. Ia pasti akan bisa menikmati lebih banyak tempat yang indah jika ada matahari. Dua patung singa berdiri di masing-masing kiri dan kanan pintu masuk yang berbentuk setengah lingkaran. Dindingnya yang terbuat dari batu diberi cat putih dan oranye di bagian bawah.
Belum sempat ia melangkah lebih jauh, maniknya menangkap sosok yang begitu ia benci.
“Wah, apa yang dilakukan oleh Nyonya muda kita disini?”
Jika bukan area publik, Su Li bisa saja mengabaikan keberadaan Wu Xia. Ada sepercik amarah yang timbul akibat ia melihat bagaimana wanita paruh baya itu masih berdiri sehat di balik kejahatan-kejahatannya. “Ini adalah ruang publik, jadi tidak ada larangan bagi siapapun berkunjung.”
Wu Xia tertawa kecil mendengar jawaban lugas dan dingin Su Li seperti biasanya. “Kau benar. Tidak ada larangan untukmu berada di sini. Apakah kau berencana ingin bertemu selingkuhanmu makanya datang sendirian?”
Su Li memang harus memperbanyak lagi stok kesabaran yang ia punya. “Dengan siapapun saya bertemu, tidak ada kewajiban saya untuk melapor dengan anda,” ujarnya ketus.
Belum sempat Wu Xia membalas ucapan Su Li, Ziang Wu hadir di antara keduanya. Pemuda itu memberikan salam hormat sebelum meraih pinggang ramping istrinya. “Tidak kami sangka bisa bertemu dengan Ibu disini,” ucapnya ramah. Wu Xia memberikan senyum ramahnya.
“Ibu ada janji bertemu dengan teman di sini. Silahkan kalian masuk lebih dulu,” ucapnya dengan lembut yang membuat Su Li ingin memuntahkan semua isi perutnya.
“Baiklah, kami duluan, Ibu.” Ziang Wu mengangguk hormat. “Ayo sayang,” lanjutnya kemudian berlalu bersama Su Li.
Otak Su Li tiba-tiba membeku, panggilan Ziang Wu barusan berhasil mengirimkan getar aneh ke seluruh tubuhnya.
“Ibumu masih memperhatikan kita,” bisik Ziang Wu kala menyadari perubahan Su Li. mendengar hal tersebut, Su Li tiba-tiba mengecup pipi Ziang Wu yang masih dekat dengan wajahnya.
“Ayo, aku sudah lapar,” ucapnya kemudian segera berlalu tanpa memperdulikan Ziang Wu. Suaminya itu mematung akibat tindakan balas dendam yang Su Li lancarkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top