CHAPTER TWENTY NINE

“Apa yang kau kenakan?’ 

Su Li diam tidak menggubris pertanyaan Ziang Wu. Ia tetap melangkah dengan percaya diri di balik balutan bodycon tali spaghetti yang berwarna merah marun kontras dengan kulit putihnya. Mini dress itu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ziang Wu sama sekali tidak dapat mengalihkan  pandangannya, waktu seakan melambat kala Su Li perlahan mendekatinya. 

“Aku memasakkan makan malam untukmu,” ucap Su Li sambil meletakkan sepiring tenderloin steak yang susah payah ia siapkan sejak pagi dengan Nona Lin. 

“Jadi ini kejutan yang kamu maksud?” tanya Ziang Wu setelah Su Li mengenyakkan bokong pada kursi di seberang meja, berhadapan dengannya.  

Su Li mengangguk. “Apa kau menyukainya?” 

Tentu saja Ziang Wu mengangguk dengan senyum puas. Walau sempat sedikit terkejut saat melihat penampilan memukau dari Su Li, Ziang Wu cepat menyadarkan dirinya. Mencoba fokus dengan apa yang terhidang di atas meja, walau ia diam-diam melirik Su Li yang tampak begitu tenang.

“Tentu saja aku menyukainya. Apakah ini semacam perayaan setelah keluar dari rumah sakit?” 

Senyum manis Su Li terpatri. Saat ini ia sedang mati-matian meredam debaran jantungnya yang bertalu menggila. Ada sedikit rasa menyesal mengapa ia bisa menyetujui usul Nona Lin. Namun, ia harus menyelesaikan misi ini jika tidak ingin dirundung oleh rasa penasaran. 

Su Li meletakkan pisau dan juga garpunya. Membuat Ziang Wu juga memutuskan untuk menghentikan makannya. 

“Aku ingin memastikan sesuatu.” 

Wanita itu menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya dengan perlahan sebelum melanjutkan, “Memastikan debaran yang selalu aku rasakan saat bersamamu itu apakah sesuatu yang nyata atau tidak. Akhir-akhir ini aku sedang bingung dengan perasaanku. Aku hanya ingin memastikannya.” 

Ziang Wu total melupakan hidangannya. Manik sehitam jelaga itu menatap Su Li lurus seperti meminta penjelasan lebih jauh. 

“Bisakah kau menciumku?” 

Jika ini termasuk kejutan yang berikutnya, Ziang Wu akui bahwa istrinya itu sudah berhasil melakukannya berkali-kali. Sorot serius yang dipancarkan manik kecokelatan itu seperti menyihirnya. Ziang Wu bangkit dari kursinya dan mendekati Su Li. 

“Apa kau tidak akan menyesalinya?” tanyanya dengan suara rendah. Membuat Su Li merasakan desir tak biasa pada tubuhnya. “Bahkan jika aku bisa membuatmu terlambat bangun esok pagi? Aku akan membuatmu tidak bisa mundur jika sudah menyetujuinya. ” 

Pertanyaan Ziang Wu sedikit membuat pertahanan Su Li goyah, hanya saja ia adalah wanita berprinsip. Su Li mengangguk mantap. Membuat bibir tipis Ziang Wu menyunggingkan senyum sejenak sebelum menunduk dan menciumnya. 

Su Li menyambut ciuman itu dengan sukacita. Ciuman yang penuh gairah dan memabukkan sesuai dengan janji pemuda itu. Lidah Ziang Wu yang lihai seolah menyetrumnya, mengirimkan getaran-getaran kecil ke seluruh bagian tubuhnya yang sensitif. 

Seolah tidak ingin kalah, kedua tangan Ziang Wu bereaksi menjamah apapun yang berada dalam jangkauannya hingga melahirkan desahan halus Su Li di antara bibir yang berpagut. 

Ziang Wu merasa sesuatu di dalamnya meminta untuk dibebaskan. Membuatnya melepaskan tautan antara bibir mereka. Tanpa meminta izin, ia membopong Su Li untuk memasuki kamar. Merebahkan dengan perlahan seolah Su Li adalah benda berharga yang mudah pecah. Mini dress itu telah tersingkap, membuat hasrat memenuhi dirinya. 

Ziang Wu kemudian bergabung bersama Su Li yang membalas dekapannya, menghujani cecapan di antara leher dan bahu Su Li yang terbuka. Menghirup dalam aroma ceri yang menjadi candunya, pemuda itu kemudian mengangkat kepala lantas menggigit pelan telinga seirama dengan remasan pada aset kembar Su Li.

Su Li mengerang halus, pelukan erat di punggung Ziang Wu ia jadikan pelampiasan. Gelenyar kenikmatan itu merajam Su Li tanpa amoun, mengalirkan lecutan gairah ke setiap jengkal tubuh. Ia mendesah halus, sedikit lagi Su Li mungkin akan meledak, liang kenikmatannya menghangat seperti diterjang bara, menyengat satu titik sensitif di dalam dirinya. 

Ziang Wu sudah tidak tahan berlama-lama bermain, ia pun membutuhkan pelampiasan. Pemuda itu bangkit dan melepaskan segala kain yang menutupi tubuhnya. Begitu pula Su Li yang melepas resleting mini dress-nya dan membiarkan pakaian itu lepas, sesaat lupa bahwa ia sudah tak lagi menggunakan pakaian dalam.  

Ziang Wu kemudian membenamkan diri ke dalam dekapan Su Li dengan penuh gairah dan berhasil kembali membangkitkan hasrat Su Li. Bibirnya berkeliaran di tubuh Su Li, turun untuk menjelajahi titik yang paling responsif. Seakaan menyadari Su Li hampir mencapai batasnya, Ziang Wu menjauh. Ia tidak akan membuat Su Li meledak hanya dengan lidahnya. 

Jantung Su Li berdebar kencang, adrenalinnya tersentak bangkit saat Ziang Wu menyatukan tubuh, membenamkan kejantanan dengan entakan pelan.  Geraman dan suara rendah Ziang Wu bersahut desahan Su Li mendominasi mengisi ruangan. Pendingin ruangan seolah tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, dua tubuh itu berkilau akibat keringat yang tertimpa cahaya temaram lampu kamar. 

Ziang Wu bergerak semakin cepat, luwes, dan penuh tenaga. Gairah Su Li memuncak seiring setiap desakan suaminya. Ia melengkungkan tubuh, terlena oleh gerakan Ziang Wu, seketika mendambakan setiap sensasi yang menggetarkan jiwa. 

Su Li tersentak bersama hujaman dalam Ziang Wu. Bersama mencapai puncak kenikmatan memabukkan yang membuat terombang-ambing antara realitas dan fantasi.

***

Ziang Wu menggeliat dan meraba kasur di sebelahnya. Matanya yang terpejam terbuka sempurna kala merasa sebelahnya hanyalah ruang kosong. Ia bangkit tergesa menuju kamar mandi. Namun bayangan Su Li tidak ditemukannya. Dengan kalut ia keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat Su Li yang terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Sebuah senyum terbit tatkala maniknya menangkap bayangan Su Li yang terlihat menggemaskan menggunakan kemejanya yang terlihat kebesaran di badan mungil Su Li. 

Sepertinya suasana hati istrinya pagi ini sangat bagus. Sambil mengerjakan sesuatu, Su Li terus bersenandung dengan sesekali menggoyangkan badannya. Ziang Wu berjalan dan bersandar di dinding dapur masih memperhatikan Su Li dari belakang. Suatu hiburan tersendiri baginya melihat kegiatan yang Su Li lakukan sehari-hari di sekitarnya.

"Astaga, Tuan Ziang. Setidaknya bersuaralah," ucap Su Li ketika ia berbalik dan sudah menemukan Ziang Wu menatapnya. Ia hampir saja menjatuhkan sepiring omelet hasil karyanya pagi ini akibat terkejut. 

Ziang Wu berjalan mendekat dan merengkuh Su Li dalam pelukan. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Ziang Wu dengan suara seraknya. Ia kemudian memasrahkan kepalanya pada pundak sang puan, menghirup aroma ceri kesukaannya. Ternyata Su Li sudah membersihkan diri. Sesekali ia mengecup leher jenjang itu. Rambut Su Li sudah lebih panjang dari awal pertemuan mereka. 

“Ziang Wu, hentikan,” ucap Su Li ketika pemuda itu mengigit-gigit kecil lehernya. Apakah konsep sang Suami pagi ini adalah kosplay menjadi nyamuk? 

 Su Li yang mengaitkan tangannya pada pinggang Ziang Wu pun mencubit gemas pinggang suaminya yang tak tertutupi apapun membuat pemuda itu mengaduh dan melepaskan pelukannya. "Astaga, kenapa kau kejam sekali?" ujar Ziang Wu sambil mengusap pinggangnya yang terasa perih. Su Li hanya terkekeh melihat sang Suami yang meringis kesakitan.

"Setidaknya pakai dulu bajumu. Aku sudah membangunkanmu tetapi kau tidak bergeming sama sekali." Su Li kembali melanjutkan aktivitasnya memanggang dua bilah roti tawar dan membuat cokelat panas. Ia sama sekali mengabaikan Ziang Wu yang terlihat merajuk dan tidak beranjak dari tempatnya berdiri memperhatikan Su Li yang mondar-mandir di depannya. 

"Kau masih disini?" tanya Su Li setelah meletakkan gelas cokelat panas miliknya dan Ziang Wu ke atas meja. Ziang Wu tetap diam membuat Su Li terkekeh, ekspresi Ziang Wu yang diam dengan bibir yang terlipat merajuk terlihat sangat menggemaskan. Apalagi ditambah dengan rambutnya yang masih acak-acakan. 

"Astaga, sayangku merajuk. Cuci mukamu kemudian kita sarapan," ucap Su Li setelah berjinjit untuk merapikan rambut Ziang Wu dan memberikan kecupan singkat di bibir yang berhasil membuat dua buah lesung pipi suaminya tercetak sempurna. Tanpa bersuara lagi Ziang Wu berlari kembali menuju kamar. Tak lama ia kembali dengan wajah yang terlihat lebih segar dan sudah menggunakan kaos polos berwarna hitam.

"Aku mau tambah," ucapnya setelah duduk di kursi dan menghadap Su Li.

Dahi Su Li mengkerut bingung, pasalnya Ziang Wu belum menyentuh sama sekali sarapannya tetapi mengapa ia minta tambah? Melihat ekspresi Su Li yang kebingungan, Ziang Wu beranjak dan memutar kursi Su Li. Tanpa berkata, ia meraup bibir yang telah menggodanya sejak pagi, Ziang Wu tersenyum ketika merasakan Su Li yang membalas ciumannya. Kedua tangannya pun tidak mau tinggal diam, menelusup masuk  ke dalam kemeja yang istrinya kenakan. Ia berhenti ketika merasakan Su Li mendorong pelan dadanya. "Cukup, Tuan Ziang. Nanti bisa terlambat.”

“Lima menit,” ucap Ziang Wu kemudian menggendong Su Li memasuki kamarnya. 

***

Nona Lin sedari tadi hanya diam-diam tersenyum sambil memperhatikan Su Li yang sibuk mempelajari materi rapat pagi ini. Ia hampir saja membombardir atasannya tersebut dengan panggilan telepon jika tidak melihat Su Li yang memasuki kantornya dengan langkah tergesa. Tidak biasanya Su Li terlambat, apalagi ini adalah hari pertama atasanya itu masuk kerja. 

“Maaf, Nyonya Su.” 

Su Li yang sedang membaca materi rapat di tabnya mendongak. Menatap Nona Lin dengan tatapan tanda tanya. Sekretarisnya itu kemudian mendekat kemudian memberikan sebuah scarf, “Sebaiknya anda tutupi leher anda dengan ini,” ucapnya sambil tersenyum kecil. Su Li refleks melihat ke arah cermin yang ia letakkan di ujung meja kerjanya. Semburat merah memenuhi wajahnya kala melihat beberapa jejak yang ditinggalkan oleh Ziang Wu sejak semalam. Su Li merasa dipergoki oleh Nona Lin. Biasanya ia akan menutupi bekas itu dengan concealer, hanya saja ia terlambat pagi ini jadi tidak bisa bersiap dengan benar. 

Untung saja blouse satin berwarna putih yang ia kenakan  memiliki lipatan leher yang tinggi. Dipadukan dengan scarf pemberian Nona Lin, tampilan Su Li menjadi lebih manis. Ia juga melepas ikatan ekor kuda pada rambutnya sehingga rambut cokelat bergelombang itu terurai melebihi bahu. Melihat raut Su Li yang memerah dan terlihat canggung itu, Nona Lin yakin rencana atasannya semalam sukses besar. 

“Rapat akan dimulai lima belas menit lagi, Nyonya,” ucap Nona Lin yang disahut Su Li dengan anggukan. Wanita itu kemudian berdiri dari kursi kebesarannya. Memastikan sedikit lagi tampilannya supaya tidak ada yang salah ataupun terlewat lagi. 

“Bagaimana persiapan untuk rapat pemegang saham?” tanya Su Li saat keduanya menuju lift. 

“Selama anda tidak hadir, saya sudah mengumpulkan beberapa informasi dari semua pemegang saham dan juga direksi. Apakah anda ingin melihatnya?”

Su Li mengangguk. Nona Lin kemudian memberikan tab yang ia pegang setelah menampilkan data yang tadi ia sebutkan. Wanita itu membacanya dengan seksama. 

“Beberapa poin yang sudah saya tandai itu bisa anda gunakan sebagai jaminan negosiasi ketika anda berbicara pada mereka.” 

Terlepas dari ibu dan saudara tirinya, Su Li harus merangkul paling tidak delapan orang pemegang saham lainnya jika ingin mengganti jajaran Direksi Liang Tech yang ia anggap korup. Ia sudah memegang saham milik Ziang Wu dan sebagian milik sang Ayah, menjadikan Su Li pemegang saham tertinggi di perusahaan. Walaupun begitu, ia tidak dapat mengambil keputusan sepihak. Pengaruh pemegang saham memegang kendali penuh atas otoritas perusahaan.

“Nanti kita bahas lebih lanjut,” ucap Su Li kala melihat beberapa pegawai yang memasuki lift.   

***

Kantin perusahaan masih menjadi primadona di saat jam makan siang seperti saat ini. Selain karena tidak mau menghabiskan waktu keluar, pilihan menu yang tersedia sangat cukup untuk menggugah selera dan menjadikan pilihan utama bagi sebagian besar pegawai. Tak terkecuali sepasang suami istri yang berada di salah satu meja. 

“Jadi, kau akan mengadakan rapat umum pemegang saham?”

Su Li mengangguk, "Jika ingin mereformasi jajaran direksi, aku harus melakukannya." Wanita itu mengambil satu potong kroket kentang yang berada di nampan makan siang Ziang Wu. 

“Kau sudah mengatakannya kepada Ayah?” 

Sekali lagi Su Li hanya mengangguk.

"Apa yang Ayah katakan?" ucap Ziang Wu sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil remahan tepung roti yang terselip di sudut bibir Su Li. 

"Tidak banyak. Hanya saja Ayah mengingatkanku bahwa pertarungan ini tidak akan mudah." 

Ziang Wu mengangguk mengerti. Pemuda itu setuju dengan apa yang dikatakan oleh Su Liang. Betapa terjal jalan yang dipilih oleh Su Li. Tak heran, istrinya itu terlihat sedikit kewalahan. 

“Apakah proyekmu lancar?” tanya Su Li sambil sekali lagi mengambil kroket terakhir milik Ziang Wu.

“Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti dan berjalan sesuai dengan rencana. Minggu depan kami akan memulai uji coba.” Pemuda itu kemudian bangkit serta mengambil gelas kosong miliknya dan Su Li.

Makanan enak memang jalan tercepat untuk memperbaiki moodnya yang sedang sangat buruk. Pertemuan dengan berbagai pemegang saham yang tidak lancar membuat Su Li merasa sedikit tertekan. Senyum lebarnya terbit kala melihat sepotong cheese cake yang dibawa oleh Ziang Wu. 

“Hidangan penutup tetapi sebelumnya habiskan air putihmu.” 

Bagai seorang anak, Su Li mematuhi apa yang dikatakan oleh Ziang Wu. Ziang Wu sedikit merasa kagum kepada para pemilik tipe badan ektomorf seperti Su Li, yang bisa makan banyak tanpa harus takut jarum timbangan bergeser ke arah kanan. Jadi mereka bisa makan dengan sepuasnya. 

“Sepulang kerja kau bisa mengantarku ke suatu tempat?” tanya Su Li. Notifikasi pesan masuk dari Nona Lin yang mengingatkan tentang pertemuan dengan bagian HRD membuat Su Li harus mengakhiri sesi makan siang bersama suaminya. 

“Tentu saja. Kau mau kemana?” 

“Akan kuberi tahu nanti setelah kita bertemu lagi. Selamat bekerja, Sayang,” ucap Su Li diakhiri dengan satu kecupan di pipi kiri Ziang Wu. 

Pemuda berkemeja biru yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba Su Li tersebut hanya bisa mematung dan menatap punggung kecil sang Istri yang semakin menjauh. 

***

Ziang Wu memarkirkan mobilnya di parkiran kompleks pemakaman keluarga terbesar di Beijing tersebut. Saat mobil berhenti, ia kemudian menghadap Su Li yang masih terdiam sambil memegang sebuah buket lili putih yang mereka beli di perjalanan. 

“Su Li, kita sudah sampai.” 

Seolah tersadar dari lamunan, secepat kilat Su Li mengubah ekspresinya. Wanita itu tersenyum tipis sebelum mengangguk dan keluar. Ziang Wu pun mengikuti, membawa tubuh sang Istri dalam rangkulannya. 

“Hai, Ma,” ucap Su Li serak. Ia sudah berjanji tidak akan menangis. Wanita itu mendongak menahan bulir air matanya. Beribu kali ia mengatakan pada diri sendiri selama perjalanan, tidak boleh menangis jika ia kembali mengunjungi sang Ibu. "Tidak boleh menangis, Su Li anak yang kuat," rapalnya dalam hati seperti yang selalu ia lakukan sejak kecil. Agaknya mantra yang selalu ibunya ajari sedari kecil itu tidak mempan lagi untuknya. Semilir angin membuat matanya semakin berkabut dan perih. Ia kira setelah pergi jauh dan menyibukkan dirinya dapat mengurangi sedikit sesak dan kerinduan yang menderanya tanpa ampun. 

Pertahanannya runtuh. Bahkan perih dari gigitan pada pipi bagian dalamnya tak mampu menghalau bulir itu untuk jatuh. Seperti baru kemarin, Su Li terduduk mengisak mengeluarkan segala jenis emosi yang selama ini ia pendam. Sosok yang selalu merengkuhnya dalam peluk saat ia merasa lelah akan dunia atau sekedar tempat mencurahkan isi hati sudah menghilang, membuatnya harus belajar menelan semua kesedihan dan kesulitan yang bertubi menghampiri. Puluhan cerita yang telah ia siapkan dengan apik, seketika luruh saat menatap potret sang Ibu. 

 Ziang Wu yang berada di sampingnya mengambil inisiatif memberikan salam penghormatan. Senyum tipis yang terekam pada potret di batu nisan itu seakan menyambut kedatangan mereka dengan bahagia. Setelah memberikan penghormatan, ia kemudian berlutut dan merengkuh Su Li dalam pelukan. Seakan memberi tahu bahwa ada dirinya sekarang yang siap menjaga dan menjadi pelipur lara untuknya. 

“Terima kasih,” ucap Su Li dengan suara yang sedikit sengau, menyambut kopi kaleng yang disodorkan oleh Ziang Wu. 

Matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Langit yang berwarna sedikit kemerahan dengan sedikit jingga berganti kuning dengan corak keemasan. Sinar lembut matahari yang sedang dalam perjalanan pulang membuat kilau di ujung bulu mata lentik Su Li yang basah. Setelah menumpahkan emosinya, Su Li tidak banyak berbicara. Ziang Wu dengan sabar menuntunnya kembali dan disinilah mereka berada sekarang. Sebuah taman di sebelah tempat parkir pemakaman tersebut. Menunggu dengan sabar sampai sang Puan bisa dengan puas menghabisi rasa sendunya. 

Su Li yang semula menatap lurus tanpa minat tiba-tiba bangkit berdiri. Wanita itu memberikan kopi kalengnya kepada Ziang Wu dan bergegas mendatangi seorang lelaki yang baru saja menapakkan kakinya di pintu masuk areal pemakaman.

Setengah berlari Su Li sambil meneriakkan sebuah nama yang membuat Ziang Wu juga ikut bangkit berdiri. 

“Paman Liu!” 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top