CHAPTER THIRTY FIVE
Su Li tidak bisa memejamkan matanya barang sedetik pun. Ziang Wu yang berada di sebelahnya sudah terlelap. Semenjak melihat berita terbunuhnya Shen Juan, ada rasa gelisah yang terus menanggapi dirinya. Su Li kemudian bangkit dari tempat tidur, diam-diam keluar dari kamar agar tidak mengusik tidur lelap sang suami. Wanita itu memutuskan keluar untuk mencari udara segar.
Su Li melangkahkan kakinya ke luar menuju halaman. Sejak awal menginjakkan kaki di rumah ini, Su Li merasa takjub. Rumah dengan gaya tradisional Tiongkok itu sudah sangat jarang ditemukan pada era modernisasi seperti saat ini. Langkahnya terus menyusuri pelataran hingga sampai pada taman yang berada tepat di tengah halaman. Ada empat bangunan yang mengelilinginya. Letak kamar yang ia tempati bersama Ziang Wu ada di seberang bangunan yang ada di sebelah selatan.
Keadaan taman itu sedikit temaram, hanya sinar bulan purnama memantul lembut di sebuah kolam ikan mas yang dikelilingi oleh tanaman yang berada di pojok taman menjadi sumber cahaya satu-satunya. Walaupun begitu, cukup untuk Su Li dapat melihat sebuah meja marmer dan dua buah kursi dari bahan serupa.
Wanita itu merapatkan kardigan yang tadi ia kenakan guna menghalau angin malam yang berhembus cukup keras. Provinsi Yunnan berada di daerah dataran tinggi sehingga suhu reratanya lebih dingin dari Beijing walau di tengah musim panas seperti saat ini. Ia kemudian menyamankan dirinya di salah satu kursi marmer.
Sepanjang perjalanan ia terus memikirkan, mengapa Shen Juan bisa terbunuh? Apa alasan dari pembunuhan tersebut? Karena ia merasa mustahil jika mereka menyadari pergerakannya. Su Li bahkan belum pernah berbicara secara langsung kepada pria itu. Rasa gelisah yang ia rasakan sama sekali tidak bisa dihilangkan. Wanita itu seperti merasa melewatkan sesuatu, hanya saja seharian ini ia tidak dapat menemukan jawabannya.
Maniknya tertumbuk pada bayangan hitam yang seperti menatapnya dalam diam di ujung pelataran. Cahaya bulan yang terhalang oleh pohon plum di halaman membuatnya tidak dapat melihat jelas perawakan bayangan itu. Jantungnya berdegup dengan keras, ia merutuki Ziang Wu yang menceritakan bahwa paman bungsunya mati bunuh diri di rumah itu. Bayangan hitam itu terus berjalan mendekatinya. Lampu pelataran yang tiba-tiba menyala membuat Su Li terperanjat dan memekik.
"Ini aku, ini aku," ucap Ziang Wu panik dan berlari mendekati sang Istri. Rasa bersalah memenuhi dadanya saat melihat wajah pucat pasi Su Li. Ziang Wu kemudian merengkuh sang Istri dalam pelukan untuk menenangkannya. Menghirup aroma yang sangat ia kenali membuat Su Li kembali tenang. Pemuda itu tidak menyangka jika Su Li akan seterkejut itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk mengejutkanmu," ucap Ziang Wu sambil mengelus punggung sang Istri yang mulai tenang.
"Ini, minum dulu." Ziang Wu menyerahkan segelas air dingin yang langsung dihabiskan oleh Su Li. Keduanya sekarang berpindah ke dapur karena Su Li sama sekali tidak mau ditinggalkan.
"Sebelumnya kau berani sampai taman gelap itu sendirian," ucap Ziang Wu sambil menatap Su Li.
"Itu sebelum kau menakutiku," ucap Su Li ketus walau Ziang Wu masih bisa menangkap suaranya yang bergetar halus. Selain itu pikirannya yang kalut seperti menutup segala jenis ketakutan yang ia miliki. "Lagipula jika kau tidak menceritakan hal menyeramkan padaku sebelum tidur tadi, aku tidak akan ketakutan," lanjutnya.
Ziang Wu tersenyum tipis, ia tidak mengira jika cerita tadi bisa mempengaruhi wanitanya. Padahal saat ia bercerita, Su Li hanya menatapnya datar tanpa minat. Pemuda itu lebih merasa penasaran, karena semenjak pagi sang Istri menjadi pendiam dan seperti sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Ada yang sedang kau pikirkan?" tanyanya sambil membawa kedua tangan Su Li ke dalam genggamannya. Su Li kemudian memutar badannya untuk menghadap Ziang Wu. Sepertinya ia memang harus mendiskusikan ini bersama suaminya.
"Shen Juan terbunuh."
Ziang Wu berusaha mengingat nama yang Istrinya sebutkan.
"Shen Juan, suara pria yang ada di dalam rekaman," ucap Su Li lagi.
"Kau yakin?" tanya Ziang Wu lagi memastikan. Jika benar, tidak mengherankan jika seharian ini Su Li terlihat gelisah. Anggukan Su Li membuat Ziang Wu mengeratkan genggamannya. Seperti yang sudah pernah Su Li katakan padanya, Shen Juan bisa menjadi saksi kunci sekaligus tersangka untuk menguak kasus kematian Ibunya.
"Satu-satunya harapanku sekarang hanyalah Dokter Bao dan hasil penyelidikan oleh Bai Wan."
"Kau tidak perlu khawatir, selama aku mengenalnya, tidak ada kasus yang tidak selesai jika dipegang oleh Bai Wan," ucap Ziang Wu menenangkan Su Li.
"Aku merasa gelisah, Ziang Wu. Hanya saja aku tidak tahu kenapa. Aku seperti melupakan sesuatu," ucap Su Li lagi terdengar putus asa. Ziang Wu kemudian beranjak dari kursinya, merengkuh tubuh mungil sang Istri ke dalam dekapannya.
"Jangan khawatir, ingat aku selalu bersamamu."
***
"Sayang."
Panggilan Ziang Wu sepenuhnya diabaikan oleh Su Li. Keadaan sang Istri beberapa hari ini membuat Ziang Wu khawatir. Selama acara pernikahan pun Su Li terlihat tidak bersemangat. Kematian Shen Juan benar-benar meruntuhkan sisi optimisnya. Walau Su Li selalu mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya, Ziang Wu tahu bahwa Su Li sedang berusaha untuk tidak membuatnya khawatir.
"Bagaimana jika kita pulang ke Beijing malam ini?"
Perkataan Ziang Wu sontak membuat Su Li menatapnya.
"Aku tidak bisa membuatmu gelisah terus menerus seperti ini. Jika ada yang bisa membuatmu tenang, katakan padaku. Aku akan berusaha untuk membantu."
Ada rasa bersalah yang Su Li rasakan, ia tahu jika beberapa hari ini mungkin ia tidak seperti biasanya. Sebenarnya ia ingin menolak gagasan Ziang Wu yang mengajaknya untuk pulang terlebih dahulu, hanya saja ia tidak bisa menutupi kegelisahannya dari Ziang Wu.
"Aku ingin memajukan pelaporan kasus ini. Aku tidak bisa membiarkan kehilangan satu persatu pion yang aku miliki, Ziang Wu."
Ziang Wu mengangguk mengerti. "Baiklah. Kita pulang malam ini."
***
"Su Li, apa yang kau lakukan?"
Su Li yang sedang berdiskusi dengan Nona Lin terkejut saat sang Ayah menerobos masuk. Ia kemudian meminta Nona Lin keluar dari ruangan.
"Ayah, mengapa tdak mengabari dulu kalau mau datang?" tanya Su Li berusaha tetap tenang. Ia tahu pasti apa yang membuat sang Ayah mendatangi kantornya dengan wajah merah padam seperti itu. Wanita itu berjalan dan duduk dengan tenang di sofa cokelat yang ada di tengah ruangan.
"Kau bisa menjelaskan apa yang kamu maksud bahwa Ibumu dibunuh."
Seperti halnya menutupi bau busuk bangkai, Su Li yakin Ayahnya pasti akan tahu apalagi ia sudah melaporkan resmi kepada Kepolisian untuk menyelidiki kasus kematian sang Ibu.
"Apakah salah jika seorang Putri ingin berjuang demi keadilan untuk Ibunya?"
Su Liang kemudian mendaratkan bokongnya di sofa berhadapan dengan sang Putri. Pria paruh baya itu terkejut saat melihat berita bahwa Su Li melaporkan kematian sang Istri sebagai kasus pembunuhan kepada Kepolisian.
"Apa ini alasanmu kembali ke Tiongkok? Kau tidak pernah berpikir apa akibatnya untuk kita?"
Su Li menatap nanar sang Ayah. Melihat reaksi Su Liang membuatnya kecewa. Ia memang tidak mengharapkan pujian atas segala tindakan yang telah ia lakukan, tetapi setidaknya bukan seperti ini reaksi yang Su Li harapkan.
"Akibat itu aku akan menerimanya. Ayah tidak perlu khawatir, aku tidak pernah berniat menyeret Ayah dalam masalah ini." Su Li kemudian beranjak, ia tidak memiliki alasan untuk melanjutkan perdebatan yang menurutnya akan menguras emosi dan energinya.
"Cabut laporanmu."
Ucapan sang Ayah sukses membuat kesabaran yang susah payah Su Li tumpuk, lebur.
"Apa yang Ayah takutkan?" tanyanya dingin. Maniknya menatap tajam, dua kepalan tangannya meremas erat celana kain hitam yang sedang ia kenakan.
"Selama ini apa yang sudah Ayah lakukan? Ayah yang selalu berada di samping Ibu tidak menyadari bahwa ada yang aneh dari kematian Ibu."
Su Liang berusaha mendekati Su Li. Melihat amarah Su Li yang menggebu membuatnya melunakkan suaranya. "Ibumu sakit, Nak. Bukan pembunuhan," ucap Su Liang sambil menggenggam tangan Su Li.
Su Li menghempas tangan Su Liang. "Aku tidak tahu jika Ayah memang sangat tidak peduli dengan Ibu. Seperti yang aku katakan, aku tidak akan melibatkan Ayah. Jadi tidak perlu khawatir."
"Jika aku memaksa, tidak hanya dirimu yang terluka. Perusahaan juga akan kena dampaknya."
Su Li tersenyum miring, ternyata keadilan untuk sang Ibu tidak lebih penting dari perusahaan di mata sang Ayah. "Apa demi perusahaan juga Ayah menikahi Wu Xia di hari peringatan kematian Ibu? Aku merasa kasihan kepada Ibu, ternyata keberadaannya tidak sebesar itu jika dibandingkan dengan harta duniawi yang dikejar oleh pasangannya."
Satu tamparan melayang mengenai pipi kirinya membuat Su Li membelalakan mata terkejut. Rasa kecewa Su Li benar-benar menguasai dirinya. Tanpa menghiraukan panggilan sang Ayah, Su Li melangkahkan kakinya keluar kantor. Mati-matian ia menahan air matanya. Ia tidak mau menangis di sini, ia ingin pergi sejauhnya dari sang Ayah.
"Su Li."
Panggilan Ziang Wu yang baru keluar dari lift membuat Su Li berhenti lalu menghambur dalam pelukan sang Suami. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya tumpah. Melihat sang Istri yang sedang berusaha menghindari sesuatu itu membuat Ziang Wu kemudian membawa Su Li masuk ke dalam pintu yang mengarah ke tangga darurat.
"Apa yang terjadi?" tanya Ziang Wu saat Su Li sudah berhenti menangis. "Pipimu kenapa?" ucapnya lagi saat menyadari pipi kiri Su Li terlihat sedikit bengkak dan berwarna kemerahan.
"Ayah memukulku," jawab Su Li dengan suara sengaunya, membuat Ziang Wu terkejut. Karena seingatnya Su Liang tidak akan mampu memukul Su Li separah atau senakal apapun wanita itu. ia memang dikabari oleh Nona Lin jika Ayah Mertuanya datang dengan aura yang tidak menyenangkan, hanya saja ia tidak menyangka bahwa hal itu bisa terjadi separah ini.
"Ayah memintaku mencabut laporan kasus kematian Ibu."
Mengingat perdebatan itu kembali membuat dadanya sesak, air mata yang sempat surut itu kemudian kembali menganak sungai.
"Sudah, tidak perlu kau ceritakan. Tenangkan dirimu dahulu," ucap Ziang Wu sambil kembali merengkuh Su Li dalam pelukan.
***
Setelah insiden itu, Su Li memutuskan untuk tidak mau bertemu dengan sang Ayah. Bahkan ia juga sempat mengingatkan Ziang Wu agar tidak mengizinkan sang Ayah untuk menemuinya.
Laporannya memang ramai diberitakan dan menjadi headline setiap portal berita beberapa hari terakhir ini. Su Li memang sudah memprediksi hal tersebut akan terjadi. Jadi ia membatasi pergerakannya, semua urusan ke Kepolisian ia serahkan secara penuh kepada Bai Wan. Selama tidak mengganggu perusahaan secara signifikan, Su Li tidak ambil pusing. Karena prioritasnya saat ini adalah untuk menangkap pembunuh sang Ibu.
"Aku pulang," ucap Ziang Wu saat memasuki rumah. Pemuda itu tersenyum saat melihat Su Li yang sedang menonton televisi di ruang tamu. begitu jarang ia melihat tampilan rumahan sang Istri. Tubuh mungil yang selalu menggunakan pakaian kasual dan blazer itu saat ini hanya terbalut kaus oversize miliknya. Akhir-akhir ini Su Li sering sekali menggunakan baju miliknya jika berada di rumah.
Su Li yang sedang menonton televisi walaupun tidak benar-benar menontonnya menoleh ke arah pintu masuk. Senyumnya merekah saat melihat Ziang Wu yang sedang berjalan ke arahnya. Hari ini ia memang tidak berangkat ke kantor. Ziang Wu yang mendekat kemudian mengecup keningnya.
"Aku membawakan Mie Dandan sesuai pesananmu," ucap Ziang Wu sambil mengangkat sebuah kantong plastik di tangan kanannya. Mendengar hal tersebut membuat Su Li beranjak dari tempat duduknya. Langkah antusiasnya berhasil menerbitkan senyum di wajah sang Suami.
"Pelan-pelan," ujar Ziang Wu sambil meletakkan segelas air dingin di dekat mangkuk Su Li. Ia sedikit ngeri melihat Su Li yang dengan lahap menghabiskan mie kuah pedas itu. Bahkan ujung hidung Istrinya itu sampai memerah. Ziang Wu berpikir bahwa dirinya tidak akan sanggup menghabiskan satu porsi mie itu sendirian.
"Makanan pedas memang pas untuk suasana seperti ini," ucap Su Li setelah menyeruput kuah mie tersebut sampai tandas.
"Setelah ini tidak ada lagi makanan pedas," ucap Ziang Wu.
Saat Su Li ingin protes dengan ucapan sang Suami, bel rumah mereka berbunyi.
"Jika itu Ayah, bilang padanya bahwa aku sudah menyusul Ibu."
Ziang Wu terkejut mendengar ucapan Su Li, tetapi saat ia ingin berbicara, Istrinya itu sudah menghilang di balik pintu kamar. Su Li memang pendendam, ia harus hati-hati jangan sampai membuat Istrinya itu marah padanya.
Pemuda itu terkejut saat mendapati Bai Wan yang berwajah kusut di balik pintu. Tidak biasanya, pemuda itu datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
"Sebentar, aku panggilkan Su Li," ucap Ziang Wu sesaat setelah mempersilakan Bai Wan untuk masuk. Tak berapa lama Ziang Wu kembali bersama Su Li.
"Apakah ada masalah dengan kasusnya?" tanya Su Li langsung tanpa basa-basi. Karena selama ini Bai Wan jarang datang menemui mereka secara langsung. Komunikasi mereka terjalin melalui surel ataupun panggilan telepon. Dari wajah kusut pengacara muda itu, Su Li sudah dapat menebak bahwa ada sesuatu yang mengusiknya.
Bai Wan mengembuskan napas dengan berat. Berusaha memilih kata yang setidaknya terdengar lebih baik, hanya saja ia tidak bisa menemukan diksi yang tepat. Dengan suara beratnya, Bai Wan mengatakan alasannya datang.
"Pihak mereka menuntut balik kita."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top