CHAPTER THIRTY EIGHT
“Selamat siang, Nyonya Su.”
Su Li tersenyum sambil sesekali mengangguk membalas sapaan beberapa pegawai yang berpapasan dengannya. Langkahnya ia pacu menuju Divisi Pengembangan di mana Ziang Wu bertugas. Kaki berbalut sepatu jenis oxfords itu melenggang dengan langkah mantap. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu sejenak sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan.
Seperti terakhir kali ia mengunjungi Divisi Pengembangan, tidak banyak yang berubah. Ruangan yang didesain dengan gaya industrial itu dipenuhi oleh beberapa layar monitor dan beberapa perangkat komputer di setiap meja. Dua buah papan tulis terlihat penuh dengan tulisan-tulisan yang tidak Su Li pahami. Hanya ada Huo Yan dan juga Ziang Wu di ruangan ini, senyum lega Su Li terpatri kala maniknya tidak mendapati keberadaan Shen Yue.
Sebuah pantry dengan konsep mini bar terdapat di pojok ruangan, berhadapan langsung dengan jendela kaca yang menampilkan kemegahan kota Beijing.
Huo Yan yang pertama kali menyadari kehadiran Su Li, menyentuh pundak Ziang Wu di depannya. “Istrimu berkunjung,” bisiknya yang membuat Ziang Wu cepat membalikkan badannya. Dapat ia lihat Su Li yang tersenyum manis padanya. Ziang Wu kemudian beranjak dan meminta Huo Yan untuk melanjutkan pekerjaannya.
Pemuda itu sebenarnya bingung karena tidak biasanya, Su Li menghampirinya sampai ke Divisi Pengembangan. Istrinya itu lebih suka bertemu di kantin ataupun memanggil ke kantornya.
“Ada apa?” tanyanya setelah berada di depan Su Li.
“Ada yang ingin aku diskusikan padamu,” jawab Su Li sambil memperlihatkan map hitam yang ia bawa. Ziang Wu kemudian membawa Su Li menuju pantry di pojok ruangan.
“Jadi? Apa yang bisa aku bantu?” ucap Ziang Wu. Ia mempersilakan Su Li duduk di kursi sedang dirinya meracik es cokelat kesukaan sang Istri.
Su Li membuka map hitam yang tadi ia bawa, mendorongnya ke hadapan Ziang Wu. “Aku menerima laporan ini dari bidang Keuangan. Apakah biaya pemeliharaan sistem memang memakan biaya sebesar itu?”
Sambil mengaduk cokelat, Ziang Wu membaca dokumen yang Su Li maksud. “Sebentar,” ucapnya kemudian berlalu mengambil es batu yang ia masukkan ke dalam gelas kaca. Setelahnya ia memindahkan cokelat dari cangkir ke dalam gelas.
“Saat membuat sebuah sistem, kami juga memperhitungkan biaya pemeliharaan. Tentu saja, kami akan membuat sistem dengan biaya pemeliharaan yang lebih sedikit dengan cara mengoptimalkan sistem dari awal dan melakukan uji coba berkali-kali.”
Ziang Wu sekali lagi melihat beberapa angka yang sudah Su Li tandai. Kemudian menunjuk pada salah satu program. “Ini. Kita sudah menggantinya dengan model baru. Tahun lalu, program ini memang sedikit bermasalah sehingga perusahaan mendapatkan komplain dari customer. Oleh karena itu kami membuat versi yang lebih baik, sehingga versi ini sudah tidak digunakan lagi.”
“Kau yakin?” tanya Su Li. Ia menatap Ziang Wu lurus.
Ziang Wu tersenyum kecil sebelum mengangkat tangannya untuk menghapus noda cokelat dari sudut bibir sang Puan dengan ibu jarinya. “Tentu saja. Kepala proyek pengembangan program ini adalah aku.”
“Mengapa ini masih mereka masukkan di laporan pengeluaran? Apakah ada kesalahan?” lanjut pemuda itu lagi.
Su Li menggeleng. “Tidak mungkin ini kesalahan, karena proyek ini tidak hanya berada di satu laporan ini saja. Kau punya laporan pembaharuan versi?”
Ziang Wu mengangguk mengerti. Walau ia tidak terlalu paham mengenai keuangan, hanya saja ia tahu jika ada yang menyalahgunakan program itu untuk mengalirkan dana keluar dari perusahaan. “Tentu saja. Nanti akan kukirimkan padamu.”
“Baiklah, aku hanya ingin mengkonfirmasi hal ini padamu.” Su Li beranjak dari tempat duduknya. Tetapi langkahnya terhenti saat pergelangan tangannya ditahan oleh Ziang Wu.
“Begini saja?”
Pertanyaan Ziang Wu membuat Su Li mengangkat sebelah alisnya bingung. “Aku sudah selesai. Hal yang ingin aku tanyakan sudah kau jawab. Jadi kau bisa melanjutkan pekerjaanmu.”
“Sepertinya aku tidak bisa makan siang bersamamu, pekerjaan kami memiliki deadline malam ini.”
Su Li mengangguk, ia tahu jika mereka sedang mengejar deadline dengan salah satu klien mereka dari Rusia. Bulan lalu, ia yang meneken kontraknya. “Aku tidak masalah. Jadi apa yang mau sampaikan?” tanya Su Li, karena masih belum mengerti apa korelasi antara makan siang dengan deadline pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh sang Suami.
Wanita itu membulatkan matanya terkejut kala Ziang Wu tiba-tiba menariknya dalam pelukan. “Ziang Wu, ini kantor. Ada anggota timmu,” ucapnya sambil mencoba mendorong tubuh pemuda itu menjauh.
“Mereka sedang keluar. Sebentar saja. Aku sedang mengisi energiku,” ucap Ziang Wu sambil meletakkan kepalanya pada bahu Su Li. Memenuhi rongga paru-parunya dengan aroma favoritnya. Mendengar ucapan sang Suami, Su Li membalas memeluk tubuh tegap itu, menenggelamkan dirinya dalam rengkuhan hangat yang selalu ia cari ketika merasa penat. Ziang Wu benar, ia pun perlu pelukan ini untuk mengisi energi.
Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang mengawasi mereka dari balik pintu.
“Sudah kukatakan padamu, kau akan menyakiti diri sendiri jika terus melemparkan dirimu pada kobaran api. Hentikan obsesimu itu.”
Shen Yue hanya mengabaikan ucapan Huo Yan dan pergi menjauh. Paper bag yang ingin ia berikan pada Ziang Wu berakhir di kotak sampah.
***
Rooftop selalu menjadi opsi Su Li untuk menjernihkan pikirannya. Beberapa kejadian beruntun yang terjadi belakangan ini sedikit menekan kondisi mentalnya. Keberadaan Ziang Wu memang banyak membantunya agar tetap berada di jalur kewarasan. Atap bangunan yang disulap menjadi areal open space dengan keberadaan taman dan juga beberapa kursi tidak buruk jika dijadikan tempat untuk lari sejenak dari tuntutan pekerjaan ataupun setumpuk dokumen yang menunggu untuk diselesaikan.
Area rooftop dibagi menjadi dua bagian, smoking area dan bagian yang tidak diperbolehkan untuk merokok yang dipisahkan oleh tumbuhan perdu yang dipangkas rapi sehingga membentuk seperti dinding.
Su Li berdiri tepat berada di ujung pembatas pagar besi, memejamkan mata, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Senyum tipisnya terbit kala mengingat sekelebat kenangan saat ia meminta Ziang Wu untuk menikah dengannya di tempat ini. Hubungan mereka memang tidak dimulai dengan sesuatu yang manis seperti yang dinamakan cinta.
“Kau lihat bukan? Akhir-akhir ini Nyonya Wu Xia sering datang ke perusahaan.”
Su Li membuka matanya, mencari sumber suara. Karena hanya dirinya yang berada di areal tersebut.
“Setelah menikahi Tuan Su, Nyonya Wu Xia memang tidak pernah ke kantor lagi. Apakah karena masalah yang terjadi kemarin membuat Nyonya Wu Xia kembali ke perusahaan?”
Ternyata, suara itu berasal dari areal smooking room yang berada di sebelahnya. Shu Liam benar, jam makan siang memang waktu yang tepat untuk mengorek informasi apa yang sedang terjadi di perusahaan. Su Li harus berterima kasih dengan kekasih Xiao Lu itu. Ia masih mengingat dengan jelas, bagaimana pasangan itu tertangkap basah berciuman di dalam lift olehnya minggu lalu. Selalu bertengkar tetapi ternyata akhirnya menjalin hubungan. Pembatas benci dan cinta memang benar-benar setipis kertas.
“Bukankah hubungan Nyonya Su Li dengan Nyonya Wu Xia tidak baik?”
Terdengar suara kekehan. “Jika itu kau, apakah bisa menerima jika Ayahmu menikahi saingan cinta ibumu?”
Su Li menahan dirinya untuk tidak bersuara. Saingan cinta? Siapa?
“Jangan berbicara sembarangan.” Terdengar salah satu dari karyawati itu memperingatkan temannya.
“Ah, kau pegawai baru jadi wajar tidak tahu masalah ini. Sini kuberi tahu, hubungan antara Tuan Su dan Nyonya Wu Xia itu sudah menjadi rahasia umum di perusahaan ini. Pernikahan Tuan Su dan Nyonya Su terdahulu itu hanyalah pernikahan politik. Cinta pertama Tuan Su adalah Nyonya Wu Xia. Seperti masalah para konglomerat pada umumnya, hubungan mereka terhalang restu karena Nyonya Wu Xia hanyalah orang biasa.”
Tanpa sadar, Su Li mencengkram kuat pagar besi hingga buku-buku tangannya memutih. Akhirnya ia mengetahui mengapa sang Ayah begitu tega menikah lagi dalam jangka waktu yang begitu dekat saat ibunya meninggal. Apakah sang Ibu tahu fakta ini? Ia semakin merasa bersalah karena meninggalkan ibunya sendirian. Tak terasa bulir bening membasahi pipi seputih kapas itu. Pikirannya kembali penuh dengan beragam spekulasi mengenai hubungan sang Ayah dan Wu Xia sebelumnya.
Suara kedua karyawati itu tidak lagi terdengar, entah karena keduanya sudah pergi atau karena ia tidak bisa mendengar lagi karena kepalanya terdengar lebih berisik. Apa ini juga alasan kenapa sang Ayah murka saat ia melaporkan kematian sang Ibu ke Kepolisian? Apa Ayah tahu pelakunya?
***
Ziang Wu melirik ponselnya berkali-kali. Setelah mengirim pesan bahwa dirinya tidak bisa pulang, ponsel Su Li tidak bisa dihubungi. Tidak bisa dipungkiri ia khawatir, hanya saja tidak mungkin ia meninggalkan timnya saat ini. Pemuda itu kemudian mengingat-ingat, rasanya tidak ada yang salah dari sikap sang Istri. Ia masih menerima pesan saat makan siang.
“Sebentar,” ucap Ziang Wu kemudian beranjak dari kursinya. Ia tidak bisa fokus bekerja jika seperti ini.
“Nyonya Lin, ini saya. Apakah kau bersama Su Li?”
[Maaf Tuan, Nyonya sudah pulang dari sejam yang lalu.]
Ziang Wu memijat kepalanya yang terasa pening. Jika itu sejam yang lalu, berarti Su Li mengirimkan pesan setelah ia berpisah dengan Nona Lin.
“Baiklah, terima kasih, Nona Lin,” ucap Ziang Wu kemudian mematikan panggilan. Tidak ada pilihan lain, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian mencari Su Li kembali. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi pada istrinya.
***
Su Li menatap nanar bangunan di depannya. Ia sebenarnya tidak berniat untuk mendatangi sang Ayah, hanya saja ia perlu memastikan sesuatu. Su Li tidak menyukai segala sesuatu yang mengganjal dan mengganggunya. Prinsipnya, ia lebih memilih terluka oleh sebuah kebenaran daripada hidup nyaman terbalut kebohongan. Tidak ada kebohongan putih baginya, karena dalam semua keputusan pasti memiliki beragam pilihan. Jadi tidak perlu pembenaran dengan cara berbohong demi kebaikan.
Matahari sudah kembali ke peraduan sejak tiga puluh menit yang lalu, tetapi Su Li masih bergeming. Menatap lurus di balik kemudi sedan hitamnya yang ia parkir di seberang kediaman keluarga Su. Sudut kecil hatinya masih belum siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Wanita itu mengumpulkan semua keberaniannya dan keluar. Membawa langkahnya memasuki pekarangan rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Lagi-lagi maniknya berkabut, ia tidak bisa menerima jika kenangan-kenangan indah keluarganya yang harmonis ternyata memiliki sepenggal kisah yang mengerikan.
Ia masih ingat dengan jelas bagaimana harmonisnya hubungan sang Ayah dan ibunya, bahkan ia sempat bermimpi untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis seperti itu. Sampai ia memutuskan untuk pergi ke London saat sekolah menengah, sama sekali ia tidak pernah tahu ataupun dengar perkelahian di antara kedua orang tuanya.
“Nyonya muda, Tuan besar sudah menunggu anda di ruang baca.” Seorang pelayan yang menyambutnya hanya ia berikan senyum tipis. Ia memang sudah menghubungi sang Ayah jika dirinya ingin berkunjung.
“Masuk.”
Samar suara berat sang Ayah terdengar setelah ia mengetuk pintu besar di depannya. Perlahan Su Li mendorong pintu tersebut. Dapat ia lihat Ayahnya yang tersenyum saat menyambutnya.
“Apakah Ayah sibuk?” tanya Su Li. Emosi yang memenuhi dadanya beberapa saat yang lalu, sedikit teredam saat menatap paras sang Ayah. Gurat-gurat kelelahan tercetak jelas di wajah yang mulai menampilkan beberapa kerutan tersebut. Sorot mata yang tajam itu diturunkan untuknya, namun ia dapat menangkap kelembutan dari sorot itu saat ini.
“Tidak. Ayah punya banyak waktu untuk mendengarkanmu.” Tuan Su kemudian mendaratkan bokong pada sofa bludru yang berhadapan dengan perapian. Membuat Su Li mendekat dan juga duduk di sisi lain sofa tersebut.
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Karena akhir-akhir ini aku sering melihat Wu Xia di perusahaan.”
Su Liang diam-diam meremas buku yang ia pegang. Cepat atau lambat, Su Li pasti menyadarinya. Ia hanya berharap agar Su Li tidak salah paham dengan alasan yang akan ia katakan.
“Aku juga mendengar rumor aneh yang beredar. Bahwa Wu Xia yang akan menggantikanku di perusahaan.”
Su Liang menarik napas panjang sebelum menjawab. Temperamen Su Li itu sangat mirip dengannya, ia tidak mau kejadian terakhir kali terulang kembali. Ia saja belum mendapat kesempatan untuk meminta maaf dengan benar.
“Ayah meminta ibumu untuk mengawasimu. Pengalamannya sangat cukup untuk membimbingmu.”
Su Li tersenyum miring. “Siapa yang Ayah sebut sebagai Ibuku?” Dadanya terasa sesak. Dibandingkan dengan kalimat pujian tentang begitu kompetennya Wu Xia, fakta dimana sang Ayah dengan fasih menyebutkan kata ‘Ibumu’ sebagai kata ganti dari Wu Xia, membuat hatinya sakit. Padahal dibandingkan orang lain, ia yakin bahwa Ayahnya yang paling tahu bagaimana besarnya penolakan Su Li kepada istri kedua Ayahnya tersebut.
“Apakah Ayah pernah mengerti perasaanku sedikit saja?” tanya Su Li pelan. Ia telah kehabisan energi. Emosinya yang meledak-ledak seolah lenyap. “Apakah Ayah bersikap seperti ini karena begitu mencintai wanita itu? Apa tidak ada sedikitpun ruang tersisa bagi Ibu bagi Ayah?”
“Kita tidak bisa berhenti dan terus meratapi seseorang yang telah pergi,” ujar Su Liang tanpa menatap sang Putri.
“Tetapi seseorang itu bukanlah orang lain. Seseorang yang Ayah maksud itu adalah Ibuku. Wanita yang mendampingimu selama bertahun-tahun, wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untukmu!”
Tangis Su Li pecah. Kedua maniknya menatap sang Ayah dengan nanar, dadanya kembang kempis meraup oksigen yang seakan menghilang. “Apakah tidak bisa Ayah berpura-pura lebih lama lagi? Setidaknya sampai luka ini sembuh, Yah. Berpura-puralah merasa kehilangan, berpura-puralah begitu mencintai Ibuku. Sampai aku lupa dengan luka akibat ditinggalkan. Sampai aku setidaknya bisa menerima kepergiannya.”
Su Liang hanya diam terpaku menatap perapian yang tidak menyala. Membiarkan sang Putri melampiaskan semua hal yang ia pendam. ia telah mempersiapkan segala jawaban yang akan ia sampaikan jika Su Li bertanya, tetapi semua perkataan itu tidak mampu ia keluarkan. Apalagi saat melihat sorot terluka dari manik serupa dengan mendiang sang Istri itu saat menatapnya. Hanya kata maaf yang dapat terucap.
Su Li benar-benar kehabisan kata-kata. Bukan kata maaf yang ia perlukan saat ini. Ia hanya ingin penjelasan. Namun sang Ayah tidak bersuara lagi setelah menggumamkan kata maaf itu. Membuat Su Li memilih untuk pergi. Ia tidak dapat menjamin apa yang akan keluar dari mulutnya jika ia tetap bertahan di ruangan tersebut.
“Aku benci Ayah,” ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan Su Liang yang masih bergeming
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top