CHAPTER ONE

"I'm done. Bukankah saya bilang berkali-kali jika kita tidak bisa menambahkan biaya produksi? Jika masih belum bisa menentukan berapa target minimum dengan benar, seharusnya kalian tidak mengambil keputusan serampangan begini."

Wanita itu mengentak map di atas meja. Tidak peduli tatapan takut-takut dua pegawai wanita di depannya. "Perbaiki dan serahkan kembali sebelum pukul empat sore ini," ujarnya dingin tanpa mengalihkan pandangan dari layar elektronik yang berpendar lembut di hadapannya. Salah satu dari pegawai itu mengambil benda persegi berwarna hitam itu kemudian pamit undur diri.

"Ternyata rumor yang menyebar itu bukanlah rumor yang tidak berdasar." Salah satu pegawai itu bergidik.

"Kau lihat tadi? Bagaimana ia bisa menyadari penambahan biaya produksi yang kita selipkan?"

"Jabatan Manager Keuangan itu bukan hal yang mudah dicapai. Pastinya karena dia berkemampuan."

"Siapa yang kalian bicarakan?"

Kedua pegawai wanita itu terperanjat.

"Miss Anderson, Miss Robinson. Jika kalian memiliki banyak waktu membicarakan Sally, apakah tidak lebih baik waktu itu digunakan untuk merevisi proposal itu?"

"Baik, maafkan kami, Mr. Smith."

Kedua pegawai tadi kemudian buru-buru kembali ke kubikel mereka. Pria yang dipanggil Smith itu kemudian membawa tungkainya memasuki salah satu ruangan yang terpisah dari kubikel-kubikel berwarna putih tersebut. Sebuah ruangan yang berdesain minimalis dengan dinding kaca. Cukup lama ia berdiri di depan pintu memperhatikan seorang wanita yang sedang fokus dengan pekerjaannya.

Tok ... tok.

Smith menyerah, ia memilih mengetuk pintu dan melenggang masuk karena menunggu wanita itu menyadari keberadaannya itu mustahil. Wajah khas Asia itu menatapnya dengan dahi yang mengernyit.

"Jangan menatapku seperti itu, Sally. Wajah cantikmu nanti akan penuh dengan kerutan."

Wanita itu tersenyum simpul. "Su Li. Ucapkan namaku dengan benar, Direktur," ucapnya kemudian kembali berkutat dengan komputernya. Smith mengambil tempat di sofa krem yang berada di depan sebuah jendela besar. Jika memandang lurus, ujung menara Big Ben dapat terlihat. Berbeda dengan kantor yang ia miliki, kantor gadis berkebangsaan Tiongkok itu lebih terkesan homey dengan perpaduan elemen kayu dan warna krem.

Furniture yang didominasi kayu atau berwarna krem juga terlihat memenuhi ruangan. Ada mini bar kecil dengan beberapa tanaman sukulen menghiasi meja, bersanding dengan kulkas yang tertutup aneka stiker ataupun memo.

"Apakah kau suka memandangi Big Ben seperti ini?"

Su Li memandang lurus arah yang dimaksud oleh Smith. Kemudian menggeleng samar. "Saya tidak memiliki waktu sebanyak anda, Direktur. Jika saya menghabiskan waktu memandangi Bigben itu, maka pekerjaan saya akan menumpuk."

Smith terkekeh. Apa yang diucapkan oleh Su Li memang benar, dikerjakan saja tumpukan berkasnya masih menggunung, apalagi jika tidak dikerjakan. Smith sendiri bergidik melihat tumpukan map warna hitam tersebut.

"Ah, jika anda ingin kopi, saya akan mengatakannya pada Miss Moore."

Smith beranjak. "Tidak perlu, aku hanya mau menyampaikan ini," lelaki itu mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna pastel dari sakunya. "Anne genap tiga tahun hari ini. Jika ada waktu, makan malamlah di rumah kami."

Su Li menerima amplop tersebut dan membacanya dengan seksama, "Apakah Anne masih suka dengan unicorn?" tanyanya setelah cukup melihat kapan waktu acaranya dimulai.

Smith melambaikan jari telunjuknya, "Tidak perlu membawa apapun. Kau cukup hadir saja." Sebelum Su Li berkata lagi, lelaki itu sudah melangkah keluar ruangan. Su Li hanya menggeleng melihat tingkah atasannya tersebut. Ia kemudian mengatur alarm di ponselnya.

"Miss Su Li, ini laporan dari divisi Pengembangan." Sekretarisnya meletakkan beberapa map di atas meja.

"Thanks, Miss Moore." Su Li menerima map tersebut. "Ah, Iya. Apakah kau bisa mencari untukku boneka Unicorn? Anne berulang tahun hari ini. Jadi aku bermaksud ingin membawakannya Unicorn," tanyanya sebelum Ms. Moore keluar dari ruangannya.

"Kapan anda membutuhkannya?"

"Sore ini. Sepulang kerja."

"Baik, Miss. Sebelum pukul lima akan saya antarkan ke ruangan."

Su Li tersenyum lega. Ia tidak mungkin menghadiri acara ulang tahun anak tiga tahun tanpa membawa apapun kan? "Thanks God. Thanks Miss Moore, aku bisa tenang menyelesaikan pekerjaanku sekarang."

Ms. Moore tersenyum hangat, atasan cueknya itu selalu memiliki cara yang hangat dalam menyampaikan perasaannya.

Tepat tiga puluh menit sebelum jam pulang kantor tiba, Ms. Moore kembali mengetuk ruangan Su Li dengan sebuah boneka Unicorn yang dibungkus kotak mika cantik.

"Bagaimana, miss?"

Su Li mengacungkan jempol, sekretarisnya memang selalu bisa diandalkan. "Semoga Anne suka dengan hadiahnya. Thank you, Miss Moore."

"You're welcome, miss. Apakah anda pulang sekarang?"

Su Li mengangguk, ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya untuk hari ini. "Semuanya sudah saya periksa. Kau bisa mengembalikan mereka ke masing-masing divisi. Aku harus pergi sekarang jika ingin tepat waktu."

London sangat mengerikan jika sudah masuk rush hour, Su Li tidak ingin membuat dirinya tenggelam dalam kemacetan di saat suhu mencapai 2 derajat seperti saat ini. Tiga puluh menit lagi matahari akan terbenam, dan dalam dua puluh menit semua kantor akan mengakhiri jam kerjanya. Su Li harus mencuri start. Wanita itu juga berdoa di dalam hati, agar tidak banyak orang yang berpikiran sama dengannya.

Mantel coklat yang membalut sweater putih yang ia kenakan ternyata cukup ampuh menghalau dingin saat dirinya sudah berada di luar gedung dengan tulisan Ubex Corporation berwarna silver di atas pintu masuk. Selang tak lama, taksi yang ia pesan tiba.

"Wait for aunty, Anne. I have a big unicorn for you," gumamnya dalam hati.

***

Musim dingin bagi Su Li adalah sebuah love hate relationship. Wanita itu menyukai winter karena malamnya akan lebih panjang, serta identik dengan holiday. Artinya akan banyak clearance sale serta diskon besar-besaran. Walaupun terkadang niat berbelanja itu akan menguap seperti salju yang mencair di musim semi kala melihat laporan cuaca yang mendekati angka nol bahkan bisa di bawah nol. Su Li sangat sensitif dengan udara dingin.

"Hacho." Gadis itu mengelap ujung hidungnya yang berair, inilah salah satu alasan ia tidak suka dengan musim dingin.

Sambil menghabiskan akhir pekan di dalam apartemen yang hangat, Su Li menghabiskan waktu untuk menamatkan series yang sudah ia tonton berminggu-minggu yang lalu. Secangkir cokelat yang masih mengepulkan uap tipis dengan keberadaan dua buah marshmallow kenyal di dalam cangkir menjadi rekannya malam ini.

Baru saja ia memasrahkan diri di atas sofa empuknya, bel apartemennya berbunyi. Dengan langkah tidak sabar, ia membawa torsonya mendekati pintu. Benar saja, sang kurir yang membawa kotak coklat itu berdiri dengan sabar di depan pintu.

"Hello, Miss Su. Ini paketmu."

"Thank you, Bram." Setelah mengisi tanda terima, ia menerima paketnya.

Tak sabar ia mencari gunting guna membuka paket tersebut. Sepatu cantik itu sudah bersemayam lama di keranjang belanjanya. Hanya saja Su Li menunggu diskon seperti saat ini.

Keningnya berkerut kala kotak coklat itu berhasil dibuka. Tidak ada sepatu coklat incarannya, melainkan hanya sebuah flashdisk. Tidak mungkin Bram salah memberikan paket miliknya. Su Li kembali memeriksa keterangan yang tertempel pada kardus. Benar paket itu memang ditujukan kepadanya. Wanita itu kemudian mencoba mencari hal lain, dan nihil. Kardus itu hanya berisi sebuah flashdisk.

Su Li mencoba menghubungi nomor telepon yang tertera pada paket. Tidak tersambung. Bahkan nomor tersebut tidak terdaftar. Rasa penasaran memenuhi dadanya, ia kemudian membawa flashdisk tersebut ke ruang kerja untuk memeriksa isinya.

Tidak ada hal spesial, flashdisk tersebut hanya berisi satu file dalam format audio berdurasi kurang dari satu menit.

"Selesaikan tugasmu dengan benar. Su Liang bodoh itu sedang lengah sekarang."

Su Li terkesiap, apa maksud dari lelaki itu? Bisa dipastikan bahwa dirinya saat ini sedang mendengarkan percakapan telepon seseorang.

"Kau pikir ia akan tahu bahwa istrinya dibunuh? Lelaki kolot itu hanya peduli dengan hartanya."

Su Li menutup mulutnya, maniknya menjadi perih dan dadanya sakit seperti terhimpit batu. Jarinya sudah tidak ada tenaga untuk menghentikan percakapan itu.

"Bos akan membayarnya lunas. Kau hanya perlu lakukan sesuai rencana. Jangan sampai gagal."

Suara gemericik terdengar sebelum percakapan itu berlanjut. "Kau akan mendapatkan bonus jika bisa membuatnya tersiksa sebelum membunuhnya."

Pertahanan Su Li runtuh, air matanya menganak sungai dengan kedua tangan yang mengepal. Ia berjanji akan mengejar bedebah yang telah membunuh ibunya itu, sampai perlu ke ujung dunia pun akan ia kejar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top