CHAPTER FORTY SEVEN
“Jadi, ada apa Nyonya menghubungiku?”
Su Li dan Nona Lin sedang berada di sebuah kafe yang tidak jauh dari Park Hyatt Tower. Ia sedang menunggu pesan dari Ziang Wu yang sedang bersama Ayah mertuanya. Tadi ia meminta Nona Lin untuk menjemputnya dan mengelabui semua orang. Seakan dirinya mempunyai pekerjaan yang mendesak. Selain karena rencananya dengan Ziang Wu, Su Li juga sampai di batas kesabaran untuk bersama dengan para pembunuh sang Ibu.
Jika saja telepon masuk dari Nona Lin terlambat sedikit saja, bisa dipastikan rencana mereka malam ini gagal karena dirinya tersulut emosi.
“Aku hanya perlu kau mengeluarkanku dari situasi yang mendesak. Terima kasih Nona Lin,” ucap Su Li kemudian menyesap ice Americano miliknya.
“Sudah seharusnya menjadi tugas saya untuk selalu memenuhi panggilan anda, Nyonya.”
Diam-diam Su Li meneliti ekspresi wajah dari gadis yang berada di hadapannya saat ini. Ia sedang menimbang apakah memutuskan untuk mempercayai Nona Lin atau tidak. Sejauh ini ia belum menemukan sesuatu yang mencurigakan terkait sekretarisnya tersebut.
Su Li mengembuskan napas panjang, hidup dengan penuh kecurigaan terasa sangat melelahkan. Secara tidak sadar, ia selalu menilai semua orang yang berada di sekelilingnya. Mungkin itu adalah efek dari kejadian beruntun yang menimpanya selama dua tahun belakangan ini.
[Ziang Wu 20.15 : Misi resmi dimulai.]
Su Li tersenyum tipis saat sebuah notifikasi pesan masuk dari Ziang Wu.
“Bisakah kau mengantarku ke suatu tempat, Nona Lin?” tanya Su Li.
Nona Lin mengangguk. Sesuatu yang dapat ia tangkap, bahwa atasannya tersebut sedang menunggu kabar dari seseorang untuk bergerak. Walau penasaran, ia tidak berani untuk bertanya. Ia hanya
“Kau tidak perlu menemaniku, besok kita bertemu di kantor seperti biasa,” ucap Su Li sebelum keluar dari mobil.
Wanita itu kemudian melenggang masuk ke tempat yang sebelumnya sudah Ziang wu katakan padanya.
“Besok aku akan pulang bersama ayah, kau tunggu saja di Mr. Thompson Library. Setelah mendapatkan kesempatan yang bagus, aku akan menjemputmu.”
Sebuah nama yang diukir pada sebuah kayu di atas pintu masuk membuat Su Li berhenti sejenak untuk memastikan bahwa tempat yang ia tuju sudah benar. Saat Ziang Wu memberitahukan dirinya mengenai tempat ini, Su Li kira tempat itu adalah sebuah perpustakaan.
Ketika pintu kaca itu ia dorong, Su Li merasakan seperti masuk ke dimensi lain. Interior ruangan terlihat sangat kontras dengan eksteriornya. Beberapa rak buku memenuhi beberapa titik pada bangunan yang merupakan kafe tersebut. Selain tampilan kafe buku seperti biasanya, di bagian sebelah kanan pintu masuk terdapat beberapa ruangan yang tersekat oleh dinding setinggi satu meter, cukup untuk memberikan privasi bagi pengunjung di dalamnya.
Bagi Su Li, ini adalah surga. Beragam jenis bacaan mereka sediakan, bahkan tidak hanya dalam bahasa Mandarin, bahasa lain seperti bahasa Inggris juga tersedia. Dalam hati ia memuji Ziang Wu yang telah menyediakan tempat yang pas untuknya menunggu.
***
“Ibumu juga seseorang yang cerewet dan keras kepala, sama seperti Su Li. Mungkin sifat alami para wanita seperti itu.”
Ziang Wu terkekeh, apa yang dikatakan Ayahnya menurutnya benar. Karena hampir semua wanita yang ia temui,memiliki kedua sifat itu.
“Di dalam rumah tangga, bertengkar itu tidak salah. Berselisih pendapat itu hal yang normal. Hanya saja, harus dijaga intensitas dan juga skala bertengkarnya. Jangan sampai berujung dengan sesuatu yang kau sesali.” Ziang Chen menatap sendu potret istrinya yang tergantung di atas televisi. Tidak dapat dipungkiri, ada sekelebat kerinduan yang muncul.
“Apa Ayah pernah menyesal karena telah menikahi Ibu?”
Ziang Chen tersenyum tipis kemudian menggeleng. “Ayah tidak pernah menyesal karena Ibumu benar-benar seorang Istri yang baik.”
Kalimat pujian itu seharusnya terdengar romantis, hanya saja Ziang Wu diam-diam tersenyum getir. Sepertinya sang Ayah bertekad untuk tidak memberitahukan keadaan yang sebenarnya.
“Ayah, aku ingin menanyakan sesuatu.”
Pria paruh baya itu menatap lurus sang putra, menantikan kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh Ziang Wu.
“Apa yang harus aku lakukan, jika suatu saat Su Li mengkhianatiku?”
Ziang Wu dapat menangkap keterkejutan dari sang Ayah, walau secepat kilat pria paruh baya itu mengubah ekspresinya.
“Mengkhianati dalam hal apa?”
“Seperti berhubungan dengan lelaki lain.”
Ziang Chen terkekeh. Pria paruh baya itu kemudian meneguk satu sloki arak buah yang tadi ia keluarkan sebagai teman perbincangan dirinya dan sang Putra.
“Jika kau sangat mencintainya, kau akan menerima semuanya. Termasuk pengkhianatan,” ucapnya kemudian mengisi kembali slokinya. Tak hanya satu, Ziang Chen juga memberikan satu sloki yang lain kepada Ziang Wu.
“Sudah lama kita tidak minum berdua seperti ini,” ujarnya kemudian mengajak Ziang Wu untuk menyatukan sloki mereka.
Tidak ada perbincangan lagi di antara keduanya. Kedua pria itu sibuk dengan pikiran masing. Ziang Wu sebenarnya masih penasaran walau dominan merasa takut akan kenyataan yang akan ia dengar kala mengorek luka itu semakin dalam.
Namun ia juga tidak bisa hanya diam saja. Ia tidak mungkin bisa menerima jika sebenarnya ia dan Su Li itu bersaudara. Hal konyol yang bahkan tidak berani ia bayangkan.
“Ibumu dulu pernah mengkhianati Ayah.”
Ucapan sang Ayah sontak membuat Ziang Wu mengangkat wajahnya. Pipinya yang memerah dengan tatapan yang tak lagi fokus cukup membuktikan bahwa Ayahnya telah mabuk. Namun Ziang Wu memilih untuk diam dan memanfaatkan kesempatan ini.
“Ayah bukanlah cinta pertama ibumu. Meski kami menikah, itu semua adalah rasa balas budi. Ibumu jatuh cinta dengannya. Saat itu Ayah tidak tahu. Sampai ketika Ayah melihat Ibumu tidur dengan pria brengsek itu.”
Tatapan Ziang Chen berubah menjadi kalut. Terpancar jelas rasa benci dan juga gelegak amarah. Namun Ziang Wu menyadari bahwa di balik tatapan itu terdapat sebuah luka yang menganga.
“Jika saja malam itu kami tidak bertengkar. Jika saja malam itu Ayah tidak memaki Ibumu. Mungkin … mungkin saja ibumu masih ada di sini.”
Tangisan Ziang Chen pecah. Sedang Ziang Wu hanya menatap sang Ayah kosong. Ia kira karena sudah mengetahuinya, maka dirinya tidak akan terguncang. Ternyata semuanya tetaplah sama. Rentetan kata-kata itu masih memiliki efek yang sama untuknya. Dadanya seperti terhantam benda tumpul yang membuat sesak dan nyeri. Isak tangis itu tidak mampu membuat dirinya merasa iba.
Pemuda itu memilih meneguk arak buah dalam slokinya dalam diam. Sang Ayah sudah tertelungkup di atas meja. Toleransi alkohol sang Ayah sangat buruk, tetapi entah mengapa jika sudah mengobrol dengannya, Ayahnya pasti selalu membawa minuman beralkohol itu.
Dengan sedikit kesusahan, ia berhasil memindahkan sang Ayah ke dalam kamar. Ziang Wu kemudian menghubungi Su Li.
“Bisakah kau kemari dengan taksi? Tadi aku minum sedikit dengan Ayah.”
[Lalu Ayah?]
“Tertidur. Sepertinya kita tidak bisa menangkap mereka malam ini.” Ziang Wu mendudukan dirinya di atas sofa. Kepalanya sedikit berdenyut. ‘
[Kalau begitu aku pulang ke rumah saja.]
“Aku membutuhkanmu, bisakah kau kemari?” Ziang Wu tidak mengada-ada. Ia membutuhkan Su Li saat ini, rasanya ia akan meledak jika menyimpannya sendiri. Terdengar helaan napas di seberang telepon.
[Baiklah. Aku akan sampai dalam sepuluh menit.]
Su Li menekan bel selama beberapa kali tetapi pintu cokelat itu tak kunjung terbuka. Ziang Wu juga tidak mengangkat teleponnya, membuat dirinya khawatir. Ia kemudian mencoba menghubungi Suaminya itu sekali lagi.
Pintu itu terbuka, Ziang Wu dengan wajah kusut menyambutnya. “Aku tertidur tadi. Apakah sudah lama?” tanyanya sambil menarik Su Li untuk masuk. Ia dapat melihat wajah kesal Su Li. Musim sudah memasuki musim gugur, sehingga angin malam cukup untuk membuat gigi menggemeretak.
Rasa kesal Su Li seketika luruh saat tangan hangat Ziang Wu menempel pada pipinya yang dingin. “Pipimu sangat dingin,” lirih Ziang Wu. Kemudian ia menarik tubuh mungil sang Istri dalam pelukan. Aroma arak samar tercium dari Ziang Wu, membuat Su Li sedikit mendorong sang Suami.
“Seberapa banyak kau minum?” tanyanya.
“Tiga? Dua? Aku lupa,” jawab Ziang Wu sambil kembali memangkas jarak di antara mereka. “Aku mengantuk,” ucapnya lagi.
Tanpa berniat menjawab ucapan sang Suami, Su Li kemudian melepaskan diri dari pelukan Ziang Wu kemudian membawanya menuju kamar. Suaminya itu mendadak menjadi balita jika dalam keadaan mabuk.
***
Su Li terbangun saat merasa tenggorokannya sangat kering. Gelas air minum yang ia siapkan tadi telah kosong. Dengan langkah malas ia bangkit berdiri. Ia tidak akan bisa tidur jika dalam keadaan seperti saat ini. Perlahan ia menepuk pundak Ziang Wu untuk mengantarnya. Hanya saja pemuda itu benar-benar sudah terlelap.
Wanita itu kemudian memilih untuk meraih gawainya yang berada di atas nakas. Memberanikan diri untuk turun menuju lantai satu sendirian. Rumah Ziang Wu memang tidak besar, tetapi keberadaan beberapa ruangan dengan lorong membuat kesan horor untuknya. Apalagi semua lampu padam, Su Li menjadi ketakutan sendiri.
Su Li berlari kembali ke kamar saat mendengar suara aneh yang berada di lantai satu. Menghambur ke atas tempat tidur yang membuat Ziang Wu terkejut.
“Astaga, Su Li. Ada apa?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
“Ada suara aneh di bawah. Aku ingin ke dapur,” ucap Su Li. Ia memang tidak bisa langsung akrab dengan suatu tempat yang baru. Wajah ketakutan Su Li berhasil mengusir kantuk Ziang Wu. Pemuda itu terkekeh sampai membuat Su Li merengut kesal.
“Sini ke bawah sama aku. Tidak ada hantu di rumahku,” ucap Ziang Wu kemudian bangkit berdiri. “Ayo,” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangan.
Su Li menyambut uluran tangan Ziang Wu. Jika tidak karena rasa haus yang menyiksanya sejak tadi, ia tidak akan mau turun ke bawah sana. Namun tinggal sendiri di kamar juga bukan pilihan yang bijak.
Pasangan suami istri itu kemudian melangkah bersama. Terdengar suara jeritan tertahan wanita yang membuat Su Li mengeratkan pegangannya dengan lengan Ziang Wu. “Aku tidak bohong bukan?” bisiknya.
“Itu bukan suara hantu,” ucap Ziang Wu yang juga berbisik. “Itu mirip suaramu jika berada di bawahku,” ucapnya lagi yang dihadiahi cubitan dari Su Li.
“Jangan bercanda.” Su Li menatap Ziang Wu galak.
“Aku serius. Coba kau lihat sepertinya rencana kita berjalan dengan mulus malam ini,” ucap Ziang Wu sambil menunjuk ke arah sofa ruang tamu. Su Li reflek mengikuti arah yang ditunjuk oleh suaminya tersebut.
Di bawah temaram lampu ruang tamu, terlihat ada sepasang manusia yang sedang bergulat panas mengejar kenikmatan dunia. Wu Xia yang sudah tidak menggunakan sehelai kain pun terlihat sangat kepayahan menerima gempuran brutal Ziang Chen. Pukulan yang ia terima berkali-kali di bokongnya membuat Wu Xia menjerit tertahan.
“Jangan terlalu berisik, Sayang. Ziang Wu bisa terbangun,” ucap Ziang Chen yang hanya dijawab Wu Xia dengan anggukan.
Su Li berbalik tidak tahan melihat adegan yang membuatnya mual. Sedang Ziang Wu mengambil beberapa gambar menggunakan ponsel yang Su Li bawa. Setelah selesai ia membawa Su Li kembali ke kamarnya.
“Melihatnya secara langsung membuatku hampir muntah,” komentar Su Li saat keduanya sudah sampai di dalam kamar. ia kemudian menatap lurus Ziang Wu yang masih sibuk dengan ponsel yang berada di genggamannya.
“Kau tidak apa-apa?”
Pertanyaan Su Li membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. “Mengapa? Seharusnya yang merasa kesal itu dirimu,” jawabnya.
Wanita itu berjalan menuju tempat tidur. Rasa hausnya sudah hilang sama sekali. “Aku tidak kesal. Sebaliknya, aku berterima kasih sehingga aku memiliki alasan untuk melepaskan Ayahku dari jeratan nenek sihir itu.”
Ziang Wu tersenyum tipis sambil berjalan menyusul sang Istri. Mengambil kesempatan memeluk pinggang ramping Su Li. Namun rasa antusiasnya mendadak hilang saat merasakan sesuatu yang mengganjal di bokong Istrinya.
“Selamat tidur, Sayang,” ucap Su Li sambil tersenyum tipis. Sedang Ziang Wu hanya bisa pasrah sambil bangkit berdiri.
“Mau kemana? Tidak jadi tidur?” goda Su Li.
“Tidur saja lebih dulu. Tidak perlu menungguku,” ucap Ziang Wu sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top