CHAPTER FORTY ONE
“Ada rumor yang mengatakan bahwa Nyonya Wu Xia membunuh Nyonya Su terdahulu untuk menjadi pemilik perusahaan.”
Xiao Lu menepuk pundak kekasihnya. “Jangan katakan yang tidak-tidak,” ucapnya kemudian menyuapi Shu Liam dengan irisan chicken katsu miliknya.
“Aku hanya menyampaikan apa yang aku dengar,” ucap gadis itu lagi setelah menelan makanannya.
Su Li hanya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang walau isi kepalanya sudah mulai berisik saling berebut menyimpulkan. Wu Xia memang pernah menjadi tersangka utama di kepalanya, tetapi ia tidak pernah punya bukti yang cukup untuk membuktikan hipotesisnya tersebut.
“Rumor hanyalah rumor. Kita tidak bisa menarik kesimpulan dari sesuatu yang tidak pasti kebenarannya,” ucap Su Li kemudian memulai sesi makan siangnya. “Tetapi, Shu. Siapa yang pertama kali menyebarkan rumor ini?”
“Siapa yang memulainya saya tidak tahu. Tetapi saya mendengar dari teman saya dari Divisi Pemasaran.”
Su Li mengangguk mengerti. Wu Xia memang memanipulasi keuangan perusahaan, ia sedang mengumpulkan semua buktinya. Hanya saja, jika dikaitkan dengan kasus pembunuhan sang Ibu, rasanya terlalu mengada-ada. Melihat bagaimana sang Ayah begitu mencintai wanita itu, bahkan sampai menikahinya, membuat Su Li belum bisa mengerti atas dasar apa rumor itu tersebar. Jika sang Ibu yang membunuh Wu Xia, karena sudah merusak rumah tangganya, baru itu yang terdengar masuk akal,
“Nyonya Su.”
Panggilan Nona Lin menyadarkan Su Li dari lamunannya. “Ada apa?” tanyanya kemudian.
“Ada panggilan masuk ke ponsel anda,” ucap Nona Lin sambil menunjuk ponsel Su Li di atas meja.
Karena terlalu larut dengan pemikirannya, Su Li jadi tidak menyadari ponselnya yang bergetar. Senyumnya terkembang kala melihat nama pemanggil. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya. Menepi mencari tempat yang tenang.
Senyum lebar Ziang Wu terlihat di layar setelah Su Li menggeser ikon hijau di layar.
[Kau sudah makan siang?]
Su Li mengangguk. Melihat beberapa pesawat yang menjadi latar belakang Ziang Wu, membuatnya tahu bahwa Ziang Wu sudah sampai di Jenewa, Swiss.
“Aku sedang makan siang ketika kau menelepon. Kau sudah makan malam?”
[Kami baru saja selesai makan malam. Penerbangan selanjutnya pukul tujuh malam ini.]
Ziang Wu sedang melakukan perjalanan dinas ke Hamburg, Jerman selama satu minggu. Ada pertemuan para programmer seluruh benua. Sebenarnya ia masih sanksi untuk meninggalkan Su Li sendiri. Walau sang Istri sudah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi rasa khawatirnya tidak bisa ia tutupi. [Jangan lembur. Pulanglah tepat waktu. Kalau kau merasa kesepian, bisa hubungi aku kapan pun.]
“Bagaimana jika aku memintamu untuk pulang?”
[Aku akan pulang.]
Su Li terkekeh. Kemana perginya Ziang Wu yang kaku? Suaminya menjadi sangat cerewet sekarang. Bahkan ia harus memaksanya untuk tetap berangkat kemarin karena Ziang Wu berencana untuk membatalkan perjalanan dinasnya.
“Jangan bicara omong kosong. Aku harus segera kembali. Karena setelah ini ada meeting di luar.”
[Aku serius, Su Li.]
“Iya, aku tahu. Hati-hati selama perjalanan. Pulanglah tepat waktu.” Su Li kemudian mematikan panggilannya sepihak. Ia merasa harus segera mengakhiri obrolan mereka, jika tidak ia akan menyusul Ziang Wu sekarang. Karena ia sudah merindukan suaminya.
***
Su Li benar-benar mematuhi ucapan sang Suami. Ia pulang tepat waktu dan tidak membawa pekerjaan ke rumah seperti biasanya. Segera membersihkan diri dan memanaskan lauk yang Ziang Wu siapkan untuknya.
“Tidak perlu seperti ini. Aku bisa memasak.” Su Li mengikuti langkah Ziang Wu yang mendorong troli menuju rak yang penuh dengan sayuran.
“Aku tidak bisa membiarkanmu memakan mie instan seminggu penuh. Setidaknya harus ada lauk di kulkas jadi kau tinggal memanaskannya saja.”
Kemampuan memasaknya memang tidak sehebat Ziang Wu, hanya saja ia merasa menjadi Istri yang tidak berguna jika seperti ini. Sekedar memasak untuk dirinya sendiri, Su Li tidak merasa kesusahan.
“Lagi pula banyak restoran jika aku malas memasak.”
Ziang Wu berhenti dari aktivitasnya memilih kentang. Pemuda itu menatap Su Li yang juga sedang menatapnya. “Sayang, dengarkan aku. Seribu Yuan yang kau habiskan setiap kali makan di restoran, itu bisa membeli bahan-bahan makanan selama seminggu di rumah.”
Su Li hanya bisa diam, dalam kondisi tertentu ia dapat merasakan dominasi sang Suami. Ziang Wu memiliki cara tersendiri untuk membuatnya menurut.
“Lagipula, jangan biasakan untuk menolak perhatian yang aku berikan untukmu. Belajarlah untuk menerimanya.”
Su Li tidak pernah gagal untuk tidak tersenyum setiap mengingat perhatian-perhatian yang diberikan Ziang Wu padanya. Selesai dengan urusan makan malamnya, Su Li kemudian menuju ruang kerja. Perkataan Shu Liam benar-benar mengganggunya. Seharian ia berusaha untuk mengenyahkan pemikiran tersebut.
Su Li mulai menulis satu persatu kemungkinan alasan Wu Xia untuk membunuh sang Ibu. Jika alasannya adalah kekayaan, Su Li yakin bahwa Wu Xia tidak kekurangan harta. Aset yang dimiliki wanita itu cukup untuk mematahkan hipotesis yang pertama. Su Li masih mengingatnya dengan jelas, berapa total kekayaan yang Wu Xia punya sebelum menikah dengan Ayahnya. Ia benar-benar merasa buntu.
Bel berbunyi saat ia sedang menyeduh cokelat panasnya. Su Li kemudian membawa langkahnya ke pintu depan. Wajahnya berubah menjadi dingin kala menemukan sang Ayah setelah ia membuka pintu.
“Ayah ingin berbicara.”
Sedari dirinya kecil, Su Li sudah diajarkan untuk tidak pernah melarikan diri dari segala macam masalah. Mengambil waktu sejenak sebelum menghadapi suatu masalah sudah menjadi kebiasaannya. Su Liang mengenal tabiat sang Putri, sehingga ia baru menemui Su Li ketika ia merasa bahwa sang Putri sudah tenang.
Wanita itu kemudian membuka pintu cokelat itu sedikit lebar kemudian berbalik masuk. Tanpa bersuara hanya membiarkan pintu terbuka kemudian mengeyakkan bokongnya di sofa. Su Liang mengerti dengan sikap Putrinya, sehingga tanpa bersuara ia masuk dan menyusul Su Li di ruang tamu.
“Ayah ingin menjelaskan semuanya padamu,” ucapnya sambil menatap Su Li yang masih saja tidak mau melihat ke arahnya. Walau tidak menjawab, Su Liang tahu bahwa putrinya tersebut mendengar apa yang akan ia ucapkan.
“Ayah mencintai ibumu. Ayah juga hancur saat Ibumu meninggal.”
Suara yang bergetar membuat Su Li menatap wajah sang Ayah. Tatapan sang Ayah terlihat menerawang. “Ayah bahkan sempat menuntut rumah sakit di mana Ibumu dirawat.”
Su Li termangu, ia mengingat kembali percakapan dua orang suster yang tidak sengaja ia dengar di rumah sakit saat itu. Jadi benar bahwa Ayahnya lah yang menyebabkan dokter itu diberhentikan. Wanita itu berusaha mendeteksi kebohongan dari pancaran mata sang Ayah, tetapi ia gagal.
“Alasan Ayah menikahi Wu Xia adalah demi menyelamatkan perusahaan. Benar bahwa kami memiliki hubungan masa lalu. Namun, setelah menikahi Ibumu, Ayah sama sekali tidak pernah bermain api dengan Wu Xia. Bahkan Wu Xia yang meninggalkan Ayah dan menikahi orang lain.”
Bagi Su Liang, perusahaan memang prioritas utamanya melebihi apapun. Karena dapat membuat Liang Tech menjadi seperti sekarang, ia telah berkorban banyak hal. Sehingga Su Li tidak heran jika sang Ayah mengambil keputusan yang ekstrim untuk menyelamatkan perusahaan. Bagaimana Su Liang menyebutkan nama Wu Xia alih-alih kembali menyebutnya ‘Ibumu’ membuat Su Li sedikit melunak.
“Di saat Liang Tech berada di titik terbawah, Wu Xia hadir untuk membantu. Karena itulah ia bisa bekerja sebagai Asisten Ayah bersama Ziang Chen. Atas dasar kemampuannya itulah, Ayah mempercayakan Wu Xia untuk membantumu di perusahaan.”
Su Li hanya bisa diam. Apa yang dikatakan Ayahnya memang sama persis seperti informasi yang selama ini ia kumpulkan. “Apakah Ibu tahu hubungan antara Ayah dan Wu Xia?”
Su Liang mengangguk. “Ayah tidak pernah menyembunyikan apapun dari Ibumu.”
“Apa alasan Ayah melarang Ibu berpartisipasi dengan perusahaan? Kemudian apa yang membuat Ayah berubah pikiran? Ayah mengizinkan Ibu untuk mengikuti kegiatan perusahaan.” Su Li akhirnya bisa menanyakan pertanyaan yang selama ini ia pendam.
“Ibumu dan Wu Xia tidak pernah akur. Karena Ibumu yang tidak memiliki latar menurus bisnis dan perusahaan, membuat dirinya selalu merasa rendah jika sudah bertemu dengan Wu Xia. Ayah tidak mau melihat Ibumu direndahkan oleh siapapun. Sehingga Ayah tidak mengizinkan Ibumu untuk ke perusahaan. Semata untuk mencegah agar Ibumu tidak perlu merasa rendah diri.”
Su Liang mengambil napas dan mengembuskannya perlahan sebelum melanjutkan, “Mengenai kegiatan itu, Ayah tidak pernah tahu.”
Su Li menatap sang Ayah dengan tatapan sangsi. “Bukankah kata Bibi Lim Ayah sampai memberhentikan paman Liu karena tidak mau mengantarkan Ibu ke perusahaan untuk mengikuti kegiatan itu?”
Su Liang terkejut. “Ayah tidak tahu, apa saja yang sudah dikatakan orang lain terkait bagaimana Ayah memperlakukan Ibumu. Namun, Ayah berani bersumpah tidak pernah memperlakukan Ibumu dengan jahat. Ayah sangat mencintainya. Seperti dirimu, ketika Ibumu meninggal, Ayah merasa dunia Ayah menghilang, hanya kau satu-satunya alasan Ayah bisa bertahan hingga saat ini.”
Su Li mendadak merasa pusing. Perkataan sang Ayah dan bibi Lim tumpang tindih di kepalanya. Ia merasa kehilangan semua orang yang dapat ia percayai. Apa yang disampaikan oleh Ayahnya malam ini bukan menjadi titik terang melainkan semakin menyeretnya ke dalam kebingungan.
“Siapa yang harus aku percayai?”
***
Nona Lin membawakan mangkuk yang berisi air hangat dan sebuah handuk yang Su Li minta. Bagaimana tampilan Su Li pagi ini membuatnya sedikit terkejut. Atasannya yang selalu rapi itu terlihat sedikit berantakan dengan kantung mata yang terpampang nyata. Nona Lin tahu, Su Li adalah wanita pekerja keras, bahkan sampai mengorbankan waktunya untuk beristirahat. Namun baru kali ini ia melihat bagaimana Su Li terlihat sangat lelah.
“Nyonya, saya membawakan air hangat dan juga kompresan.”
Su Li membuka matanya. Sejak Ayahnya pulang, ia tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. Pikirannya terlalu berisik dengan berjuta argumen yang tumpang tindih. Untung saja ia tidak memiliki agenda penting hari ini sehingga dirinya bisa mencuri-curi waktu untuk beristirahat.
“Terima kasih, Nona Lin,” ucapnya kemudian kembali terpejam. Nona Lin membantunya untuk memposisikan kompres mata itu dengan benar.
“Saya sudah mengatur semua dokumen yang harus anda selesaikan hari ini. Juga ada beberapa email dan surat yang harus anda balas.”
Su Li mengangguk mengerti, “Aku akan mencoba untuk tidur tiga puluh menit ini. Semuanya akan aku kerjakan setelah beristirahat.”
“Baik, Nyonya.” Nona Lin pun pamit dan meninggalkan Su Li sendiri untuk beristirahat.
Saat Nona lin keluar, ternyata ada office boy yang bertugas sebagai pengantar dokumen ataupun surat ke setiap divisi di depan mejanya.
“Apakah Nyonya Su ada?” tanyanya saat melihat Nona Lin yang mendekat.
“Beliau sedang beristirahat. Ada apa?” tanya Nyonya Lin sambil memperhatikan pemuda tersebut.
“Saya ingin mengantar paket milik Nyonya Su.” Pemuda itu menyodorkan sebuah amplop cokelat kepada Nona Lin.
“Nanti akan saya sampaikan.”
Pemuda itu kemudian menyerahkan amplop cokelat dan sebuah tanda terima yang ditanda tangani oleh Nona Lin. Setelah serah terima paket itu selesai, Nona Lin kembali melanjutkan pekerjaannya.
Nona Lin menghentikan pekerjaannya saat interkomnya berbunyi. Su Li memanggilnya. Wanita itu kemudian mengambil amplop cokelat yang tadi diberikan oleh office boy.
“Anda memanggil saya, Nyonya?”
Su Li mengangguk. Ia kemudian memberikan map berkas yang sudah selesai ia periksa dan tanda tangani. “Aku tidak bisa tidur, jadi aku selesaikan ini semua,” ucapnya sambil menepuk map teratas.
Kelakuan Su Li mampu membuat Nona Lin hanya menggeleng tidak percaya. Ia berkali-kali menolak tamu yang datang karena mengira bosnya itu sedang beristirahat, tetapi ternyata bosnya itu sedang bekerja.
“Tadi ada direktur Tao dari Divisi Pemasaran dan juga Ketua Tim Yuan dari Divisi Personalia ingin bertemu anda. Hanya saja saya menolaknya karena mengira anda sedang beristirahat.”
Su Li tersenyum. “Tidak apa. Kau bisa memanggil mereka sekarang.”
“Baik, Nyonya,” ucap Nona Lin. Namun sebelumnya ia memberikan amplop cokelat yang tadi ia terima. “Ini ada paket untuk anda,” ucapnya kemudian pamit keluar ruangan.
Su Li hanya melirik sekilas paket yang dimaksud oleh Nona Lin. Wanita itu bermaksud untuk membukanya nanti ketika selesai membalas email dari beberapa kolega Liang Tech.
***
Bulan purnama terlihat bulat sempurna di langit malam kota Beijing. Su Li meregangkan tubuhnya. Niat awalnya untuk pulang cepat terhambat oleh undangan rapat daring mendadak yang harus ia ikuti. Ia melirik jam digital di pojok meja. Waktu menunjukkan pukul sepuluh, kemudian ia melihat ponselnya. Tidak ada pesan maupun panggilan dari sang Suami. Pertemuan itu benar-benar menyita waktu sang Suami. Belum lagi perbedaan waktu yang membuat mereka tidak bisa berhubungan dengan benar.
Bola matanya kemudian tertumbuk pada amplop cokelat yang ia ingat diberikan oleh Nona Lin tadi pagi. Dahinya mengernyit kala tidak menemukan nama pengirim. Tiba-tiba jantungnya berpacu dengan cepat. Sudah sangat lama dari jeda ia mendapatkan paket misterius seperti itu. Dengan tidak sabaran Su Li membuka paket tersebut.
Amplop itu ternyata berisi dua lembar foto, satu buah flashdisk dan juga sepucuk surat. Surat yang tidak ada di paket-paket sebelumnya.
[Selamat atas pernikahanmu. Maaf jika kado dariku terlambat. Semoga kau menyukainya.]
Su Li kemudian mengambil foto yang terjatuh dalam posisi terbalik tersebut. Tubuhnya mematung kala melihat foto yang memperlihatkan sepasang manusia yang sedang bercumbu. Wajahnya memucat dengan tangan yang terkepal.
“Ziang Chen, Wu Xia. Dasar bajingan,” umpatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top