CHAPTER FORTY EIGHT

Langit Beijing masih gelap dengan sedikit kabut tipis. Sebagian besar penghuni kompleks apartemen itu pun masih terlelap. Tidak ada pergerakan selain dua bayangan hitam yang terlihat mengendap-endap keluar dari salah satu gedung. Dua bayangan itu kemudian menyelinap memasuki sebuah mobil.

“Untung saja mereka masih memiliki akal sehat untuk tidur di dalam kamar,” ucap Su Li setelah keduanya berhasil masuk ke dalam mobil. Napasnya naik turun, tak jauh berbeda dengan Ziang Wu.

“Kenapa kita harus sembunyi-sembunyi?”

Ziang Wu terkejut kala Su Li membangunkan dirinya, padahal ia baru saja terlelap. Terlebih lagi, sang Istri mengajaknya bergerak dengan mengendap-endap seperti pencuri.

“Ayahmu tidak tahu kalau aku datang. Bukankah kau mengatakan bahwa kita bertengkar?”

Pemuda itu mengangguk setuju dengan alasan masuk akal Su Li. “Apakah Wu Xia juga melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan?”

Su Li mengangkat bahunya. Ia tidak mau ambil pusing, tujuannya hanyalah untuk mendapatkan bukti. Karena saat acara makan malam, mereka sama sekali tidak bisa mendapatkan bukti perselingkuhan antara Ayah mertua dengan ibu tirinya tersebut. Ziang Chen dan Wu Xia terlampau pintar bermain peran. Tak heran bahwa dirinya dahulu sempat terkecoh, ia baru menyadari bahwa kemampuan keduanya untuk berpura-pura sudah selevel dengan para aktor dan aktris penerima penghargaan piala Oscar yang bergengsi.

“Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari bukti kecurangan mereka di perusahaan. Terima kasih sudah mau membantuku hingga sampai di titik ini.”

 Su Li menoleh menatap sang Suami karena tidak terdengar ucapan apapun dari pemuda itu. Ziang Wu bergeming.

“Ziang Wu?” panggil Su Li sambil menggerakkan lengan pemuda itu.

Alih-alih menjawab panggilan Su Li, pemuda itu malah melontarkan pertanyaan lain. “Bagaimana seandainya jika kita bersaudara?”

“Hah?”

Su Li tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Suaminya tersebut. Ia menelisik wajah tampan yang sedang menatapnya lurus berharap menemukan gurat jenaka, tetapi tidak dapat ia temukan sama sekali celah bahwa Ziang Wu sedang bercanda.

“Kita bersaudara? Aku dan kau?” ulang Su Li memastikan.

Ziang Wu mengangguk, membuat Su Li tertawa terbahak-bahak. Menurutnya lelucon Ziang Wu sangat lucu. “Bagaimana bisa? Semuanya tidak masuk akal, Ziang Wu,”ucap Su Li di akhir tawanya.

 Pemuda itu kemudian memutar badannya hingga menghadap Su Li. “Aku serius. Dengarkan aku,” ucapnya. Kemudian Ziang Wu mulai menceritakan dari waktu ia mendengar percakapan Ziang Chen hingga saat ayahnya itu mengaku padanya. Semuanya lengkap, tanpa ia kurangi sedikit pun. Su Li juga mendengarkan tanpa berniat untuk memotong ucapan Ziang Wu.

“Jadi, kau bilang bahwa ada kemungkinan besar kita bersaudara? Berdasarkan ceritamu, alasan paman Ziang membunuh Ibu karena dendam dengan Ayah yang sudah berselingkuh dengan Ibumu? Ini yang membuatmu menangis tersedu kemarin malam?” Semenjak ia tahu bahwa dalang pembunuhan sang Ibu adalah Ziang Chen, Su Li tidak pernah memanggilnya Ayah. Kecuali di saat pertemuan formal. Wanita itu lebih sering menghindar jika ditempatkan bersama Ziang Chen di setiap kesempatan.

Ziang Wu mengangguk menjawab pertanyaan beruntut dari Su Li. Kesimpulan yang disampaikan Su Li sama persis dengan apa yang ia pikirkan selama ini.

“Kau sudah bertanya dengan Ayah?” Dapat Su Li lihat bahwa Ziang Wu menggeleng.

“Aku tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk bertanya. Untuk menceritakannya padamu saja aku memupuk keberanian sedikit demi sedikit.”

Su Li paham, jika itu adalah dirinya, wanita itu yakin bahwa ia akan bersikap hal yang sama. Bahkan mungkin ia akan menyembunyikannya dari semua orang. Hanya saja, ia tidak bisa mempercayai sesuatu yang terdengar mustahil dan tidak masuk akal tersebut.

“Nanti kita cari tahu bersama.  Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Su Li menenangkan walau tetap tidak bisa mengusir kabut suram yang mengelilingi Ziang Wu. Pemuda itu masih kentara sangat memikirkan hal tersebut, akhirnya ia bisa tahu penyebab sang Suami menangis sebegitu hancurnya malam itu dan terlihat murung beberapa hari ini.

***

“Apa ini sudah semuanya?” Sekali lagi Su Li memastikan jumlah laporan yang diserahkan Xiao Lu padanya.

“Saya sudah mengeceknya tadi pagi, dan semuanya lengkap, Nyonya.”

Senyum puas terkembang di bibir yang berpoles lipstik merah muda itu. “Kerja bagus, Xiao Lu,” puji Su Li dengan sungguh-sungguh, membuat pemuda berkemeja abu-abu itu menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Semua hal yang ia butuhkan sudah terkumpul, Su Li kemudian mengizinkan Xiao Lu meninggalkan ruangannya. “Apakah ini bisa menyelesaikan semuanya?” gumamnya sambil menatap tumpukan map hitam di atas meja.

Pikirannya juga sedikit terusik dengan apa yang dikatakan oleh Ziang Wu malam itu. Apa yang suaminya itu katakan memang sangat kuat menjadi alasan untuk Ziang Chen sampai membunuh Ibunya. Pikiran itu kemudian membuatnya menghubungi Bai Wan.

[Ada apa, Nyonya? Saya sedang mempersiapkan berkas untuk pengajuan investigasi ulang.]

“Aku ingin kau mencari tahu sesuatu,” ucap Su Li sambil menunggu tanggapan dari pemuda di seberang teleponnya.

[Baiklah, apa yang harus aku cari tahu?]

“Selidiki Ziang Chen untukku.”

Dapat Su Li tangkap bahwa pemuda itu terdiam selama beberapa detik. Sebelum akhirnya menyetujui permintaan Su Li.

[Apakah ini perlu aku rahasiakan dari Ziang Wu?]

“Rahasiakan. Ini hanyalah antara kita berdua.”

Setelah mencapai kesepakatan, Su Li mematikan panggilan tersebut. Ia memang sudah memiliki banyak bukti yang cukup untuk menyeret Ziang Chen maupun Wu Xia untuk masuk ke dalam penjara. Hanya saja ia merasa terganggu dengan kemungkinan kecil bahwa dirinya dan Ziang Wu  bersaudara. “Sampai kapan Ayah akan berhenti membuatku berprasangka?” lirihnya.

Ketukan pada pintunya membuat Su Li mengangkat kepalanya. Senyumnya merekah saat melihat keberadaan Ziang Wu. “Bukankah kita memiliki janji untuk makan siang?”

Su Li beranjak dari tempat duduknya kemudian menghambur memeluk Ziang Wu yang terkekeh atas sikap manjanya. “Aku menunggumu untuk menjemput.”

Ziang Wu kemudian mencuri sebuah kecupan di bibir sang Istri kemudian merangkulnya. “Aku sudah memeriksanya tadi sebelum kemari. Menu utama hari ini adalah chow mein dan pangsit. Kita makan siang di kafetaria atau keluar?” ucap Ziang Wu kala mereka berjalan menuju lift.

“Kafetaria,” jawab Su Li kemudian menekan tombol lobby, dimana kafetaria berada. Mendengar chow mein yang tadi disebutkan oleh Ziang Wu membuat perutnya mendadak keroncongan. Padahal ia masih merasa kenyang beberapa menit yang lalu. Olahan bihun dengan potongan tipis daging sapi itu sudah terbayang-bayang.

Beberapa pegawai yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka memberi salam dan juga bertukar sedikit basa-basi. Ziang Wu memperhatikan sang Istri yang sudah sedikit berubah dari awal mereka bertemu. Tatapan Su Li sudah tidak sekeras dulu, walau masih ada kesan dingin tetapi senyum itu tidak jarang ia berikan saat wanita itu berbicara dengan pegawainya.

“Sepertinya popularitasmu sudah menurun. Nyonya Su memiliki pesona yang lebih banyak dibandingkan denganmu.”

Ziang Wu mengabaikan ucapan Huo Yan yang tiba-tiba berada di sampingnya. “Omong-omong, kau harus berterima kasih padaku karena sudah membantumu beralasan dengan Nyonya Su.”

Ucapan Huo Yan membuat Ziang Wu bergegas menutup mulut pemuda itu. Kemudian membawa rekan setimnya itu menjauh dari Su Li. Istrinya itu sedang asik membicarakan sesuatu dengan dua orang pegawai wanita di pintu masuk kafetaria.

“Kau tidak sedang berselingkuh, kan?” tanya Huo Yan sambil menatap Ziang Wu dengan penuh selidik.

“Aku tidak mungkin berani melakukan itu. Lagipula tidak ada alasan yang membuatku harus sampai menduakan Su Li.”

Ziang Wu mengambil pesanan makan siang milik Su Li. Huo Yan masih betah mengekorinya.

“Jadi, mengapa kau berbohong?”

Ziang Wu berhenti melangkah tiba-tiba, membuat Huo Yan hampir menabrak punggung tegap itu. “Sekali lagi kau membahasnya, sudah kupastikan kau akan out dari project selanjutnya,” ucap Ziang Wu dengan tatapan dingin.

Gēgē (Kakak), jangan seperti itu. Aku akan menutup mulutku,” ujar Huo Yan kemudian menutup rapat mulutnya.

Ziang Wu hanya berbalik tanpa minat untuk meladeni setiap ucapan pemuda itu lagi. Dari jauh ia hanya bisa tertawa sumbang melihat senyum dan juga tatapan lembut yang Ziang Wu berikan kepada Su Li. “Yah, sebenarnya itu bukan urusanku,” gumamnya kemudian berbalik mencari meja lain yang kosong.

***

Su Li sekali lagi memastikan semua hal yang ingin ia berikan pada sang Ayah sudah lengkap. “Tidak ada yang tertinggal, bukan?”

Ziang Wu tersenyum tipis saat melihat tingkah sang Istri yang terlihat gugup. Beberapa kali, wanita itu menggumamkan kata yang sama. “Sayang, lihat aku.”

Su Li kemudian menatap Ziang Wu yang sudah menggenggam kedua tangannya.

“Tarik napasmu, kemudian embuskan. Jangan gugup, kita pasti akan bisa menyelesaikan ini.”

Wanita itu menuruti apa yang dikatakan sang Suami dengan patuh. Saat ia memejamkan matanya, ia dapat merasakan bibir tipis Ziang Wu menyapa dahinya. Satu kecupan beberapa detik itu berhasil membuatnya sedikit tenang.

“Apapun yang Ayah katakan, jangan lupa bahwa aku akan selalu bersamamu.”

Su Li mengangguk, kemudian mengecup pipi Ziang Wu. “Terima kasih, Sayang.”

Serangan tiba-tiba dari Su Li membuat Ziang Wu menahan pergerakan sang Istri yang ingin keluar dari mobil.

“Aku juga perlu amunisi sebelum berperang,” ucapnya sebelum mempertemukan bibir mereka. Senyumnya terbit kala merasakan Su Li membalas setiap sesapan yang ia lakukan. Su Li menepuk pelan dadanya saat merasa pasokan oksigennya semakin menipis. Ziang Wu menutup ciuman panas itu dengan satu kecupan manis.

“Ayo,” ucapnya kemudian keluar dari mobil.

Su Li lupa kapan terakhir kali ia gugup saat berhadapan dengan sang Ayah. Sudah lama sekali sensasi yang begitu mencekam itu ia lewati. Ia ingat, saat pertama kali ia meminta izin untuk melanjutkan sekolah di London, ekspresi sang Ayah sama kerasnya. Bedanya saat ini adalah keberadaan pemuda yang tidak melepaskan genggaman tangannya sekali pun.

Su Liang mendesah berat saat selesai membaca laporan keuangan yang mencantumkan kecurangan yang dilakukan oleh Wu Xia dan Ziang Chen di belakangnya selama ini. Pria paruh baya itu melepaskan kacamata bacanya.

“Ayah,” panggil Su Li yang membuat pria itu menatapnya.

“Hubungan apa yang Ayah punya  dengan Jia Li di masa lalu?”

Baik Su Liang ataupun Ziang Wu terlihat begitu terkejut dan menatap Su Li meminta penjelasan. Su Liang bahkan tidak berani menatap langsung wajah sang Putri, berkali-kali ia mengalihkan pandangan.

“Ayah?” desak Su Li.

Merasa tidak ada jalan lain, Su Liang kemudian berdiri dari tempat duduknya. Ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih mencekam, pergerakan Su Liang yang terlihat mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya terasa sangat lambat.

Ziang Wu dan Su Li melihat sebuah kotak yang diletakkan oleh Su Liang di atas meja. Kotak kayu berpelitur yang terukir bunga teratai pada tutupnya itu terlihat antik.

“Bukalah, itu semua akan menjawab rasa penasaranmu.”

Su Li melepaskan genggaman tangan Ziang Wu dan membuka perlahan kotak yang sudah ia pindahkan ke pangkuannya. Mata bulatnya membola sempurna kala melihat isi kotak yang ternyata beberapa buah foto. Ada dua pasang muda-mudi yang terekam pada potret jadul tersebut.

“Ayah, ini …”

Ziang Wu memberanikan diri melihat apa yang membuat Su Li sampai tidak bisa menyelesaikan ucapannya tersebut. Ekspresinya tidak kurang dari ekspresi terkejut sang Istri.

“Apa yang kalian lihat tidaklah salah. Di potret itu adalah Ayah, Ibumu, Jia Li, dan pamanmu Su Jiang.”

Pandangan keras Su Liang berangsur menjadi tatapan sendu. Manik tua itu terlihat berembun.  

“Pamanmu, Su Jiang dan Ayah adalah saudara kembar. Kami berempat adalah teman saat sekolah menengah, sebelum kakekmu membawa kami ke Beijing. Saat itu, pamanmu memiliki hubungan dengan Jia Li, ibu dari Ziang Wu.” Su Liang memandang sendu ke arah Ziang Wu.

“Tetapi aku tidak pernah tahu mengenai paman. Kakek bahkan Ayah tidak pernah mengatakan bahwa Ayah memiliki saudara kembar.”

Su Liang terlihat mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Su Li. Mengenang kembali kenangan yang selama ini telah ia kubur dengan sangat dalam ternyata memerlukan banyak energi.

 “Kakekmu tidak menyetujui hubungan pamanmu dengan ibu Ziang Wu. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kakekmu mengajak kami semua ke Beijing. Namun, dengan keras kepalanya itu ia berani menentang kakekmu dan kembali ke Sichuan dimana Jia Li berada. Saat itu ia menjadi gila karena mendengar bahwa Jia Li sudah menikah dengan Ziang Chen, Ayahmu,” tutur Su Liang kemudian menatap Ziang Wu.

“Ia bertahan di Sichuan selama beberapa bulan. Su Jiang selalu mengabari kepada Ayah bahwa ia telah kembali bersama dengan Jia Li. Kakekmu yang mengetahui hal itu tidak terima. Baginya martabat keluarga Su dapat rusak jika kelakuan pamanmu terkuak. Kemudian, terjadilah kejadian itu. Pamanmu, kecelakaan saat kembali ke Sichuan setelah bertengkar hebat dengan kakekmu. Keberadaannya perlahan  dilupakan karena tidak ada yang berani menentang apapun kehendak kakekmu.”

“Atas rasa bersalah itulah, Ayah mencari keberadaan Jia Li dan membawa Ziang Chen untuk bekerja dengan Ayah.”

Su Li merasakan bahwa Ziang Wu menggenggam tangannya. Fakta ini pasti mengguncangkan pemuda itu. Walau ada sedikit rasa lega, karena ternyata dirinya dan sang Suami bukanlah saudara kandung.

“Ayah, apakah kau tahu jika Paman Ziang berhubungan dengan Wu Xia?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top