Dua Puluh Satu
"Ini bukanlah suatu hal yang bisa diselesaikan dengan mudah."
"Saya tahu. Makanya saya ajak kamu untuk memikirkan hal ini," ujar Linda. Raut mukanya mengerikan.
"Bagaimana kalau kita tanya ke Guruku?" tanya Dion. Dirinya sudah tidak tahan selalu bertemu dengan muka tidak enak Linda. Ekspresi Konstipasi, begitu Dion menyamai ya.
"Boleh, lagipula Mbah Darmo udah ngga ada. Saya ngga bisa tanya ke beliau."
.
"Sebenarnya apa yang kamu lihat, Nduk?" Pak Warno--guru Dion--bertanya pada Linda.
"Tadinya saya melihat yang di dekat Ahmad itu perempuan, Pak. Terus dia minta saya untuk menjauhi Ahmad. Lah kok paginya Ahmad minum bodrex lima. Setelah itu baru perempuan tadi berubah jadi bola api trus kaya punya buntut. Warnanya merah, buntutnya putih. Yang saya heran itu, seolah-olah punya mulut dan bola itu senyum." Linda menjelaskan secara panjang lebar.
"Hmm, biasanya banyak yang bisa lihat Pulung Gantung. Ini cuma kamu yang bisa lihat? Kamu lihat ngga Lis?"
"Tidak Pak, saya cuma bisa merasakan auranya, padahal saya bisa lihat bocah kecil yang waktu itu. Kali ini saya nggak bisa," jawab Dion.
"Wetonmu sama wetonnya Simbahmu, kamu tahu nggak, Nduk?"
"kalau saya Rabu Wage, Pak. Kalau weton Simbah saya tidak hafal, Pak."
"Ya sudah, kamu pulang dulu saja. Besok kliwon kamu ke sini lagi. Nanti kalau kamu lihat lagi, suruh warga sekitar buat pukul lesung." Setelah memberikan pesan tersebut, Pak Warno kembali masuk kamar.
Linda mulai beranjak dari kursi, lalu duduk lagi saat menyadari Dion belum berdiri.
"Kita tunggu Pak Warno keluar dari kamar." Dion hanya menjelaskan sebuah kalimat. Dirinya kemudian kembali menatap ke arah asbak.
Linda tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya hanya memandangi dinding rumah Pak Warno yang biasa. Tidak ada asesoris klenik seperti keris atau wayang yang menghiasi dinding bercat hijau itu.
"Kuncinya ada padamu, Nduk," ucap Pak Warno. Beliau keluar kamar setelah 30 menit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top