Old Ver. 5 and New Ver. 5
Halo! Bagian ini, terbagi menjadi dua. Yaitu, Old Version dan New Version. Jadi, selamat membaca!
5. Old Ver.
Mr. Ardhian's Pov.
Aku tengah berada di dalam mobil, tanpa sopir. Karena aku yang memaksa pak Amran untuk melajukan mobilku sendiri ke rumah.
Pikiranku kacau, saat Alana menghubungiku tadi memberitahu tentang Andra.
Flashback On.
Meeting kali ini berjalan lancar, sebelum aku merasakan firasat buruk yang menyapa pikiran ku.
Andra. Nama putra ku itu seketika memenuhi pikiran ku. Dadaku berasa sesak, layaknya di tindih muatan berton ton. Ada apa ini? Firasat kah?
" pak Ardhian tidak apa? " tanya Sella, sekretaris ku.
Aku menggeleng sebagai jawaban.
Beberapa menit setelahnya, Meeting selesai dengan lancar.
Aku kembali ke ruanganku.
Pukul 15.45 sore. Aku ingat kalau aku belum melaksanakan kewajiban ku, solat Asar. Segera aku bergegas menuju mushola yang memang berada di lantai bawah kantor ku.
Setelah solat dan berdoa, aku merasa lega. Tapi rasa kuatir ku tak berkurang. Sesak itu kembali. 'Firasat apa ini? '
Drrtt.. Drrtt.. Ponselku bergetar di saku celanaku. Aku meraih jas yang kusampirkan di sebuah kursi di dalam mushola, dan mulai menjawab telepon.
Alana is Calling...
Alana, istriku yang menelfon. Ada apa? Apakah dia sudah merindukan aku?
Tak perlu ba bi bu lagi aku langsung menjawabnya.
" iya, assalamualaikum Al. Kenapa? "
" Waalaikumsalam, mas Hikks.. Hik.. " Alana terdengar menangis di ujung sambungan sana.
" Kenapa, Al? "
" Andra.. Mas... Hikss.. "
Andra? Kenapa dengannya? Firasatku tadi? Rasa sesak tadi? " Andra? Kenapa dia? "
" Andra.. Hiks.. Tiba tiba Pingsan, Mas! "
Deg. Jantung ku terasa mencelos begitu saja. Andra? Pingsan?
Tanpa mematikan sambungan telepon, Aku langsung berlari menuju parkiran dan meminta kunci mobil dari pak Amran, untuk segera pulang. Bagaimana bisa Andra pingsan? Kenapa? Apa dia sakit? Setahuku Andra memang jarang jatuh sakit, Apa dia kehujanan? Tapi..
Segera ku buang jauh jauh pikiran itu. Fokus ku hanya satu, cepat kembali ke rumah dan memastikan bahwa putra ku baik baik saja.
Flashback Off.
Aku memacu mobilku dengan kecepatan di atas rata rata. Mengingat dulu, aku memang sering menggunakan keahlianku di sirquit sewaktu remaja.
Tak kurang dari setengah jam, aku sampai di rumah dengan selamat. Tanpa buang buang waktu lagi aku segera masuk. Tujuan utama ku adalah kamar Andra.
Brakk.. Tak sabar, aku segera membuka pintu kamar Andra dengan keras.
" Mas... "
Mataku menangkap sosok Alana, dengan Ayla di gendongannya yang masih menangis. Seorang yang menggunakan jas putih, yang ku yakini adalah seorang dokter, dan sesosok tubuh yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya dengan wajah pucat dan mata yang masih tertutup rapat.
Bibirnya membiru. Wajah pucat pasi nya yang nampak menahan sakit, dan lelah.
" Pa.. pah.. " Putriku berlari menghampiri ku. Aku langsung membawanya ke dalam gendonganku. " Ta Ean.. Pah.. Hikss.. "
Aku mencium putri ku. " Kak Andra gapapa, sayang. " aku berusaha menguatkan Ayla walaupun sebenarnya aku lebih cemas.
" Kondisinya masih sangat lemah, Dhi, Bu Alana. Dia butuh istirahat. " ucap dokter yang menangani Andra.
Dokter Raffi. Kenalan ku.
" Dia kenapa, Raf? " tanyaku.
" Dehidrasi, dan Kelelahan, gejala tipus. " tutur Dr. Raffi sembari mengoleskan sesuatu di punggung tangan Andra. "Saya akan menginfusnya. "
" Lakukan saja yang terbaik, Raf. "
Benda lentur namun tajam itu berhasil menusuk di punggung tangan Andra. Dengan botol berisi cairan infus yang di gantung, dengan tiang penggantung topi dan jacket di kamar. " Saya akan menambahkan obat bius, didalam cairan infus. Keandra harus istirahat total beberapa hari kedepan. Tadi juga, saya sudah menyuntikkan injeksi, untuk menurunkan demam tinggi nya. 40,1 derajat celcius. Dengan tekanan darah rendah. " kata Dokter Raffi panjang lebar.
" Kapan dia akan sadar, Dokter? " Alana bersuara. Matanya sembap, dan wajahnya terlihat amat sangat cemas.
" Setelah cairan Infus habis, saya akan menggantinya dengan botol yang baru, tanpa menambahkan obat bius." jawab Dokter Raffi. " Untuk sementara, jangan kuatir. Keandra akan baik baik saja. Saya akan kembali besok pagi. "
" Terimakasih banyak, Raffi. " kataku.
***
Pukul 20.45
Aku, dan Alana masih berada di kamar Andra, menjaga Andra yang masih berada di dalam alam bawah sadar nya. Sedangkan Ayla, dia sudah tertidur karena mengantuk, dan lelah seharian menangis, saat melihat jarum infus menancap di punggung tangan kakaknya. "ta Ean pasti cakit, pah.. mah.. Hikss.. Itu jayumnya macuk ke tangan ta Ean! " seru Ayla tadi. " Pah, tacian Ta Ean, Pah. Hikss..
Lepas aja, pah.. Hiks.. "
Terlebih lagi, saat Dokter Raffi meninjeksi Andra, Ayla semakin menangis. " pah.. Hiks.. Tacian.. Ta Ean.. Hikss.. Mamah... "
Andra pasti kesakitan.
Alana masih dalam posisi duduk di samping tempat tidur Andra, mencelup, memeras, dan menempelkan kain basah yang dilipat di atas dahi Andra. Kompres.
" Demamnya masih tinggi, Mas, " Lirih Alana saat ia menyentuh dahi, leher dan pipi Andra.
Mataku memicing, saat mendapati luka, pada sudut bibir Andra. " Sudut bibirnya robek? " tanyaku kepada Alana. " Ada apa ini? "
" Aku juga ga tau, Mas. Dokter Raffi bilang, kemungkinan besar Andra sempat berkelahi. " jawab Alana.
" Berkelahi? "
Drrtt.. Drrtt.. Ponsel ku bergetar.
The Bodyguard is calling...
"siapa, Mas? " tanya Alana.
" Orang yang aku perintahkan memata matai Andra di sekolah. Mereka yang menyamar sebagai satpam sekolah, dan Penjaga. " jawabku. Aku melipir ke arah balkon kamar Andra, untuk mengangkat telepon.
" Ya, Hallo ada apa? " tanyaku pada seseorang yang berada di ujung sambungan.
" Maaf sebelumnya, Tuan saya mengganggu. "
" Ya, tak apa? Kabar apa yang kau bawa kali ini? " aku mulai tak sabar.
" Saya hanya ingin memberi kabar, tentang Tuan muda Keandra. Di sekolah tadi__"
" Apa yang terjadi? "
" Tuan Muda di tuduh, Tuan. "
" Apa maksudnya? "
" 3 orang Siswa atas nama Akmaleon Torshton, Deloyd Armano dan Larry Grild. Mereka teman sekelas Tuan Muda. "
" Kenapa mereka? "
" Mereka menghajar Tuan muda, namun mengadu kepada guru BK, Jihan Hanifah, dan menuduh tuan muda yang menghajar mereka dengan luka lebam palsu. Sehingga membuat tuan muda di hukum berdiri hormat tiang bendera selama berjam jam. "
" Apa maksudnya? Saya tidak mengerti! "
" menurut pantauan CCTV yang saya pasang secara tersembunyi,
Satu persatu dari mereka menghajar tuan muda. Deloyd Armano yang pertama kali, meninju tuan muda di bagian perut. Yang kedua, Larry Grild yang menonjok tuan muda pada bagian yang sama, dan yang terakhir Akmaleon Torshton, yang menghajar tuan muda pada bagian rahang kiri, dan menyebabkan sudut bibir tuan muda berdarah. Rekaman CCTV sudah saya kirim, Tuan. Silahkan dilihat. "
" Baik, terimakasih. "
Tutt.. Sambungan ku putus secara sepihak. Segera aku membuka kiriman Video rekaman CCTV yang Dikirimkan, lewat ponsel ku.
Mataku terbelalak kaget, saat mereka dengan seenaknya menghajar putra ku. Dan, anehnya kenapa Andra tak membalas? Mengingat kemampuan bela diri nya yang tidak bisa di pandang sebelah mata. Apa alasannya? Jika Andra mau, mungkin ia sudah menghajar ke tiga pemuda berengs*k itu tanpa ampun. Tapi kenapa tidak? Apa Andra tidak ingin membuat namaku tercoreng?
" Kenapa, Mas? Mas liat apa? " tanya Alana.
Aku segera menunjukkan rekaman video itu kepada Alana.
" Andra di keroyok, Mas? " Alana tak kalah kagetnya denganku.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
" biar aku yang akan memberi pelajaran kepada mereka bertiga besok! " emosi Alana memuncak. Tangannya mengepal, dan segera berdiri.
" Jangan, Al. Kita ikuti pergerakan mereka." aku menahannya, karena akan membuat mereka jauh merasa malu, dan tersiksa dari yang Andra rasakan dan alami sekarang.
" Tapi, Mas? Mas juga liat sendiri, bahkan dengar lewat CCTV canggih ini, bahwa mereka sengaja membuat Andra seperti ini? Kalau dibiarkan, bisa bisa mereka berbuat lebih dari ini, mas. "
" Aku punya rencana lain, tenanglah. "
******
________________________________
5. New Ver.
"Berdiri dan hormat kepada bendera merah putih, hingga jam sekolah berakhir. Tidak ada bantahan!"
Kata-kata dari bu Jihan, masih terekam jelas dalam ingatan Andra.
Cucuran keringat, sukses membasahi seragam sekolahnya. Pandangannya mulai memburam, sebab matahari bersinar teramat terik hari ini. Seolah bersekongkol dengan bu Jihan untuk menghukumnya.
Tidak. Andra tahu, ia tidak boleh lemah hanya karena hukuman seperti ini. Namun, sialnya tubuh itu tidak bisa diajak kompromi barang sebentar saja. Perutnya keroncongan, sementara kerongkongannya terasa kering.
Ah iya. Andra baru ingat jika sejak pagi, perutnya sama sekali belum diisi. Salahkan dirinya yang terlalu gengsi untuk memakan masakan dari Mama Alana tadi.
Sejatinya, Andra tidak pernah membenci Mama Alana juga Ayla. Ia menyayangi keduanya. Hanya saja, Andra takut. Takut terlalu menyayangi, takut terlalu berharap, lalu pada akhirnya ia akan ditinggalkan dan akan dilupakan lagi. Ia takut, hal yang dulu pernah terjadi kembali terulang. Maka dari itu, ia mencoba bersikap biasa saja, bahkan terkesan cuek. Semerta-merta hanya ingin menghindari kejadian belasan tahun silam yang membuatnya menjadi sosok seperti sekarang.
Jika dapat digambarkan bagaimana kondisi Andra sekarang, mungkin akan terlihat seperti seseorang yang baru saja menceburkan diri ke dalam lautan. Pasalnya, tubuhnya itu benar-benar sudah basah karena keringat.
Sialnya, matahari tepat berada di atas kepala. Sudah dibilang bukan, jika matahari kali ini tengah bersekongkol dengan Bu Jihan untuk menghukumnya atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.
Oh, Tuhan. Berapa lama lagi, hukuman tidak berfaedah ini akan berakhir?
Benar, kan? Menghukum dengan cara hormat tiang bendera begini, tidak ada faedahnya? Yang ada hanya membuat kepanasan dan kelelahan saja. Lagi pula, siapa sih yang menciptakan hukuman seperti ini?
Andra bahkan tak tahu, sudah jam berapa sekarang. Yang jelas, siswa-siswi bodoh yang tidak ada gunanya itu sudah dua kali keluar berombongan setelah bel berdentang menuju kantin. Sambil sesekali melemparinya dengan bola kertas atau mengejeknya. Jadi, tidak salah, 'kan, jika Andra menyebut mereka sebagai 'Siswa-siswi bodoh?' yang kerjanya hanya bisa mempermainkan orang lain?
Lagi. Andra merasakan pandangannya memburam. Kepalanya pun turut terasa berat. Begitu juga dengan perutnya yang terasa diremas dengan kuat. Sakit.
"Keandra?"
Untuk menoleh melihat siapa yang menyapanya pun sulit. Pandangannya berbayang, sesaat setelah ia melihat siapa yang datang menghampirinya. "Bu." Ia menarik sudut-sudut bibirnya untuk menyapa seorang guru cantik yang datang menghampirinya.
Wajah guru itu mendadak terlihat panik dan semakin terburu mendekati dirinya. "Astaga, Keandra. Kamu mimisan!"
Refleks, Andra menyentuh lubang hidungnya, lantas mendongak saat mendapati sesuatu yang kental, keluar dari sana.
"Jangan mendongak!" perintah guru yang seingat Andra bernama Hanna Rayunda itu.
Andra menurut. Memilih menundukkan kepalanya. Membiarkan darah dari hidungnya keluar dengan deras. Bu Hanna menyerahkan beberapa lembar tisu untuk menyeka darah yang terus keluar dari lubang hidung Andra.
Tidak tega melihat salah satu muridnya berkeringat, bahkan hingga mimisan parah seperti ini, Hanna segera memegang kedua bahu Andra. "Ikut ke ruangan ibu, ya," ajaknya.
"Tapi Bu, hukumannya—"
Bu Hanna terus membawa Andra menuju ruangannya. Mengindahkan kata-kata Andra yang terkesan tidak mau meninggalkan hukumannya itu.
"Duduk, Keandra," pinta Bu Hanna begitu sampai di ruangannya. Sementara ia segera bergerak menuju mejanya. Membuka laci dan mengeluarkan sebotol air minum berwarna biru muda yang ia bawa dari rumah. Mengambil gelas yang tertata rapi di dalam laci mejanya dan menuang air ke gelas.
Andra duduk di sofa yang berada di ruangan Bu Hanna, dengan tisu yang menyumpal lubang hidung kirinya.
"Minum dulu, Keandra," ujarnya. Ia kemudian meraih kotak tisu, yang berada di mejanya, lantas diletakkan di samping Andra duduk. Sesaat setelah Andra menerima dan meminum air pemberiannya.
"Siapa yang menghukummu hingga seperti ini?" tanya Bu Hanna tak sabar, sekaligus merasa geram. Bagaimana tidak geram, jika membayangkan siapa yang tega menghukum siswanya di cuaca terik hingga mimisan seperti ini?
"Bu Jihan," jawab Andra pelan. Tentu saja setelah ia berhasil meneguk segelas air putih yang bu Hanna berikan, hingga tandas.
"Sejak kapan?" tanyanya lagi.
"Jam pelajaran pertama."
"Astaga!"
Ini sudah pukul 13.00
Bu Hanna jelas tidak bisa membayangkan, bagaimana muridnya ini menjalani hukuman selama itu. "Kenapa kamu mau melakukannya?"
"Saya—"
"Keandra. Bukannya saya sudah bilang sama kamu. Jujur saja. Kamu enggak perlu khawatir mereka akan memanfaatkan kamu. Saya rasa, kamu tahu dan mengerti bagaimana caranya menghadapi orang-orang seperti mereka, bukan? Tapi tidak harus dengan mengorbankan dirimu sendiri, Keandra."
Ya, benar. Bu Hanna mengetahui segalanya. Bagaimanapun, ia adalah wakil kepala sekolah. Di sekolah ini, hanya Bu Hanna dan kepala sekolah—Mahesa Wiraatmaja—saja yang mengetahui kebenaran tentang siapa Andra sebenarnya.
Andra hanya bisa menunduk. Merasa tidak yakin, apakah mengakui siapa dirinya itu adalah hal yang benar atau tidak. Yang jelas, ia belum mau membongkar semuanya. Setidaknya, sampai ia lulus saja.
Terdengar helaan napas pelan, dari Bu Hanna. "Ya sudah. Kamu lebih baik pulang," ujarnya. Tak tega, melihat Andra yang kelelahan.
Andra mendongak, menatap bu Hanna. Tisu yang menyumpal hidungnya, sudah ia buang ke tempat sampah saat dirasa tidak ada lagi darah yang keluar sana.
Mengerti akan tatapan muridnya itu, Bu Hanna menepuk bahunya pelan. "Kamu jangan khawatir," ujarnya menenangkan. "Saya akan mengurusnya. Lagi pula, beberapa jam lagi jam pulang sekolah."
Akhirnya, Andra memilih menurut. Pasalnya, tubuhnya itu sudah benar-benar terasa lelah. Ingin segera diistirahatkan. Belum lagi perutnya yang seolah meronta-ronta ingin diisi. Pulang nanti, ia akan memakan apa saja yang ada di rumah. Baik itu yang dimasak Mama Alana atau bukan. Yang jelas, ia lapar.
"Kalau begitu, saya permisi, Bu."
Setelah berucap salam, Andra segera beranjak meninggalkan ruangan Bu Hanna. Melangkahkan kakinya menuju ruang kelas untuk mengambil ransel hitam miliknya.
Namun, belum juga sampai, ia mendapati ransel hitam miliknya, teronggok begitu saja di lantai koridor dengan isinya yang berserakan.
Sial! Umpat Andra dalam hati.
Entah siapa yang bertanggung jawab akan ini, yang jelas, Andra tak mau ambil pusing. Segera ia merapikan isi ranselnya dan bergegas pulang.
****
Hujan turun begitu saja dengan derasnya, tanpa memberi pertanda awan hitam atau angin. Membuat Andra yang masih berusaha memacu laju motornya jelas tak bisa menghindar. Sebagian tubuhnya sudah basah terguyur hujan. Khawatir akan membuat ayahnya cemas, alhasil ia segera menepikan motornya di sebuah halte. Memilih berteduh di sana.
Ia lupa membawa mantel hujan. Perasaan, sudah ia siapkan, sejak semalam. Tapi bodohnya tidak dibawa.
Andra mengacak rambutnya—yang untung saja tidak ikutan basah karena menggunakan helm. Melepas almamater biru donker yang ia kenakan dan mengibaskannya ke udara. Beruntung, halte bus kali ini, sepi. Membuat ia bebas mengibas-kibaskan almamaternya itu.
Ia bersedekap, sembari menyandarkan punggungnya di tiang halte. Andra terdiam, cukup lama. Hingga sesuatu memancing perhatiannya.
****
170120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top