Old Ver. 4 and New Ver. 4

Halo! Bagian ini, terbagi menjadi dua. Yaitu, Old Version dan New Version. Jadi, selamat membaca!


4. Old Ver.

Keandra's Pov

Kali ini, gua sama keluarga gua lagi sarapan.

Hening. Itulah suasana yang dapat tergambarkan di meja makan saat ini. Hanya terdengar suara dentingan
Antara sendok dan piring yang saling berbenturan.

" Ma.. mah... " Panggil sebuah suara.
Ayla. Dia baru bangun tidur dengan wajah lucunya menuruni anak tangga. Uhhh.. Ayla. Adek gua tersayang.

Tante Alana, menghampiri Ayla. " Anak Mama udah bangun, sayang? " tanya Tante Alana kepada putri kecilnya itu.

" agi.. pah... ta Ean! " sapa Ayla yang langsung turun dari gendongan Mamanya, Tante Alana.
Gua pengin, banget jawab, 'Pagi juga adek ku tersayang! ' lalu mencium pipinya. Tapi, itu lagi lagi gua urungkan.

" Pagi, sayang! " balas Papa sambil mencium gemas pipi Ayla, dan membawanya ke pangkuannya. Apa yang pengin gua lakuin, udah dilakuin sama Papa.

Gua ga tau lagi, harus gimana. Kalo gua kelamaan di meja makan ini, yang ada gua ga bakalan bisa nahan lagi buat cium pipi Chubby nya Ayla.

" Andra berangkat sekolah dulu! "

Kata gua sambil menyaklek tas di sebelah bahu.

" Ta Ean! Mamam-nya elum abis! " panggil Ayla. Ya, emang bener. Sarapan gua belom abis. Baru aja beberapa sendok yang gua suap. Tapi, 'Masih bisa makan di kantin' pikir gua.

Dengan Asal gua jawab, " Kenyang! " lalu kembali melangkahkan kaki gua menjauh.

Gua segera memacu motor gua ke sekolah.

Kurang dari 20 menit, gua sampe ke sekolah. Segera gua memarkirkan motor gua di parkiran sekolah.

Krucuukkk..
Perut gua keroncongan karena memang dari kemarin gua ga makan.

Niat awal gua, buat sarapan di kantin. Karena jam masuk sekolah masih 15 menitan lagi.

Tanpa menyapa kelas gua dulu, buat naroh tas, gua langsung ke kantin, tanpa peduli dengan koridor sepi, yang gua lewati. Sampai tiba tiba..

Bugghhh!

Sebuah tonjokan berasa menumbuk perut gua. Seseorang yang baru saja berbelok dari tikungan tiba tiba, langsung menghantam perut gua.

" Itu, buat sarapan Lo pagi ini! " katanya di selingi tawa puas, dan setelahnya pergi.

Dan orang itu adalah, Loyd.

Salah apa lagi, gua? Gua bahkan ga tau, apa salah gua. Sabar.

Gua coba lanjutin langkah gua, pada niat awal. Ke Kantin. Sampai,,..

Buggghhh!! Sebuah tonjokan kembali mendarat di perut gua. Gua mengerang kesakitan, "Arrgghhh! " sambil memegangi perut gua.

" Rasain Lo, Cupu! "
Ia kembali tertawa diatas penderitaan gua. Dia, Larry. Dan setelahnya juga pergi.

Apa salah gua?

Eneg, itu yang gua rasakan.
Sekolah ini masih sepi, hanya beberapa orang siswa yang baru datang. Mereka juga pada takut, menolong gua, mungkin.

Hos... Hos..
Nafas gua terengah. Perut gua bener bener terasa sakit.

Gua coba buat kembali ke kelas gua, perut gua udah keburu eneg, buat merasa lapar.

Dengan gerakan lambat, gua membalik badan gua, dan..

Buggghhhh!
Sebuah tonjokan mendarat tepat di rahang gua, sampai membuat gua terhuyung ke belakang, nyaris tumbang. Bahkan gua merasakan aliran hangat, yang mengalir dari sudut bibir gua. Gua rasa itu Darah!, karena sudut bibir gua berasa perih. Benar saja, saat gua menyeka bagian sudut bibir gua. Darah segar gua yang berharga.

" Salah gua apa?! " teriak gua. Gua udah ga tahan lagi, salah apa gua sampai sampai harus diperlakukan dengan semena mena kek gini.

Leon CS tertawa terbahak. " Lo ga punya salah, sama kita. "
Leon menjawab pertanyaan gua enteng.

" Terus kenapa lo nonjok gua?! " tanya gua lagi.

" habis muka lo, menarik banget buat di siksa! " mereka tertawa lagi.

Sabar. Gua ga bisa cekcok lebih lama sama Trio idiot ini. Karena kalo enggak, Gimana dengan Papa? Nama baik Papa?.

Gua coba buat ga peduliin mereka, gua menjauh, tapi, sebuah tarikan lebih tepatnya sentakan tangan yang mencengkeram tas gua. " Mau kemana, Lo? "

Gua melepas paksa cengkeraman tangan Leon. " Bukan, urusan Lo! "

Gua segera pergi darisana. " Gua ga bakal puas, buat ngusik kehidupan Lo! " teriak Leon.

***

Gua menghela nafas sembari memegangi sudut bibir gua yang berasa perih, tanpa berniat mengobati luka gua. Mata gua sesekali tetap memperhatikan tulisan di papan tulis, dan penjelasan dari guru Biologi yang tengah menjelaskan materinya.

3 anak berengsek itu ga ada di kelas, mungkin ngebolos. Sebodo amat.

Ga lama, Bu Jihan selaku Guru BK masuk ke dalam kelas.
Buat apa? Apa gua Mimpi?

Suara langkah kaki, memasuki kelas. "Permisi, Bu Kina. Saya ada perlu, dengan salah seorang siswa anda. "
Bu Jihan.

" Oh, tentu. Silakan. " Bu Kina mempersilakan.

" Keandra Aldebaran? "

Bu Jihan manggil nama gua? Serius?

" Keandra Aldebaran? " sekali lagi, Bu Jihan manggil nama gua.
Gua ga mimpi?

" Saya, Bu? " tanya gua kek orang bego.

" Siapa lagi, di kelas ini atas nama Keandra Aldebaran? " tanya Bu Jihan Sarkastik. " Ikut saya ke ruangan! "

" Kenapa, Bu? "
Apa salah gua hari ini? Sampe sampe masalah datang di hari ini?

" Ikut saya sekarang, atau saya skorsing kamu sekarang juga. "

Glekk! Gua meneguk saliva gua.
'Jangan sampe gua bikin Papa Malu'

***

Gua ikutin Langkah Bu Jihan menuju Ruang BK.
" Masuk! " Titah Bu Jihan.
Gua melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang terkutuk ini. Ruang BK.

Betapa kagetnya gua, saat melihat Leon, Loyd dan Larry duduk di ruangan, dengan seringaian licik mereka. " Duduk, Keandra. "

Gua mengikuti perintah Bu Jihan.
" Kamu tau, apa salah kamu, Keandra? " tanya Bu Jihan.

Gua diam. Apa salah gua?

" Saya tanya sekali lagi, Keandra Aldebaran. Kamu tau, apa salah kamu? "

Gua menggeleng, dengan kepala yang merunduk.

" Leon, jelaskan. " Bu Jihan memerintah Leon.

Rencana licik apa yang Leon berengs*k itu rencanain lagi?

" Begini, Bu. Tadi saat saya dan teman teman saya ada di koridor, Andra tiba tiba menghajar kami, Bu. "

Ahh... Shit! Si berengs*k itu mulai berbohong! Sial. " Gak, Bu. Mereka yang keroyok saya! " gua coba membela diri.

" Bohong, Bu. Jelas jelas, Andra yang mengajar kami lebih dulu. "

(***)

Hingga akhirnya..
" Kamu saya Hukum, Hormat Tiang Bendera, hingga jam sekolah selesai! "

Itu artinya, 7 Jam lagi?
" Tapi, Bu saya__"

" Saya harus beri tahu orang tua kamu, tentang kelakuan anaknya. " kata Bu Jihan. " Mana ponsel kamu, saya sendiri yang akan menghubungi orang tua kamu. "

Gua kaget. Itu artinya, Bu Jihan mau ngehubungi Papa? " Bu, baik saya akan menjalankan hukuman apapun dari ibu, Tapi saya mohon jangan pernah hubungi Orangtua saya, Bu. " ucap gua memohon.

" Kenapa? "

" Saya ga punya alasan, Bu. Tapi saya mohon jangan hubungi orangtua saya, Bu. "

" Kamu malu, karena orang tua kamu itu miskin, iya? "

Apa?

" Kamu malu, nanti status kamu, sebagai anak dari seorang yang miskin, bersekolah di Sekolah Elite seperti ini? Apa kamu malu, jika orang tua kamu, yang seorang tukang kebun, dan pembantu itu tau, kalo anaknya berbuat ulah, di sekolah elite seperti ini? "

Papa di anggap seorang tukang kebun,? Jelas jelas Bu Jihan menginjak harga diri Papa. " Bu, tolong jaga ucapan Ibu. "

" Apa pengaruhnya? Siapa kamu? Anak pejabat? Pengusaha? Lawyer? Atau apa? Kamu cuma anak tukang kebun, Keandra. "

Gua muak. Dan segera pergi meninggalkan ruangan BK Sialan ini. Tapi__

" Jalankan hukuman kamu, sekarang. Atau saya tambah hukuman kamu. "

***

6 Jam.

Sudah lebih dari 4 Jam, gua berdiri hormat tiang bendera,. Tinggal beberapa menit lagi. Jam pulang sekolah. Itu artinya, jam sekolah hampir selesai. 45 menitan lagi.

Panas terik membakar kulit, peluh menetes membasahi tubuh gua. Tatapan tatapan mencemooh, menghardik, dari nyaris semua siswa siswi gak sama sekali gua peduli.

Pandangan gua mulai mengabur. Tapi, gua harus tetap tahan, hingga hukuman selesai. Gua lebih baik dihukum, seperti ini daripada Nama baik Papa tercoreng oleh ulah anaknya sendiri.

Perut gua sakit, begitu juga dengan kepala gua yang mulai terasa pening.
Berpanas panasan seperti ini, berdiri dengan posisi yang sama, jelas membuat siapa saja gak kuat. Tangan kanan gua udah super pegal, dan mulai terasa kebas.
Beberapa kali, gua mengerjapkan mata gua, sekedar menghilangkan rasa sakit kepala gua. Tangan kanan dengan posisi hormat, yang sekali kali gua gunakan, buat menyeka keringat dari kening, gua. Dan tangan kiri, yang memegangi perut.

" Keandra? "

Gua menoleh, saat mendengar sebuah suara lembut memanggil. "Keandra? Kamu Mimisan! " seru suara itu lagi.

Deg! Apa? Gu.. Gua mimisan?!
Segera gua meraba bagian hidung gua, dan..

Darah?

Bener, gua mimisan! Dengan cepat gua bersihin darah yang keluar dari hidung gua. "Pasti karena kamu kepanasan, Keandra! " kata suara itu lagi. Bu Hanna. "Siapa yang menghukummu? " tanya nya sembari menyerahkan sehelai tissue untuk membersihkan darah yang mengalir dari hidung gua.

" Bu__"
Belum juga gua jawab, Bu Hanna sudah bisa menebaknya. "Bu Jihan? "

Gua mengangguk lemah. Sumpah! Kepala gua sakit banget.

"Ikut saya ke ruangan saya, Keandra! "

***

" Diminum dulu, airnya Keandra. "
Bu Hanna menyodorkan segelas air dingin ke gua.
Gua sekarang ada di dalam ruangan Bu Hanna, yang memang setiap guru memiliki ruangan pribadi mereka masing masing.

" Makasih, Bu. " tanpa berfikir panjang lagi, gua langsung meneguk habis segelas air itu. Gua rasa, gua dehidrasi. Untungnya, darah dari hidung gua udah berenti keluar.

" Lagi? " tanya Bu Hanna setelah melihat gua menghabiskan segelas air yang ia berikan.

" Cukup. " jawab gua pelan sembari mengelap sisa air di bibir gua dengan punggung tangan.

Bu Hanna duduk, berhadapan dengan gua. " Coba cerita sama saya, Keandra. Kenapa kamu sampai bisa di hukum?"

" Saya, di tuduh. Bu. "
Jawab gua sekenanya.

(***)(***)(***)

"Kamu saya izinkan pulang, Keandra. Jangan khawatir, saya yang akan melindungi kamu. Pulanglah, istirahat. Kamu pasti letih. " kata Bu Hanna setelah gua menjelaskan semuanya panjang lebar. "Maaf, saya terlambat menolong kamu, Keandra. "

"Ibu ga salah, Bu." kata gua. " Tapi Beneran gapapa, bu saya pulang? "

Bu Hanna mengangguk. Yuppss.. Bu Hanna, begitu baik sama gua. Walaupun dia ga tau status gua yang sebenarnya. Tapi dia sangat peduli sama gua. " Makasih, Bu. "

***

Gua melajukan motor gua, dengan sangat lambat. Kepala gua yang berasa pusing, membuat gua harus ekstra berhati hati, di tambah lagi dengan perut gua yang berasa sakit. Gua ga mau, tiba tiba gua kehilangan kendali atas motor yang gua kendarai, dan membuat Papa kuatir.

Brussssshhh........

Hujan deras tiba tiba turun, layaknya di sinetron. Gua lupa bawa mantel. Mau neduh pun, terlambat sudah. Baju gua udah terlanjur basah kuyup. Gua menghentikan laju motor gua,. Mata gua memicing saat melihat seorang pria berpakaian rapih, tengah berlari di bawah guyuran hujan mengejar 2 orang pria lain berbaju hitam.
Gua lepas helm gua, saat 2 orang itu berlari tak jauh dari gua. Segera, gua turun dari motor, dan menubruk 2 orang pria yang nampak mencengkeram sebuah tas, dengan helm, dan salah satunya gua sengkang dengan menjulurkan kaki gua.

Bruukkh.
Mereka terjatuh.

" Bangs*t! " maki salah satu dari mereka.

Perkelahian antara gua dan 2 orang yang gua kira adalah preman itu tak terelakkan.
Tak segan, mereka menunju perut gua, dan sekali tonjokan tepat di rahang gua. Darah segar dari sudut bibir yang sama, sudut bibir kiri kembali mengalir. Walaupun ga begitu berasa alirannya karena derasnya hujan.

Bugghhh.. Bughh.. Bughh..
Gua menendang, memukul, bahkan mengijak mereka hingga mereka menyerah. Segera, gua ambil tas hitam dari tangan mereka.

" Ampun... " lirih mereka.

Gua ga peduli, walaupun sekarang rasa perih di sudut bibir gua makin berasa.

" Ini punya Bapak? " tanya gua kepada seorang yang berlari ke arah gua bersama 2 orang satpam yang langsung membawa penjambret tadi.

" Iya, terimakasih. " ia menerima tas hitam yang gua ulurkan. " nak, kau tak apa? "

Gua mengangguk. " Coba di cek dulu, pak. Isi tas nya. Siapa tau ada yang kurang. "

" Saya percaya, sama kamu. "

Bapak itu percaya sama gua?
" Kalau begitu, saya permisi pak. "

" Tunggu, nak. " katanya menghentikan langkah kaki gua.

" Ya, pak? Ada yang kurang atau hilang dari isi tas bapak? "

" Tidak. " jawabnya. Ia lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tas itu.
Gua pikir, isi tas itu adalah uang yang sangat banyak, pantas saja menjadi santapan empuk penjambret tadi.
" ini buat kamu, anggap saja sebagai ucapan terimakasih. " dia menyerahkan beberapa lembar uang ke gua. Gua mencoba menolak dengan halus.
Walaupun akhirnya uang itu basah terguyur hujan.

" Ga usah, pak. Saya ikhlas. " gua menolak.

" Kurang, ya uangnya? " tanya beliau.

" Oh, bukan pak. "

" Untuk mengganti helm mu. " katanya lagi.

Hah, helm gua?
Gua langsung menatap ke arah helm gua yang tergeletak tak jauh dari motor gua. Hancur tak berbentuk karena beberapa kali terhempas tembok. *untung bukan kepala gua.

" Gapapa, pak. Saya permisi dulu. "

" baiklah kalau begitu. "

" Hati hati, pak kalau membawa barang berharga, banyak jambret. " kata gua sebelum menaiki motor.

" Ah, iya. Sekali lagi terimakasih. "

Gua menyalakan mesin motor gua, dan_ " Siapa namamu, Nak? " tanya bapak bapak tadi.

" Keandra. Bapak bisa panggil saya Kean atau Andra. "

Bapak itu manggut manggut, hingga sebuah mobil datang menjemput nya.

****

Braaaaaassssshhh...
Hujan turun semakin deras, bahkan disertai kilatan petir. Kepala gua makin berasa pusing, berkunang kunang. Pandangan gua perlahan mengabur.

Dengan hati hati, gua mengendarai motor gua, dan tak henti hentinya berdoa supaya gua selamet.

"Bismillahi majreeha wamursaahaa"
Doa setiap gua baru mengendarai motor ataupun kendaraan lain.

Dan selalu gua membaca ayat kursi dan tawakal.
" Tawakaltu Alallahu.. Lahaula walaakuwwata illabillahil aliyyil adziim.. "

Doa gua ga pernah sia sia. Hingga gua sampai di rumah dengan selamat.

Nyutt.. Nyuutt.. Nyuutt..

Kepala gua berdenyut denyut. Sakit banget. Gua turun dari motor setelah memarkirkannya. Tangan kanan gua memijat pangkal hidung gua, untuk sekedar mengurangi rasa sakit. Tangan kiri gua yang menenteng kunci motor tak pernah jauh dari perut gua yang berasa perih. Gua rasa, gua mulai punya penyakit mag.

Ceklek.. Pintu terbuka saat gua baru berniat membukanya. Muncullah sesosok gadis mungil di hadapan gua." Ta Ean! " dia berseru semangat.

Gua mencoba menarik sudut bibir gua buat tersenyum.

Nyutt.. Nyutt.. Nyutt..
Nyuttt...
Kepala gua terasa makin sakit. Pandangan gua semakin mengabur. Dan..
Brukkkkhhh... Gua ga bisa lagi menguasai tubuh gua. Gua tumbang. Samar samar gua masih bisa mendengar suara bocah kecil yang merasa cemas. " Mamahh.....!"

Ayla.... Seenggaknya, gua masih mengingat dan mengenali satu nama itu, sebelum kegelapan menarik gua ke alam bawah sadar gua.
Setelahnya, gua ga tau apa lagi yang terjadi sama gua.

******
_________________________________

4. New Ver.

Entah kebetulan macam apa yang membuat Andra harus berada di kelas yang sama dengan Leon dan kedua temannya.

Pelajaran sudah di mulai sejak 45 menit yang lalu, tetapi Andra tidak melihat keberadaan tiga makhluk tak waras itu di tempatnya. Entahlah, setan-setan itu kabur ke mana, Andra tak mau ambil pusing. Lagipula, memangnya siapa mereka? Hanya sekumpulan manusia yang wataknya seperti setan. Tidak punya sisi manusia sedikit pun.

Pukul 08.00

Guru biologi di depan sana, bu Kinara Mayastri, masih terus mengoceh menjelaskan ini dan itu.

Oh iya. Perlu diketahui jika Andra, masih tergolong siswa baru di Lakeswara School ini. Ya, namanya terdengar familiar, bukan?

Sekolah ini milik ayahnya. Hanya saja, Andra tidak mau berbangga diri dengan memamerkan siapa ia yang sebenarnya. Orang-orang hanya tahu Keandra Aldebaran. Tidak dengan nama besar ayahnya di belakang namanya.

Andra cukup tahu diri. Semua harta dan kekuasaan itu milik ayahnya. Mungkin saja ia akan digadang-gadang menjadi penerus ayahnya, tetapi Andra malah berpikir lebih jauh. Bukankah ayahnya sekarang menikah lagi? Mungkin saja jika suatu hari nanti, ibu tirinya itu akan memberikan pewaris-pewaris lain untuk ayahnya.

Astaga. Andra berpikir terlalu jauh, hingga tak sadar jika ada seorang guru yang Andra tahu adalah guru Bimbingan Konseling, masuk ke dalam kelasnya. Tampak berbincang serius dengan bu Kina, di depan sana. Setahu Andra, namanya bu Jihan Anastasya. Untuk urusan kenapa guru BK itu di sini, Andra tidak mau ambil pusing.

"Keandra Aldebaran?"

Andra tersentak. Apakah namanya baru saja disebut?

Seisi kelas menatapnya. Seolah-olah ia adalah narapidanavyang akan dieksekusi mati sekarang juga. Tatapan mereka tajambdan terlihat aneh, penuh tanda tanya.

"Keandra Aldebaran?!" Bu Jihan mengulangi panggilannya. Kali ini nada suaranya jauh dari kata santai.

Andra menyakinkan diri bahwa semuanyabpasti akan baik-baik saja. "Ibu panggil saya?" tanya Andra. Mungkin, ini terdengar sebagai pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanyakan.

"Memangnya selain kamu, ada yang bernama Keandra Aldebaran, di sini?"

Bu Jihan terkenal tegas dan ketus. Pelafalan kata-katanya memang selalu sarkas seperti itu. Beliau juga terkenal ceplas-ceplos dan berbicara sesuai apa yang ia ketahui.

"Ikut saya ke ruangan, sekarang!"

Andra meneguk salivanya. Dia salah apa, sehingga bu Jihan repot-repot datang ke kelas untuk menjemputnya menuju ruang BK yang terkenal menyeramkan itu?

"Tapi saya salah apa ya, Bu?" tanya Andra.

Ia jelas tidak mau membuat nama baik ayahnya tercoreng karena kelakuannya. Seumur-umur, baru kali ini sepertinya Andra dijemput ke ruangan terkutuk itu. Karena selama ini, ia terus menjadi anak baik. Tidak pernah membangkang dan melakukan sesuatu yang dampaknya akan sangat fatal bagi nama baik ayahnya.

Katakan jika Andra terlalu munafik, tetapi bagaimana lagi jika ini adalah kenyataannya?

"Saya tidak suka basa-basi, Keandra. Ikut saya ke ruangan, sekarang juga!"

****

Awalnya, Andra masih tak mengerti mengapa ia sampai dipaksa ikut ke ruang BK. Namun, saat kakinya tepat melangkah ke dalam ruangan, ia mengerti maksud terselubung dari ini semua.

Di depan sana, Leon dan kedua cecunguknya—Larry dan Loyd—tengah duduk dengan tampang yang sukses membuat Andra mengerenyitkan dahinya dalam-dalam.

"Duduk, Keandra."

Senyum sinis dari Leon ia dapatkan. Sejauh ini, Andra mulai mempelajari apa yang otak jahat Leon pikirkan. Pasti ada apa-apanya.

Andra memilih duduk di sebuah kursi, berhadapan dengan bu Jihan yang melipat kedua tangan di atas meja. Jemarinya saling bertautan, meremas satu sama lain, sementara tatapan matanya begitu tajam menyorot ke arah Andra.

"Kamu tau, apa kesalahan kamu, Keandra?"

Kesalahan? Andra pikir yang seharusnya ditanyai seperti itu bukan dirinya. Harusnya di sini, ia yang mengadu bagaimana perlakuan Leon dan kedua temannya itu pagi tadi.

"Saya enggak merasa berbuat masalah apa pun, Bu," jawab Andra jujur. Benar, kan? Ia tak berbuat kesalahan apa-apa hari ini.

Bu Jihan tiba-tiba saja menggebrak meja. Membuat Andra tersentak karena kaget. "Saya tidak suka dengan murid yang tidak jujur seperti kamu!" ujarnya tegas, membuat Andra semakin mengrenyitkan dahinya. Ia kaget, tetapi sepertinya ia mulai paham sedikit demi sedikit.

"Leon, jelaskan apa yang seharusnya kamu katakan."

Andra melirik Leon yang berlagak seolah-olah terdzolimi. Dan ... hei! Dahi Andra kontan mengerenyit dalam, saat mendapati beberapa titik memar di wajah Leon juga kedua temannya. Sial! Batin Andra. Ia paham, ke mana arah otak kacang itu akan berjalan.

"Dia." Telunjuk Leon menunjuk tepat ke arah Andra. Jelas, membuat Andra terdiam. Memikirkan kira-kira apa yang sialan itu akan lakukan kepadanya. "Pagi ini, dia menghajar saja dan kedua teman saya tanpa alasan yang jelas."

Kedua mata Andra membola. Astaga, kebohongan macam apa yang dilakukan oleh bajingan gila ini?

"Benar, apa yang sudah kamu lakukan, Keandra?" Bu Jihan menatap Andra, seolah-olah ia akan menelan muridnya itu.

"Bohong, Bu. Saya nggak pernah—"

"Penjahat mana ada yang mau ngaku, Bu. Kalo semuanya ngaku, penjara penuh," koor Leon dengan senyum sinis.

"Tapi Bu—"

Bu Jihan berdiri setelah menggebrak meja sebelumnya. Menatap Andra dengan tatapan tajam. "Kemarikan ponsel kamu."

Andra mengrenyitkan dahinya samar. Tak mengerti dengan apa yang Bu Jihan maksudkan.

"Saya akan menghubungi orang tua kamu dan memberitahukan bagaimana perilaku anaknya di sekolah."

Tidak!

Jangan sampai ayahnya tahu, apa yang terjadi kepadanya hari ini. Bukannya Andra takut dirinya akan dimarahi atau dihukum. Ia malah takut hal lain terjadi. Bagaimanapun, sekolah ini milik ayahnya, bukan? Jadi, bukan suatu hal sulit atau tidak mungkin, jika posisi Bu Jihan terancam. Ya, benar. Andra yakin, ayahnya itu tidak akan mengambil keputusan tanpa sebab-sebab yang jelas.

"Kenapa kamu diam? Cepat, kemarikan ponselmu!"

Andra menghela napasnya pelan. Berusaha meredakan gejolak dalam dirinya. Ia takut akan merusak nama baik ayahnya. Bagaimanapun, yang orang lihat belum tentu seperti kenyataannya, bukan? Orang-orang bisa saja melihat dari sisi depan, tetapi tidak melihat bagian dalamnya.

"Saya akan melakukan apa pun yang Ibu suruh," putus Andra pada akhirnya. "Tapi saya mohon, jangan beritahukan kepada orangtua saya."

Bukan tanpa sebab Andra berkata demikian. Ia hanya takut. Takut ayahnya malu karena tingkahnya yang sama sekali tidak bisa melawan ini.

Bu Jihan berdecak, tampak meremehkan. Lantas ia bangkit dari duduknya, menopang kedua tangan di atas meja dan meluruskan pandangannya kepada Andra. Menatap tajam pemuda itu dengan mata yang menyeramkan. "Jadi, kamu tidak mau jika orangtuamu tau?"

Andra diam.

Tiba-tiba saja, bu Jihan bertepuk tangan, lantas tertawa girang. Tidak! Tepatnya tertawa meremehkan. "Kamu malu, ya? Karena orangtua kamu yang hanya tukang kebun dan pembantu itu sampai tau, kelakuan anaknya di sekolah?"

Kening Andra berkerut, kala mendengar penuturan bu Jihan. Tukang kebun dan pembantu? Batinnya penuh tanda tanya.

"Kamu pasti malu, 'kan, jika identitas kamu sebagai anak dari tukang kebun dan pembantu itu, sampai terbongkar?"

Di tempatnya, Leon tersenyum senang. "Wah! Ternyata, dia cuma orang miskin. Ck. Miskin aja belagu!"

Andra diam saja. Tidak ingin melawan. Bukankah singa lebih besar kedudukannya daripada seekor anjing?

*****
120120

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top