Bab 1 - Broken Frame

Jadilah anak yang penurut, lalu ketika saatnya tiba ...
semua akan berada dalam genggamanmu.


Malam di London tidak akan pernah sepi. Setiap sudutnya selalu ada gerombolan orang yang tengah mencari gairah hidup, seperti halnya Dominic.

Satu botol wine yang masih berisi setengah, baru saja pecah di tangannya setelah menghantamkannya ke kepala seorang lelaki pirang.

Seluruh pengunjung yang semula asik di lantai dansa, langsung menyingkir. Menyaksikan pemuda tinggi berambut cokelat berantakan sedang tersenyum pongah ke lawannya yang sudah terkapar. Cairan wine menetes dari sisa botol di tangannya, menyatu bersama genangan di lantai.

Tidak ada yang meneriakinya sebagai pembuat onar apalagi marah karena bisa saja malam itu telah menghilangkan nyawa seseorang. Mereka hanya mengelilingi, saling berbisik, sedangkan musik masih menghentak-hentak.

"Ini akibatnya kalau berani mengganggu orang-orangku!" desis Dominic. Botol di tangan dilemparkannya ke samping lelaki pirang itu, lalu berbalik pergi-kembali ke bar yang ada di ujung ruangan.

"Bersiaplah untuk pergi dari sini!" seru Dominic seraya mengusap sudut bibir yang terluka karena tadi ditonjok oleh si lelaki pirang sebelum tumbang.

"Kau memang gila!" Orang-orang seusianya yang menanti di bar itu langsung tertawa. Mereka berdiri dan meninggalkan ruangan, tapi di balik gemerlap lampu, segerombolan pria bertato penuh sekujur badan masuk dan berjalan menuju mereka.

"Sial!"

Mereka putar arah, berbalik ke pintu belakang. Awalnya hanya berjalan, tapi langsung berlari kencang kala gerombolan bertato itu mengejar sambil meneriaki. Tidak ada rasa takut di wajah mereka, malah tawa mengiringi derap langkah dan deru napas yang makin berat.

Inilah yang namanya mencari gairah dalam hidup versi Dominic Dawson.

Pemuda bermata hijau lumut itu memasang hoodie-nya dan menyelip di antara kerumunan, lalu melambai tanpa menoleh. Teman-temannya yang lain melakukan hal yang sama, melambai lalu berpencar. Dua jam lagi matahari akan terbit, itu artinya sudah saatnya untuk kembali.

Dominic berjalan menuju parkiran mobil, sengaja memilih tempat jauh dari klub malam yang mereka datangi. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di sekitar, ia memasuki porsche biru, meninggalkan parkiran dan melaju cepat.

Baru saja sampai di parkiran apartemen mewah miliknya, dua pria berjas hitam lengkap menantinya turun dari mobil dan menunduk hormat. Mood yang semula sudah membaik, langsung hancur seketika.

"Kenapa kalian di sini?"

"Tuan muda, kami diutus untuk membawa Anda pulang pagi ini."

"Tidak lihat ini masih pagi buta?"

"Maaf, Tuan. Sebenarnya kami datang dari siang tadi tapi Anda ...."

"Sudahlah!" Dominic mengibaskan tangan dan meninggalkan dua bodyguard suruhan ayahnya itu. "Beri aku waktu beberapa jam!"

"Tentu, Tuan. Maafkan kami."

Berlaku seenaknya adalah kebiasaan ayahnya. Jika tahu hari ini disuruh pulang ke rumah utama, ia tidak akan keluyuran. Dominic tidak mau orangtuanya melirik kebebasan yang didapatnya dengan susah payah. Kalau mereka sampai ikut campur juga, habis sudah semuanya.

Usai membersihkan tubuh dan memakai pakaian yang lebih formal, ia kembali turun dan masuk ke mobil yang sudah disiapkan. Ini bukan pertama kalinya terjadi, sekali dalam lima bulan ia harus pulang dan setor muka pada orangtuanya. Bukan karena mereka rindu--oh, alasan manis seperti itu tidak akan pernah ada di keluarganya. Mereka hanya ingin memastikan dengan mata sendiri bagaimana keadaan sang ahli waris. Tidak lebih.

Lahir sebagai anak sulung dari keluarga miliader adalah anugerah yang harus Dominic syukuri, tapi dunia ini begitu adil. Ketika ia mendapatkan segalanya dari materi yang berlimpah, maka akan ada satu hal penting lain yang direnggut. Kasih sayang orangtua.

Namun, semua itu tidak akan pernah ia dapatkan hingga kini sudah menginjak usia 22 tahun. Dominic tidak lagi peduli pada semua itu. Yang harus dilakukannya hanyalah menjadi anak baik; penurut, melakukan semuanya dengan sempurna, dan tidak boleh memberi celah bagi orang lain untuk merendahkannya.

Menjadi yang pertama. Teratas. Memegang kendali atas segala hal. Sebuah hidup yang membuatnya terkikis secara perlahan hingga tidak tahu apa keinginannya sendiri.

Itulah Dominic yang seharusnya terlihat di mata kedua orangtuanya.

****

Setiap anak punya rahasianya sendiri. Sebuah dunia yang tidak ingin mereka bagi dengan orangtua. Begitu pula Dominic. Kehidupannya di luar kediaman utama Dawson adalah dunia yang tidak akan pernah ia biarkan disentuh oleh orangtuanya. Sebab sekalinya mereka tahu dan ikut campur, Dominic akan merasakan kehilangan itu lagi.

Ingatan ketika berusia 15 tahun tiba-tiba menyergapnya. Saat itu Dominic hanyalah bocah kecil yang menganggap bahwa tidak ada yang menarik di dunia ini. Ia hanya harus mengikuti semua yang orangtuanya inginkan.

Setiap tahunnya keluarga Dawson melakukan kegiatan sosial, salah satunya memberi bantuan dana pada panti asuhan. Untuk tahun ini, sebagai salah satu bentuk pengenalan pada 'dunia', Dominic ditugaskan melakukannya.

Bocah kecil dengan tatapan dingin itu disuguhkan puluhan daftar nama panti asuhan dan diberi wewenang menunjuk salah satunya untuk menjadi yang beruntung tahun ini. Tanpa pikir panjang, ia menyebutkan satu nama dari daftar yang kebetulan melintas dan semuanya selesai.

Libur akhir pekan ini, akan dilalui dengan mengunjungi panti tersebut.

Begitu berbedanya ia dengan anak seusianya yang lain, hari minggu Dominic diisi dengan kegiatan amal ala orang kaya. Tiga bodyguard dan satu sopir keluarga Dawson mengikutinya di belakang, memasuki panti asuhan kecil yang dari luar seperti akan bobrok jika ada anak yang berlari di lantai atas.

Panti asuhan itu suram. Kotor. Sebuah tempat yang tidak pernah terbayangkan bagi Dominic untuk dikunjungi.

Usai menemui Ketua Yayasan, mereka memberinya waktu luang untuk berkeliling-memantau keadaan.

"Uruslah semuanya. Biar aku keliling sendiri!" seru Dominic. Kaki kecilnya melangkah melewati koridor yang bagian kirinya terdapat jendela kaca menghadap halaman depan.

Sorot matanya kosong, kernyitan tercetak jelas di dahi, membuktikan betapa tidak nyamannya ia berada di sana. Akan tetapi, mata hijaunya tertuju pada anak kecil berwajah asia yang sedang duduk berbicara sendiri di ayunan di bawah pohon. Dominic yakin tidak ada siapa pun di dekatnya, tapi kenapa ada banyak ekspresi dari wajah itu seolah sedang berdebat dengan seseorang?

Dominic tidak pernah bertemu orang gila sebelumnya, tapi sekarang hatinya mencelos, 'Masih kecil tapi sudah gila.'

Sepatu Air Jordan abu-abu miliknya bergema ketika menuruni anak tangga, menarik perhatian anak-anak penghuni panti yang kebetulan sedang bermain di lorong dekat tangga. Tatapan mereka jelas tertuju pada sepatunya, orang miskin yang tidak tahu harga pun akan tetap sadar betapa mahal benda yang melekat di kakinya itu.

Jeritan seseorang menarik perhatian Dominic, tatapan yang semula tertuju pada sepatunya, beralih pada bocah perempuan 'gila' yang tadi dilihatnya dari atas.

"Kau mengerikan!" ejek seorang anak laki-laki yang sedang melemparinya dengan kerikil. "Menjauh dari ayunanku!"

Orang miskin masih saja saling menjatuhkan.

"Aku duluan di sini!" jerit bocah perempuan itu. Keningnya yang terkena lemparan langsung memerah, bahkan terlihat sangat jelas karena wajah yang seputih susu. Matanya sudah basah karena air mata, tapi anehnya, ia lari menerjang anak laki-laki itu dan mereka berkelahi.

Dominic terperangah untuk beberapa saat. Bagaimana tubuh kecil itu berani melawan saat air matanya tidak berhenti mengalir. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat. Tidak menunggu lama, ia mendekat ketika anak yang lain ikut dalam perkelahian untuk menyudutkan si anak perempuan.

"Hei, hentikan!" seru Dominic. Ia berdiri pongah di depan tiga anak yang sedang bergumul, saling mencakar. "Jika tidak, aku akan membatalkan dana bantuan untuk tempat kumuh ini!"

"Hah?"

Dan mereka benar-benar berhenti.

"Tuan muda!" sopir keluarga Dawson langsung menghampiri ketika melihat keributan itu. Ia membantu membubarkan kerumunan, menyisakan anak perempuan yang sedang terduduk--mendongak, menatap langsung ke mata hijau di depannya.

Tanpa sadar, tangan Dominic terulur, bermaksud membantu anak perempuan itu. Akan tetapi beberapa detik berlalu, tidak ada sambutan pada ulurannya. Ia hendak menarik kembali tapi terkejut karena alih-alih jabatan tangan, ia malah mendapat pelukan erat.

"Hei, menja-" sopir berambut cepak itu langsung protes, bermaksud menjauhkannya tapi Dominic mencegah dengan isyarat tangan.

"Tak apa. Kau tunggu saja di mobil!" ujar Dominic. Ia hanya berdiri, tidak membalas pelukan, tapi juga tak menjauhkan diri.

"Terima kasih!" gumaman terdengar dan ia hanya diam, menghela napas.

"Bisa lepaskan pelukanmu?"

Anak itu mengangguk lemah, lalu melepaskannya. Ia masih mendongak untuk bertatapan langsung dengan Dominic yang lebih tinggi darinya. Dengan mata memerah dan wajah yang tidak lagi basah, ia tersenyum.

Seketika Dominic jadi teringat pada Aruna. Gadis itu ... berapa ya usianya sekarang?

Itu adalah pertemuan awal Dominic dengan Ranko. Anak laki-laki yang lebih muda lima tahun darinya. Ya, Ranko bukan perempuan. Dia laki-laki peranakan asia berwajah cantik seperti perempuan. Dan lagi, dia bukan orang gila. Ketika berbicara dengan Dominic, tidak ada hal aneh yang terucap. Dia normal.

Di balik keganjilan karena dia suka bicara sendiri di saat tertentu, tidak ada yang mencurigakan darinya. Dia seperti anak kecil pada umumnya. Beberapa kali Dominic berpikir, sayang saja melihat Ranko ada di tempat kumuh itu. Dia ... memiliki aura yang berbeda dari anak kebanyakan.

Sejak pertemuan itu, Dominic jadi lebih sering mengunjungi panti asuhan. Menurutnya tidak buruk juga berbaur dengan kalangan bawah. Ada banyak hal menghibur yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.

Jika di lingkungannya, anak-anak hanya duduk diam, mendengarkan, dan belajar. Akan tetapi, Ranko dan anak panti yang lain melakukan hal yang sangat berbeda. Mereka berlarian, tertawa, menangis, dan bertengkar hanya dalam waktu beberapa jam saja. Sebuah emosi yang tidak terbayangkan dapat dilakukan bagi Dominic.

Secara tidak langsung, Ranko telah menunjukkan satu warna baru di dunia 'hitam-putih' Dominic Dawson. Membuka matanya bahwa hidup tidak hanya tentang menjadi terbaik dan seorang pemimpin. Lebih dari itu, ada banyak hal menarik  yang disembunyikan darinya.

Dominic ... ingin merasakan dan melihat lebih banyak warna.

Namun, dunia baru yang ia dapat akhirnya menghilang ketika orangtuanya mulai mencampuri 'tempat bermainnya'. Padahal Dominic sudah merencanakan semuanya dengan baik agar tidak terendus dan membuat khawatir sang ayah, tapi tetap saja. Mereka tidak mau Dominic melakukan sesuatu yang tidak disuruh.

Masa empat tahun kebebasan yang ia bangun, dihancurkan dalam waktu satu hari.

Bermain dengan kalangan bawah adalah hal menjijikkan bagi Dawson-sang kelas atas. Untuk itu, Dominic yang sudah tercemar harus dijauhkan dari semua itu. Akan tetapi, bukan sekadar membuat ia menjauh, Ranko dibuat menghilang tanpa jejak. Entah ke mana. Satu-satunya hal yang Dominic tahu hanyalah anak itu pergi dari apartemen kecilnya dengan membawa satu tas besar dan lenyap.

Dominic tidak akan membiarkan hal serupa terjadi lagi. Maka ketika kaki jenjangnya melangkah penuh percaya diri memasuki ruang utama kediaman Dawson, Dominic kembali pada diri yang 'seharusnya'.

"Selamat pagi, Tuan muda!" sambut pelayan yang berbaris rapi seraya menunduk hormat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top