Bab 3
Sementara itu dua muda mudi mematikan api unggun. Kemudian melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Ronan melirik gadis cantik dari Arnstey. Masih tetap sama saja. Tidak berubah sama sekali. Zena tetaplah gadis cerewet menurut Ronan. Hal yang disukai dari sifat Zena.
Zena yang ceriwis, ceria, dan tidak membosankan. Ada saja bahan cerita. Tidak seperti Ronan, pria berambut hitam sebahu tidak banyak bicara. Itu yang membuat si gadis makin gregetan.
"Ronan, kau dengar tidak?"
Alis Ronan terangkat sebelah. "Hm?"
Zena memutar kedua bola matanya, bosan. "Sudah dipastikan kau tidak mendengar apa yang aku bicarakan dari tadi."
Ronan kembali menganggukan kepalanya. "Hm."
Namun, padangannya terpaku ketika melihat Zena menghentakkan kedua kaki di tanah sambil bersungut-sungut. Pemandangan ini sudah lama tidak dia lihat dan tidak boleh disia-siakan.
"Kau menyebalkan. Ham-hem-ham-hem melulu. Apa enggak ada kata yang lain?" suara Zena mulai meninggi. Dia tidak suka dicuekin.
"Aku menyimak, kok," kilah Ronan. Sebenarnya tidak, pikirannya sedang asyik menjelajah enggak jelas.
"Bohong!"
"Enggak."
"Demi apa?"
"Hehehe."
"Tuh kan?" sumpah, Zena benar-benar kesal terhadap Ronan. Dia langsung meninggalkan sang sahabat begitu saja. Telinga si gadis menangka suara tawa di tahan.
Dengan wajah galak dia melangkah sambil berkacak pinggang. "Woy, apa yang lucu!?" tuding Zena.
Ronan semakin keras menertawakan gadis galak yang menurutnya sangat lucu. Ingin rasanya mencubit gemas pipi merona Zena. Namun, dia urungkan takut Zena malah tambah marah terhadapnya. Air mata ronan sudah keluar.
Zena menggembungkan pipinya. Dia membalikkan tubuh memunggungi Ronan dan melipatkan kedua tangan di dada.
Ronan tahu Zena benar-benar marah. Buktinya, lengan disentuh sama Ronan dia malah menepis tangan sang sahabat. Kalau begini terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya.
"Zena ..."
Mata Zena mendelik. "Apa!?"
"Kau cantik," ucap Ronan pendek. Tetapi, Zena malah membuang wajah.
Ronan menghentikan langkahnya. Kali ini dia benar-benar serius. "Sungguh. Kau cantik."
Zena menoleh kebelakang menatap sinis. "Cih, gombal."
Melihat Ronan menatap intens dirinya, dia akhirnya jadi malu sendiri. Menghembuskan napas kuat-kuat si gadis berambut hitam duduk di atas batu di luar hutan. Matanya yang indah menatap langit cerah tapi tidak secerah hatinya.
Ada sesuatu yang tidak beres Ronan mendekat lalu duduk di samping gadis tampak dilanda masalah. Tangan kirinya menyentuh pelan tangan Zena.
"Zena, ada apa?" ucapnya pelan.
Zena melirik pemuda di sampingnya. Sekali dia menghembuskan napas. "Kau tahu kenapa aku kabur?"
Ronan menggeleng pelan. Dia memilih diam agar gadis yang dia sayangi mau berbagi keluh kesahnya.
"Aku di jodohkan ...."
Alis hitam Ronan terangkat sebelah. 'Dijodohkan? Sama siapa?'
"Oleh pangeran yang tidak aku kenal."
Ronan terhenyak. Namun, dia berusaha bersikap setenang mungkin. Entah kenapa di dalam hatinya terasa nyeri.
Ronan menepuk pundak Zena pelan. "Pangeranmu dari negara mana?"
"Dia bukan pangeranku!" bentak Zena. Sadar dirinya agak meninggikan suara dia meminta maaf. "Maafkan."
Senyum Ronan mengembang. "Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong pa--ish maksud aku dia dari negara mana?"
Zena tersenyum kecut. "Dari kerajaan Harley."
"Ludo?" Ronan menutup mulutnya. Dia merutuki karena keceplosan menyebut nama itu.
Manik hijau Zena membulat. "Kau mengetahuinya?"
Ronan cepat-cepat memberi alasan agar gadis cerdas itu tidak curiga terhadapnya. "Kerajaan harley memang terkenal akan jasanya dalam perang. Siapa sih yang tidak mengenal Ludo?"
Mata Zena menyipit. "Sepertinya kau tahu sesuatu."
"Aku tidak tahu banyak. Aku hanya mendengar dari orang yang aku temui. Itu saja."
Zena terus menatap manik hitam Ronan. Ronan pun membalas tatapannya. Lama kelamaan Zena tidak kuasa ditatap seperti itu. Mata Ronan menatap teduh terhadap dirinya. Namun tidak berlangsung lama Ronan melihat keadaan sekeliling.
"Ada apa?"
"Kita tak bisa berlama-lama di sini. Ada pasukan kerajaan mengejar kita. Ayo."
Ronan menggamit tangan mungil Zena. Gadis itu pun menyambut genggamannya. Mereka berlari meninggalkan area hutan. Seekor hewan besar melintas dari atas. Ronan mendongak. Siulan bernada sumbang memanggil si hewan berbulu putih kecokelatan.
Bunyi debuman menghantam keras ke tanah. Debu berterbangan. Seekor griffin setengah elang bertubuh singa mendarat tepat di hadapan mereka. Matanya berwarna merah menatap tajam terutama seorang gadis tengah bersembunyi di belakang tubuh Ronan.
"Anda kemana saja, Tuan Ronan? Aku mencarimu dimana-mana." Suara lembut namun tegas. Menandakan dia seekor griffin betina. "Siapa gadis itu?" dia menunjuk dengan menggunakan sayap kanannya.
Ronan menoleh ke belakang lalu beralih ke depan. "Dia Zena, putri dari Kerajaan Arnstey, Merion."
"Kau berteman dengan musuh," sahut Merion dingin.
Ronan terkekeh. "Tidak. Dia sahabatku dari kecil." Dia menoleh ke belakang sekali lagi. "Jangan takut. Merion adalah tunggangan kesayanganku."
Zena perlahan-lahan melangkah, takut hewan itu akan menggigitnya.
Merion mendengus kasar. "Aku tidak akan memakanmu. Dagingmu tidak enak."
Zena yang awalnya takut kini menatap tajam. Hampir saja dia mencabut pedang dari sarungnya untung ditahan oleh Ronan.
"Cepat naik kepunggungku. Pasukan Arnstey mendekat!"
Ronan ingin membantu Zena naik ke atas punggung Merion tapi ditepis dengan cepat oleh Zena ketika tangan Ronan hampir menyentuh bokongnya.
"Jangan sentuh dan singkirkan tanganmu dari bokongku!" sahut Zena ketus.
"Maaf enggak sengaja." Ronan meringis dan mengelus tangannya. Sakit juga.
Mata merah Merion menatap datar sang majikan. "Dasar mesum."
*
*
*
*
Zena memegang tali kekang Merion gemetar. Baru kali ini dia menunggangi seekor griffin. Tubuhnya besar melebihi ukuran hewan normal lainnya. Ronan ikut membantu cara mengendalikan Merion.
Melihat matahari hampir terbenam Zena merasakan kebahagiaan yang luar biasa. "Kau tahu, Merion?" sang griffin diam menyimak pertanyaan selanjutnya. "Aku merasa bebas. Selama ini aku seperti burung terkurung di dalam sangkar emas. Aku hanya berlatih pedang dan terus berlatih. Ayah tidak ingin tahu apakah anaknya lelah atau tidak."
Perkataan Zena membuat Ronan terdiam. Merion sebenarnya tidak menyukai gadis ini dari awal. Mungkin takut kasih sayangnya akan terbagi. Tetapi dia juga merasa kasihan sama gadis yang di atas punggungnya.
"Demi ambisi Ayah, aku dituntut ini dan itu." Manik hijau Zena menerawang.
"Termasuk perjodohan yang konyol."
Lama terdiam akhirnya Merion bicara. "Karena itukah kau melarikan diri?"
"Ya, begitulah," ucap Zena pelan. Rambut hitamnya yang panjang menyapu lembut pipinya.
Ronan yang berada di belakang tidak berkata apa-apa. Kalau boleh jujur, sejak dia bertemu Zena entah kenapa ada rasa aneh terpatri di dadanya. Kalau pun boleh egois ingin rasanya membawa kabur anak orang.
Ronan juga tahu dia juga pewaris Kerajaan Euthoria. Tidak bisa sembarangan membawa anak gadis. Bisa-bisa dihukum mati. Ronan bergidik ngeri. Dia sangat mengetahui watak Ayahnya. Keras kepala. Jika sudah bicara final itu sudah tidak bisa diganggu gugat.
"Ronan."
Lelaki berparas tampan sedikit gelagapan. Dengan cepat dia memasang ekspresi kalem andalannya. "Ya?"
"Kau melamun lagi." Pemilik nama lengkap Zena Gholia itu tengah menatap pemuda berambut hitam sebahu. Zena selalu menyukai senyum tulus Ronan tanpa dibuat-buat. Ah, dia merindukan saat mereka masih kanak-kanak.
"Tidak. Ohya, apa kau ingin 'jalan-jalan' dulu? Matahari mulai terbenam. Tentu sangat indah bila kita berada di atas punggung Merion," tawar Ronan. Bagaimanapun dia ingin berlama-lama di sini. Lelaki bertubuh tegap ini ingin Zena bahagia walau hanya sebentar.
Manik hijau seperti zamrud itu mengangguk antusias. "Tentu saja aku mau. Ayo, Merion, bawa aku terbang tinggi ke angkasa."
Sebagai jawaban makhluk Penguasa Udara itu terbang seperti yang diinginkan Putri Zena. Hewan bertubuh separuh singa dan elang meliukkan kedua sayapnya yang lebar. Zena, gadis ceria itu berteriak kegirangan.
"Wooooo." Zena memekik senang sekaligus takut ketika Merion menukik menuju ke laut. Cakarnya yang tajam berhasil menangkap dua ikan besar.
Ronan hanya terkekeh. "Ayo kita bakar ikan."
"Nanti dulu," Protes Zena. "Aku ingin lebih lama bersama Merion." Makhluk itu terbang rendah. Saking kencangnya air laut ikut muncrat mengenai dua sahabat. Zena berteriak kegirangan. Ronan memegang tali kekang agar bisa mengendalikan si hewan buas.
Setelah puas baru lah mereka mencari tempat untuk beristirahat. "Merion, ke Black Oak Estate."
Merion kembali menukik mencari tempat yang aman bagi mereka untuk beristirahat sekalian bakar ikan untuk mengganjal perut.
*
*
*
*
Jiordan dan pasukannya sampai ke Osaphin City. Dia membiarkan kuda-kuda untuk beristirahat. Kuda juga pasti lelah setelah seharian berlari. Jiordan memerintahkan salah satu anak buahnya untuk makan dan beristirahat di mulut hutan. Tentara sebanyak itu tidak mungkin masuk kota. Mereka tidak mau penduduk khawatir.
Maka Jiordan masuk ke dalam kedai. Lelaki bertubuh tegap, rambut pirang panjang, mata cokelat mencorong tajam menatap orang-orang yang tengah menatapnya juga.
Dia melangkah pelan menuju meja kosong paling pojok. Kedai menjadi sunyi karena dilewati oleh pria tampan nan sangar. Jiordan tidak peduli. Perutnya lapar minta di isi.
Seorang pelayan perempuan datang menghampirinya takut-takut. Kalau dilihat dia masih remaja sekitar umur 17 tahun. "Pe-pesan apa, Tuan?"
Suaranya yang imut mengingatkannya pada Putri Zena. "Dasar merepotkan saja," geramnya pelan. Dengan malas dia meraih buku menu usang dan membukanya dan membacakan pesanannya. Anak perempuan itu tampak mengangguk lalu berlalu.
Jiordan merebahkan tubuhnya. Tangannya memegang kepala terasa berat. Sepertinya aku harus istirahat sejenak. Setelah menunggu hampir lima belas menit mata cokelat itu berbinar. Makanan yang dia pesan akhirnya datang juga. Creamy Garlic Mushroom Soup terhidang di meja. Ditambah beberapa irisan roti hangat. Segelas Honey Wine sudah siap untuk di minum.
"Terima kasih," ucapnya lembut.
"Sa-sama-sama, Tuan." Gadis itu menganggukan kepalanya. Baru saja dia membalikkan tubuh, pria itu memanggilnya.
"Duduk."
Suara baritone pria berambut pirang indah itu membuat gadis berwajah cukup manis sedikit terhenyak. Suara berat seksi dari si lelaki tampan membuat dia memundurkan langkahnya.
Jiordan mengetahui gelagat anak itu langsung memberi isyarat agar duduk. Gadis itu menurut. Kepalanya terus menunduk tidak berani menatap.
"Tegakkan kepalamu."
Kepala gadis itu reflek terangkat. Jiordan terpana melihat matanya. Manik bottle green sangat indah menurut Jiordan. Hijau seperti botol tapi jernih. Saking terseponanya dia sampai lupa soup nya agak dingin. Sedikit berdehem menetralkan suasana dia menawarkan makanan dan ditolak dengan halus oleh si pemilik bottle green.
Jiordan makan dalam diam. Gadis itu masih duduk mematung. Tidak berani mengajak bicara. Hatinya berdegup kencang. Dalam hatinya dia berkata, ah tampan sekali pria ini. Telinganya menangkap dibalik meja kasir para gadis kasak kusuk membicarakannya. Mungkin bagi mereka alangkah beruntungnya dia.
Gadis itu mulai membereskan piring kosong. Jiordan telah menghabiskan makanan. Namun, ditahan olehnya. "Apakah kau yang memasaknya?"
Takut-takut dia menjawab. "I-iya, Tuan."
Jiordan menghela napas. "Tolonglah, jangan takut kepadaku. Nah, begitu." Gadis green bottle itu hanya mengangguk.
"Makanan ini sangat enak. Aku menyukainya," puji nya tulus.
Hati sang gadis melambung bahagia. Begini saja sudah cukup. Pujian tulus itu membuatnya bersemangat akan membuat masakan lebih enak lagi.
"Terima ka-kasih," ucapnya lirih.
Pemilik manik baby blue itu tersenyum tipis."Siapa namamu?"
"Brenda. Na-namaku Brenda."
"Nama yang bagus. Akan aku ingat namamu bila suatu saat nanti mampir ke sini. Tetapi, dengan satu syarat." jiordan beranjak dari kursi.
Brenda mendongak. "Syarat?" Pria ini tinggi dan gagah. Diam-diam dia mengagumi lelaki berwajah keras tapi lembut. Berharap bisa berjumpa lagi.
"Jangan gugup ketika aku ajak bicara," tegas Jiordan. Tangannya menyodorkan beberapa keping emas. "Dan ini untukmu."
Brenda menerimanya dengan senang hati. Sebuah koin emas dengan lambang daun dari Kerjaan Arnstey. Dalam hati dia bertekad akan menyimpannya erat-erat. Tunggu, dia melupakan sesuatu. Nama pria itu. Ya, dia sampai lupa menanyakan namanya. Brenda melesat keluar mencari si sosok jangkung. Aha, itu dia.
"Tuan, tunggu dulu!" Brenda setengah berlari menghampiri lelaki itu dengan napas terengah-engah.
Merasa terpanggil sang Panglima Perang menoleh ke belakang. Kedua alisnya terangkat. "Ada apa?"
"Nama Anda. Aku belum tahu namamu," ucap gadis bermahkota tembaga. Rambut ikalnya menutupi pipinya dia selipkan di belakang daun telinga.
Sambil tersenyum manis lelaki rupawan itu berkata, "Jiordan."
Jiordan sudah pergi. Brenda masih mematung di tengah jalan. Para gadis yang sibuk kasak kusuk menghampirinya dengan wajah penasaran.
"Siapa pria tampan tadi?" tanya salah satu gadis berambut pendek. Pipinya banyak bintik-bintik kecil.
Brenda hanya menggeleng pelan. Dia berdoa agar pria itu datang lagi ke kedainya.
Jiordan mempercepat langkahnya menuju hutan. Mata biru terang itu menangkap ank buahnya tertidur. Ada juga sambil berjaga-jaga.
Joirdan menepuk pundak salah satu pengawal. "Istirahatlah, biar aku yang jaga."
"Baik, Tuan Jiordan."
Pria berpangkat Panglima Perang itu merebahkan tubuhnya. Dia merenggangkan punggungnya terasa pegal. Sambil berbaring matanya menatap langit bertaburan bintang. Salah satu bintang seperti layang-layang menyita perhatiannya.
"Bintang pari ...." gumamnya.
Ingatannya kembali kepada gadis di kedai. Dia tidak cantik, tapi manis dan enak dilihat. Matanya itu, seperti botol hijau atau permata lebih tepatnya. Entah mengapa mata itu seperti menghipnotis dirinya.
Brenda ... Rambut tembaganya itu membuatnya terpesona. Wajahnya yang bulat ditambah suaranya yang imut mengalihkan dunianya. Harusnya dia memikirkan Putri Zena Golia, apakah dia selamat atau tidak. Bukan malah memikirkan Brenda.
Ah, Jiordan menggeleng kepalanya. Wajah Brenda benar-benar mengalihkan dunianya. Apakah dia jatuh cinta? Ataukah mulai menyukai gadis manis itu? Dia merasa separuh hatinya telah dicuri oleh seorang gadis sederhana.
Lelaki berumur 26 tahun itu menggumamkan nama si gadis. "Brenda ...."
Sementara di kedai Brenda sedang mengelap meja.
"Hasyyiiiuu!"
Sepertinya ada yang membicarakanku. Tapi biar deh. Dia menggedikkan bahu melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Suhu udara mulai dingin. Malam kian larut. Suara burung hantu mulai mengeluarkan suaranya. Lolongan serigala ikut mengaum.
Tamat? Or Tamat.
An. Akhirnya selesai juga challenge dari Raws. Maafkan kalo ada tipo2 krn jari saya terlalu gembrot. Ahhahahahha
Terima kasih semuanya. Baik yg komen atau vote. Sungguh kalian membuatku lebih bersemangat lagi.
Sampai ketemu lagi.
Di balik layar:
Ronan: Ini beneran tamat?
Zena: Entah.
Merion: baju burung ini membuatku gerah ga ketulungan.
Jiordan: Readers protes ama kita-kita. Gimana donk? Hei author, tanggung jawab, hoyy!!
Sedangkan author nya sendiri bersiul ria sambil terkekeh gaje.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top