Bab 1
Gadis kecil itu berlari dari dalam kamar sambil memeluk sekeranjang penuh mainan. Langkah kaki si anak perempuan terus berlari melewati lorong kastil. Matanya yang bulat berwarna hijau terang tampak berbinar ketika tertuju pada sosok bocah berambut hitam sedang asyik membaca buku di gazeebo.
"Ronan!" teriak si gadis. "Tolong bawakan aku mainan ini, berat."
"Iya, Zena." Laki-laki bernama Ronan itu langsung beringsut mendekati dan menaruh mainan beraneka bentuk ke dalam gazeebo.
"Yuk, kita main boneka," ajak Zena antusias.
Alis Ronan terangkat sebelah. 'Ha? Aku main boneka? Yang benar saja?' sudut di bibir nya menyeringai sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Oh, ayolah Ronan, temani aku main boneka," rayu Zena. Mata indahnya mengerjap agar mendapat perhatian dari sahabat karibnya.
Tanpa menoleh sedikitpun dia meneruskan bacaannya yang tertunda. Pipi Zena menggembung menahan amarah. Mata sejernih permata mulai berkaca-kaca. Zena kecil menangis.
Sudut mata hitam itu menoleh sekilas. Dia mendapati si gadis kecil berjongkok sesekali mengusap air matanya.
"Kau kenapa?" tanya Ronan heran.
"Menangislah, masa tertawa?" balas Zena sengit. Wajahnya sembab karena air mata terus mengalir.
"Lalu?"
"Kau tidak mau aku ajak main boneka!" sembur Zena berapi-api.
"Jelas tidak mau, aku ini laki-laki bukan perempuan dan aku tidak memakai rok!" sahut Ronan tak kalah sengit.
Ketika dua bocah itu sedang adu mulut empat pengawal datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka dan menggiring Ronan.
Seorang Raja berparas tampan menghampiri anaknya.
"Ronan, ayo kita kembali."
"Ada apa, Ayah? Kenapa kita pulang?" tanya Ronan heran.
"Kerjasama perdagangan dengan ayah Zena terancam bubar." Dengan tegas pemilik bariton itu menatap tajam pada Zena.
"Ayah dituduh berkhianat. Ayo kita pulang sekarang!"
"Tapi Ayah ...."
"Tidak ada tapi-tapian."
"Ayah ...."
"Ayah tidak menerima penolakan." Kata-kata tegas keluar dari mulut sang Ayah. Hal itu membuat Ronan sedikit takut.
Artinya, keputusan tidak bisa diganggu gugat.
"Ronan!" teriakan si gadis kecil membuat bocah penerus kerajaan Euthoria menoleh. Mata hitam itu membulat, Zena sudah dipegang kedua lengan kecilnya. Anak itu terus meronta. Pekikan kecil terdengar. Zena kembali menangis.
"Lepaskan aku!" Zena terus menerus meronta.
Ronan kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak tega melihat sahabatnya menangis.
"Ronaaannnn!"
"Pengawal, bawa Zena ke atas dan kurung dia. Jangan sampai lolos," perintah sang Raja Arnstey Fort. Dua pengawal istana itu mengangguk patuh dan menggiring Zena ke dalam istana.
Zena terus memberontak hingga sudah sampai ke dalam kamarnya yang luas. Zena jatuh terjerembab di lantai karena pengawal tadi mendorongnya cukup keras. Dinginnya lantai membuat dirinya sedikit menggigil. Tangan mungilnya mengelus kening sedikit membengkak. Dia meringis. Di tangan kirinya memeluk buku bersampul cokelat milik Ronan. Ah, entah kenapa dia memikirkan teman baiknya.
Zena bangkit dan menuju pintu. Ah, pintu dikunci dari luar. Sial kalau begini bagaimana bisa keluar, pikirnya. Dia menggedor pintu dengan kedua tangannya. "Buka pintunya!"
Tak ada jawaban. Hening. Zena berumur sepuluh tahun terus menggedor pintu hingga tangannya mulai sakit. Zean kecil lelah. Dia jatuh terduduk di lantai yang dingin. Capek. Sudut matanya melirik buku berhiaskan sampul cokelat terbuka.
Zena tersenyum kecut. Sang sahabatnya itu selalu membaca buku berjudul Friends. Kemana-mana Ronan selalu membawa serta buku kesayangannya. Zena terus membuka lembar per lembar. Sampai di bab akhir mata hijau itu membulat. Sebuah sketsa seorang anak perempuan tengah berada di padang bunga mawar putih dengan latar belakang istana. Gadis itu tampak seperti dirinya. Bibir tipis Zena mengukirkan senyuman. Ronan menggambar dirinya jelek sekali. Di bawahnya ada nama dan tanda tangan acak-acakan.
Anak perempuan berwajah manis itu mencibir. Huh, sok-sokan pakai tanda tangan segala. Walaupun kadang Ronan itu menyebalkan dan sering menjahilinya, tapi Ronan sangat baik hatinya. Mengingat itu Zena menitikkan air matanya. Dia merindukan sahabatnya. Perlahan dia menyimpan buku Ronan di dalam laci.
Terdengar suara langkah dari luar. Pintu terbuka menampilkan sosok berwibawa menghampiri putri satu-satunya. Zena mendengkus, tidak ingin melihat wajah ayahnya.
Sang ayah mengetahui anaknya marah. Itu karena dirinya. Perlahan pria berparas tampan duduk di tepi tempat tidur. "Zena," ujarnya pelan.
Zena menoleh. "Ayah sungguh tega mengusir Ronan beserta Ayahnya."
Raja bernama Gilbert menatap mata hijau Zena. "Mereka mengkhianati kita. Seenaknya saja memutuskan hubungan kerjasama yang Ayah bina selama ini."
"Itu urusan Ayah. Jangan melibatkan kami yang tidak tahu urusan orang dewasa, kami tidak tahu apa-apa," jawab Zena berapi-api.
"Mulai sekarang kau jauhi Ronan. Atau ...."
Mata Zena memicing. "Atau apa?"
Suara baritone berat dari sang Ayah terdengar. "Ronan akan mati."
"Apa!?" pekiknya. Apa-apaan ini? ayah!"
Sang Ayah beranjak dari hadapannya dan meninggalkan Zena di kamar. "Pengawal, awasi anakku, jangan sampai keluar istana."
Keputusan final dari Penguasa Arnstey membuat dua pengawal mengangguk patuh. "Baik, Yang Mulia."
Pintu kembali terkunci dari luar. Zena kecil tak bisa berbuat apa-apa. Air matanya meleleh di pipinya yang halus. Tangis pecah seketika. Dia sesungukan di ranjangnya yang luas. Dirinya yang rapuh tidak bisa melakukan perlawanan. Dia takut menghadapi sang Ayah. Yang hanya bisa dia lakukan saat ini adalah menangis meratapi nasibnya.
Pemilik mata indah itu akhirnya tak kuat menahan kantuk. Tak lama kemudian anak bernama Zena Golia tertidur pulas.
Beberapa hari kemudian, Zena dipanggil menghadap sang Ayah. Menurut, dia melangkah mengikuti dua pengawal berbaju zirah. Dalam hatinya bertanya ada apakah ayah memanggilku, pikirnya. Mata hijau itu menangkap sosok tengah duduk di kursi singgasana. Hijau bertemu dengan biru terang.
"Ada apa, Ayah?" tanyanya.
"Zena, Ayah memanggil seorang pelatih pedang untuk melatihmu. Ayah sudah tua, kuharap suatu saat nanti kau akan menggantikan posisi Ayah." Sosok pria itu sedikit membungkuk memberi penghormatan kepada Zena. Zena pun membalas dengan anggukan.
"Tapi Ayah, aku tidak suka bermain pedang," protes Zena.
"Tidak ada namanya penolakan. Sekarang kau mulai belajar memainkan pedang!" titah sang Ayah.
Suara berat baritone namun tegas membuat Zena sedikit ciut nyalinya. Mau tak mau dia menuruti keinginan Ayahnya.
Mereka digiring oleh empat pengawal ke sebuah halaman yang luas. Berbagai macam aneka bunga menghiasi istana. Di sini lah mereka berdiri berhadap-hadapan.
Pelatih pedang berbadan tegap mendekati Zena mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, namaku Antonio de La Cruz."
Zena sedikit terpana dan gugup. Lalu dia mengulurkan tangan membalas sapaan Antonio. "Namaku Zena Golia."
Alis Antonio terangkat. "Wah nama yang bagus,"puji pria berparas rupawan membuat wajah Zena tersipu malu.
"Terima kasih."
"Baiklah, kita belajar teknik dasar dulu.
Zena mengangguk malas. "Baiklah.
Antonio terus memberi wejangan memainkan pedang yang baik dan benar. Zena merasa kepalanya sakit karena pelatihnya ini terus mengoceh. Zena hanya mengangguk pasrah. Hal itu membuat Antonio bersemangat. Antonio terus melatih cara mengayunkan pedang secara intens.
"Ternyata kau berbakat mengayunkan pedang," puji Antonio senang. Pria bermarga de La Cruz memberikan tepuk tangan yang meriah kepada Zena.
"Benarkah?" tanya Zena tak percaya. Dia sedikit heran dan tidak percaya. Padahal dia sangat membenci benda tajam yang dia genggam saat ini.
"Sungguh."
Kata-kata Antonio membuat Zena sumringah. Entah kenapa di otaknya yang cerdas dia mendapat ide brilian. Pedang ini mungkin berguna suatu saat nanti. Semangat nya untuk berlatih kembali berkobar.
"Kalau begitu, ajari dan latih aku sampai bisa. Maukah kau mengajariku, Antonio?" pinta sang gadis cantik pewaris kerajaan Arnstey.
Senyum tersungging di sudut bibir sang pria bertubuh tegap. "Tentu saja, Nona Zena."
"Terima kasih. Sekarang ayo kita mulai."
*
*
*
*
Tujuh tahun telah berlalu. Sebuah negara yang dikuasai oleh Arnstey sangatlah makmur. Tampak penduduk hilir mudik menjajakan dagangannya. Berbagai macam sayur, ikan, buah-buahan ada di pasar tradisional. Tawar menawar pun terdengar antara penjual dan pembeli. Di pelabuhan Clepthia tampak nelayan hilir mudik menurunkan kotak kayu berisi ikan. Kemudian kotak-kotak itu diangkut ke kereta kuda untuk dibawa ke pasar.
Seorang pemuda bertudung hitam turun dari kapal. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup masker. Hanya mata hitam sekelam malam yang terlihat. Dia menoleh kiri kanan. Gerak geriknya membuat para penjaga pelabuhan menaruh curiga. Dengan langkah tergesa-gesa si pemuda berjalan cepat.
"Hei, kau!"
Langkah pria berjubah hitam terhenti. Napasnya tercekat dan memejamkan kedua matanya. Dengan helaan satu napas dia berbalik. "Ya?" lelaki itu pura-pura batuk.
"Kau baik-baik saja?" tanya salah satu penjaga berkepala plontos.
"A-aku mencari tabib, entah di laut tadi badanku tidak enak," sahut pria misterius itu.
Penjaga berjanggut tebal menyahut. "Kau lurus saja. Ikuti Nelayan itu. Belok kiri sedikit. Nah ada rumah kecil bercat tembok warna merah bata. Itulah rumah tabib Totolimbus."
Sang pemuda membetulkan jubahnya sedikit melorot sambil menghapal nama tabib yang dirasa cukup sulit untuk diingat. "Terima kasih."
"Semoga cepat sembuh."
Pria itu hanya mengangguk. Langkahnya yang mantap menyusuri arah yang diberikan oleh penjaga tadi. Dia kembali menengok kiri dan ke kanan, tangannya lantas membuka masker. Dia menghela napas lega. "Aman."
Pria yang barusan menyamar itu menatap bangunan menjulang berwarna abu-abu. Dia menyeringai tipis. "Arnstey ...."
Tubuhnya menghilang ditelan hiruk pikuk penduduk beraktivitas di jalan.
Suara pedang memecahkan kesunyian di halaman belakang yang luas. Di sana tampak seorang gadis cantik dengan gesitnya beradu pedang. Dari atas balkon berdiri seorang raja. Dia tersenyum puas, putrinya sangat mahir memainkan pedangnya.
"Ya, Cukup!" seru Antonio.
Napas gadis cantik itu terengah-engah. Begitu pula lawan tandingnya. Mereka saling membungkuk tanda latihan tanding sudah selesai.
"Terima kasih," ucap mereka bersamaan.
Antonio mendekat. "Kau luar biasa, Zena. Perkembanganmu sangat pesat." Pujian tak henti-hentinya keluar dari bibir tipisnya.
Gadis cantik bernama Zena tersenyum tipis. "Terima kasih," ucapnya pelan.
"Putri Zena, Anda sudah ditunggu Yang Mulia."
Zena menoleh sesaat. "Katakan, aku akan datang sebentar lagi."
"Baik." Panglima perang lengkap dengan topi dan baju zirah membungkuk dan berlalu dari situ.
Zena menghela napas. Dia menyarungkan pedang di pinggangnya yang ramping. Tubuh mungil itu terbalut oleh baju lengan panjang bahan katun berwarna hijau tua. Sebuah vest cokelat membungkus tubuhnya. Sedangkan celana hitam ketat menyelimuti kaki jenjangnya.
Zena melepas ikat rambut dan kini tergerai panjang sepunggung. Dia menyisir rambut hitamnya dengan tangan kanan. Setelah dirasa rapi baru lah melangkah menghadap Ayahnya.
Raja Gilbert sedang bercakap-cakap dengan seorang pria. Tampaknya mereka sangat akrab. Langkah sepatu bot menghentak lantai membuat dua orang itu menoleh ke arah sumber suara.
"Kau datang juga." senyum sang Raja mengembang.
"Ada apa, Ayah?" tanya Zena. Ekor matanya melirik kepada seorang pria terus menatapnya tanpa berkedip. Seolah-olah ingin menelanjangi gadis cantik di hadapannya. Zena tidak suka ditatap seperti itu.
"Kenalkan. Dia adalah Pangeran Ludo dari Kerajaan Harle bagian timur," sahut sang Penguasa Arnstey.
Pangeran Ludo mengangguk hormat. Matanya tak lepas memandangi si gadis cantik.
Zena sebenarnya tidak menyukai pria di hadapannya. Entah kenapa ada rasa tidak enak di hati. Namun, dia telah diajari berbagai macam tata krama. Suka tidak suka dia ikut mengangguk hormat pada sang tamu.
"Zena ...." Suara baritone sang Ayah seperti ragu-ragu.
"Ya?" balas Zena. Alisnya berjejer seperti semut berbaris terangkat.
"Mulai sekarang Pangeran Ludo calon suamimu."
Bola mata Zena hendak melompat keluar. Mulutya menganga tidak elit. Maniknya tambah melotot melihat si Pangeran dari Kerajaan Arnstey menahan tawa.
"Tidak bisa, Ayah!" jerit Zena. Dia tidak terima Ayah semena-mena menjodohkan dirinya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Perjodohan macam apa ini? Pikir nya.
"Aku tidak mau!" jeritnya sambil berlari meninggalkan mereka.
"Hahaha, jangan ditanggapi. Mungkin dia sedang lelah," ucap sang Raja santai.
"Tidak apa-apa, Baginda. Saya sangat menyukai putri Anda," timpal Ludo. Senyumnya tak lepas dari sudut bibirnya.
Gadis itu terus berlari. Cukup sudah. Zena sangat lelah dengan semua ini. Satu-satunya tempat teraman adalah kamarnya. Dia langsung mengunci pintu agar tidak ada seorang pun yang masuk.
Ini tidak bisa dibiarkan. Tidak seorang pun yang boleh mengatur hidupnya, bahkan Ayahnya. Dia sudah tahu watak ayah kandungnya. Andai saja ibunya masih hidup. Andai saja Ibu tidak jatuh sakit. Zena ingin sekali berteriak. Kedua tangannya menjambak rambut. Apa yang harus aku lakukan? Pikirnya.
*
*
*
Malam telah tiba. Bulan purnama menerangi istana. Suara burung malam terus mengalun. Para makhluk nocturnal gentayangan terbang di langit kelam. Zena sudah berganti pakaian serba hitam. Pedang pemberian dari Antonio tersampir di belakang punggungnya. Zena memakai jubah hitam bertudung menutupi kepalanya. Kemudian dia membuka jendela, ujung seprai putih dia kaitkan di ujung ranjang.
Zena terus turun dan melompat ke tanah. Di rasa aman dia langsung berlari menuju tembok mengelilingi istana dan berhasil keluar. Zena terus berlari menuju kota Fraland.
Gadis itu memasuki kedai kecil untuk mengganjal perutnya. Sejak sore dia belum makan malam sama sekali. Langsung saja memesan roti isi selai dan kopi hangat. Menu yang ditunggu datang. Baru saja Zena hendak menggigit roti, matanya menangkap sosok pemuda itu terus memperhatikannya.
Bersambung ....
AN: Selamat pagi Universe. Apa kabar? Semoga kalian sehat wal afiat ya. Aamiin.
Ohya maaf jikalau tulisan saya belum rapi. Masih ada salah-salahnya.
So all mistakes are mine.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top