Chapter 2

Cassandra sudah mengurung dirinya di kamar seharian penuh. Pembantu rumahnya mengetuk untuk memberikan makanan ataupun memintanya untuk keluar, tapi tidak dia gubris. Setelah beberapa jam sebelumnya rumah begitu mencekam dengan jeritan kesakitan Naureen. Kini suasana mulai menjadi tenang seolah tidak ada yang terjadi.

Kembali membaringkan tubuh di atas ranjang dengan nyaman dirinya mulai memijat kepala yang nyeri. Ingatan-ingatan masa depan terus berhamburan di kepalanya membuat dia semakin tidak nyaman. Pusing. Walau begitu dia menarik napas berusaha kembali memejamkan mata. Mengapa hidupnya bisa begini? Dia baru menyadari hidupnya benar-benar menyedihkan, terlebih akan mati setahun lagi.

Menjadi penjahat rendahan agar diperhatikan, membully orang dan menjatuhkan lawan dengan embel-embel sebagai putri konglomerat. Merendahkan dirinya lantas rela tetap bersama bajingan tukang selingkuh, berpikir bahwa pria itu bisa berubah mencintai dirinya. Menerima semua hukuman fisik yang tidak pantas didapatkan dari sang ayah maupun kakak.

Dulu dia tidak begini, tidak pernah sekalipun dirinya menjadi makhluk rendahan yang menjadi parasit. Dulu dia hanyalah gadis manis percaya diri yang dicintai. Ibu yang cantik penuh kasih sayang, Ayah yang memanjakan serta mengabulkan semua keinginan, dua Kakak laki-laki yang menjaganya. Keluarga mereka bahagia.

Memorinya kembali berputar tentang ingatan tiga tahun yang lalu, berpikir di mana awal mula kesengsaraan ini terjadi. Benar. Saat itu semuanya berubah ketika Naureen datang sebagai anak haram. Mulai menggerogoti setiap penjuru anggota keluarga dan menghancurkan kedamaian yang ada. Matanya terpejam erat, gemuruh kembali menggema dalam dada sedang kebencian melekat pada sudut hati terdalam.

Dia tidak akan pernah memaafkan Naureen, tidak juga dengan Ayah, maupun Mikala. Mereka bertiga bersekongkol menghancurkan keluarga ini. Membuat Kakak Pertama dan Ibunya pergi, menciptakan retakan lainnya untuk memecah keluarga ini lebih hancur hingga berkeping. Dan kini dirinya yang tersisa seolah sedang disingkirkan seperti yang lain, dirinya tertawa remeh. Itu tidak akan terjadi dengan mudah. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata. Mereka harus mendapatkan yang setimpal atas apa yang mereka lakukan.

.

.

.

Tiga tahun yang lalu.

Cassandra tersenyum cerah, sudah beberapa hari sejak kenaikan kelas, kini dia sudah kelas sembilan. Kakinya mengayun cepat berjalan menuju rumah menggenggam tangan sang Kakak. "Kayanya ada yang lagi seneng nih," goda sang Kakak. Pria dengan tubuh jangkung dan rambut ungu yang sedikit acak-acakan serta kaca mata yang bertengger di hidungnya membuat dia semakin tampan.

"Iya, dong. Pertama, San dapat peringkat kelas. Terus San juga baru pertama kali rangking satu. Pasti Mamah bakal bangga banget." Tawa lembut keluar dari bibir pria itu. "Yakin? Apa yakin?" Dia tersenyum menggenggam tangan Kakak bergelayut manja. "100% sih yakin. Fiks."

Kakak tersenyum lembut ketika mengangguk, melihat kepercayaan diri Cassandra memang selalu menarik. Langkah mereka mulai semakin tenang ketika sudah di depan rumah besar tiga tingkat, rumah dengan arsitektur modern dengan luas yang hampir menyamai setengah lapangan alun-alun kota.

Mereka berdua tersenyum lebar,  tersenyum satu sama lain, tidak sabar untuk memberitahukan kejutan ini. Perlahan membuka pintu, bukan senyuman atau kehangatan keluarga yang menanti, suara teriakan serta pertengkaran hebat hadir membuat mereka terdiam kaku. Mereka menemukan sang ibunda yang menangis hebat sementara teriakan wanita itu bergema penuh emosi.  "Lucius! Apa-apaan ini?! Kamu bilang kamu akan setia! Lalu ini apa?! Hah?! Jawab!"

Cassandra bisa melihat air mata yang membasahi pipi sang ibunda ketika mata ruby itu bergetar penuh amarah. Rambut ungu wanita itu bergerak perlahan seiring tubuhnya bergetar hebat. Cassandra meremas tangan Kakak yang kini matanya melebar, terbelalak dengan apa yang ada di hadapan. "Kak ...," bisiknya takut.

Dari arah ruang tamu, gadis yang kira-kira usianya hampir sepantaran Cassandra terduduk di sofa menunduk dalam. Rambut putih lurus yang panjang dengan mata perak menawan itu gemetaran menggenggam tangannya sendiri kuat. A- ada apa ini? Sebenarnya ini kenapa? Cassandra kebingungan serta merasa tidak nyaman. "Leora! Kumohon dengarkan aku. Ini hanya kesalahan. Kau tahu? Tidak ada lagi yang mengurus Naureen jadi-"

"Hentikan omong kosongmu bajingan.  Aku tidak butuh penjelasan lain, atau perlu tahu nama anak haram itu." Leora--- sang Ibunda kini menghapus air matanya menarik napas dalam, mata itu menatap suaminya penuh akan kebencian, menyiratkan banyaknya kekecewaan. Cassandra bisa melihat Ibunda berusaha bersikap tenang, membalikkan tubuh, berjalan dan tersenyum tipis menggenggam tangan Kakak juga dirinya.

"Cassandra, Xhaiden. Kita pergi," ucap Leora menatap Cassandra lebih dalam membuatnya kebingungan sementara Ayah mulai mendekat, wajah pria itu panik bukan main. Lucius yang tidak terima dengan kata-kata Leora mulai melangkah mendekat, walau begitu Xhaiden berdiri di depan Ibunda menghalangi sang ayah untuk memangkas jarak.

"Berhenti. Mamah sudah bilang. Kita akan pergi." Kata-kata menusuk keluar dari bibir Xhaiden yang kini menatap tajam, peringatan agar tidak mendekat lebih jauh. Wajah Lucius mulai memerah masih mengepalkan tangan, menggenggam tangannya erat, samar-samar satu tangannya yang lain menyentuh saku jasnya gelisah.

Cassandra saat itu belum benar-benar paham, dia bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi ketika melihat Ibunda bangkit menarik tangannya dan sang Kakak berjalan menuju pintu. "Ingat, Lucius. Aku memberimu kesempatan kedua dan memperlakukan Mikala sebagai putraku karena kamu bilang itu juga 'kesalahan' dan tidak akan mengulanginya lagi. Aku sudah cukup tersiksa berpura-pura jadi ibu anak haram itu. Dan kini? Satu anak haram lagi datang. Persetan. Kita bercerai sekarang juga."

"Leora!"

Leora kini menggenggam tangan kedua putra dan putrinya kuat, melangkah keluar rumah. Teriakan Lucius menggelar mengisi ruangan sesaat matanya mulai memerah kewalahan akan emosi gila terpendam, suara seraknya keluar mengancam. "Sekali kamu keluar, aku benar-benar akan mengurungmu dan mengikatmu Leora."

Sebagai jawaban ancaman Leora tertawa tipis melirik suami sampahnya kemudian mengacungkan jari tengah setengah melotot. "I don't care." Cassandra merasa tangannya berkeringat, gelisah dan gugup. Sebenarnya apa yang terjadi? Dia tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar seperti ini.

Dor!

Pening. Bising. Telinga Cassandra berdengung ketika melihat Lucius yang menggenggam senjata angin. Mata gadis itu terbelalak tidak percaya sedangkan atap rumah mulai berlubang. Wajah ibunda terlihat pucat ketika menatap Lucius dengan horor. "Persetan. Kau gila?" Xhaiden masih melindungi tubuh Cassandra dan Leora di belakangnya menatap waspada. Tawa liar keluar dari bibir pria itu ketika mengacungkan pistol menuju ibunda. Apa? Ayah? Apa yang sebenarnya terjadi?!

"PAPAH! STOP! PAPAH!"

Cassandra yang hanya tahu itu sebagai tanda bahaya dengan nekat berlari menabrak tubuh Lucius. Melihat Ayahnya mengacungkan pistol ke arah Ibunda itu benar-benar sudah di luar batas. Tapi, bukannya tembakan terhenti, suara bising kembali terdengar sahut menyahut suara ledakan tembakan pistol terdengar. Itu tembakan tidak sengaja, ketika sang ibunda yang panik berusaha mengejar Cassandra yang nekat kini tertembak tepat di dada sementara Lucius terjatuh ke lantai keras dengan Cassandra di atas tubuhnya.

"MAMAH!"

Xhaiden berteriak panik ketika melihat tubuh sang Ibunda yang terhuyung jatuh ke belakang. Lucius mulai bangkit dan gemetaran menatap tidak percaya sedang Cassandra menggeleng kepala kuat, matanya terbelalak kembali berlari menuju ibunda, bersimpuh memeluk tubuh yang perlahan dingin dengan kuat. Tubuh itu terbaring lemah dengan darah yang merembes keluar dari dadanya, mengenai Cassandra juga Xhaiden yang berseru-seru panik dengan air mata berlinang.

"Leora.."

"MAMAH! BANGUN MAH! BANGUN!"

Teriakan kedua adik kakak itu berterbangan mengisi seluruh ruangan ketika kepanikan serta rasa takut menghinggapi semua orang dalam ruangan. Mata ruby Cassandra melotot semakin lebar menyadari semua ini kesalahannya. Dia menggeleng keras sebelum Ibunda menyentuh kepalanya perlahan. "Xhaiden... Cassandra.. hiduplah. Hiduplah."

"MAH! MAAAHHH!"

"MAA, MAAF, MA. SAN SALAH. SAN SALAH. MAMAAAHH!"

"MAMAAAAHHHHHH!"

Bahkan saat itu di sudut ruangan, mau Mikala yang terdiam kaku mengetahui fakta dirinya anak haram. Ataupun Naureen yang masih tertunduk dalam yang menjadi penyebab utama Ibunda meninggal. Mereka diam membisu tidak melakukan apapun. Di mana keluarga bahagia Cassandra perlahan runtuh.

.

.

.

Cassandra menghela napas ketika kembali terdiam memeluk dirinya, bisu dan tetap terdiam di atas ranjang. Sudah dua hari, dia tidak ada keinginan untuk ke manapun. Tadi pagi samar-samar dia bisa mendengar ketukan pada pintu. Dari ketukan kuat yang tegas dia tahu itu ketukan pintu dari Lucius. Walau begitu tidak ada suara sebelum ketukan itu berakhir tanpa tanggapan.

Dua hari terakhir dia hanya berpikir dan merenung. Hal yang mustahil dilakukan dirinya di masa lalu. Karena jujur saja dia tidak pernah berpikir. Implusif, bodoh dan kasar. Setelah mengetahui dia pernah mati, sudut pandangnya mulai sedikit lebih bijak.

Dan ngomong-ngomong mengingat masa lalu. Semakin dipikir-pikir mengapa ya dia masih mau tinggal di keluarga ini dan berharap semua bisa kembali seperti sedia kala?

Hanya satu yang Cassandra dapat simpulkan. Cassandra itu bodoh. Bodoh sekali malah.

Bersambung ....

12 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top