CHAPTER 4

CHAPTER 4 : KEMURUNGAN YANG TAK TERKENDALI

Apa maksudnya yang kemarin itu? Hiara benar-benar merasa dipermainkan oleh takdirnya sendiri. Tentang pertemuan, mimpi, dan sedikit luka yang ada di tubuhnya juga luka berat yang dideritanya di hati.

Jika menghadapi kutub es sekolah seperti Kak Bagas atau Kak Saka, menurutnya lebih baik karena musuh yang dihadapi Kak Thalita dan Kak Dara itu nyata. Hidup. Mutlak ada di dunia ini.

Sedangkan yang dihadapi Hiara adalah angan semunya sendiri, ia menciptakan ilusi seolah pangeran berkudanya benar ada di dunia, tapi nyatanya mereka berdua berbeda.

Kalau kata orang LDR beda kota itu berat, Hiara juga merasakannya. Bahkan yang lebih parah dari LDR beda perasaan—karena kalian bisa membuat perasaan seseorang itu berubah dengan izin Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan Hati. Namun, jika LDR beda dimensi itu lebih sulit. Apa yang harus dilakukan agar sesorang itu menyukai kita namun sesorang itu tak ada di dunia?

Percayalah, ini lebih berat daripada LDR beda perasaan.

“Ra, kok ngelamun terus? Tenang aja, kali. Nilai UH Bahasa Jepang lo pasti bagus, kok. Kan lo udah belajar,” ujar Lucia, menenangkan sahabatnya.

“Gue bukannya khawatir sama nilai, Lulu.” Tak biasanya Hiara berucap singkat-singkat begini.

“Ada apa? Ada cowok yang gangguin lo?”

Hiara tersenyum. “Bukan, ini lagi-lagi tentang mimpi, Lu. Gue mimpi lagi ketemu sama Aomine, di kamar gue,” ujarnya lemah.

Alis Lucia menyatu. “Kenapa sedih? Harusnya lo seneng, kan?”

Hinara menghembuskan napas perlahan. “Kali ini beda, seolah semesta lagi ngajak gue mainan. Iya kalau mainannya seru, lah ini? Susah jelasinnya.”

Lucia mencoba mengerti, memang orang-orang seperti Hiara ini jarang adanya, ia harus ekstra sabar menghadapinya. “Kalau gitu, Ra. Lo harus buat permainan semesta jadi lebih menarik buat lo.”

“Caranya?”

“Menangin permainannya, maka semuanya akan menjadi menarik dengan kemenangan,” ujar Lucia dengan senyum mnenyemangati Hiara.

Hiara tak penah melihat wajah penuh rasa pecaya diri itu sebelumnya, rasanya hanya melihatnya Salsa juga ikut semangat. “Saran terbaik, makasih.”

“BTW, lusa udah fest literasi, lho. Lo nggak ke ruang OSIS?”

Setelah mendengar Hiara mengatakan hal itu, Lucia mendelik kaget. “OH IYA, GUE LUPA! GUE PERGI DULU YA, RA!” Lucia ke luar kelas dengan terburu-buru setelahnya.

Hiara memandang punggung Lucia keluar kelas, lantas ia mulai sibuk dengan ponselnya saat ini.

“Hai.”

“Astagfirullah! Kaget!” teriak Hiara reflek, sambil memukul seseorang yang mengejutkannya. “Eh? Algebra?”

Algebra tersenyum mengejek. “Kaget sama gue, nih?”

Hiara tak menghiraukannya. “Ngapain lo di sini?”

“Nyamperin lo.”

“Algoritma keluar kelas.”

“Gue nyamperin lo, Hiara.”

“Mau apa lo?!”

“Kangen, boleh dong?”

Hiara malas menanggapi ini, Algebra memanglah termasuk golongan orang yang ramah. Tapi ia seringkali kebingungan dengan sikapnya. Algebra kadang bisa menjadi teman yang sangat baik untuknya, lalu berubah menjadi orang yang terlalu menyukainya seakan obsesi, dan kadang juga bisa menjadi musuhnya—seperti saat Algebra sedikit memaksanya untuk membuka hati.

Seringkali pula, Hiara bersikap ketus agar Algebra menjauhinya.

Bukan apa-apa, tapi ia sendiri takut dengan beberapa orang yang sejak awal mengaku kalau ia termasuk fans Algebra. Sifat Algebra yang friendly, mudah berbaur, dan easy going—berkebalikan dengan kembarannya, Algoritma, yang pendiam dan kalem—itu membuatnya populer. Belum lagi dengan wajah tampan dan senyum yang manis, malah membuatnya semakin banyak disukai hingga kalangan Kakak Kelas.

“Ara, kok dikacangin, sih?”

“Gue mau ke Lucia,” tukasnya cepat.

Algebra menahan tangannya. “Nggak boleh. Luci lagi di ruang OSIS,” ujar Algebra. “Lo segitunya benci gue, ya?” imbuhnya, sendu.

Hiara terdiam di sana, tidak boleh begini, tidak boleh. “Bukan gitu, kok."

Algebra mengangguk. “Gue ngerti. Maaf untuk yang kemarin. Gue sadar banget, kalau nggak seharusnya ngeraguin lo kayak gitu."

Hiara menghela napas, lalu mengangguk. “Semoga cepat dapat pengganti gue?” tanyanya dengan tawa.

Algebra turut menertawai itu. "Gak mau buru-buru, karena yang seperti Hiara cuma satu."

Lalu keduanya tertawa.

"Lo kebanyakan gombal," ucap Hiara pada akhirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top