⭐ Bab 3: Cahaya dalam Kegelapan
Malam itu, suasana di kafe terasa lebih tenang, hanya ada kesunyian dan suara berisik binatang malam. Tara duduk di meja, memandang ke arah Chandra yang tampak lelah dan penuh penyesalan. Pemuda tersebut baru saja mengucapkan permintaan maaf, tetapi raut wajahnya menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan.
Tara merasakan dorongan untuk menghibur, tetapi juga merasa perlu memberikan nasihat yang mungkin bisa membantu pemuda tersebut menemukan jalannya kembali.
“Chandra,” kata Tara pelan, “aku tahu kamu merasa berat. Akan tetapi, mengakhiri hidupmu bukanlah solusinya. Kau harus mencintai dirimu sendiri, itulah yang paling penting.”
Chandra menundukkan kepala tampak sangat pasrah. “Kau tidak mengerti,” jawabnya pelan dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Diantara banyaknya orang hanya pembantuku yang peduli padaku, yang lain tidak ada.”
“Lihat, aku peduli,” tegas Tara berusaha mengangkat pandangannya. “Setiap orang memiliki masalah dan hidup bisa sangat sulit. Namun, kita tidak boleh menyerah! Setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki keadaan.”
Mata Chandra tampak kosong, seolah terperangkap dalam kegelapan yang dalam. “Aku tidak tahu bagaimana mencintai diriku sendiri. Selama ini, aku merasa seperti beban bagi orang lain,” katanya dengan suara serak dan terlihat putus asa.
Tara menghela napas, merasa hatinya sakit mendengar pernyataan itu. “Cinta untuk diri dari pengakuan akan nilai diri sendiri, Chandra. Kamu adalah pribadi yang berharga. Hanya karena beberapa orang tidak menghargaimu, itu tidak berarti kamu tidak layak dicintai.”
Ketika Tara menatapnya, ia bisa melihat bahwa Chandra berjuang dengan kata-katarnya. “Kenapa kamu melompat ke sungai?” tanya Tara lembut ingin tahu lebih dalam tentang pemuda tersebut. “Apa yang membuatmu merasa putus asa sehingga nekat melompat ke sungai?”
Namun, Chandra hanya diam seribu bahasa seolah-olah kata-katanya menghilang begitu saja. Ia tidak bisa atau tidak ingin menjawab. Tara bisa merasakan kegelapan yang menyelubungi dirinya dan menyadari bahwa Chandra mungkin tidak ingin membagikan masalahnya dengan orang lain.
'Mungkin ada alasan yang sangat pribadi dan itu tidak penting aku tahu,' pikir Tara.
“Aku tidak akan memaksamu untuk menjawab,” lanjutnya. “tetapi jika kau mau berbagi, aku selalu di sini untuk mendengarkan. Mungkin kita bisa mencari jalan keluar bersama-sama.”
Chandra mengangguk pelan, tetapi masih tidak berkata apa-apa. Tara merasakan keinginan yang kuat untuk membantunya, tetapi ia tahu bahwa semua itu tergantung pada Chandra sendiri. “Ayo, aku akan memesankan taksi untukmu,” katanya sambil mengeluarkan ponsel.
Chandra hanya berdiri di sana, tampak terasing. Tara merasa sedikit khawatir, ia ingin memastikan bahwa pemuda itu pulang dengan aman. Saat taksi datang, Tara memastikan Chandra naik ke dalam mobil. Sebelum pintu ditutup, dia menatapnya dengan penuh perhatian.
“Jaga dirimu, Chandra. Jangan ragu untuk datang, jika kau butuh seseorang untuk berbicara,” ucapnya tulus.
Chandra hanya mengangguk, tatapannya masih terlihat kosong. Saat taksi melaju menjauh, Tara merasakan campuran emosi dalam dirinya. Ingin membantu Chandra, tetapi ia juga sadar bahwa usaha itu harus datang dari dalam diri Chandra sendiri.
Keesokan paginya, Tara membuka kafe dengan hati-hati, merasakan kesunyian yang membentang di dalam ruangan. Ketika pelanggan mulai berdatangan, suasana kafe perlahan kembali hidup. Namun, di antara semua itu Tara tidak bisa berhenti memikirkan Chandra.
Saat jeda, Megha datang menghampiri. “Hai, Ra! Kamu terlihat lelah seperti bergadang semalaman,” ucap Megha menyadari wajah sahabatnya yang sedikit pucat.
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit memikirkan kemarin malam,” jawab Tara berusaha terlihat santai.
“Biar aku tebak pasti berkaitan dengan pemuda itu, kan? Yang kita lihat kemarin dengan pakaian kusut dan rambutnya yang acak-acakan?” tanya Megha dengan nada serius.
Tara mengangguk mengenang kembali momen-momen menegangkan itu. “Ya, namanya Chandra. Dia benar-benar sangat putus asa," jawab Tara kemudian menceritakan semua yang terjadi tadi malam kepada sahabatnya itu.
“Bisa-bisanya, Ra! Apa yang kamu pikirkan saat melompat ke sungai untuk menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri? Bagaimana jika kalian berdua hanyut terbawa arus sungai? Itukan bahaya banget!!” seru Megha, tampak marah.
“Aku hanya merasa itu yang harus kulakukan. Dia membutuhkan bantuan dan aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja,” balas Tara mempertahankan pendiriannya.
“Dan apa yang kamu dapatkan dari semua ini? Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang, Ra!” Megha menekankan. “Kamu juga harus memikirkan dan menjaga dirimu.”
Tara tersenyum tidak bersalah berusaha menenangkan sahabatnya. “Tapi jika aku tidak peduli, siapa yang akan menyelamatkannya?” tanya Tara, "setidaknya aku tahu aku telah melakukan hal yang benar.”
Megha menggelengkan kepala, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. “Aku harap kamu tahu batasanmu dan jangan sampai kamu terjebak dalam masalah orang lain.”
Tara menatap sahabatnya itu dengan senyuman di wajahnya tidak pernah pudar. “Tenang saja, Megha. Aku bisa menjaga diriku. Lagi pula, hidup ini tentang berbagi dan saling mendukung, 'kan?”
Sementara itu, di dalam hati Tara merasa ada panggilan untuk membantu Chandra menemukan jalan untuk mencintai dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jalan itu tidak akan mudah, tetapi jika ada satu hal yang dia pelajari, itu adalah bahwa cinta dan perhatian bisa menyelamatkan nyawa seseorang.
.
.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top