⭐ Bab 1 : Pemuda Misterius
"Okeh, saatnya untuk bekerja!" ucap seorang gadis dengan penuh semangat sambil membersihkan meja.
Tara, nama gadis tersebut. Seorang pelayan kafe yang sudah bekerja selama dua tahun dan menyukai rutinitasnya ini. Kehidupannya sederhana, ia datang pagi kemudian melayani pelanggan tetap dan pulang ke kontrakannya di sore hari. Itu sudah cukup baginya, ia tidak mencari lebih dari apa yang miliki saat ini.
Dengan cekatan, Tara menuang kopi untuk Pak Budi, pelanggan setianya yang selalu datang tepat pukul delapan pagi. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa,” katanya dengan senyum ramah sambil meletakkan cangkir tersebut di meja. Pak Budi membalas dengan anggukan dan mulai membaca korannya.
Hari itu, terasa sama seperti hari-hari sebelumnya tenang dan teratur, hingga suara dentingan pintu kafe terdengar lagi. Tara menoleh sejenak, seorang pemuda yang tampak berantakan masuk, berjalan pelan ke meja di sudut belakang kafe. Wajahnya tertunduk, rambutnya acak-acakan dan pakaian mewahnya terlihat kusut memberi kesan bahwa ia dalam keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Tara memperhatikan sekilas dari balik meja kasir. Pemuda itu duduk di kursi, memegang kepalanya dengan kedua tangan. Matanya menatap kosong dan sayu, penuh dengan keputusasaan. Tara merasa ada yang tidak beres dengan pemuda tersebut.
'Mungkin dia butuh bantuan?' pikirnya tapi kemudian ia segera membuang jauh pikiran itu. 'Itu bukan urusanku,' gumam Tara dalam hati. Ia hanya seorang pelayan kafe, bukan orang yang bisa menyelamatkan seseorang dari masalah hidup mereka.
Tara berusaha mengabaikan pemuda itu dan melanjutkan pekerjaannya, melayani pelanggan lain yang datang. Namun, perasaan aneh dan gelisah tidak kunjung hilang. Sesekali, matanya melirik ke arah pemuda itu yang masih duduk dengan posisi sama, seolah dunia di sekitarnya tidak ada. Suasana di dalam kafe yang biasanya menyenangkan, terasa sedikit lebih berat dengan kehadirannya.
“Tar, ada yang aneh dengan pemuda itu, ya?” bisik Megha, rekan kerjanya sambil menata kue di etalase.
Tara hanya mengangguk kecil, menatap pemuda tersebut dari sudut matanya. “Mungkin dia hanya sedang ada masalah. Aku tidak tahu. Kita tidak perlu ikut campur.”
Megha mengerutkan dahi. “Mungkin kamu benar. Tapi lihat dia, sepertinya dia benar-benar butuh seseorang untuk diajak bicara.”
Tara menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak ingin terlibat, Gha. Kita bahkan tidak mengenalnya. Lagipula, aku yakin dia akan baik-baik saja. Kadang, orang hanya butuh waktu untuk sendiri.”
Megha mengangkat bahu tidak peduli, lalu melanjutkan pekerjaannya. Tara merasa sedikit bersalah, tapi ia menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini bukan masalah yang harus dirinya tangani. Ia sudah cukup sibuk dengan hidupnya sendiri dan berurusan dengan masalah orang asing bisa membawa lebih banyak kerumitan yang tidak diinginkan.
Beberapa menit kemudian, pemuda tersebut berdiri dengan tiba-tiba. Gerakannya mengejutkan Tara yang masih memperhatikannya dari jauh. Pemuda tersebut tidak memesan apa pun dan hanya berjalan keluar, meninggalkan kafe dengan langkah gontai. Tara melihat punggung pemuda tersebut menghilang di balik pintu kaca, diiringi dentingan halus lonceng di atas pintu.
Perasaan lega dan sedikit bersalah menyelimutinya. Dia seharusnya melakukan sesuatu, mungkin bertanya apakah dia baik-baik saja atau sekadar menawarkan segelas air. Namun, Tara memilih untuk mengabaikan itu semua. Dia merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan hidup orang lain, terutama orang asing yang tidak dia kenal.
“Dia pergi begitu saja,” gumam Megha sambil memperhatikan kepergian pemuda itu. “Kasihan, ya?”
“Ya,” jawab Tara pelan. “Tapi mungkin itu yang terbaik. Kita tidak tahu apa yang dia alami.”
Sepanjang sisa hari itu, pikiran Tara terus kembali ke pemuda misterius tersebut. Sesuatu dalam tatapan kosongnya membuat perasaan Tara tidak nyaman. Ada kesedihan mendalam di sana, sebuah keputusasaan yang hampir bisa dirasakan. Meski sudah berusaha mengabaikannya, bayangan pemuda itu terus membayangi pikirannya.
Saat senja tiba dan kafe mulai sepi, Tara menatap ke luar jendela besar kafe, berharap pemuda itu baik-baik saja, di mana pun dia sekarang. Mungkin keputusannya untuk tidak terlibat adalah pilihan yang benar, tetapi di sudut hatinya, ada sesuatu yang masih menggantung—perasaan bahwa dia telah membiarkan seseorang yang membutuhkan berlalu begitu saja.
.
.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top