3. Salon Momski
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.
~~~
Sesi foto bersama masih berlangsung hingga tiga puluh menit kemudian. Setelah penghuni indekos paling muda, Reza dan Audi, berpamitan, Naka masih menahan penghuni indekos lainnya untuk berfoto dan menyaksikan atraksi ondel-ondel yang dibawa Nanang. Terpancar jelas kebahagiaan di wajah Wisnu, meski harus melewati acara wisuda tanpa orang tua. Namun, keluarga selama di perantauan bisa menggantikan posisi yang kosong itu.
Uci bisa bernapas lega karena acara memeriahkan wisuda Wisnu di kampus sudah usai. Dia masih harus mampir ke salon dekat indekos untuk menyampaikan surat magang. Namun, dia tidak bisa langsung pulang karena menunggu Nanang mengembalikan properti ondel-ondel ke tempat semula. Wanita yang menggelung rambut panjangnya itu melihat jam di ponsel, sudah pukul dua siang.
"Nggak apa-apa, Ci. Sabar. Namanya juga nebeng. Kudu ngikut apa kata sopir. Daripada nge-Gojek, keluar uang lagi. Mending nunggu Mas Nanang dengan tenang." Uci memperingati diri sendiri saat duduk di bangku kosong sambil menunggu Nanang.
Wanita itu mengecek isi tas dan memastikan surat magang dari kampus sudah dibawanya. Uci menghela napas sambil mengipas-ngipas wajah dengan tangan. Dia mulai kegerahan di bawah terik matahari. Padahal, dia sudah berteduh di tempat yang rindang. Namun, tetap saja hawa panas masih terasa.
"Uci!"
Sang empunya nama menoleh ke kanan dan mendapati Santi berjalan mendekat ke arahnya.
"Hai, San. Kok, lo di sini?"
Santi duduk di samping Uci. "Abis nemenin doi ke wisudaan temennya. Lo sendiri ngapain sendirian pakek dress batik gini?"
"Oh, ini tadi juga abis ke wisudaan kakak kos. Sekarang masih nunggu kakak kos satunya lagi. Gue bareng dia ke sini tadi."
Halaman depan gedung graha tempat acara wisuda sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang berseliweran termasuk para fotografi dadakan yang mulai membongkar stand mereka.
"Btw, Ci. Gue makasih banget ya yang kemarin itu. Service lo emang jempolan banget. Rambut gue sampek sekarang masih lembut plus wangi kayak iklan sampo. Entar gue booking lo lagi, deh kapan-kapan. Gue juga bakal promosiin lo ke temen-temen gue yang lain."
"Duh, baik banget, sih, lo. Gue juga makasih udah percaya sama jasa gue."
"Iya, sip. Eh, gue duluan ya. Si doi udah nyariin, tuh."
Uci mengangguk seraya mengikuti arah yang ditunjuk oleh Santi. Seorang pria jangkung yang memakai baju bermotif sama dengan yang dikenakan Santi melambai kepada wanita itu. Beruntung, tidak lama setelah Santi pergi Nanang datang.
"Sori, ya, Dek Uci jadi lama nunggunya."
Uci mendongak menatap Nanang. "Santai, Mas. Ini kita langsung balik?"
"Iya. Di kosan masih ada acara penyambutan buat Mas Wisnu. Makan-makan kita."
Uci mengangguk-angguk sambil berdiri dan mengikuti Nanang yang berjalan ke tempat motor pria itu diparkirkan.
"Nanti gue berhenti di salon deket perempatan sebelum jalan ke kosan, ya, Mas. Gue mau ngurus magang dulu."
"Oke. Lo nggak ikutan makan-makan?"
"Telat aja, deh. Sisain buat gue."
Mereka menaiki motor melewati orang-orang yang mengantre untuk keluar dari parkiran. Beruntung, Nanang memarkir motornya di tempat lain hingga mereka tidak perlu mengantre panjang. Pria itu melajukan motor ke tempat tujuan Uci.
Tiba di perempatan dekat jalan menuju indekos, Uci turun dari motor dan mengembalikan helm kepada Nanang.
"Makasih, ya, Mas Nanang."
"Yakin, nih nggak mau ditungguin? Nanti pulang sama siapa?"
"Tinggal aja, Mas. Takutnya malah lama. Nanti gampang, gue bisa pesen ojek."
"Oke. Gue duluan, ya."
Uci melangkah ke depan bangunan berlantai satu dengan tulisan Salon Momski di atas pintu. Sebelum memasuki salon tersebut, Uci mengeluarkan surat pemberitahuan magang dari tas. Tidak lupa dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya untuk mengurangi rasa gugup.
Saat hendak membuka pintu, Uci mundur kembali karena seseorang berdiri menghalangi dan akan keluar dari salon.
"Pergi dulu, Mom. Aku bakal pulang malem. Mau nongkrong sama anak-anak. Mom nggak usah nunggu."
Uci makin mundur saat seorang pria yang baru saja berpamitan itu keluar dari salon dengan membelakanginya. Wanita yang memegang surat magang itu terkejut saat pria tinggi dengan badan bongsor itu tiba-tiba berbalik dan hampir menabraknya.
"Eh, sori-sori. Gue nggak tau kalo ada orang di belakang." Pria itu memegangi Uci yang hampir limbung.
"Ini punya lo," ucap sang pria sambil mengulurkan surat milik Uci. "Oh, mau magang di sini?" tanyanya setelah sekilas membaca judul surat tersebut.
"Eh, iya. Makasih." Uci menerima surat miliknya lalu membenarkan posisi berdiri. "Rencananya gitu. Semoga aja masih terima anak magang di sini."
"Kalo gitu masuk aja. Yang punya salon ada di dalam, kok. Oh, iya. Gue Faris." Pria itu mengulurkan tangan kanannya.
"Eh," Uci sempat terpaku sebelum membalas uluran tangan pria di hadapannya. "Uci."
"Oke. Sampek ketemu lagi."
Uci hanya melongo melihat pria dengan jaket kulit yang melambai kepadanya itu. Kemudian, dia mengernyit sambil mengangkat bahu dan mulai memasuki salon tersebut.
Di dalam, Uci melihat seluruh tempat terisi oleh pelanggan. Ada yang potong rambut, mengecat rambut, creambath, dan lain-lain. Di kursi tunggu pun masih ada sekitar tiga orang lagi. Sepertinya dia tidak salah pilih salon untuk tempat magang karena salon ini cukup ramai pengunjung. Beberapa di antara pegawai salon ada yang memakai seragam hitam putih, sepertinya anak magang. Dia segera menoleh ke sekeliling untuk mencari pemilik salon.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?"
Uci menoleh kepada wanita muda yang sepertinya adalah pegawai salon itu.
"Oh, ini, Mbak. Saya bisa ketemu dengan pemilik salon atau yang bertanggung jawab di sini? Soalnya saya mau nyerahin surat pemberitahuan magang."
"Kakaknya bisa ikut saya."
Uci tersenyum sambil mengangguk lalu mengikuti pegawai tersebut. Dia dibawa ke sebuah ruangan kecil berukuran dua kali dua meter di dekat ruang istirahat belakang. Seorang wanita paruh baya seumuran ibunya dengan rambut berwarna cokelat muda sedang duduk dibalik meja kerja.
"Permisi Momski, ada tamu yang mau ketemu."
Uci berdiri di belakang pegawai salon saat wanita muda itu berbicara kepada wanita yang dipanggil Momski tadi.
"Suruh duduk sini. Kamu bisa balik kerja."
Pegawai tadi mengangguk lalu meninggalkan Uci di sana. Uci langsung mendekat dan duduk di hadapan Momski.
"Ada perlu apa, ya?"
"Ini, Bu. Sebelumnya perkenalkan, saya Lusiana Dewi atau biasa dipanggil Uci dari Universitas Catra Jurusan Tata Rias dan Kecantikan semester lima. Semester ini saya dapet tugas magang. Dan rencananya saya mau magang di sini. Ini surat pemberitahuan magangnya." Uci menyerahkan surat yang sejak tadi dipegangnya itu.
Wanita dengan kulit wajah yang masih terlihat kencang itu menerima surat tersebut lalu membacanya.
Uci menunggu sambil melihat-lihat isi ruangan dengan tetap berada di kursinya. Terdapat beberapa foto model rambut terbaru dan berbagai warna cat rambut yang ditempel di dinding. Sementara itu, di meja kerja terdapat tumpukan majalah fasion, kalender duduk, laptop, dan beberapa alat tulis. Di sudut ruangan ada pot besar berisi tanaman.
"Saya sudah baca isi suratnya. Tapi, gimana ya? Saya sudah menerima tiga siswa magang dari SMK Jurusan Tata Rias juga. Kalo harus terima satu orang magang lagi kayaknya nggak bisa. Kerjaan di salon juga nggak begitu banyak. Takutnya nanti malah banyak nganggurnya."
Uci jelas merasa kecewa jika harus menerima penolakan itu. Namun, dia tidak mau menyerah dan akan berusaha membujuk pemilik salon tersebut agar menerimanya.
"Em, Bu, saya mohon izinkan saya magang di sini. Saya punya semacam program sendiri untuk laporan magang saya nanti. Tolong beri saya kesempatan untuk mengembangkannya. Kalo saya liat tadi, pelanggan di salon ini cukup banyak. Saya rasa, saya nggak akan nganggur di sini. Kalo pun tidak ada pekerjaan nantinya, saya akan berusaha mengadakannya. Gimana?"
Wanita di hadapan Uci itu menghela napas sambil membaca kembali surat di tangannya.
"Sebenernya, judul magang kamu lumayan menarik. Kebetulan pelanggan saya juga ada beberapa yang memiliki masalah dengan uban. Tapi, itu tadi sudah banyak anak magang di sini."
Uci menggigit bibir bawah karena usahanya meyakinkan pemilik salon itu belum berhasil. "Tolong beri saya kesempatan, Bu. Saya akan berusaha menarik pengunjung paruh baya yang bermasalah dengan uban dan membuat mereka jadi pelanggan di sini dengan program yang saya buat."
"Gimana, ya?" Pemilik salon itu tampak masih mempertimbangkan untuk menerima Uci.
"Ya udah gini aja. Saya terima kamu magang di sini. Tapi, saya nggak bisa kasih bayaran, ya? Mungkin cuma bisa kasih ganti untuk transport sama makan siang. Gimana?"
"Enggak apa-apa, Bu. Saya justru makasih banget kalo Ibu mau nerima saya magang di sini," jawab Uci dengan wajah semringah.
"Oke. Ini saya tandatangani. Kamu bisa mulai magang kapan aja. Sesuaikan dengan jadwal di kampus."
"Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih." Uci menerima kembali surat pemberitahuan magang yang sudah ditandatangani oleh pemilik salon tersebut.
Dia berpamitan setelah mendengar penjelasan mengenai jam kerja di Salon Momski. Wanita yang terus tersenyum hingga keluar dari salon itu meletakkan surat pemberitahuan magang ke dalam tas lalu mengambil ponsel untuk memesan ojek. Dia sangat bersyukur karena izin magangnya dipermudah. Setelah ini, dia harus menyiapkan bahan untuk program yang dibuatnya. Dia tidak sabar untuk memulai magangnya.
Jumlah kata: 1422
Bersambung
~~~
Eh, ada Faris. Ngajak kenalan Uci pula. Moga ketemu lagi, ya.
Ih, yang lagi seneng magangnya diterima. Selamat berjuang!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top