Mengapa harus
"Pikirkanlah lagi Lia, jika bukan karena jasa orang tuanya, kita tidak akan hidup bergelimang harta seperti ini," ujar ibu dengan tegas, diusianya yang menginjak 75 tahun ibu masih sanggup membuatku gugup.
Aku menghela napas, pikiranku kalut, aku masuk ke ruang kerjaku, duduk termenung di sana dan berputar kembali cerita ibu tentang jasa orang tua dari Abiyanta Pernama, orang yang akan dijodohkan denganku, pada orang tuaku beberapa puluh tahun yang lalu.
Bapakku dan bapak Biyan, panggilan orang itu, adalah dua sahabat sejak sma, bapakku dari keluarga sederhana, sementara orangtua biyan adalah pengusaha real estat dan beberapa perusahaan lainnya, usaha yang diturunkan sejak jaman kakeknya, bapakku membantu, mengabdi pada keluarga Biyan sampai jadi orang kepercayaan dan akhirnya diserahi tanggung jawab mengurus sebuah anak perusahaan keluarga Biyan.
Dan dapat ditebak, bapakku dapat mengembangkan perusahaan hingga dapat berdiri sendiri hingga sekarang yang kendalinya sudah dipegang saudara laki-lakiku, Mas Hendra, sejak bapak meninggal.
Aku menghela napas berat, menolak kemauan ibu sama saja dengan durhaka pada orangtua, itu yang tadi ibu katakan. Aku tidak pernah tahu cerita itu, karen bapak maupun ibu tidak pernah bercerita apapun asal muasal harta mereka. Mengapa tiba-tiba aku yang harus menanggung semuanya di usiaku yang tidak lagi muda, 45 tahun.
Aku ditelpon oleh kakakku, Mas Hendra, ia hanya menasihati agar aku melihat dulu, menjalani dulu, penjajakan dulu, jika tidak nyaman, ya sudah, jangan sampai aku merana dua kali, itu nasihat Mas Hendra padaku.
Anak-anakkuku, yang semuanya laki-laki aku telpon mereka satu persatu, mereka semua sudah berkuliah, jauh dariku. Ternyata nasihat mereka sama dengan Mas Hendra, baik Awan anak pertamaku dan Hujan adiknya, menyarankan penjajakan dulu, jangan mau jika langsung menikah.
Aku jadi mengingat almarhum suamiku, mataku sempat berkaca-kaca tapi cepat aku menarik napas dalam-dalam, aku tidak boleh menangis hanya karena masalah ini, karena saat mas Farros meninggal pun aku hanya tergugu, ku rengkuh bahu kedua anakku yang masih kecil saat itu. Seandainya mas Farros tidak secepat ini meninggalkanku, batinku lagi, yang kembali aku enyahkan perasaan itu, aku harus kuat. Harus.
***
"Maaf, telah membuat anda menunggu," suara berat mengagetkanku yang sedang melamun memandang hujan yang sangat deras dari balik jendela cafe. Ia terlihat mengibaskan tangannya yang basah oleh hujan dan menyalamiku dengan erat.
"Abiyanta Permana, panggil saja Biyan, anda hmmm ibu Lilyana, benar kan saya mengeja nama anda?" orang ini berusaha ramah padaku yang masih sulit tersenyum lebar, dari tadi aku hanya mengangguk dan tersenyum sebisaku meski aku yakin lebih menyerupai seringai tak ikhlas.
Ini pertemuan kami yang pertama, selama ini aku tahu namanya melalui berita karena dia sukses di bidang yang ia geluti, aneh orang segagah dan sekaya dia di usianya yang ke 50 belum pernah menikah. Badannya yang kekar menggambarkan dia senang ngegym, jasnya terlihat sesak di badannya. Meski sekilas, aku bisa melihat badannya yang sempurna duduk di hadapanku. Dari sudut mataku, aku melihat ia memperhatikanku yang mulai menikmati pesanan kami.
"Aku tahu anda tidak menyukai perjodohan ini, karena anda adalah salah satu wanita hebat di kota ini yang saya yakin dalam segi finansial, anda tidak akan bergantung pada siapapun, tapi mari kita buat kesepakatan, dengan mengenyampingkan ego kita, kita menyenangkan orangtua kita, yang entah sampai kapan, akan bisa menemani kita di sisa usianya," ujarnya dengan suara berwibawa, aku mulai mendongakkan wajahku.
"Maksud anda?" tanyaku bingung.
"Begini ibu..hmmm ibu lily," ujarnya dengan wajah aneh.
"Lia," sahutku cepat.
"Boleh kan kalo saya memanggil anda dengan panggilan ibu lily?" tanyanya lagi.
"Terserah anda," sahutku pendek.
"Begini, maksud saya, kita terima perjodohan ini, demi membahagiakan orangtua kita, setelah menikah, kita menempati rumah kita sendiri, kita tidak harus sekamar, bahkan jika suatu saat anda tertarik pada seseorang tidak masalah, anda bisa berkata jujur pada saya, saya pun akan demikian, saya tidak akan mengikat anda, tapi setidaknya kita harus terlihat wajar di depan orang tua kita hmmm maksud sayaaa..anda bisa pura-pura wajar sebagai seorang istri pada suaminya," ujarnya panjang lebar, cerewet juga dia. Aku masih tidak percaya, bagaimana dia yang ramah bisa tidak punya pengangum. Akhirnya aku mengangguk. Dan..
"Deal," ujarku memajukan tanganku tanda setuju dan dia menyalami tanganku.
"Biar saya yang akan mengurus semuanya ibu Lily, karena yang memaksa anda menikah dengan saya awalnya karena kemauan ibu saya, sejak bapak meninggal, ibu jadi sangat sensitif, jadi tugas saya sebagai anak laki-laki satu-satunya yang harus mengutamakan ibu saya, maafkan jika hal ini sangat mengganggu hidup anda," ujarnya seperti minta maaf.
Aku pamit dan bangun dari dudukku saat percakapan kami selesai. Tiba-tiba
"Bu Lily, ada yang lupa emmm maksud saya, agar tidak kaku bagaimana jika kita memanggil nama panggilan kita masing-masing, bagaimana Bu?" tanyanya, aku hanya mengangguk dan berlalu.
***
Biyan POV:
Seperti gunung es saja, dingin, sulit disentuh, tapi aku merasa bersalah, karena kemauan ibuku, dia jadi mengorbankan hidupnya. Sebenarnya bu Lily masih terlihat cantik di usianya yang ke 45 malah terlihat seperti berusia 30 tahun, tubuhnya yang tinggi semampai, kulit putih bersih, hanya kacamatanya yang membuat dia berkesan semakin menakutkan, tebal dan kurang modis.
Jangan kawatir, aku tidak akan jatuh cinta padamu, aku tidak akan melupakan bagaimana Sekar meregang nyawa di hadapanku karena kecelakaan lalu lintas akibat kecerobohanku, aku melihat kesakitannya, dan akhirnya menghembuskan napas di pangkuanku, aku akan membayarnya dengan menikmati kesendiriam ini. Setiap akan jatuh cinta selalu erangan kesakitan Sekar melintas dimataku...
Author POV :
Biyan mulai mengatupkan matanya, besok akan ia ceritakan semua pertemuannya dengan Lily dan niatnya akan segera menikahi Lily, semoga dapat membahagiakan ibunya yang entah akan bertahan hidup beberapa tahun lagi, kanker kelenjar getah bening telah menggerogoti tubuh rentanya, uang keluarga yang berlimpah tidak bisa memaksa ibunya untuk melakukan pengobatan, kemoterapi dan lain-lain hanya akan semakin menyakiti tubuh ringkihnya yang usianya telah mendekati 76 tahun.
***
Biyan POV:
"Terima kasih anakku, ibu ingin melihatmu menikah sebelum ibu menutup mata, waktunya kau membahagiakan dirimu, selama ini kamu sudah bekerja keras untuk semua perusahaan keluarga, memikirkan ibu dan adik-adikmu, semoga pernikahanmu membuatmu benar-benar bahagia, ibu yakin tidak salah pilih," ujar ibu menangis bahagia sambil memegang tanganku, sementara ibu terbaring di kasur.
Author POV :
Mata Biyan menunduk, dia mengamini doa ibunya, semoga Lily benar-benar menjadi yang terbaik, meski Biyan ragu melihat tatapan dingin dari calon istrinya dan juga ragu apakah dirinya bisa mencintai orang lain selain Sekar. Ibu Biyan berharap setelah Biyan menikah segera menempati rumah yang telah dibangun Biyan lima tahun lalu namun sampai sekarang dibiarkan kosong, sementara ibu Biyan akan diawasi kesehatannya oleh adik Biyan, Regina, yang berprofesi sebagai dokter dan kebetulan juga tinggal bersama ibu mereka di rumah yang besar itu. Biyan hanya mengangguk patuh pada saran ibunya.
***
Author POV :
"Kau sudah mantap menerima pinangannya, anakku, hanya dengan satu kali bertemu?" tanya ibu Lia. Lia hanya mengangguk. Dipeluknya tubuh Lia oleh ibunya, dengan mata berkaca-kaca.
"Kau wanita hebat anakku, sesulit apapun hidupmu, ibu tidak pernah melihatmu menangis, hanya ibu ingin kau belajar tersenyum, belajarlah mencintai lagi agar hidupmu lebih berwarna," ujar ibu Lia sambil mengurai pelukannya dan mengusap rambut anaknya perlahan. Lia undur diri dan menelpon Hendra kakaknya.
"Kamu yakin Lia, apa tidak terlalu cepat?" tanya Hendra.
"Apa aku bisa memilih kak, ibu tidak memberi pilihan, sekarang atau kapan saja jawabannya sama, aku harus menikahi Biyan," jawab Lia dengan suara kaku. Dan Hendra tidak bisa berkata apa-apa lagi, demikian juga Awan dan Hujan anak-anak Lia, agak kaget sebenarnya dengan pemberitahuan mamanya bahwa ia menerima pinangan laki-laki itu, tapi mereka tidak masalah, jika itu sudah menjadi keputusan mamanya.
***
Untuk pertama kali Biyan mendatangi kantor Lia, ia diantarkan oleh sekretaris Lia ke ruangannya. Ah benar-benar wanita dingin, warna ruangannya pun abu-abu dan putih, tidak ada vas bunga di meja hanya ada hiasan-hiasan abstrak berwarna putih dan abu-abu. Lia menatapnya dari balik kacamatanya.
"Kita akan kemana Pak? eeh maksudku Bii Biyan," tanya Lia kaku saat memanggil Biyan tanpa embel-embel Pak, Biyan tersenyum.
"Kita akan membeli cincin kawin Li, ada langganan ibu yang sudah aku hubungi, jam 11.00 siang dia menunggu kita di galerinya, sudah aku booking dan jam 11.00-13.00 tidak akan ada pengunjung selama kita memilih," ujar Biyan, Lia hanya mengangguk, meraih tasnyanya dan
"Mari kita berangkat," ujarnya singkat.
"Tidak menawari aku minum atau apa?" tanya Biyan sambil tersenyum.
"Maaf, aku tidak berpikir ke sana, nanti saja pulangnya kita sekalian mampir ke cafe," ujar Lia bingung dan Biyan mengikuti Lia ke luar dari ruangannya.
Beberapa pasang mata bawahannya melihat dengan tatapan aneh tumben atasannya ada acara dengan orang di luar orang perbankan, dengan pengusaha terkenal pula, sementara karyawati berbisik-bisik kagum melihat Biyan yang masih tampan di usianya yang tidak lagi muda.
Sesampainya di galeri Good jewelery, Biyan menyuruh Lia memilih cincin kawin seperti apa, Lia hanya mengedikkan bahu, dan pasrah pada Biyan, saat pak Thomas pemilik galeri menemui Biyan, segera ia mengenalkan Lia.
"Ini pak Thomas, Lia, pemilik galeri ini, dan ini Lia, pak Thomas, calon istri saya," ujar Biyan sambil memeluk pinggang Lia yang ramping. Seketika badan Lia menegang, ia bersalaman dengan pak Thomas sambil berusaha tersenyum, sementara tatapan tidak suka ia arahkan pada Biyan.
"Ah silakaaan, silakan memilih, pasangan yang serasi, sama-sama tinggi, gagah dan cantik, ternyataaa, Pak Abiyanta betul-betuk menunggu sang dewi, sampai diusia sematang ini baru menikah," pak Thomas tertawa lebar sambil menepuk bahu Biyan. Akhirnya biyan yang memilih modelnya karena Lia terlihat pasif dari tadi, setelah selesai mereka menuju mobil Biyan.
***
Sesampainya di cafe.
"Aku tahu kamu tidak suka dengan caraku tadi, tapi aku ingin terlihat wajar sebagai calon mempelai," ujar Biyan menjelaskan, Lia diam saja.
"Jangan kawatir, aku bukan orang yang terbiasa memanfaatkan kesempatan, jika aku mau, sudah sejak dulu aku menikah, aku tidak akan mengkhianati seseorang, cintaku hanya aku persembahkan padanya, hanya Tuhan yang tahu, seberapa besar cintaku pada dia yang telah menyerahkan segalanya padaku dan meninggalkanku dengan cara yang menakutkan," Biyan bercerita sambil bergetar tangannya, Lia dapat melihat kabut kesedihan di mata Buyan.
"Maaf, jika hal itu membuatmu, sedih," sahut Lia perlahan.
"Tidak apa, sudah berpuluh tahun aku menikmati kesedihan, kesakitan, dan kesendirian, hanya aku tidak putus asa," ujar Biyan tegas.
"Minumlah, hot lemon teamu pasti sudah tidak panas lagi," saran Biyan pada Lia.
"Oh ya Ly, kita langsung ke fitting baju ya, biar sekali jalan," ajak Biyan dan Lia kaget.
"Kok fitting baju? Kan kita belum pesan?" tanya Lia dan Biyan terkekeh.
"Ini butik terkenal Ly, baju pengantinnya keren, dia hanya bikin satu untuk tiap modelnya, banyak yang sudah ready to wear, kamu pilih saja sambil nyesuaikan dengan bajuku, yang punya butik meski dah tua tapi seleranya ok, nanti kamu lihat aja sendiri," ujar Biyan.
***
Ditempat fitting baju ternyata Biyan sudah ditunggu oleh pemiliknya yang tetap cantik diusianya yang katanya sudah 60 tahun.
"Oh Mas Abiyanta, mari silakan, aaah pasangan yang serasi, kalian memiliki tinggi yang hampir sama, oh God, cantik sekali, selera yang bagus mas Abiyanta," puji tante slSonya, sambil memeluk Lia dan mencium pipi kanan dan kiri. Lia hanya tersenyum.
Setelah keduanya mencoba baju pengantin, Biyan menatap Lia dengan tatapan kagum, bagus sekali kebaya modern melekat pas di badan Lia yang ramping, Lia hanya menatap dengan tatapan datar pada Biyan yang terlihat gagah dengan beskap di badannya.
"Oh Tuhan, ciptaan yang sempurna, berkacalah kalian berdua, naaaah alangkah gagahnya dan cantik menawan, bahkan kalian berdua belum dirias sudah sempurna seperti ini," tante Sonya terus berdecak kagum, sambil memutari mereka berdua, Biyan tersenyum makin lebar, sementara Lia berusaha tersenyum meski sangat sulit.
Selesai fitting, Biyan mengantarkan Lia kembali ke kantor, meski hari sudah menjelang sore, tapi Lia masih akan menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang tertunda.
"Terima kasih," ucap Lia perlahan.
"Tidak mengajakku minum?" Biyan berusaha bergurau. Lia tersenyum dengan kaku. Dan turun, lalu melangkah masuk ke gedung menjulang itu, tanpa menoleh lagi.
Biyan menghembuskan napas berat, sekali lagi dia merasa bersalah pada Lia, karena telah membuatnya mengikat dalam ikatan perkawinan yang tidak diinginkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top