Beginikah rasanya?


Pernikahan yang sederhana akhirnya berlangsung. Sederhana untuk ukuran mereka berdua yang sangat berkecukupan, namun mengingat kondisi ibu dari Lia dan ibu dari Biyan yang tidak memungkinkan diadakan di gedung mewah jadi hanya pesta kebun di halaman belakang rumah Lia yang sangat luas, yang di sulap dengan nuansa serba putih, membuat susana pernikahan menjadi syahdu dan khikmad.

Lebih-lebih saat Biyan mengucapkan akad nikah, orang tua Biyan menangis terharu, setelah selesai prosesi akad maka Lia duduk bersanding di pelaminan dan menerima tamu yang mengucapkan selamat, semua adik biyan, ipar dan keponakan hadir lengkap, begitu juga dengan Hendra, kakak Lia serta kedua anak Lia terlihat seru dengan menggunakan baju yang sama. Orang tua Biyan segera undur diri karena tidak memungkinkan untuk duduk lama, yang sebelumnya pamit pada ibu dari Lia.

"Saya legaaa Jeng, anak saya akhirnya menikahi Lia, saya merasa bahagia, jika Tuhan mengambil nyawa saya besok, saya merasa siap sudah tidak ada beban, anak itu terlalu memikirkan saya dan adik-adiknya, sampai lupa memikirkan kebahagiaannya," ujarnya terharu.

"Ah jangan seperti itu Jeng, semoga selalu sehat," ujar ibu Lia sambil memeluk ibu Biyan. Akhirnya keduanya melambaikan tangan saat ibu Biyan memasuki mobil dengan dipapah anak-anaknya.

***

"Berapa hari lagi kita akan segera pindah ke rumah kita Ly?" tanya Biyan di kamar pengantin mereka, biyan merasa sungkan harus tidur dengan Lia malam ini.

"Tidurlah di kasur, aku akan tidur di sofa yang ada di kamar ini, " ujar Biyan pada Lia.

"Mungkin tiga hari lagi, aku akan segera mengemasi baju-baju yang akan aku bawa," ujar Lia pelan. Lalu ia merebahkan badannya di kasur, sementara Biyan segera meluruskan badannya tidur di sofa. Lia merasa tidak enak.

"Bi, pindah ke kasur, aku tak apa," kata Lia pelan. Biyan tidak menyahut, mungkin sudah tidur pikir Lia. Dan Lia menarik selimut ke badannya sampai menutupi lehernya.

Jam 24.00 Lia bangun, dilihatnya Biyan meringkuk, mungkin menahan dingin, diambilnya selimut dan ditutupkan pada badan Biyan. Biyan tidur nyenyak mungkin kecapean setelah acara seharian tadi.

Subuh Biyan bangun ia menggeliat di sofa, dirabanya selimut yang menutupi badannya. Ah pasti Lia yang menyelimutinya, paling tidak ia masih punya perasaan normal, pikir Biyan. Ia melirik ke kasur ternyata Lia sudah tidak di sana.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Lia keluar dengan rambut basah terurai, Biyan terpana sejenak melihat wajah lia yang cantik dengan rambut basahnya dan bathrobe di bandannya, sekejab bayangan Sekar melintas, Biyan menggeleng pelan. Lalu biyan menggantikan Lia masuk ke kamar mandi.

Selesai mandi, ia melihat Lia duduk sambil matanya tak lepas dari laptop.
"Istirahatlah dulu dari pekerjaanmu Ly, nikmati cuti pernikahan ini," Biyan mencoba mencairkan suasana, Lia hanya mendongak perlahan dan tersenyum.

"Ada perkerjaan sedikit dan hampir selesai, sayang jika tdk dilanjutkan,"ujar Lia pelan.

"Tiduranlah di kasur Bi, pasti badanmu sakit semua tidur di sofa, tidurlah di kasur ini, aku tak masalah, toh kasur ini besar, kita tdk akan bersentuhan," kata Lia lagi.

"Tumben agak panjang bicaramu Ly," goda Biyan. Lia hanya menaikkan alisnya sedikit.

***

Tiga hari kemudian mereka menempati rumah baru, kamar Biyan dan Lia terpisah, namun berdekatan. Mereka berusaha menjalani pernikahan dengan normal meski sering terasa canggung, Biyan yang terlalu lama hidup sendiri kadang agak lupa untuk berkabar pada Lia, sedang apa dan di mana, sedang Lia juga kadang lupa menemani sarapan, karena bagaimana pun, ia adalah seorang istri yang sudah memiliki suami. Meski kadang terasa aneh peran yang mereka jalankan.

Sampai pada suatu malam sekitar jam 01.00, Lia mendengar erangan dari kamar biyan, ditengoknya kamar Biyan yang agak terbuka, pelan Lia terpaksa masuk, terlihat wajah Biyan yang berkeringat, dirabanya dahi Biyan dengan takut.

Aaah panasnya...cepat-cepat Lia mengompres kening Biyan. Badan Biyan basah oleh keringat, Lia bingung bagaimana caranya mengganti baju, sementara Biyan sangat berat karena badannya yang kekar, kalau tidak diganti Lia kawatir masuk angin, terpaksa ia mencari kaos di lemari Biyan, dan akan mengganti kaosnya yang basah.

Perlahan Lia membuka kaos Biyan, Biyan terlihat sangat lemah, hanya mengerang dan mengerang seperti anak kecil, tampak badan Biyan yang terpahat dengan apik saat Lia membuka kaosnya, dia memalingkan wajahnya dan segera memakaikan kaos penggantinya. Digantinya lagi kompres di kening Biyan....sampai tak terasa Lia tertidur di kursi dekat kasur Biyan.

Jam 03.30 Biyan bangun mengerjapkan matanya, terasa keningnya dikompres, saat menoleh ke kiri, ia melihat Lia yang tertidur menyandarkan wajahnya pada kursi. Ia sungguh kaget, dan waktu melihat kaosnya lebih kaget lagi karena ia merasa tidak menggunakan kaos tebal semalam, pasti Lia sudah menggantinya. Ah dia tidak sedingin wajahnya, pikir Biyan.

Dipandanginya wajah Lia dari samping, cantik sangat cantik, wajah tanpa polesan makeup, dalam keadaan tidur, hidungnya yang mancung, bibirnya yang penuh, ah maafkan aku Sekar pikir Biyan tiba-tiba.

Lia terbangun saat napas Biyan menerpa wajahnya, cepat-cepat Lia bangun dan akan melangkah keluar, dengan cepat dipegangnya tangan Lia,
"makasih Ly," ujar Biyan, Lia hanya mengangguk dan cepat keluar.

Di dapur dengan di bantu mbok Nah, pembantu yang dibawa Biyan dari rumahnya, Lia membuat bubur untuk biyan. Sedang mbok Nah memasak masakan lain untuk mereka. Sejak pindah ke rumah mereka sendiri, Biyan membawa beberapa pembantunya untuk memasak, dan membersihkan rumah.

"Buburnya jangan terlalu hancur berasnya non, den Biyan sukanya bubur yang masih kelihatan utuh nasinya," ujar mbok Nah tersenyum ramah. Lia mengangguk sambil tersenyum, entah mengapa, sejak awal bertemu mbok Nah selalu membuat hatinya sejuk. Setelah bubur masak, dibawanya ke kamar Biyan, kembali ia enggan masuk sebenarnya tapi ia langkahkan juga kakinya.

"Bi, makanlah, ini bubur dan telur setangah matang, aku bantu duduk ya?" ujar Lia.

"Aku masih lemas Ly, suapi ya,"pinta Biyan. Lia duduk di sisi kasur, dan mulai menyuapi Biyan tanpa bersuara. Sambil berusaha menelan buburnya Biyan memejamkan matanya.

"Aku panggil dokter ya Bi?" tanya Lia.
"Aku hanya kecapean Ly, kan sudah dua hari aku tidak pulang, ada perusahaan yang bermasalah jadi aku berusaha menyelesaikan dengan cepat, aku hanya butuh istirahat saja," ujar Biyan. Setelah bubur habis, Lia memberikan air untuk Biyan minum, dihabiskannya satu gelas.

"Ly, bantu aku duduk, panas rasanya punggungku," pinta Biyan memelas.
Terus terang Lia bingung, meski tinggi badannya sama dengan Biyan mengingat badan Biyan yang kekar, ia jadi agak bingung. Direngkuhnya tubuh Biyan dan bantal ia susun agak tinggi, Biyan berusaha bangun meski tangannya gemetar. Setelah nyaman ia sandarkan tubuh Biyan pada bantal, karena kepala Biyan terasa tidak nyaman, Lia rengkuh kepala Biyan dan ia tambahkan bantal di belakang kepala biyan, karena kurang hati-hati Lia jadi terjatuh di badan Biyan, dadanya tepat menempel di dada biyan yang keras, Lia terpekik lirih kaget.

Cepat Biyan pegang pinggang Lia agar tidak jatuh, sesaat badan keduanya meremang. Dengan cepat Lia bangun.

"Maaf, badanmu sangat berat, aku tidak kuat sebenarnya," ujar Lia dengan suara bergetar.

"Aku yang minta maaf, terima kasih sudah merawatku, maaf Ly," ujar Biyan meredakan gemuruh dadanya. Dengan wajah memerah Lia ke luar kamar, ia serahkan piring kotor pada mbok Nah, dan Lia segera mandi hendak berangkat ke kantor.

Di kamar Biyan memejamkan matanya, namun jantungnya masih gemuruh mengingat kejadian tadi, sebulan sudah ia serumah dengan Lia tapi baru sekarang ia benar-benar dilayani layaknya suami saat ia sakit, ah sebenarnya Lia baik, hanya karena sejak awal pernikahan ini tidak diinginkan, ia jadi dingin.

Biyan mengusap dadanya perlahan, masih ia rasakan kerasnya dada Lia yang menempel di dadanya karena baju tidur Lia tidak begitu tebal, sekelebat bayang Sekar dimatanya, ah maafkan aku Sekar, ternyata aku masih normal, terakhir kita melakukannya sebulan sebelum kau meninggal, beberapa puluh tahun yang lalu, dan aku tidak pernah melakukannya lagi dengan siapapun sejak itu, sekarang mengapa keinginan itu muncul, cepat ia kibaskan kepalanya, berusaha menormalkan otaknya yang mulai aneh.

Sementara Lia duduk termenung, setelah mandi ia masih memegang pada sisi ranjangnya, mas Faros maafkan aku, aku menyentuh laki-laki lain, dan aku mengapa merasa ada yang tidak normal dengan jantungku, maafkan aku mas, pikiran Lia kalut, namun ia berusaha wajar. Tidak mungkin Lia membiarkan Biyan yang badannya panas.

Meski pernikahan ini tidak normal tapi setidaknya sebagai orang yang tinggal serumah ia peduli pada Biyan, karena Biyan pun begitu padanya. Jika ia pulang malam maka Biyan akan menunggunya di ruang tamu sampai ia datang, meski tidak mengucap sepatah kata, tapi ada kelegaan di mata Biyan saat ia menapakkan kaki di rumah besar ini.

Dua hari Lia mengurus Biyan yang sakit, selama dua hari itu Lia menghindari menyentuh Biyan, ia masih takut pada hal-hal yang tidak ia inginkan, hari ketiga terlihat Biyan mulai sehat dan sepertinya akan masuk kantor, tapi Lia menyarankan agar Biyan membawa sopir ke kantor jangan bawa mobil sendiri. Biyan menurut.

Siang hari Biyan menelpon Lia. Mengabarkan bahwa ia akan ke Bekasi ke perusahaan farmasi miliknya, ada acara di sana dan akan menginap dengan sopirnya, Lia mengiyakan saja. Malam saat sampai di rumah, mbok Nah menawarkan untuk menyiapkan makan malam, Lia menurut. Lia mengajak mbok Nah makan bareng, tapi mbok Nah sudah makan lebih dulu, tapi Lia tetap menyuruh mbok Nah menemaninya makan malam di meja makan.

"Mbok Nah sudah lama kerja di keluarga mas Biyan ya Mbok?" tanya Lia pelan.

"Ya lama non, kan sejak mbok saya sakit-sakitan ya saya yang menggantikan, sampek saya nikah ya dinikahkan sama tuan dan nyonya besar, bapak ibuknya den Biyan, dan sekarang itu anak saya si Siti sama suaminya juga kerja sama keluarga den Biyan, mereka keluarga yang baik, meski ibu den Biyan keras tapi sama pembantu tidak pernah semena-mena cuma kalo teledor hmmm bisa marah besar non," mbok Nah terkekeh dengan giginya yang mulai ompong.

Lia ikut tersenyum lebar, ah senangnya mendengar suara dan tawa mbok nah. Lalu mbok Nah melanjutkan.

"Emmmm boleh tanya ya mbok non?"tanya mbok Nah.

"Iya, kenapa mbok?"Lia balik bertanya.

"Kok tidurnya sendiri-sendiri sih non, kan sudah suami istri dan non kalo ke den Biyan kok ngomongnga dikit, pelan lagi, trus lebih banyak nunduknya, kalo gak suka kok mau nikah loh non, kasian den Biyan, laki-laki kan kalo urusan begituan ih gak ada capeknya loh non, masa non gak ngerti," kata mbok nlNah panjang lebar. Lia menghela napas panjang, lalu sedikit tersenyum pada mbok nah.

"Sebenarnya saya dan mas Biyan tidak ingin menikah karena kami sama-sama sulit lepas dari bayangan pasangan kami, hanya karena niat ingin menyenangkan orang tua kami di usia senjanya, kami menerima perjodohan ini mbok, apalagi saya, saya selamanya akan merasa berdosa pada almarhum suami saya kalo saya sampai jatuh cinta pada orang lain, saya bukan istri yang baik mbok, saya terlalu sibuk, sampai saat suami saya meninggal, saya tidak disampingnya, 9 tahun lalu, dia sakit jantung mbok, begitu cepat, sampai saya hanya bisa melihat peti jenazah suami saya karena saat itu saya ada pertemuan di Padang mewakili direktur utama, penyesalan ini yang tidak akan pernah bisa membuat saya jatuh cinta pada siapapun mbok," Lia mulai terisak dan mbok Nah merengkuh  kepala Lia mendekapkan kedadanya, Lia yang duduk, memeluk mbok Nah yang tiba-tiba berdiri melihat dia menangis.

"Menangislah non biar lega," ucap mbok Nah sambil mengusap kepala Lia.

"Kisahnya kurang lebih sama kayak den Byan, calon istri den Biyan meninggal karena kecelakaan, dua minggu sebelum mereka menikah, mereka sama-sama suka jalan-jalan naik motor gede, dan itu dilakukan sebagai tanda perpisahan dengan dunia lajang mereka katanya, semua sudah melarang, tapi tetap saja mereka bedua berboncengan ke puncak, dan kecelakaan, bertabrakan dengan truk besar, non Sekar meninggal di tempat, badan bagian bawahnya hancur, kelindes truk, dan den Biyan melihat semua itu, den Biyan selamat, hanya luka lecet tapi jiwanya sakit, selama setahun dia sering berteriak histeris, mengingat kejadian mengerikan itu paling non, ah kalian sama-sama memiliki kisah karena sakit dan cinta, mbok berdoaaaaa pada gusti Allah, semoga kalian bisa saling mencinta dan menyembuhkan, ya non," diusapnya kepala Lia lagi. Lia tertegun mendengar cerita mbok nah.

"Tidurlah non, hari sudah malam, saya tak nyuru Parjo, ngunci semua pintu dan pagar,"ujar mbok Nah. Lia menurut dan segera ke kamar, sementara mbok Nah membawa piring bekas Lia ke dapur.

Malam sebelum tidur, Biyan mengirim pesan singkat dan Lia membalasnya

Sudah tidur

Belum

Tidurlah, jangan sakit, jaga kesehatan

Ya, mksh, kamu juga

Ya, mksh juga

Lia meletakkan hp di meja dekat kamar tidur. Meluruskan badannya dan menaikkan selimutnya.

***

Keesokan harinya, pagi saat Kia sarapan, mbok Nah kembali menemani.

"Cobalah membuka hati non, saya yakin almarhum suami non, ndak ingin non terus-terusan sedih, toh den Biyan cakep kan non, dan gagah ih lihat badannya kekaaaar kayak gatot kaca, kalo meluk non pasti hangat," mbok menggoda sejadinya, Lia hanya bisa tersenyum menahan malu.

Akhirnya Lia berangkat ke kantor, diantar oleh sopir kantor. Sesampainya di kantor tiba-tiba Lia di perintahkan ke ruang direktur utama, ah ternyata Lia harus mewakilinya lagi, kali ini ke Yogyakarta, 2 hari, ada pertemuan para bankir di UGM, kampus Bulaksumur.

Lia segera menelpon Biyan, bahwa sore harus takeoff, menuju Jogya, dua hari di sana. "Hati-hati Ly, jaga kesehatan, jangan lupa makan," ujarnya lembut mesku suara Biyan terdengar beratnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top