[37]_Last Smile.... _

.

.

.

BLEDAMM!!!

Tubuh Falcon terlempar. Menghantam batu besar yang langsung hancur menjadi kepingan. Ia tersungkur di atas tanah dengan tubuh penuh luka, darah segar mengalir dari pelipisnya.

Satu tangan ia gunakan untuk mendekap dadanya yang terasa nyeri, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menopang tubuhnya.

Napas Falcon terengah, beberapa kali terbatuk hingga memuntahkan darah. Sementara maniknya menatap lekat pria bersurai legam dengan manik semerah darah yang masih melayang di udara, berdiri dengan gagah di atas lelehan sungai lava yang tercipta dari lesatan pedang milik sang penguasa kegelapan.

Dengan beberapa goresan di lengan dan bahu kiri, Danta ikut menapakkan kakinya. Ia mengangkat tangan kanan dan perlahan pedang milik sang raja Lucifer sebelumnya menghilang dari genggamannya.

Sang raja kegelapan mendekat, berhenti di hadapan Falcon yang menatapnya beringas.

Dengan wajah datar tanpa seulas senyuman, Danta menatap musuhnya yang sudah tak berdaya. Bahkan tak sanggup hanya untuk berdiri dan menghindar jika ia kembali melesatkan serangan.

"Pertarungan ini sudah selesai," Sang raja berucap tenang, menatap sekilas sebelum berbalik dan kembali melangkah. "Kau kalah, Falcon."

Menatap punggung Danta yang kian menjauh, Falcon yang masih tidak terima atas kekalahannya semakin menggeram, kedua tangannya terkepal erat.

Dengan manik menajam, ia melafalkan sebuah mantra. Menciptakan anak panah perak di tangan kanannya, dan dengan sisa tenaga, ia melesatkan panah itu ke arah Danta yang berjalan membelakanginya.

Menyadari sesuatu bergerak di belakangnya. Danta melirik dari ekor mata, lalu menyentak jubahnya.

Dengan sigap ia berbalik dan menahan panah itu dengan satu tangan yang memancarkan sinar semerah darah. Hanya dalam hitungan detik, panah perak itu melebur menjadi abu dan tersapu oleh udara panas arena pertempuran.

Danta menatap Falcon beberapa saat, kemudian kembali melanjutkan langkah.

"Sejak awal kau tahu, kau tak 'kan bisa mengalahkanku," ucap Danta sebelum menghilang di balik kabut yang melingkupi tubuhnya.

Sementara itu, Aylmer yang masih bermain kucing-kucingan dengan Lexiz mulai terlihat kewalahan karena sihir sang pangeran Behemoth.

"Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik sihir-sihir busukmu itu, Lexiz?!" Aylmer berteriak, sementara kedua tangannya masih sibuk mengayunkan pedang untuk menghancurkan bola api raksasa yang berukuran sepuluh kali lipat dari tubuhnya. Menggelinding hingga membuat tanah yang dipijaknya bergetar seperti gempa.

Ayunan pedang milik Aylmer membuat angin terbelah. Menyeruakkan sinar yang berubah menjadi sambaran petir yang menghancurkan bola api itu dan meledakkannya menjadi debu.

Tapi setelah satu bola berhasil Aylmer hancurkan, selalu tercipta bola api yang sama, dengan cepat kembali melesat ke arahnya. Dan ini adalah bola api ke seratus dua puluh satu yang berhasil Aylmer hancurkan.

Ya, Aylmer Northcliff masih sempat menghitungnya.

Dengan luka hampir di sekujur tubuh, Aylmer masih dapat berdiri tegap meski napasnya mulai ngos-ngosan. Tak jauh berbeda dengannya, kini Lexiz juga dalam keadaan tubuh memar penuh luka.

Bisa dibilang, pertarungan keduanya hampir seimbang jika menghitung sudah berapa banyak sihir yang pangeran Behemoth itu kerahkan dan berhasil membuat Aylmer kalang-kabut.

Sepertinya pangeran bungsu Kerajaan Behemoth benar-benar berniat balas dendam karena tingkah konyol Aylmer yang sempat membuatnya frustasi beberapa saat yang lalu.

"Hah ... Hah ... Apa kau tahu? Mantra sihirmu itu benar-benar menyebalkan," cela Aylmer sembari mengatur napas sebelum lawannya kembali menyerang.

Tak menjawab, Lexiz hanya menatap Aylmer dengan seringaian yang terukir di sudut bibirnya. Dan di detik berikutnya, Lexiz melesat. Mengayunkan pedangnya tepat di leher Aylmer yang berdiri tak jauh darinya.

Sempat terkejut dengan pergerakan Lexiz yang tiba-tiba, Aylmer dengan gesit menangkis dengan pedang miliknya. Membuat kedua senjata itu kembali menimbulkan dentingan dan percikan karena bergesekan.

Aylmer memutar pedang, menunduk dan melompat ke belakang. Begitu juga dengan Lexiz yang terdorong beberapa langkah.

Pangeran Lucifer itu mengentakkan kakinya, melesat ke udara dengan pedang terhunus ke depan. Menghampiri Lexiz yang entah sejak kapan sudah melayang dengan sayap iblisnya yang mengepak.

Angin panas berembus kencang, terbelah saat ayunan pedang sang pangeran bungsu Kerajaan Bahemoth menembusnya. Menyeruakkan cahaya keunguan yang begitu terang, hingga Aylmer terhenti dan menyipitkan mata.

Pada detik berikutnya, cahaya itu berubah menjadi sesosok ular hitam yang melesat, menuju Aylmer yang seketika itu membelalakkan maniknya.

Ular itu membuka mulutnya, menyemburkan kobaran api yang membuat Aylmer kembali melesat, memutar tubuh dan melompat menghindar.

"Bangsat!" Ia kembali mengumpat, saat ini ganti Aylmer yang hampir gila karena menghadapi iblis yang ternyata lebih gila darinya.

Sejak tadi Lexiz terus menyerangnya membabi buta. Bahkan tak memberikan kesempatan untuknya balas menyerang, meski sebelumnya Aylmer berhasil membuat tubuh Lexiz dipenuhi luka menganga.

"Anggap saja itu balasan karena kau telah mempermainkanku, Pangeran Aylmer Lucifer." Lexiz berucap pongah. Ia mengukir senyuman, senyum miring di sudut bibirnya. "Dan ini adalah pembalasan terakhirku."

Lexiz mengangkat tangannya ke udara, menggenggam tubuh ular hitam yang sudah kembali menjadi pedang miliknya. Ia mengayunkan pedang itu sekuat tenaga.

"Mati kau!"

Dari ayunan pedang milik Lexiz, sinar keunguan kembali menyeruak. Menjelma menjadi ratusan belati perak yang melesat dengan kobaran api menyelubunginya.

Aylmer melesat, mengepakkan sayap iblisnya dan mencoba menghindar sambil sesekali menangkis ratusan belati yang terarah padanya. Sementara maniknya menatap tajam Lexiz yang masih melafalkan mantra. 'Sihir para pangeran Behemoth benar-benar menyusahkan'.

Mengeratkan genggaman pada pedang miliknya, manik Aylmer kembali membola saat melihat ratusan belati perak kembali melesat seperti tak ada habisnya. Rahangnya mengeras, giginya gemeretak. Ia sudah tak tahan lagi menghadapi semua kegilaan ini.

"Cukup sudah. Aku akan mengakhirinya sekarang juga." Aylmer mendesis pelan. Membuat barrier untuk menghadang ratusan belati itu sesaat, kemudian melemparkan pedangnya ke udara.

Perlahan, tangan kanannya terangkat. Dengan manik berkilat tajam, ia mengentakkan tangannya ke depan.

"Dasar keparat!" Aylmer berteriak lantang, ia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

Seperti diperintahkan, pedang itu melesat menjadi sesosok singa berkepala tiga dengan kobaran api biru yang melingkupi tubuhnya. Menghantam ratusan belati milik Lexiz dengan raungan bagai guntur yang menggelegar, hingga seluruh belati itu lenyap tak tersisa.

Manik Lexiz membelalak, dengan keterkejutan yang sangat kentara di wajahnya, ia berusaha membangun barrier sebagai perlindungan. Tapi sayang, sebelum ia sempat mengucap mantra, singa itu sudah lebih dulu menerjangnya hingga terlempar karena tak sempat menghindar.

BLEDAMM!

Dentuman keras menggema, asap tebal membumbung tinggi di udara. Dengan suara bebatuan yang berjatuhan setelah menghantam tubuh pangeran Behemoth termuda.

Aylmer kembali menapakkan kakinya di atas tanah. Dengan sayapnya yang perlahan menghilang, ia berjalan menghampiri Lexiz yang masih terkapar dengan seekor singa yang berdiri di depannya, menatap tajam Lexiz seolah siap menyergap mangsa jika diperintahkan.

"Cukup, Cerberus. Kau bisa kembali ke tempatmu." Suara Aylmer membuat singa itu berbalik, menatap pangeran termuda Lucifer dengan sepasang mata legamnya yang segelap malam.

Perlahan, singa raksasa itu menutup mata, menekuk kaki depannya, dan menundukkan kepala. Ia berlutut pada tuannya sebelum kembali berubah menjadi sebilah pedang yang kemudian menghilang.

"Ka- Kau," Suara lirih Lexiz membuat fokus Aylmer kembali teralih setelah hewan peliharaannya menghilang.

"Singa itu-" Lexiz kembali berucap, namun tak dapat melanjutkan kalimatnya karena terbatuk dan memuntahkan darah.

"Apa Raja Asmodeus itu tidak memberitahumu?" Aylmer menyilangkan kedua tangan di depan dada. Memiringkan kepala, memperlihatkan wajah polosnya. "Di dalam pedangku terdapat singa peliharaan Damarion yang sudah lama ia titipkan padaku,"

"Lebih tepatnya, pedang itu adalah jelmaan dari Cerberus sendiri." Aylmer menimpali dengan tenang, meski pun keadaannya tak jauh berbeda dengan musuh di depannya.

Terlihat dari darah yang perlahan mulai mengalir di sudut bibirnya, namun dengan cepat pangeran termuda Lucifer itu menghapusnya dengan punggung tangan.

Saling berhadapan di tengah panasnya lelehan lava dengan api yang masih mengobar, keduanya saling melempar tatapan. "Semuanya sudah berakhir, Lexiz Behemoth-"

"Kau kalah."

.

.

.

Berbeda dengan kedua saudaranya, sampai saat ini Damarion masih terlibat pertarungan. Ternyata melawan pangeran pertama kerajaan Behemoth tak semudah yang ia bayangkan.

Ditambah lagi, Aaron memiliki seribu cara licik dengan sihirnya. Membuat Damarion terluka lebih parah daripada pria bersurai keemasan yang kini berdiri tak jauh darinya.

Ini sudah yang kelima kalinya dalam beberapa menit terakhir Rion menapakkan kakinya di atas tanah karena kelelahan. Elang hitam yang Aaron ciptakan benar-benar membuat pangeran Lucifer itu kualahan.

Bukan hanya karena tak dapat ia gores dengan pedangnya, tapi mata elang itu benar-benar awas hingga dapat dengan mudah menyerang titik lemahnya sebelum Rion sempat mengelak atau menampik serangan.

Manik Rion semakin menajam, tangan kanannya masih terkepal menggenggam sebilah pedang miliknya yang ia tancapkan di atas tanah.

Darah segar masih merembes keluar dari perutnya karena serangan telak elang milik Aaron beberapa saat yang lalu. Entah sihir apa yang digunakan Aaron Behemoth hingga regenerasi Rion sama sekali tak bekerja.

"Kelihatannya kau sudah tidak bisa bertarung lagi, Damarion." Aaron membuka suara, bibirnya menampilkan senyum miring mendeklarasikan kemenangan saat melihat Rion dengan luka menganga di sekujur tubuhnya.

Aaron berjalan pongah, mendekati Rion yang masih menunduk dengan pedang yang ia gunakan sebagai tumpuan.

"Bukankah namanya Hime? Aku sempat melihatnya saat bertemu dengan Chevalier."

Satu kalimat yang membuat manik Damarion berkilat tajam seketika.

"Kuakui kecantikannya memang berbeda dengan gadis manusia lainnya, bahkan kini pun aku juga tertarik dan ingin memilikinya-"

Kedua alis Rion menaut, genggamannya semakin erat saat mendengar kata-kata yang Aaron ucapkan dengan tenangnya.

"Mungkin setelah ini, aku akan meminta Chevalier untuk meminjamkannya padaku semalam. Paling tidak, aku bisa-"

"Tutup mulutmu!" Rion mendesis tajam, membuat Aaron menghentikan ucapannya. Memiringkan kepala dengan seringaian yang kembali menghiasi bibirnya.

Aaron ingin tahu, sampai mana ia bisa memancing kemarahan pangeran Lucifer yang selama ini dikenal dingin dan tak banyak bicara.

"Tidak hanya takhta Lucifer, tapi gadis cantikmu itu juga akan menjadi milikku. Karena Chevalier sudah setuju untuk memerintahkannya melayaniku." Senyum Aaron kian mengembang, menatap Rion dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dan aku yakin dia tidak akan bisa-"

"Ku bilang tutup mulutmu, Bangsat!" Teriakan Rion menggema, membuat guntur ikut menggelegar dengan petir yang berkilat menyambar.

"Tangan kotormu itu," Rion menjeda kalimatnya, menegakkan kepala dengan manik emas berkilat. "Tak akan kubiarkan kau menyentuh seujung rambutnya sekali pun."

Damarion melayang di udara, menatap tajam sang putra mahkota Kerajaan Behemoth yang masih menapakkan kakinya di atas tanah dengan manik menyipit karena desiran angin yang tiba-tiba semakin kuat menerpa.

"Kau," Rion mengangkat pedangnya, terhunus tepat ke arah Aaron berada. " "Kau akan menyesal karena mengujiku, Aaron Behemoth."

Desisan Rion membuat Aaron semakin mengerutkan kening, tanpa sadar kakinya bergerak mundur saat menyadari aura yang berbeda menguar dari tubuh pangeran Lucifer kedua.

Aura kegelapan yang amat pekat hingga membuat rongga napasnya tercekat, aura kegelapan yang tidak pernah ia rasakan dari iblis mana pun sebelumnya, jauh lebih gelap dari kegelapan yang pernah tercipta.

Seiring napas yang kian menggebu, kabut hitam Rion semakin menguar. Sayapnya yang membentang kini melingkupinya, berubah menjadi perisai yang melekat di tubuhnya.

Beberapa tanduk muncul dari sela-sela helaian surai gelapnya. Sedang manik emasnya semakin berkilat merah, seakan mampu menghempas angin panas yang semakin ganas menerpa.

Dengan amarah yang membuncah, genggaman tangan Rion kian mengerat. Tatapannya semakin nyalang. Wujud iblisnya yang sekarang terlihat jauh berbeda dari sebelumnya.

"MATI KAU, KEPARAT!"

Damarion melesat, menghunuskan pedang ke arah Aaron yang langsung memerintahkan elangnya untuk kembali menyerang. Namun, di detik berikutnya maniknya dibuat terbelalak lebar.

Sratt ....

BLEDAR!!

Elang itu hancur begitu saja saat tersentuh ujung pedang milik Damarion.

"Tidak mungkin," Aaron bergumam dengan kedua alis menaut rapat. "Bagaimana bisa pangeran itu-"

Kalimatnya terputus saat tiba-tiba hunusan pedang Rion sudah berada tepat di depannya.

BLAMM!!

Lava panas membumbung di udara. Kobaran api merayap dari asal ledakan yang baru saja tercipta.

Ayunan pedang Rion membuat tanah Helldon terbelah. Sementara Aaron yang kini sudah melayang di udara dibuat ternganga tak percaya.

"Lihat ke mana kau, keparat busuk?!" Suara Rion kembali menggema, membuat Aaron seketika teralihkan. Dengan sebilah pedang yang tiba-tiba muncul di tangan kanannya, ia ikut melesat. Memilih menyerang karena tak dapat menghindar.

Aaron terus menyerang, mengayunkan pedangnya membabi buta. Tapi dengan sigap Damarion selalu dapat menangkisnya dengan mudah.

Mulai terengah, kedua tangan pangeran Behemoth itu terangkat. Mengayunkan pedangnya tepat di atas kepala Rion, tapi lagi-lagi pedang Rion berhasil menangkisnya.

Dengan kuat, Rion menekan pedangnya. Mengentakkan pedang Aaron hingga terlepas dari tangan sang pemilik. Dan dengan sekuat tenaga, pangeran Lucifer itu menendang tepat di dada lawannya.

Blasss ....

BLEDAMM!!

Aaron terlempar. Menghantam tanah hingga retak. Membentuk cekungan besar di tengahnya. Putra mahkota Behemoth itu memuntahkan darah dari mulutnya.

Namun, saat ia mencoba kembali berdiri, tiba-tiba maniknya membelalak saat pedang Rion sudah terhunus tepat di depan wajahnya.

Aaron membeku di tempat, sementara Rion mengulas senyuman. "Takhta Helldon akan tetap menjadi milik Lucifer, dan kau-"

Rion mendorong pedangnya, membuat Aaron menengadahkan kepala karena ujung pedang itu kini menusuk tepat di lehernya. "Sampaikan salamku pada Yang Mulia Raja Behemoth."

Rion menarik pedangnya, lalu kembali mengayunkannya dengan sekuat tenaga.

"Enyah kau, Aaron!"

"Tunggu, Pangeran!"

Sebuah suara membuat gerakan Rion terhenti. Ia menoleh, menatap pria bersurai semerah darah yang sangat dikenalnya Berdiri tak jauh di belakang Aaron.

"Kau-" Suara Rion tertahan. Ia menarik kembali pedangnya, lalu Ryvero tiba-tiba melesat, menarik tubuh Aaron dan membawanya berdiri di samping sang kakak.

Chevalier menarik tangan kirinya, memperlihatkan seorang gadis bergaun putih yang keluar dari balik tubuh kekarnya. "Bukankah gadis ini yang kau inginkan?"

Dengan wujudnya yang sudah kembali seperti semula, Rion berusaha sebisa mungkin menahan amarah mengingat Hime hanya manusia biasa yang akan musnah jika terkena imbas dari kekuatannya.

"Lepaskan dia."

"Melepaskan gadis ini?" Chevalier mengusap lembut pipi Hime yang membuat Rion semakin geram dibuatnya. Namun, gadis itu tak bereaksi apa-apa. Hime hanya diam dengan tatapan kosong seolah pikirannya melayang entah ke mana.

"Jauhkan tanganmu darinya, dasar keparat busuk!" Rion mengumpat. Hampir saja melesat menyerang jika ia tak lupa di tangan siapa Hime kini berada.

"Aku akan mengembalikannya jika kau mau memberikan pedangmu padaku." Chevalier berucap tenang, meski sesekali seringaian terlihat di sudut bibirnya.

Berpikir sejenak, Rion tak punya pilihan lain selain mengikuti permainan para iblis berengsek di depannya.

"Ambil ini dan berikan Hime padaku." Rion melemparkan pedangnya sembarangan yang langsung ditangkap oleh Chevalier dengan kekuatannya.

"Hime? Siapa Hime?"

Suara lembut itu membuat Damarion mengerutkan keningnya. Hime berucap tenang seolah tak tahu apa-apa. Dan detik berikutnya, manik keemasan Rion menatap tajam Chevalier yang kini mengulas seringaian di sudut bibirnya. "Apa yang telah kalian lakukan padanya?!"

Chevalier tersenyum renyah, lalu mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Membisikkan sesuatu di telinga Hime yang membuat manik hazel itu seketika membelalak.

"Apa yang telah kau lakukan, Chevalier?!" Rion kembali berteriak. Ia maju beberapa langkah dengan kedua tangan yang sudah terkepal erat.

Raja Asmodeus itu kembali memperlihatkan seringaian, satu tangannya terulur memberikan pedang Damarion pada gadis cantik yang kini berada di sampingnya. "Bunuh dia, Lily."

Manik Rion seketika membola. Satu kalimat itu membuatnya tersentak. 'Lily' nama yang sudah hampir dilupakannya sejak dua tahun lalu, nama yang tak pernah lagi ia sebut karena gadis itu membencinya. Dan semua ini, apa yang terjadi sebenarnya?

Menatap lekat Hime yang semakin mendekat ke arahnya, Rion tak tahu harus bagaimana.

"Hime, apa yang terjadi pada-"

"Aku bukan Hime!"

Sratt!

Rion terdorong ke belakang saat pedang itu menggores bahu kirinya. Ditatapnya luka itu sesaat, sebelum kembali menatap manik Hime yang kini dipenuhi amarah dan kebencian.

Hime kembali melangkah, mendekat dan mengayunkan pedang di genggamannya dengan kedua tangan. Menggores lengan kanan Damarion hingga membuat darah mengalir dari lukanya yang menganga.

Berkali-kali Hime menyayatkan luka di sekujur tubuhnya. Namun, Damarion sama sekali tak mencoba menghindar atau melawan.

Ia hanya menerima serangan itu sambil memanggil nama gadis yang dicintainya, berulang kali sebelum Hime kembali menyerangnya dengan pedang miliknya sendiri.

Jatuh tertunduk, Rion mencoba kembali berdiri dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Hingga ia beberapa kali terbatuk dan memuntahkan darah.

"Hime, aku-"

Untuk yang kesekian kalinya, Hime kembali mengayunkan pedang di tangannya. Sekali lagi menyayat tubuh Damarion hingga membuat pria itu terguling ke belakang dan memuntahkan darah.

"Kau adalah iblis yang telah membunuh orang tuaku. Kenapa kau tega melakukannya?! Apa salah mereka padamu?!" Hime berteriak serak dengan air mata yang sudah membanjiri wajah cantiknya. Ia kembali mengangkat pedang Damarion dengan tangan gemetar. "Sekarang, mereka akan tenang setelah kematianmu."

Manik hazel Hime menajam, napasnya terengah. Dalam ingatannya, ini adalah pertama kalinya ia akan membunuh seseorang.

Mendengar apa yang Hime ucapkan, Rion hanya bisa menunduk dengan kedua tangan menopang tubuhnya yang sudah tak sanggup berdiri.

Manik emasnya berubah kelabu, perlahan menyendu. Entah apa yang sudah para pangeran Behemoth dan Asmodeus itu lakukan, yang pasti kini ia tahu alasan di balik kemarahan gadis yang sangat dicintainya.

Kesalahannya memang tak mungkin lagi dimaafkan. Dan jika ini adalah yang terakhir kali, Rion hanya ingin Hime mendengarkan kata-katanya.

Pernyataan tulus yang selama ini terlalu sulit untuk Rion ungkapkan. Mungkin inilah saatnya ....

"Aku mencintaimu."

"Maafkan aku,"

"Lily .... "

DEG!

Manik Hime tiba-tiba membola, tangannya yang gemetar tertahan di udara. Ia menatap lekat pemilik tubuh kekar penuh luka yang masih tertunduk di depannya.

Bibirnya ikut bergetar, sedikit terbuka dengan rasa sesak dan perih yang memenuhi rongga dadanya.

"Rion ...," lirihan Hime membuat Damarion seketika menengadahkan kepala. Menatap lekat manik hazel yang juga tengah menatapnya.

Keduanya terdiam, Rion tak tahu suara yang memanggil namanya itu benar-benar nyata atau hanya halusinasinya, hingga Hime menarik bibir mungilnya. Mengulas senyum manis yang sudah sangat lama Rion rindukan. "Aku sudah memaafkanmu."

Tapi sesaat kemudian, senyum itu kembali memudar. Tergantikan oleh kristal bening yang menetes dan mengalir semakin deras.

"Selamat tinggal, Damarion Rensford."

JLEBB!!

                  ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top