[33]_Scramble of the Throne_
.
.
.
Suara bising saling bersaut, memenuhi setiap sudut ruang takhta. Hanya Danta yang diam menopang dagu dengan tangan kanannya, duduk manis di atas singgasana megahnya.
Sesekali Danta akan mengembuskan napas panjang saat menatap bosan puluhan menteri dan bahawannya yang berjajar rapi di hadapannya.
Saling bertukar pendapat mendiskusikan segala masalah yang terjadi di dunia bawah. Dari penyetaraan rakyat, hingga hukum-hukum yang membuat kepalanya dipenuhi kepulan asap.
Jika saja kepala Danta transparan, mungkin iblis-iblis itu sudah berlarian mengambil air guna memadamkan kebakaran hebat di kepala raja mereka.
Sesaat, manik rubi Danta berputar. Menatap sekeliling yang setiap harinya terlihat sama. Lalu kembali fokus saat namanya disebut guna meminta persetujuan atau mengajukan sebuah pertanyaan.
Dan jawaban yang ia berikan hanya dua. 'tidak' dan anggukan. Kemudian akan kembali mengedarkan pandangan dengan napas berat yang ia hempaskan melalui mulutnya.
'Ini sangat membosankan,' batinnya.
Namun, kali ini Danta tak hanya memandang hampa. Tatapannya tertuju pada dua bilah pedang yang menghias sisi-sisi dinding, menyilang dengan patung kepala naga berwarna emas di tengahnya.
Ia menyipitkan mata, menatap kian lekat saat menyadari pedang-pedang itu bergetar pelan. Hampir tak kentara jika benar-benar tak memperhatikannya.
Kedua alis Danta berkerut heran. Maniknya memperhatikan satu persatu hiasan dindingnya. Semuanya bergetar, meski tak menimbulkan kebisingan hingga jatuh atau terhempas.
Lalu ia kembali mengalihkan pandangan, memperhatikan puluhan iblis yang masih saling beradu argumen hingga saling berdebat. Nampaknya tak satu pun dari mereka menyadari adanya hal yang salah.
Kembali mengedarkan pandangan, Danta mengamati seisi ruangan yang terasa kian pengap padahal besarnya setara dengan lapangan sepak bola. Seperti oksigen di dalamnya ditarik paksa dan digantikan oleh karbondioksida.
Tak berhenti di sana. Pemilik manik rubi itu dibuat mengernyit bingung kala melihat gumpalan kabut samar-samar menerobos dari pintu raksasa di ujung ruangan, pintu utama untuk memasuki ruangan takhta. Maniknya menyipit kian tajam, mencoba memperjelas kalau ia memang tak salah lihat.
Dan memang benar, Danta belum setua itu hingga matanya bermasalah.
Tampak memutar bola mata, akhirnya Danta tahu apa yang membuat benda di sekelilingnya bergetar dan apa yang membuatnya hampir sesak napas. Dengan manik yang masih menatap datar ke depan, ia bergumam pelan.
"Satu ...,"
"Dua ...,"
BRAKK!
Danta mengembuskan napas berat saat tiba-tiba saja pintu ruangan itu terdobrak dengan keras.
"Tiga."
Begitu pintu ruang takhta terbuka, kabut hitam semakin menyeruak. Membuat para menteri beringsut mundur dengan mata membelalak sempurna. Terkejut bukan kepalang saat kabut itu semakin menebal dan kian menggelap. Menampilkan sosok Damarion yang sudah berdiri di tengah ruangan.
Mendadak hening, Danta masih menatap datar, tak mengerti dengan tingkah laku adiknya yang lebih sering menerobos masuk daripada mengetuk pintu dengan sopan.
Paling tidak, Rion bisa menunggu sampai para penjaga membukakan pintu untuknya, bukan?
Ah, tapi melihat tak ada satu pun penjaga di depan pintu ruang takhta, apalagi tak ada pemberitahuan tentang kedatangan Rion, sudah pasti mereka telah lebur karena kabut hitamnya yang mematikan itu.
Melihat kedatangan Rion kali ini, membuat Danta menaikkan satu alisnya. Bukan suatu rahasia jika ia datang sesuka hatinya, atau dengan wajah datarnya. Tapi kali ini Rion datang dengan ledakan emosi yang berusaha ia tahan.
Itu cukup kentara karena sang adik sedari tadi hanya menundukkan kepala. Apalagi dengan pakaian yang tampak kurang wajar karena sobekan di bagian bahu kanannya.
"Keluar, kalian semua." Rion berucap dengan kepala yang tak kunjung ia tegakkan.
Sejenak, seluruh iblis yang ada di sana saling menoleh, berbisik-bisik kebingungan. Tak tahu apa yang harus mereka lakukan karena sang raja pun masih terbawa dalam pikirannya.
"Ku bilang, KELUAR!" teriakan Rion menggema, mengisi seluruh ruangan yang sedetik lalu diraja keheningan. Hingga Danta pun dibuat syok karena adiknya tiba-tiba saja berteriak seperti kesetanan.
Tanpa banyak berpikir dan berkata-kata, Danta mengangkat satu tangannya ke udara. Memerintahkan agar seluruh iblis yang ada di sana meninggalkan ruangan.
Sesuai perintah sang raja,
semua penghuni di ruangan itu menunduk hormat, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruangan sebelum mereka menyesal karena tetap berada di sana.
Mengamati adiknya dari ujung kaki hingga ujung kepala, Danta masih enggan berkata-kata. Tampak jelas jika Rion baru saja terlibat pertarungan. Tapi dengan siapa?
"Apa kau sudah tau tentang para keparat itu?" Suara Rion kembali menggema. Ia menegakkan kepala, menyejajarkan pandangan dengan sang kakak yang tampak tak mengerti maksud ucapannya.
Danta memiringkan kepala, menatap Rion penuh tanda tanya.
"Keparat mana yang kau maksud? Bahkan kau sering memanggilku keparat," jawabnya enteng dengan kedua bola mata berputar jengah.
Rion menyipitkan mata, menatap sang kakak guna mencari celah kebohongan di sana. Tapi sayangnya wajah polos Danta berhasil membuatnya difonis tidak bersalah.
"Hey! Dan apa-apaan pakaianmu itu? Wilayah kastilmu tidak sedang dilanda kekeringan, bukan?" Tunjuk Danta pada bagian bahu kanan Rion yang terlihat sobek di pangkal lengannya.
Rion ikut menolehkan kepala, melirik sekilas apa yang ditunjuk Danta. Dan setelah itu ia berpikir keras karena tak bisa menemukan jawaban tentang 'apa hubungan antara pakaiannya yang sobek di bagian lengan dengan kekeringan'.
Hingga akhirnya Rion tersadar dan memejamkan mata, menarik napas sedalam-dalamnya.
"Tenanglah, Rion! Tenang .... Kau bisa menghajar kakak bangsatmu itu nanti," gumamnya dalam hati sambil berusaha menenangkan diri.
"Aku tidak sedang bercanda, Kakak!" Rion berteriak setelah ia kembali membuka manik kelabunya.
"Aku juga tidak, Rion!" Danta balas berteriak, tak mau kalah.
"Maksudku- Eh, tunggu!" Tiba-tiba saja Danta menatap lekat, menyipit tajam dengan kepala sedikit ia majukan.
"Barusan kau memanggilku 'kakak'?" ulangnya dengan wajah serius yang dilebih-lebihkan.
Sejak kejadian di mana Rion begitu marah sampai menghancurkan kastil Lucifer, ia memang tak pernah lagi memanggil Danta dengan sebutan 'kakak'.
Jika bukan 'berengsek', 'keparat', 'sialan' maka 'bangsat' dan yang lainnya. Sejak saat itu, ini adalah yang pertama kalinya.
"Damarion, adikku, senang sekali aku mendengarmu masih menganggapku kakak," ucapnya dengan raut terharu berlebihan dan berdiri hendak mengahampiri dengan kedua tangan terentang.
Namun, belum sempat Danta maju selangkah turun dari singgasana, tatapan Rion sudah kembali menciutkan nyalinya.
"DUDUK!" Rion mendelik marah. Membuat Danta mengurungkan niat dan kembali duduk dengan bahu merosot.
Ia tahu Danta hanya sedang menggodanya karena hampir mati kebosanan menghadapi para menteri yang tak pernah kehabisan kata-kata, tapi ini bukan saat yang tepat.
Rion sudah kehilangan gadis- Tidak! Belum! Rion belum kehilangan gadisnya. Dan ia akan memastikan itu tak akan terjadi. Itulah mengapa ia datang dan berniat berbaikan (sementara) dengan Danta.
Tapi apa ini? Sejak kapan menteri-menteri itu berhasil mengubah kakaknya menjadi sosok anak kecil yang menjengkelkan begini? Rion bukan seperti bicara pada kakaknya, tapi seperti Zean yang baru saja meminta permen dan ia menolaknya. Benar-benar sangat mirip.
Masih menatap Danta yang memalingkan wajah dengan bibir manyun, Rion kembali menghela napas sembari terus mencoba bersabar. Tidak ada cara lain, jika ia juga bertengkar dengan Danta, bagaimana dengan tantangan Falcon tempo hari?
"Falcon baru saja menemuiku." Rion bersedekap, langsung berbicara pada intinya. Ia tak mau berlama-lama jika tak ingin ikut kehilangan akal sehat.
"APA??!!!!!"
Seperti disambar petir, Danta terkesiap dengan manik membola. Bahkan mulutnya masih ternganga lebar.
"Maksudmu, Falcon Behemoth?" ulangnya memastikan, sementara Rion membalas dengan anggukan. Ia malas menimpali karena pasti ujung-ujungnya akan melenceng dari topik utama.
Danta kembali terfokus pada lengan kanan Rion. Sekarang ia tahu apa yang telah terjadi. Hingga kemudian sebuah pertanyaan berhasil menghinggapi kepala tampannya. "Jadi, Pangeran Behemoth sekarang hanya tinggal dua orang?"
Seperti yang Rion duga, pertanyaan Danta pasti sedikit melenceng dari perkiraannya.
"Tidak. Dia masih hidup." Rion menjeda.
"Dan sekarang berada di Kerajaan Asmodeus. Selama ini Chevalier dan adiknya, Ryvero, yang telah membantu melindungi mereka hingga kekuatan mereka kembali pulih sepenuhnya," imbuh Rion kemudian.
Kembali diluar dugaan, wajah Danta terlihat lempeng-lempeng saja. Seperti ia sudah berprasangka sebelum Rion menjelaskannya. Dan itu sukses membuat Rion mengepalkan tangannya geram.
"Apa kau tahu Asmodeus berkhianat? Dan selama ini kau-"
"Tidak." Danta menyanggah tegas.
"Aku tidak tahu. Karena sejak ayah masih bertakhta, Asmodeus sangat setia pada Lucifer." Danta kembali menopang dagu di pegangan kursi dengan tangan kanannya. "Jika aku tahu, aku tidak mungkin ikut menyetujui perjodohan itu. Dan kau pun harus tahu kalau ayah juga sudah menyetujuinya."
Danta mengedarkan pandangan. Sesekali melirik Rion yang masih berekspresi datar, berdiri di tempat yang sama untuk mendengarkan ucapannya.
"Aku hanya sudah menduga jika para Pangeran Behemoth itu akan segera menampakkan batang hidung mereka. Hanya saja, bersama Asmodeus. Itu ...." Danta menghela napas, kemudian berdiri dan melangkah ke hadapan Rion. Menatap sang adik lekat dengan tangan kanan yang ia sandarkan di bahu kiri adiknya.
"Rion, sebagai kakakmu, Aku minta maaf. Aku hanya meneruskan apa yang telah dikehendaki ayah. Yah, selain karena kata-kata Gracia." Danta tersenyum simpul, berusaha memperlihatkan ketulusan di setiap kata yang ia ucapkan.
Sampai-sampai Rion pun sempat dibuat terdiam mendengar pengakuan sang kakak.
"Aku-"
BRAKK!!!
Suara dobrakan pintu kembali terdengar. Kali ini Aylmer yang menendangnya.
"Kakak! Kau harus menyelamatkanku!!"
Suara Aylmer menginterupsi hingga menimbulkan gema. Membuat kedua kakaknya seketika itu langsung menoleh ke arah yang sama.
Melihat Damarion ternyata juga berada di sana, wajah Aylmer semakin pucat, keringat dingin mulai mengaliri wajah tampannya. Dengan susah payah, ia menelan saliva sebelum berhasil meluncurkan dua kata dari bibirnya.
"Mati aku. "
Beberapa saat yang lalu, ketika Aylmer sadar telah dibodohi oleh Chevalier, dia langsung menuju ke kastil utama untuk meminta perlindungan dari Danta, karena tentu saja, Damarion pasti akan benar-benar menggorok lehernya.
Ketika itu, Aylmer sedang berjalan terburu-buru menuju ruang takhta sang kakak. Tampak kecemasan akut di wajahnya, seperti buronan yang kembali tertangkap dan akan divonis hukuman pancung keesokan harinya.
Ia melangkah lebar-lebar, menatap lurus ke depan dengan bibir komat-kamit tak jelas, yang pasti bukan baca mantra.
"Bagaimana ini? Bagaimana kalau Damarion sampai tahu aku kehilangan Hime untuk kedua kalinya? Aku pasti akan benar-benar dipanggang olehnya."
"Astaga ... bagaimana ini?" Aylmer terus bergumam gusar.
Memantapkan hati untuk menemui kakak pertamanya, Aylmer dikejutkan saat puluhan menteri berjalan tergesa dari arah ruang takhta. Ia sempat berhenti sejenak, menyelidik wajah setiap menteri yang semuanya tampak pucat, seperti baru saja terkena sambaran petir yang menggelegar.
Dalam hati ia bertanya, 'Apa kakak baru saja memarahi mereka? Jika benar, maka ajalku benar-benar sudah dekat.'
Tapi pertanyaan itu cepat-cepat ia tepis dengan gelengan kepala. Tidak peduli sedang apa Danta sekarang, atau bagaimana suasana hatinya. Saat ini hidup dan matinya sedang dipertaruhkan.
Dan semarah apa pun Danta, sang kakak pertama tak 'kan melenyapkannya yang tak tahu apa-apa, bukan?
Menggeser posisi berdirinya, Aylmer menghadang salah satu menteri yang melewatinya, membuat menteri itu langsung menunduk dalam saat tahu bahwa sang pangeranlah yang menghadang jalannya.
"Salam saya, pada Pangeran Aylmer," tunduknya penuh hormat.
"Hm. Apa kakak ada di ruang takhta?"
Masih menunduk, menteri itu membenarkan dengan anggukan. "Benar, Pangeran. Tapi-"
"Apa dia sedang marah?"
Belum sempat menteri itu melanjutkan kalimatnya. Aylmer sudah kembali menyerbunya dengan pertanyaan yang kali ini menteri itu jawab dengan gelengan. "Tidak, Pangeran. Tapi-"
Tepukan Aylmer di bahu kanan menteri itu membuatnya kembali terdiam.
"Baiklah. Kau boleh pergi," ucap Aylmer dengan senyum mengembang. Merasa lega karena tidak akan ada hukum pancung kedua untuknya.
Aylmer mengangkat dagunya, kembali berjalan penuh wibawa dengan senyum lebar dan anggapan nyawanya pasti akan terselamatkan. Sementara menteri itu menatapnya miris sembari menggeleng-gelengkan kepala sebelum kembali melanjutkan langkah.
Sayangnya, anggapan itu hanya bertahan sekejap karena Aylmer malah mendapati malaikat yang akan mencabut nyawanya kini berada di depan mata.
"Mati aku." Aylmer berucap pelan dengan manik membola.
Sang pangeran bungsu sama sekali tak menduga jika Damarion masih berada di kastil utama. Karena sepengetahuannya, Rion tidak akan krasan berlama-lama dengan Danta, atau sebaliknya.
Berbalik. Niat hati ngin segera menghilang dari sana, langkah Aylmer harus terhenti saat mendengar suara Rion bagaikan mata pedang yang tepat menghunus jantungnya.
"Satu langkah lagi dan kau akan kehilangan kedua kakimu." Ancaman Rion sukses membuat Aylmer kembali berbalik. Menatap kedua kakaknya dengan wajah teramat memilukan.
"Ka- Kakak-" Suara Aylmer bergetar. Menelan ludah kepahitan sebelum menyelesaikan kalimatnya.
'Sial! Apa yang dilakukan Damarion di sini? Sepertinya dia sudah tau apa yang terjadi. Kali ini aku benar-benar akan tamat,' lanjutnya dalam benak.
Manik Aylmer semakin membola saat tatapan Rion kian nyalang ke arahnya. Napas Damarion mulai memburu, kedua tangannya mengepal erat hingga kuku-kukunya memutih.
"Kenapa kau begitu bodoh, Aylmer?!"
Rion mengangkat satu tangan ke udara, diiringi dengan getaran pedang yang menghias dinding seisi ruangan.
Begitu Rion mengarahkan tangannya pada Aylmer, pedang-pedang itu tercabut dari tempatnya, melesat ke arah Aylmer yang reflek memejamkan mata dan menyilangkan tangan ke depan wajahnya.
Klank.
Klank.
Klank.
Suara pedang yang berjatuhan membuat Aylmer kembali membuka mata, menggerayangi tubuhnya sendiri dengan tergesa. Kemudian bernapas penuh kelegaan. "Hah ....Tubuhku masih utuh."
Sementara Rion menoleh pada Danta yang juga mengarahkan satu tangannya pada Aylmer. Menyeruakkan sinar merah, membentuk sebuah barrier dan menghadang sekitar tiga puluh pedang yang terarah pada adik bungsunya.
Jika Danta tak lebih cepat, mungkin pedang itu sudah membuat Aylmer luka-luka meski tidak fatal.
"Kenapa kau selalu melindunginya?!" Rion mendesis tajam, menatap sang kakak dengan gigi gemeretak marah.
Semua yang terjadi sebelum kedatangan Aylmer seakan terlupakan begitu saja.
"Karena dia adikmu, Damarion, dan dia juga adikku. Meski aku tak tahu kenapa dia terlahir dengan bakat luar biasa yang bisa membuat kita naik pitam hanya dengan menatapnya," jawab Danta tenang, kemudian menurunkan tangannya, membuat barrier itu juga perlahan memudar.
Danta kembali terfokus, menatap Rion yang masih mengepalkan tangannya erat. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rion? Kenapa kau begitu marah setelah melihatnya?"
Masih menatap nyalang Aylmer, Rion memilih bungkam. Hingga akhirnya Danta beralih pada Aylmer dan mengendikkan dagunya samar, meminta jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan.
"Kakak- maksudku, Damarion. Ah, maksudku, kau menyuruhku menjaga Hime agar kakak Damarion bisa menghadap." Aylmer mulai membuka suara.
Melangkah perlahan, Danta melipat tangannya ke depan dada. "Lalu?"
"Tiba-tiba saja Raja Asmodeus datang dan entah kenapa Hime malah membelanya. Bahkan Hime seperti tak senang saat melihatku berusaha memisahkannya dengan Chevalier."
"Kau tak merebut Hime kembali?"
"Tidak! Ma- Maksudku bukan begitu!" Aylmer menyanggah cepat.
"Tentu saja aku mencoba merebutnya. Tapi, saat aku akan mengeluarkan pedangku, Chevalier mengingatkanku jika kami masih berada di rumah Hime dan kupikir Damarion pasti akan marah jika rumah itu hancur, apalagi Hime juga ada di sana. Dia pasti akan lebih marah jika Hime terluka," jelasnya panjang-lebar.
"Dan?"
"Dan tiba-tiba Cehvalier menyerangku dan membuatku menangkis hingga rumah Hime hancur terbakar dan saat aku ingin membalas serangannya, dia sudah kabur membawa Hime entah ke mana." Aylmer mulai gelagapan.
"Jadi, kau tertipu dengan taktiknya?"
Danta menarik satu alis. Kini ia tahu kenapa Rion benar-benar marah. Parahnya lagi, ini untuk yang kedua kalinya.
Diam saja. Aylmer tak lagi mampu menjawab karena memang ia tak tahu harus berkata apa.
Melihat reaksi Aylmer, Danta mengembuskan napas berat. Ia berucap lewat mindlink tanpa sepengetahuan Damarion.
'Kenapa kau selalu saja membuat masalah, Aylmer? Sekarang bagaimana aku bisa menyelamatkanmu?'
'Tolong aku, Kakak. Aku belum mau menjadi abu.'
'Daripada menyelamatkanmu, aku akan lebih memilih menusukkan pedang-pedang itu langsung ke jantungmu! Dasar bodoh!'
Tak ada balasan, kini Aylmer hanya menatap kakak tertuanya dengan manik membola tak percaya.
Sementara itu, Danta melirik Rion dari ekor mata. Mencoba mencari celah agar adik pertamanya tak kembali mengamuk. Hingga sebuah pemikiran muncul secara ajaib di dalam kepalanya.
Para Pangeran Behemoth bekerja sama dengan Kerajaan Asmodeus. Dan mereka menculik Hime, bahkan Falcon berani menemui Rion secara terang-terangan. Pasti ada sesuatu yang membuat Falcon mau datang untuk mempertaruhkan keabadiaannya sendiri.
Danta berbalik, menatap Rion yang juga langsung terfokus padanya.
"Apa yang mereka inginkan, Damarion?"
Mengerti apa yang dimaksud sang kakak, Rion sempat kembali menatap Aylmer yang membalas tatapannya takut-takut. "Kekuasaaan atas seluruh Helldon."
Manik kelabunya kembali menatap lekat manik rubi milik Dantalion.
"Takhtamu."
~°^°~
Ini buat readers tercinta yang penasaran sama pict nya para pangeran Behemoth 😊
#Pangeran pertama
#Pangeran kedua
#Pangeran ketiga
Semoga sukaa😉😉
Salam hangat #Lucien_Dire😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top