[29]_Enemies_

.

.

.

Langkah Damarion menggema, memecah kesunyian di balik gemerlapnya lampu-lampu kristal yang tergantung megah di setiap sisi lorong tempatnya menapak.

Jejak langkahnya menguarkan kabut hitam yang membumbung ke udara, lalu menipis dan kembali menghilang, menandakan aura sang pemilik sedang tak bersahabat.

Jubah kebesaran yang melekat pada tubuh tegapnya tampak elegan dengan balutan sutra sewarna safir berpadu kerlipan emas di setiap sudut, menjuntai hingga mata kaki.

Rion melangkah penuh keagungan. Menatap lurus ke depan, mengabaikan para pengawal di kanan-kiri yang menunduk dalam saat menyadari kehadirannya. 

Menampilkan raut datar tak terbaca, Damarion berusaha menyembunyikan perasaan campur-aduk yang membuncah di dada.

Meski kakinya melangkah mantap, pikirannya melayang jauh di awang-awang.  Penuh dengan wajah Hime yang terus membayang. Yang dengan sangat menyesal harus ia percayakan pada sang adik yang jelas-jelas amat meragukan.

.
.
.

"Jika kau ingin tahu, kembalilah. Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri."

Sejenak, Rion terdiam. Memutar otak guna mencari cara agar Aylmer menjelaskan maksud perkataannya tanpa ia harus kembali ke Helldon dan memenuhi panggilan kakak keparatnya. Sungguh, saat membayangkan wajah Danta, yang Rion inginkan hanya menghajarnya habis-habisan.

"Aku tak bisa kembali sekarang. Aku tak bisa meninggalkan Hime sendirian dalam waktu yang lama. Apalagi-" Ucapan Rion terjeda,  berpikir akan mengatakan keanehan yang tengah terjadi pada Hime atau tidak.

Hingga dalam waktu yang cukup lama,  kedua pangeran itu masih terdiam. Membekukan suasana yang sudah mencekam. Rion dengan wajah datarnya, sedang Aylmer yang sedikit memiringkan kepala. Menunggu sang kakak melanjutkan kalimatnya.

"Kau akan kembali, Rion."

Suara merdu tiba-tiba menginterupsi di belakang Damarion. Membuatnya seketika itu juga berbalik menatap gadis cantik yang entah sejak kapan sudah berdiri di ujung tangga.

Hime melangkah turun. Berjalan ke arah Damarion lalu melewatinya begitu saja, ia berhenti tepat di samping Aylmer.

"Tidak ada alasan untukmu menolak panggilan Yang Mulia Dantalion. Aylmer yang akan menemaniku di sini." Hime melirik Aylmer sekilas, "Bukankah begitu, Aylmer?"

Mendengar perkataan Hime, tentu saja manik Aylmer langsung berbinar. Di dalam benak, ia berjingkrak kegirangan.

Sejak awal, kedatangannya memang untuk menggantikan Rion menjaga Hime. Karena Danta pun tahu Rion tak akan mau menghadap jika Hime tak terjamin keselamatannya.

Tapi, karena Aylmer pernah lalai saat menjaga Hime hingga gadis itu hampir kehilangan nyawa, ia tak tahu bagaimana mengatakannya pada Rion. Bisa-bisa ia langsung ditendang keluar dari neraka jika langsung bicara terang-terangan. Tapi karena Hime sendiri yang memintanya, tentu ini membuat Aylmer tak harus berpusing kepala.

"Te-Tentu saja! Aku akan menjaga Hime saat kau pergi, Kak. Aku janji, kali ini tidak akan pernah memalingkan pandanganku darinya," ucap Aylmer tersenyum lebar penuh antusias dengan menunjukkan dua jari kanannya.

Melihat senyum semringah di wajah Aylmer, bagi Rion justru bagaikan seringai pendeklarasian kemenangan karena membuatnya tak dapat mengelak.

Merasa jengah melihat Aylmer yang masih setia dengan senyum lebarnya, Rion beralih tatap pada Hime yang seolah memang nenginginkan kepergiannya.

Terlepas dari kebencian gadis itu, seluruh keanehan yang terjadi akhir-akhir ini masih sangat mengusiknya. Tapi jika ini bukan hal yang penting, tak mungkin Dantalion memanggilnya untuk menghadap, sampai-sampai mengirimkan Aylmer untuk datang langsung sebagai penyampai pesan.

Apa ada sesuatu yang terjadi di Helldon? Apa yang dimaksud Aylmer bahwa Calvert tak dapat mengirimkan pesan untuknya?

Setelah berpikir cukup lama. Serta membuat daftar list di dalam kepalanya tentang berbagai pilihan cara untuk melenyapkan Aylmer jika sang adik membuat Hime dalam bahaya untuk yang kedua kalinya. Akhirnya, Rion menghembuskan napas berat, ia tak punya pilihan. Dengan sangat terpaksa, Rion setuju untuk menemui sang kakak.

Perlahan, Rion mendekat. Berhenti tepat di hadapan Hime yang langsung mengalihkan pandangannya. Ada kecemasan dan kesakitan di dalam matanya saat gadis itu bahkan tak mau bersitatap dengannya.

'Sebesar itukah kebencianmu padaku, hingga kau tak mau menatap mataku?' Ucapan pilu mengalun sendu di dalam hatinya. "Aku akan segera kembali. Jaga dirimu."

"Dan kau," Manik kelabu Rion beralih pada Aylmer. Seketika itu pula menajam bagai mata pedang yang siap menghunus.

"Jika kali ini kau melakukan kesalahan, kupastikan kepalamu akan tergantung di gerbang kastilku!"

Mendengar ancaman Damarion, manik Aylmer membola, senyum di bibirnya lenyap tak bersisa.

Aylmer menelan kering seraya memegangi lehernya, membayangkan jika kepalanya benar-benar terlepas dari tubuh dan menjadi hiasan di gerbang Kastil Timur milik sang kakak.

"Te-Tentu saja, Kakak. " Ia tergagap. Setelah memikirkannya sekali lagi, Aylmer benar-benar menyesal mau menjadi pengantar pesan untuk kedua kakaknya.

.
.
.

Mengingat percakapan itu membuat Rion kembali membuang napas kasar, semakin was-was karena wajah Aylmer yang sama sekali tak meyakinkan.

Entah apa yang terjadi di rumah Hime sekarang. Hanya ada pikiran negatif yang memenuhi kepala tampannya, hingga tanpa sadar, lamunan Rion membawanya sampai ke depan pintu raksasa dengan lambang Kerajaan Lucifer di tengahnya. Pintu menuju ruang singgasana.

Seorang pengawal menyerukan kedatangannya, tak lama kemudian pintu itu terbuka. Memperlihatkan jajaran menteri dan para penghuni kastil utama yang lainnya. Serta Dantalion yang duduk bersilang kaki di atas singgasana emasnya.

Dengan mengangkat dagu penuh keangkuhan, Damarion menyentak ujung jubahnya ke belakang. Melangkah memasuki ruangan yang luas dan megah dengan segelintir iblis yang berbaris rapi di kanan-kirinya. Menundukkan kepala dalam-dalam saat ia lewat.

Rion berhenti tepat di depan singgasana sang kakak saat keheningan masih meraja. Ia melirik sekitar, melihat para iblis yang menatapnya penuh kekaguman sekaligus ketakutan secara bersamaan.

Karena belum lama ini ia telah meluluh-lantakkan dua belas Kastil Lucifer hingga seluruh Helldon menjadi gempar dibuatnya. Yang berarti, Damarion dapat membuat mereka menjadi abu hanya dalam satu kedipan mata.

Meluruskan pandangan, Rion beralih menatap sang kakak di atas takhta. Meski ia ingin sekali meninju wajah sang kakak yang membuatnya seketika naik pitam karena teringat betapa berengseknya pria itu, Rion tetap tak dapat melakukannya.

Bagaimanapun juga kakaknya adalah seorang raja. Penguasa seluruh dunia bawah yang bahkan ia pun tak dapat membantah.

Dengan wajah menahan emosi yang kian meledak, Rion menekuk tangan kanan ke depan dan menundukkan kepala. Dengan segala hormat, ia berucap, "Salamku untukmu, Yang Mulia."

Melihat Damarion yang setidaknya masih menghormatinya sebagai seorang raja setelah apa yang ia perbuat. Danta tampak mengulas senyum samar di sudut bibirnya. Mengangkat satu tangan, memberi perintah pada para menterinya untuk meninggalkan ruangan, agar ia dan adiknya dapat berbicara empat mata.

Setelah hanya tersisa mereka berdua. Danta berdiri dari singgasananya, berjalan menghampiri Rion yang sudah kembali menegakkan kepala.

"Selamat datang, Adikku. Tak kusangka kau mau datang untuk memenuhi panggilanku," ucapnya seraya merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar.

"Diam kau, Keparat! Aku kemari bukan untuk mendengarkan omong kosongmu." Manik Rion menajam, bagai harimau yang siap menerkam. "Katakan, apa yang membuatmu sampai harus mengutus Aylmer untuk menyeretku kemari?"

"Atau kau akan menyesal menahanku berlama-lama di sini." Terselip sebuah ancaman di balik ucapan datarnya.

Danta menghela napas kasar, kepalanya berdenyut saat sikap Rion tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat meski ia sudah mempersiapkan diri sebelumnya.

"Tak bisakah kau melupakan semua yang sudah terjadi?" Danta semakin melebarkan senyumnya, sayangnya itu sama sekali tak berpengaruh pada tatapan Rion yang masih setajam elang.

"Ah, sudahlah, aku akan langsung saja." Dan akhirnya Dantalion pun menyerah.

Wajah Danta beralih datar.  Menatap Rion yang hanya berjarak satu meter di depannya penuh keseriusan. "Ada hal penting yang harus kau ketahui, Damarion."

Danta mengangkat satu tangan ke udara dengan telapak tangan menengadah. Sebuah sinar semerah darah menyeruak lalu menghilang dari telapak tangannya, memunculkan kotak hitam yang melayang, membuat Rion mengerutkan kening bertanya-tanya.

Danta mengarahkan kotak itu ke hadapan Damarion.

"Bukalah," ucap Danta dengan tatapan kian lekat.

Setelah melirik sang kakak sekilas, Damarion membuka kotak itu asal-asalan.

Klak!

Dengan mudah, kotak itu terbuka. Dan saat melihat apa yang ada di dalamnya, manik Rion membola. Ia begitu terkejut sampai melangkah mundur tanpa disengaja.

Untuk beberapa saat, Rion seakan kehilangan suara. Saat ia menemukan kembali suaranya,  hanya satu kata yang terucap.

"Calvert?!"

Rion masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata kotak itu berisikan kepala Calvert yang telah terpenggal dengan mata melotot dan mulut terbuka.

Entah apa yang ada di dalam kepala Pangeran Lucifer itu saat ini. Bahkan Danta pun tak dapat menerka. Ia hanya bisa bersiaga kalau-kalau sang adik mengamuk di dalam kastilnya.

Melihat kedua tangan Damarion yang mengepal erat dan matanya yang melotot, menyorot tajam kepala Calvert yang begitu mengenaskan. Yang bisa Danta lakukan hanya bersiap dengan kemungkinan terburuk jika Rion kehilangan kendalinya.

"Tahan emosimu, Damarion." Danta mencoba menenangkan. Namun Rion tetap bergeming dengan rahang mengeras. "Jika kau-"

"Siapa yang berani melakukannya?!"

Ucapan Danta terjeda, tapi ia tetap berusaha untuk menenangkan adiknya. "Kau tahu Calvert bukanlah iblis rendahan. Dia iblis yang aku sendiri mengakui kekuatannya,"

"Aku bertanya, siapa yang melakukannya?! Apa kau tuli?!"

Damarion berteriak marah, membuat ruangan itu bergetar hingga tercipta retakan. Kabut hitamnya menguar semakin pekat memenuhi seluruh ruangan, menciptakan aura mencekam yang bahkan membuat Danta tercekat.

"Bukankah setiap iblis yang lenyap seluruh tubuhnya akan melebur menjadi abu?" Danta mengalihkan pembicaraan. Masih berusaha menenangkan Rion yang akan meruntuhkan kastilnya jika sang adik melepaskan kekuatan.

Untunglah, tampaknya akal sehat Damarion belum sepenuhnya hilang. Ia tampak memikirkan kata-kata yang baru saja Danta ucapkan.

Tiba-tiba, tatapan Rion beralih pada Danta yang masih bersiaga. "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"

Tak langsung menjawab, Danta menunggu Rion untuk mengendalikan dirinya, dan tampaknya Rion mengerti akan hal itu. Ia menyerap kembali kabut hitamnya yang kian menipis dan menghilang tersapu udara, membuat Danta bisa sedikit bernapas lega.

"Aku menemukan sebuah pesan di dalam mulut Calvert." Danta kembali mengangkat satu tangan, dalam sekejab sinar merah menyeruak sebelum kembali menghilang, menyisakan gulungan kertas yang melayang di telapak tangannya.

"Sebaiknya, kau baca sendiri."

Dengan gerakan ringan dari tangan Danta, kertas itu beralih menuju Damarion yang langsung ditangkap dengan mudah oleh sang pangeran.

Dengan sedikit tergesa,  Rion membuka kertas itu dan membacanya.

"Semoga anda dan pangeran lucifer lainnya menyukai kejutan kecil yang kami kirimkan.

Salam kami untuk anda, Yang Mulia Zavian Dantalion Lucifer."

Kedua alis Rion menaut, tangannya meremas kertas yang masih berada dalam genggaman. Ia tak tahu siapa yang mengirimkan kertas itu, tapi yang pasti pengirimnya berhubungan dengan kematian Calvert.

"Lihat baik-baik simbol kerajaan di kertas itu, Damarion."

Mengikuti arahan Danta, manik Rion tertuju pada sebuah simbol yang terletak di sudut kanan bawah kertas yang hampir hancur di tangannya.

Simbol berwarna coklat keemasan dengan ukiran rumit yang khas. Simbol kerjaan yang lebih dari lima ratus tahun tak pernah lagi ia lihat.

Manik Rion kembali membola. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini tidak mungkin."

"Simbol ini," Rion menggantung kalimatnya.

"Simbol Kerajaan BEHEMOTH."

                           

                      ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top