[27]_the GAME will Start_

.

.

.

Kelambu tipis berkibar lembut searah tiupan angin musim semi. Membawa silau mentari pagi yang berhasil menembus pintu kaca raksasa, menghampiri gadis cantik yang kini masih terlelap di atas ranjang. Perlahan namun pasti, sinar hangat itu kian menyeruak dan berhasil mendarat tepat di atas kelopak mata indahnya.

Sang gadis beberapa kali mengerjap kala merasakan sinar menyilaukan mengganggu tidurnya.

Sedang di sisi ranjang. Seorang pria tersenyum simpul menatapnya, terlihat menikmati tingkah lucu sang gadis kala berusaha menghalau sinar dengan mata yang masih terpejam.

Kini, sang pria berjalan ke arah pintu menuju balkon dengan perlahan. Berdiri membelakangi sang mentari, menghadang sinarnya dengan bahu lebar dan punggung tegapnya agar gadis itu kembali damai dalam tidurnya.

Manik kelabu Rion masih menatap dengan senyum tipis yang tak kunjung memudar, masih terbayang dengan apa yang terjadi semalam. Saat di mana Hime ingin mengakhiri hidup dengan menenggelamkan diri. Saat di mana ia kembali melihat senyum gadisnya meski sesaat. Dan ... di saat gadis itu membalas ciumannya tanpa sadar.

Alasan sederhana yang membuat Rion yakin bahwa Hime masih mencintainya, meski entah di mana gadis itu menyembunyikan perasaannya.

Alasan sederhana yang membuat Rion akan tetap berjuang untuk mendapatkan gadisnya kembali, hingga saat di mana ia tak lagi dapat berdiri dan menatap dunia.

Tak berselang lama, Hime mengerjapkan mata. Bukan lagi karena silaunya sinar sang surya, tapi karena sebuah perasaan nyaman yang melingkupi hatinya. Rasa yang sudah lama ia palingkan sejak berusaha membenci pria iblis yang menghancurkan hidupnya.

Takut jika rasa nyaman itu hanya sekadar khayal semata, perlahan Hime membuka mata. Menampilkan sepasang manik hazel yang begitu memikat. Berkedip beberapa kali, lalu memejam dan kembali membukanya.

Hime menatap bayangan samar, masih mencoba memfokuskan pandangan. Berharap dapat melihat apa yang membuatnya merasa begitu damai dalam hatinya.

Semakin jelas, kini Hime dapat melihat seorang pria yang tengah berdiri menghadapnya. Menghadang sinar di balik pintu kaca agar tak dapat menyentuhnya. Pria dengan surai legam yang diikat ke belakang, berkibar lembut saat tiupan angin menerpanya.

Manik kelabu Rion seakan menariknya, membuatnya tak mampu berpaling saat keduanya bersitatap. Sedang bibir yang masih mengulas senyum itu membuatnya semakin terpana.

'Aku mencintaimu, Angelica Rafhelista.'

'Maafkan aku ....'

Entah dari mana datangnya, suara itu tiba-tiba saja melintas di kepala cantiknya. Membuat Hime tersadar dengan semua yang telah terjadi padanya, kisah masa lalunya, dan semua penderitaannya.

Penyebabnya adalah seorang pria yang saat ini berdiri di depannya. Seorang pria yang sangat dicintainya dan juga sangat dibencinya. Entah yang mana yang akhirnya akan menguasai dirinya lebih kuat. Karena antara cinta dan benci, hanya terpisah oleh satu garis tipis yang dapat terputus kapan saja. Tapi yang jelas, Hime tidak berniat memutus garis itu sekarang.

Hime menurunkan pandangan, menatap nampan berisi segelas susu juga dua potong roti selai yang berada di tangan Rion. "Kau asisten pribadi, bukan pelayan," ucapnya seraya memalingkan tatapan.

Gadis cantik itu beringsut dari ranjang. Hendak berdiri dan berjalan ke kamar mandi, "Aku tak kekuarangan pelayan," lanjutnya.

Tapi belum sampai di depan pintu kamar mandi, Hime tiba-tiba jatuh tertunduk dengan satu tangan memegangi kepala dan satu lagi menumpu tubuhnya.

Kepala Hime terasa berat dan berputar, berdengung kencang seolah akan pecah. Bersamaan dengan munculnya bayangan aneh hingga pandangannya memburam. Bahkan suara Rion yang sejak tadi berteriak memanggil namanya pun tak dapat ia dengar.

Di dalam kepalanya, samar-samar Hime melihat seorang pria dengan surai semerah darah dan manik senada tengah berjalan menghampirinya, tersenyum manis dengan mengulurkan satu tangan seolah menunggu Hime untuk menyambutnya.

Pria itu berucap penuh kelembutan, "Aku sudah lama menunggumu, Love."

Namun, perlahan bayangan itu memudar dan menghilang dengan sendirinya saat Hime mulai kembali menguasai kesadarannya. Kini ia dapat mendengar Rion yang berulang kali menyebut namanya dengan raut cemas yang kentara.

Plak!

Dengan tatapan tajam, Hime menyentak tangan Rion yang memegangi bahunya hingga pria itu tersentak.

Sesaat, keduanya kembali bersitatap dalam diam. Sebelum Hime memutuskan untuk berdiri dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Jangan pernah menyentuhku lagi!" ucapnya penuh penekanan seraya meninggalkan Rion yang masih terpaku di posisinya.

Sedang sang pangeran iblis hanya diam tanpa membalas ucapan. Maniknya menatap kosong seolah pikirannya tak berada di tempat yang sama. Rion mengerutkan kening, membuat kedua alisnya menyuram.

"Kenapa aku tak bisa membaca pikiranmu?" gumamnya pelan.

.

.

.

Di waktu yang bersamaan, seorang pria tengah berjalan melewati sebuah lorong temaram. Hanya sederetan obor kecil yang menjadi penunjuk jalan di sisi kanan dan kirinya. Minimnya udara membuat lorong yang terbuat dari batu itu tampak lembab.

Hanya gema dari suara langkah pria itu yang terdengar. Memecah hening di tengah-tengah lorong yang ia lewati.

Jubahnya yang panjang hingga menyentuh lantai tampak berkibar pelan. Jubah sehitam jelaga dengan pernik emas yang menghias di beberapa bagian, mengerlip saat lentera temaram menyinarinya.

Dagu lancip dengan tatapan tajam yang mampu membelah malam. Lengan kekar dengan punggung tegap yang menjadi tanda jika sebuah pertarungan adalah hal yang menyenangkan untuknya. Saat ia melangkah, dagunya selalu terangkat dengan tatapan lurus ke depan, memperlihatkan keangkuhan atas kekuasaannya.

Bahkan di bawah sinar yang hanya memperlihatkan bayangan hitam, wajah menawannya tak dapat disembunyikan. Manik rubi yang menyorot tajam mampu meluluhkan setiap pasang mata yang memandang. Dan dengan sebuah mahkota yang kini berada di atas kepalanya, ia dapat melakukan segalanya.

Kriieettt ....

Pintu usang di depannya terbuka dengan dorongan pelan. Menampakkan seorang pria bersurai perak tengah duduk bersilang kaki dengan kedua tangan ia letakkan di pegangan kursi. Kursi tua namun masih terlihat elegan dengan ukiran sulur yang mengelilinginya. Melingkar dengan sebuah meja kecil di tengah.

Seringaian di bibirnya tercipta kala melihat sang pria bermanik rubi berdiri di ambang pintu dengan jubah beludru dan mahkota di kepala.

Ia berdiri, melangkah santai dan berhenti tepat di depan pria dengan sejuta pesona itu. Merentangkan tangan dengan senyum merekah. "Selamat datang. Yang Mulia Raja Chevalier Asmodeus."

Dengan ulasan senyum yang sama, Chevalier melangkah masuk lalu duduk di kursi dengan menyentak ujung jubahnya ke belakang.

"Terima kasih. Berkatmu, aku bisa menjadi raja secepat ini," ucapnya seraya menyilangkan kedua kaki. "Jika bukan karenamu, pria tua bangka itu pasti akan membuat malu seluruh Kerajaan Asmodeus karena masih tunduk pada kerajaan yg telah melenyapkan putrinya sendiri."

Pria bersurai perak itu kembali tersenyum, senyuman misterius yang tak dapat diartikan."Itu bukan perkara besar, Yang Mulia."

Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang Chevalier, menatap langit Helldon yang senantiasa gelap. Maniknya tampak menerawang jauh ke angkasa.

"Terlebih, setelah apa yang para pangeran keparat itu lakukan pada keluarga kami." Tangannya mengepal, bergetar saat amarah mulai menyelimutinya. "Kami tidak akan melupakannya begitu saja."

Ia berbalik, menatap Chevalier yang entah sejak kapan sudah berdiri dengan kedua tangan menaut ke belakang. "Dan karenamu, akhirnya kami bisa membalas dendam."

Ucapan itu disambut dengan senyuman hangat dari Chevalier. "Tentu saja. Kita sama-sama mempunyai urusan yang belum terselesaikan dengan ketiga pangeran itu. Tapi ngomong-ngomong,"

Chevalier menjeda ucapannya, menatap sekeliling seperti mencari-cari sesuatu yang seharusnya dapat dilihatnya dengan mudah.

"Di mana kedua saudaramu yang lain, Pangeran?" Ia kembali menatap pria bersurai perak itu dengan satu alis terangkat.

Dengan seringaian menghias sudut bibirnya, pria bersurai perak itu berbalik menatap gelapnya langit di luar sana.

"Mereka sedang memberikan kejutan kecil pada Sang Raja Agung sebagai salam hormat dari kami."


                       .......
       

Kembali dari rutinitasnya menemani Hime berkeliling melihat perkembangan beberapa perusahaan. Rion masih menutup mulutnya rapat. Sejak pagi tadi, pria itu terus membungkam. Hanya menjawab jika ditanya, itu pun jawaban yang sama 'Yes, My Lady' tak ada jawaban lainnya.

Hime yang sedari tadi duduk sambari membaca sebuah buku di perpustakaannya pun mulai jengah dengan sikap aneh Rion. Bahkan hampir setiap menit ia melirik pria bermanik kelabu itu, mencoba mencari tahu apa yang dipikirkannya sambil berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.

Pria yang biasanya selalu membuka topik pembicaraan meski jawaban gadis itu lebih sering menyakitkan. Meskipun begitu, Rion tetap tersenyum saat mendengarnya. Tapi seharian ini pria itu diam seribu bahasa. Membuat Hime bingung, sedikit cemas, dan takut. Entahlah ... perasaan macam apa itu.

Tak tahan lagi dengan keheningan yang meraja, Hime menarik napas dan mengembuskannya kasar. Ditutupnya buku itu, lalu menaruhnya di atas meja bulat di depannya.

Gadis bermanik hazel itu berdiri, menatap Rion lekat dengan bibir sedikit terbuka. Menimbang apa yang akan ia ucapkan untuk mengusir kehengingan yang membuatnya sakit kepala. Tapi saat ia akan bersuara, pria itu mendahuluinya.

"Apa kau memakan sesuatu yang tak pernah kau makan sebelumnya? Atau merasakan sesuatu yang aneh sejak kau tak sadarkan diri semalam?"

Pertanyaan Rion membuat Hime kembali menutup mulut. Cukup lega karena akhirnya pria itu masih dapat mengucapkan kalimat lain selain 'Yes, My Lady'. Tapi apakah tidak ada pertanyaan lain selain pertanyaan konyol itu?

Tak langsung menjawab, Hime berpikir sejenak. Maniknya beralih menatap ukiran lantai yang entah apa bentuknya. Sedang pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang ia rasakan seharian ini.

Rion sendiri yang menyiapkan makanannya, meski ia mempunyai lima pelayan yang bertugas sebagai koki. Jika berpikir bahwa pangeran itu meracuninya, jelas Hime harus membuang prasangka itu sejauh mungkin, karena itu adalah hal termustahil yang akan terjadi, mengingat Rion selalu berhasil menggagalkan serangkaian aksi bunuh dirinya.

Tapi jika ditanya hal aneh yang terjadi, apa bayangan samar yang melintas di kepalanya pagi tadi masuk ke dalam kategori aneh?

Hime kembali mendongak, menatap pemilik manik kelabu itu sesaat sebelum berbalik dan meninggalkannya.

"Tidak," jawabnya seraya melangkah keluar dari perpustakaan.

Ya, mungkin bayangan itu muncul karena Hime kelelahan, itu hanya halusinasinya, dan itu tidak termasuk hal yang aneh, bukan?

Sementara itu, alis Rion semakin menyuram, menatap punggung gadisnya yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di balik pintu. Ingin rasanya ia menarik lengan gadis itu dan menatapnya lekat, mencari celah agar Hime mengatakan apa yang terjadi sebenarnya, tapi niat itu kembali ia urungkan.

Pagi tadi gadis itu menyentak lengannya, kali ini mungkin ia akan mendaratkan sebuah tamparan di pipi jika Rion berani menyentuhnya--lagi. Tentu itu bukan apa-apa dibanding rasa sakit atas kenyataan bahwa Hime akan semakin membencinya jika ia memaksakan keinginannya.

Tapi melihat Hime berpaling saat menjawab pertanyaannya, Rion tahu kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya. Terlebih saat ini ia tak bisa membaca pikiran Hime, entah apa penyebabnya.

"Kau tidak bisa berbohong dengan baik," gumam Rion seraya menyusul Hime sebelum gadis itu sempat melakukan hal gila lainnya.

.

.

.

Saat ini, Rion sedang berpikir keras di ruang kerjanya. Tampak frustasi dengan keadaan yang sama sekali tak ia pahami. Ia masih bisa membaca pikiran semua orang, bahkan orang yang berjarak puluhan meter jauhnya.

Tapi kenapa ia tak bisa membaca pikiran Hime? Seperti ada sekumpulan kabut yang menghalanginya untuk masuk ke dalam pikiran gadis itu, yang sampai saat ini ia tak tahu apa penyebabnya.

Sedang di sisi lain, gadis yang sedang membuat Rion pusing tujuh keliling tengah terlelap dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada.

Kamar mewah yang hanya diterangi sekumpulan cahaya cantik dari lampu tidur yang berkelip bak kunang-kunang membuat kesunyian malam semakin kentara.

Di tengah belaian bunga tidur yang semakin menyelimutinya, Hime mulai tampak gelisah. Maniknya mengerjap dengan beberapa kali tautan dari kedua alisnya. Kedua tangannya menarik selimut hingga ke leher. Entah kenapa dinginnya malam serasa begitu menusuk kulit.

Semakin tak tenang, Hime kian menaikkan selimutnya hingga menutupi sebagian wajah. Tapi entah kenapa embusan angin masih terasa mengusap puncak kepalanya. Hingga ia memutuskan untuk membuka mata, menatap pintu kaca yang langsung menuju ke balkonnya.

Di depannya tampak tirai-tirai berkibar dengan daun pintu yang terbuka lebar. Membuatnya mengerutkan kening dalam.

"Kenapa pintunya bisa terbuka?" lirihnya dengan suara serak.

Tak ingin berlama-lama merasakan embusan angin yang membekukan, dengan malas Hime terpaksa turun dari ranjang. Melangkah gontai dengan tatapan nanar menuju pintu balkon, berniat menutupnya.

Namun, saat Hime hendak mengulurkan tangan, ia melihat bayangan hitam di balik tirai tipis yang menjadi penghalang.

Memicingkan mata, Hime yakin jika ia tidak salah lihat. Setelah menatapnya saksama, ia yakin jika matanya benar-benar dalam kondisi sehat. Dan setelah terdiam sesaat, entah kenapa kakinya melangkah diluar kendalinya. Menghampiri pemilik bayangan hitam yang berdiri di balkon, bahkan rasa takut yang menyelinap masuk ke dalam hati, tak berhasil menghalangi niatnya.

Di sana, Hime melihat seorang pria mengenakan hodie hitam dengan resleting yang tak dikaitkan, membuat dada bidangnya terekspos dengan sempurna. Tatto yang terukir di dada kirinya lebih menyerupai sebuah simbol daripada tatto pada umumnya. Sedang surai merahnya jelas menunjukkan bahwa dia bukan manusia.

Tunggu ...,

Surai merah?!

Untuk sesaat, Hime mematung dengan manik membola. Ada perasaan aneh yang merayap masuk ke dalam hati saat melihat pria asing yang kini berada di hadapannya. Perasaan familier seolah sudah mengenalnya sejak lama, tapi sama sekali tak dapat mengingat kapan dan entah pernah bertemu di mana?

"Si-Siapa kau?" tanya Hime sedikit terbata.

Pria itu mengukir senyuman lalu menegakkan kepala, menatap Hime dengan manik rubinya yang memikat.

Deg!

Napas Hime tercekat saat melihat wajah pria di depannya. Seluruh sendinya seakan kaku dan tak dapat digerakkan, bahkan bibir mungilnya hanya bisa terbungkam. Tatapan itu seakan menghipnotisnya, memerintahkannya untuk diam.

"Akhirnya kita bertemu. Aku sudah lama menantikan pertemuan ini." Pria itu melangkah, mendekat dengan ukiran senyum penuh pesona.

Dan masih dalam keadaan yang sama, Hime membatu tanpa mampu berkata-kata. Hanya manik indahnya yang menatap intens dengan beberapa kali kedipan. Ia tertahan.

Sementara pria itu semakin dekat dan berhenti tepat di depannya. Membuat keduanya mau tak mau saling beradu pandang.

Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum menawan yang tak kunjung memudar.

"Aku sudah lama menunggumu, Love."

Seketika itu pula, manik Hime terbelalak lebar.



                    ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top