[26]_Will Never End_


.

.

.

"Akhiri kontrak kita, Rion."

Damarion membeku, terpaku dengan apa yang baru saja Hime katakan. Senyum samar yang sempat menghias bibirnya memudar perlahan, berganti dengan raut datar yang tak dapat diartikan. Bibirnya seakan kelu hanya untuk sekadar bergumam pelan.

Sementara gadis yang baru saja berkata-kata masih mengedarkan pandangan. Menatap apa pun yang ada di sekelilingnya, asal bukan sepasang manik kelabu milik sang pangeran yang ada di depannya.

Tak kunjung mendengar jawaban Damarion, Hime dengan terpaksa sedikit mendongak, menatap manik kelabu yang begitu meneduhkan, mendamaikan hatinya, memberi kesejukan dalam jiwanya. Namun, secara bersamaan memberinya rasa sakit tiada tara. Apa yang telah dilakukan sang pangeran padanya, tak bisa ia abaikan begitu saja.

Kepahitan yang Hime rasakan, mungkin akan mampu memutar-balikan sebuah perasaan.

"Apa kau tak mendengarku? Aku ingin kontrak kita berakhir." Hime mengulangi ucapannya, membuat Rion kembali terfokus setelah mematung beberapa lama.

"Aku tak ingin lagi berurusan dengan iblis sepertimu. Aku ingin hidup tenang seperti manusia pada umumnya, tanpa campur tanganmu,"

"Terserah apa yang akan kau lakukan untuk mengakhiri kontrak kita. Aku tak peduli dengan itu."

"Kau juga bisa membunuhku kalau kau mau. Atau-"

"Cukup! Cukup, Hime!" teriak Damarion lantang.

Hime menutup mulutnya, memilih tak melanjutkan kata-kata saat menatap manik Rion yang kian menajam seakan menelanjanginya, bagai mata pedang yang menusuk tepat di jantungnya. Kedua tangan pria itu sudah terkepal dan gemetar.

Rion mengulurkan tangannya, menangkup pundak Hime hingga membuat gadis itu tersentak. Napasnya memburu, alisnya menaut memperlihatkan amarah yang susah payah ia tahan. Hingga tanpa sadar Rion meremas bahu Hime kian kuat, membuat sang empu meringis perih sampai harus memegangi dan menahan tangan kekarnya.

"Lepaskan, Rion. Kau menyakitiku!" Hime sedikit meninggikan nada suara, memaksa tangan Rion untuk melepaskan bahunya yang terasa remuk.

Tapi seakan tuli, atau malah mengabaikan rintihannya dengan sengaja, Rion sama sekali tak memperhatikan manik hazel Hime yang mulai berkaca-kaca.

"Dengarkan aku baik-baik, Lily. Kontrak kita tidak akan pernah berakhir. Kau akan tetap menjadi milikku, selamanya," tegas Rion penuh penekanan.

Sedang maniknya menatap lekat, memperhatikan gadisnya yang terus menggeliat gelisah dan tak mendengarkan ucapannya. "Tatap aku, lily!"

"Kau menyakitiku, Rion!"

Hime menatap Rion seraya berteriak hingga membuat pria tampan itu tersentak. Lelehan air di matanya sudah tak terbendung, sementara kedua tangannya masih menahan tangan Rion dan berusaha melepaskannya.

Tersadar, Rion mengalihkan tatapan. Menatap kedua tangannya yang hampir meremukkan bahu gadis yang sangat dicintainya. Perlahan, ia melepaskan genggaman, menatap sesaat sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Hime dengan raut penyesalan yang ia sembunyikan.

Hime tersedu, air matanya tak henti mengalir saat kedua bahunya terasa ngilu. Sementara maniknya menyorot tajam punggung tegap Rion yang semakin menjauh.

"Jika kau tak mau mengakhiri kontrak ini, aku akan mengakhirinya dengan caraku sendiri!"

Langkah Rion seketika terhenti. Tatapannya menunduk, menyiratkan amarah dan penyesalan di saat yang sama, saat di mana Hime berani mengancamnya dengan lantang.

"Dan akan kupastikan kau tidak akan pernah berhasil," jawab Rion tanpa menoleh, kemudian menghilang di balik kabut hitam yang melingkupinya dalam sekejab.

Saat ini, Rion tak punya pilihan. Semakin ia membiarkan semuanya berlalu seperti apa adanya, Hime akan semakin jauh darinya. Tapi jika terus bersikeras, maka amarahlah yang akan menguasainya.

Apa pun yang akan pangeran tampan itu lakukan, yang jelas ia akan mempertahankan sang gadis bagaimanapun caranya.

.

.

.

Sesaat kemudian, Rion muncul di depan gerbang kastilnya. Gerbang raksasa dengan corak emas mengukir rumit nan indah di kedua sisi. Gerbang yang dijaga oleh tujuh iblis pengawal yang kini tengah bersujud saat mengetahui kedatangan sang pangeran secara tiba-tiba.

Kepala tampannya menunduk, menatap kedua tangan yang masih terkepal, tangan yang baru saja menyakiti gadisnya. Membuat gadis yang dicintainya meneteskan air mata.

Napas Rion kembali memburu saat mengingatnya. Mendesak amarah yang meluap entah karena perkataan Hime yang menyakitkan atau karena tak tahu apa yang kini harus ia lakukan untuk mempertahankan gadisnya? Terlebih Rion telah menyakitinya dan pasti saat ini kebencian Hime lebih besar daripada sebelumnya.

Emosi terpancar dari napasnya yang kian menderu, membuat kabut hitam kembali memenuhi sekelilingnya, semakin tebal dan menggelap. Bersamaan dengan itu, aura kegelapannya semakin menyeruak.

Rion menegakkan kepala. Menatap tajam, sesaat manik kelabunya berkilat keemasan, dan kemudian ....

Brakk!

BLEDAARRR!!!

Gerbang kastilnya hancur menjadi serpihan. Terdorong dengan kuat dan terpelanting ke udara. Para penjaga yang berada di setiap sisi pun tak luput dari kengerian. Tubuh mereka bahkan tak tersisa.

Sang pangeran melangkah diiringi kabut hitam yang menguar. Membuat siapa pun yang tak ingin lebur seketika melesat mundur dan menghilang dari hadapannya.

Taman bunga yang beberapa hari yang lalu membuat Hime tersenyum bahagia, seketika menjadi gersang dan mati saat Damarion berjalan di tengahnya. Bunga-bunga yang bermekaran itu layu dan berguguran sebelum melebur menjadi abu yang tersapu udara. Sungguh mengerikan.

Tak hanya para penjaga yang mundur dalam sekejab saat melihat sang pangeran sedang tak bersahabat. Bahkan Calvert pun tak berani mendekat meski hanya sejengkal.

Calvert hanya bisa menatap dari kejauhan. Di balik jendela besar di mana ia biasa bersantai dari segala urusannya. Dalam diam, pria bermanik legam itu ikut merasakan kepiluan.

                        .......

Hari demi hari berlalu, tapi Rion dan Hime masih sama. Hari ini keduanya berjalan beriringan layaknya seorang asisten dan nona-nya. Tak saling bicara jika memang tak ada yang perlu dibicarakan.

Tentu saja Rion selalu mencoba membuka pembicaraan, tapi gadis itu seakan tak menganggapnya ada.

Hime benar-benar berniat memutuskan kontrak mereka, apa pun dan bagiamanapun caranya.

'Kontrak itu akan berakhir jika diantara kita ada yang mati. Tapi karena aku tak bisa membunuhmu, maka hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini. Aku hanya perlu membunuh diriku sendiri. Benar, bukan?'  Itulah yang ada di pikiran Hime sejak pertengkaran mereka terakhir kali.

Namun, berapa kali pun gadis itu mencoba bunuh diri dengan berbagai cara, semuanya selalu gagal. Karena bukan hanya ia yang melakukan apa yang diucapkannya. Rion pun membuktikan janjinya. Bahwa sang pangeran tidak akan melepaskan dirinya, selamanya.

Pernah beberapa kali Hime mengiris pergelangan tangannya sendiri. Membiarkan darah mengalir hingga membuatnya tak sadarkan diri. Namun, ketika ia terbangun, Hime sudah berada di atas ranjang tanpa luka sayatan yang membelah kulitnya.

Pernah juga Hime menabrakkan mobilnya pada sebatang pohon, juga pada bus yang tengah melaju di depannya. Bahkan, pernah sekali Hime mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan menerjunkan mobilnya sendiri ke jurang. Tetapi, hasilnya tetap sama. Ia terbangun di atas ranjang dengan kulit mulus tanpa satu pun goresan luka.

Saat Hime membuka mata, Rion tengah berdiri di sampingnya. Menyilangkan kedua tangan di depan dada, mengulas senyum menawan, dan dengan santainya pangeran tampan itu berkata, "Sudah kukatakan, aku tak 'kan membiarkanmu pergi dariku. Tidak akan pernah." Rion menekan kalimat terakhirnya kemudian beranjak pergi agar Hime dapat kembali beristirahat.

Namun, saat sudah sampai di ambang pintu, Rion berhenti. Membuat Hime yang tadinya menatap sekitar dengan kesal kembali terfokus padanya.

Rion berbalik, masih dengan senyumnya yang tak kunjung memudar. "Oh, ya, jika kau mencari mobil mewahmu,  Aku sudah mengembalikannya seperti semula,"

"Jaga dirimu, My Lady."

Dan itu berhasil membuat Hime kehabisan kata-kata.

.

.

.

Hime mendesah lelah kala mengingat semua usahanya selalu berakhir sia-sia. Menerjunkan mobilnya ke jurang adalah percobaan bunuh diri terakhirnya. Ia tak tahu lagi bagaimana cara untuk mengakhiri hidupnya.

Di sinilah gadis itu sekarang. Berdiri di tepi pantai, bersender pada mobil mewah tanpa sang pangeran di sisinya.  Menikmati embusan angin malam yang menerbangkan rambut panjangnya perlahan, menatap rembulan yang begitu menawan.

Akhir-akhir ini Hime memang melarang Rion untuk menemaninya. Kata 'perintah' yang ia selipkan disetiap ucapannya membuat pangeran iblis itu tak dapat membantah. Hanya bisa menundukkan kepala dengan senyum manisnya.

Meski Hime sendiri tahu, Rion tidak akan benar-benar meninggalkannya sendirian. Pria itu akan selalu mengawasi di balik gelapnya malam, di setiap embusan angin yang menyentuh kulit halusnya.

Hime menarik napas dalam, menatap laut lepas yang kini tersaji di depan matanya. Airnya yang gelap terlihat berkilauan karena terpancar cahaya bulan.

Entah apa yang melintas di kepala cantiknya, perlahan maniknya mulai menyendu, menatap kian pilu.

"Kenapa harus kau yang melakukan semua ini, Rion? Kenapa bukan iblis lain?" Hime bergumam, sesekali mengusap lengannya yang mulai tak nyaman dengan dinginnya malam.

Hime menunduk dengan mata berkaca-kaca, semakin buram saat kristal bening itu menghalangi pandangannya. Dalam diam, banyak kenangan yang kembali memenuhi kepalanya. Kala ia terpejam, kristal itu meleleh dan mulai berjatuhan, menetes hingga akhirnya menghilang tersapu pasir di bawahnya.

Selama ini Hime selalu menyembunyikan air mata saat Rion berada di dekatnya. Hanya tatapan tajam penuh kebencian yang selalu ia perlihatkan. Tak ingin dianggap rapuh, tak bisa memaafkannya, namun Hime juga tak bisa berhenti mencintainya.

Setelah beberapa saat terdiam di balik kesedihan, kepala Hime kembali menegak. Jemari lentiknya menghapus lelehan kristal yang tersisa.

Menarik napas dalam, Hime melangkah bertelanjang kaki menghampiri deburan ombak di tepian.

Ia terus melangkah, hingga kaki mungil itu terhenti saat merasakan sapuan lembut ombak pantai yang seakan menggelitikinya, membuatnya menunduk sejenak, menatap mata kaki yang sudah terendam, lalu menegak dan kembali melangkah.

Tak peduli dengan dress biru selutut yang mulai basah saat deburan ombak mencapai betis rampingnya, langkah Hime terlihat mantap tanpa sedikit pun keraguan, sementara kepala cantiknya penuh dengan kenangan indah bersama sang pangeran.

Kenangan kala Rion membelai lembut puncak kepalanya penuh sayang, saat ia terisak karena perbuatan kejam bibi dan kedua sepupunya.

Kenangan kala pria itu memeluknya erat hanya agar ia tak merasa sendirian.

Di saat tangan kekar itu menggenggam jari-jari lentiknya ketika ia mulai kehilangan harapan.

Kenangan-kenangan indah itu melukiskan seutas senyum di bibir tipis Hime.

Hingga tanpa sadar genangan air telah mencapai leher jenjang Hime, membuat rambut coklatnya yang panjang tampak mengambang dan bergerak tanpa arah karena debur ombak.

Sejenak, Hime menghentikan langkah. Perlahan memejamkan manik hazelnya.

"Selamat tinggal, Rion," ucapnya lirih sebelum tubuhnya benar-benar menghilang di tengah luasnya lautan.

Tubuh mungil Hime melayang, terombang-ambing dan semakin dalam tenggelam. Entah ke mana arus laut akan membawanya, Hime hanya bisa memejamkan manik indahnya, merasakan tubuhnya semakin ringan hingga perlahan ketajaman indranya mulai berkurang.

Gelembung-gelembung kecil bermunculan dari lubang hidung dan mulutnya. Kedua alisnya menaut sesaat, sebelum kesunyian benar-benar mengalihkannya. Gemuruh air yang sebelumnya samar-samar mengisi keheningan malam, kini tak lagi dapat Hime dengar.

Kali ini, Hime akan benar-benar mengakhiri semuanya.

.

.

Di saat-saat terakhir, di mana kesadaran gadis itu masih tersisa, lengan kekar menggenggam lembut dan menarik pergelangan tangannya. Membuat tubuhnya terguncang karena melawan arus lautan.

Manik Hime kembali terbuka, menatap samar surai gelap dengan tubuh tegap yang dikenalnya. Seketika itu, ia menahan tangannya. Mencoba melepaskan diri dari genggaman erat yang menaut jari-jari lentiknya. Hingga pria tegap itu menundukkan kepala, menyejajarkan pandangan di antara keduanya.

Kini Hime dapat melihat dengan jelas siapa yang berada di depannya meski ia tak sepenuhnya sadar. Sepasang manik kelabu yang menatap lekat seolah bersinar di tengah kegelapan, menyorot cemas dengan kedua alis menaut rapat.

Hime mengulas senyuman manis di bibirnya.

"Lepaskan aku, Rion. Biarkan aku pergi." Hime berucap dalam benak karena yakin Rion dapat mendengarnya.

Tak bisa lagi berpura-pura mengabaikan, tatapan Rion kian lekat. Kedua tangannya beralih menangkup wajah cantik gadisnya. Senyuman pilu menghiasi wajah tampannya.

Rion menggeleng pelan, "Tidak akan pernah."

Perlahan, Rion mendekatkan wajahnya. Meraih bibir Hime dan mengecupnya penuh kelembutan. Melumatnya dalam, hingga membuat Hime tersentak karenanya.

Dengan mata terpejam, Rion semakin memperdalam ciumannya. Terus-menerus menyalurkan udara agar Hime dapat bertahan.

Merasakan tubuhnya yang semakin melemah, Hime tak dapat mengelak. Akhirnya ia pun ikut terbuai dalam dekapan pria di depannya.

Tanpa sadar tangannya terulur, memeluk punggung Rion dan ikut memejamkan mata.

Dinginnya air seakan tak menjadi penghalang, gelapnya malam seolah menambah keromantisan. Keduanya terhanyut, lupa akan segala kesakitan yang mendera dalam ingatan.

Hingga tak berselang lama, Hime tersadar. Ia melepas ciuman Rion dengan paksa. Membuat gelembung-gelembung air keluar dari bibirnya yang terbuka. Gadis itu terus memaksa Rion melepaskannya, hingga akhirnya kelelahan dan kegelapan kembali merenggutnya.

Rion yang begitu panik mengguncang tubuh Hime, tanpa banyak pikir merapatkan tubuh mungil itu ke depan tubuhnya. Memeluknya erat dan melesat mencapai permukaan secepat yang ia bisa.

Wajah tampan Rion kian memucat saat Hime tak kunjung membuka mata setelah sampai di permukaan. Dengan seluruh kemampuannya, Rion kembali melesat membawa gadisnya.

Kini ia sampai di rumah mewah sang gadis pujaan, namun raut kecemasan di wajah tampan pangeran kegelapan itu tak juga memudar.

Dengan penuh kehati-hatian, Rion membaringkan tubuh Hime di atas ranjang. Berdiri dengan uluran tangan dan manik terfokus pada gadisnya.

Dalam sekejab, sinar terang sewarna safir menyeruak dan kembali menghilang. Menampakkan tubuh dan rambut panjang Hime yang tak lagi basah, terbalut gaun tidurnya.

Rion membungkuk, menempelkan dua jarinya pada leher jenjang pemilik manik hazel yang masih terpejam, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Dan benar, kekuatannya telah berhasil mengembalikan Hime ke sisinya sebelum terlambat.

Dengan senyum yang terulas samar, Rion menarik selimut hingga bahu Hime lalu duduk di sisinya. Mengusap lembut pipi pucat yang perlahan kembali merona.

"Saat itu,
 
Saat di mana aku melihatmu untuk yang pertama kalinya.

Saat di mana aku menatap mata indah dan senyum manismu dari kejauhan.
 
Saat aku melihat tawa bahagia yang terlukis di wajah cantikmu ...,

Aku telah jatuh padamu.

Untuk yang terakhir kalinya.

Maafkan aku,
 
Yang telah merenggut senyum itu darimu.
 
Yang telah membunuh tawa dalam hidupmu.
 
Yang telah menjadi alasan atas setiap tetesan air matamu.

Akan kulakukan apa pun agar dapat kembali menggapaimu.

Menjadi sandaranmu.

Menjadi satu-satunya yang memegang erat tangan rapuhmu.

Dan menjadi harapan baru dalam hidupmu.

Aku akan melakukan segalanya untuk melindungimu.

Untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja.

Dan aku,

Bahagia.

Dapat melakukannya untukmu.

Karena aku ... Mencintaimu ....

         Angelica Rafhelysta

Selamanya,

Akan tetap mencintaimu."

"Suatu hari nanti, kuharap ... Aku akan mendapatkan satu kata maaf darimu."

"Maafkan aku, Lily."

Rion memajukan tubuhnya, mengecup lembut kening Hime dengan mata terpejam.

"Selamat tidur, My Lady," ucapnya sebelum menghilang.

Setelah kepergian Rion, Hime membuka mata. Meneteskan butiran kristal yang sedari tadi ia tahan. Tanpa Rion sadari, Hime mendegarkan semuanya. Setiap kata yang pria itu ucap, terdengar begitu tulus hingga masih terngiang jelas di telinganya.

Hime berkedip pelan, menatap sendu langit-langit kamar dengan hiasan mawar marun di setiap sisinya. Entah sejak kapan bunga-bunga itu terlukis di sana.

Hingga tiba-tiba napas gadis itu tercekat. Maniknya membelalak dengan kedua tangan memegangi lehernya yang serasa terbakar.

Hime tak dapat bersuara. Maniknya semakin membola, kepalanya begitu berat, seakan berputar-putar.

Kilatan aneh tercipta di manik hazelnya. Kemudian semuanya gelap. Hime kembali kehilangan kesadarannya.



                        ......



Di sisi lain, di tempat yang dikelilingi kegelapan, hanya berpenerang beberapa lilin yang berpendar temaram.

Seorang pria membuka mata, menampilkan manik semerah darah dengan kilatan serupa, bangkit dari posisi duduknya yang menyila dan melangkah keluar dari lingkarang lilin yang mengitarinya. Berjalan mendekati pria lain yang berdiri di depan jendela besar tak jauh darinya.

Embusan angin dari jendela yang terbuka itu mengibarkan surai merah yang tergerai ke belakang punggung dengan lembut. Menampilkan tubuh kekar bertelanjang dada, berbalut jubah hitam berhias kristal rubi yang menjuntai hingga mata kakinya.

Ia berhenti, menatap datar pria bersurai perak yang masih membelakanginya, melihat keluar jendela.

"Apa berhasil?"

Mendengar pertanyaan pria di belakangnya, pria bersurai perak itu mengulas seringai, seakan mendeklarasikan kemenangan bahkan sebelum dimulainya peperangan.

Taring mencuat di sudut bibirnya, berbalik dengan seringai yang kian lebar. "Tentu saja, Yang Mulia. Pangeran cilik itu benar-benar mempermudah rencana kita."

Kepalanya sedikit menengadah, memperlihatkan keangkuhan yang sengaja ia pamerkan.

"Permainan akan segera dimulai."


                       ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top