[25]_Broken_

Hime mulai melangkah, berusaha menahan setiap kesakitan yang kini memenuhi sudut hatinya.

"Aku ingin pulang, ke rumahku sendiri," ucapnya saat melewati Rion tanpa menoleh sedikit pun dan berlalu begitu saja.

.

.

.

Calvert yang sedari tadi mengamati dari jendela ruang kerjanya tampak terkesiap saat melihat Hime keluar dari penjara bawah tanah, secepat kilat ia melesat dan menghampirinya.

"Nona-"

Kalimat Calvert tertahan, gadis berambut coklat itu terus berlari dengan satu tangan menutup mulut, menahan tangis dan mengabaikannya begitu saja.

Tak berselang lama, Rion ikut keluar dengan raut wajah begitu suram. Ia mengulurkan satu tangan guna menutup penjara bawah tanah itu dengan kekuatannya sebelum berbalik dan melangkah pelan.

Melihat sang pangeran yang tampak menyedihkan, Calvert tak berani menghentikannya. Ia beringsut mundur saat Rion berjalan ke arahnya, tepat di depannya, hingga kemudian berlalu tanpa menoleh padanya. Pria bermanik kelabu itu seakan tak melihat kehadirannya.

Calvert hanya bisa menghela napas, menatap sendu punggung tegap junjungannya yang semakin menjauh, kini ia tahu apa yang telah terjadi di dalam sana.

"Aku sudah menduga, ini pasti akan terjadi," gumamnya menarik napas dalam sambil terpejam sesaat.

"Semoga semuanya akan segera membaik."

.

.

.

Hime masih tersedu di kamar Damarion. Tertunduk di lantai, bersender pada tepi ranjang. Menyembunyikan mata sembabnya di balik lutut yang ia tekuk dengan tautan jari-jari lentiknya.

Sedang sang pangeran kegelapan saat ini sama terpuruknya. Rion menyenderkan kepala di kursi kerjanya. Memejamkan mata dengan beberapa kali menarik napas dalam. Hingga kristal bening juga tampak mengalir dari sudut matanya yang masih terpejam.

Di saat yang sama, Calvert tengah berjalan seorang diri di lorong kastil dengan kedua tangan menaut ke belakang. Tatapannya kosong, sejenak merengut, lalu berdecak, entah apa yang sedang ia pikirkan. Kemudian tiba-tiba berhenti saat melihat seorang maid membawa hidangan makan malam.

Entah apa yang baru saja melintasi kepalanya, Calvert tersenyum dan langsung melesat. Menghadang sang maid dengan tiba-tiba, membuat maid itu berjingkat kaget dan hampir menjatuhkan apa yang kini ada di tangannya.

Untuk sesaat, maid itu masih terdiam sangking terkejutnya. Tapi setelah sadar siapa yang menghadang jalan, segera ia membungkuk dalam.
"Ma-maaf, Tuan Calvert, saya-"

"Apa itu untuk Nona Hime?"

Belum sempat melanjutkan ucapan, Calvert sudah mengajukan pertanyaan yang membuat kepala sang maid menengadah, kemudian ia mengangguk membenarkan. "Benar, Tuan."

Mendengarnya, senyum Calvert semakin mengembang. Dengan cepat ia merebut hidangan itu dan kembali berjalan tanpa peduli wajah bingung wanita pelayan di belakangnya.

"Biar aku yang mengantarnya."

Wanita yang masih mematung menatap punggung tegap Calvert itu tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya beberapa kali berkedip lalu berbalik dan menghilang dari sana dengan tanda tanya besar di kepalanya, 'Apa Tuan Calvert baik-baik saja?'

Tok! Tok! Tok!

Hime kembali menegakkan kepala saat mendengar sebuah ketukan di balik pintu bercorak naga di depannya.

"Ini saya, Nona ..., Calvert."

Mendengar suara berat Calvert yang menginterupsi dari balik pintu, Gadis cantik itu segera mengusap sisa-sisa lelehan kristal yang masih menggenang di pipi sembari bangkit dan merapikan penampilannya yang acak-acakan.

Tak berselang lama, pintu besar itu terbuka. Menampilkan sosok Calvert dengan senyum manisnya.

"Boleh saya masuk, Nona?"

Tanpa menunggu jawaban dari Hime, pria itu langsung melangkahkan kakinya menuju meja di samping ranjang. Meletakkan hidangan makan malam di sana, kemudian membungkuk hormat dan melangkah keluar begitu saja.

"Apa tak ada yang ingin kau katakan? Aku yakin kau juga mengetahui semuanya," tahan Hime saat pria itu hampir melewati ambang pintu kamar.

Langkah Calvert terhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan memberi isyarat agar para penjaga menutup pintu.

"Apa yang ingin anda ketahui, Nona?" tanyanya seraya menekuk satu tangan ke depan, sedang yang satu ia masukkan ke dalam sakunya.

Memang mustahil jika Calvert tak mengetahui apa yang sudah Rion sembunyikan. Selain karena ia adalah orang kepercayaan sang pangeran, Calvert sangat peka dengan sikap Damarion.

Jika sang pangeran tak mau membuka mulut sekali pun, Calvert akan mencari tahu sendiri apa yang tengah terjadi dengan seribu cara. Dan ia tak pernah melewatkan hal sekecil apa pun jika itu menyangkut junjungannya.

Hime melangkahkan kaki jenjangnya, berjalan menuju jendela besar di sudut ruangan. Menatap hamparan luas taman bunga yang tersaji di depan mata, yang dibuat khusus untuknya. Tempat di mana ia merasa begitu bahagia sekaligus hancur secara bersamaan.

"Jadi, kau juga tahu apa yang disembunyikan Damarion selama ini?"

Menyipitkan manik sejenak, Calvert sudah mempersiapkan jawaban jika pertanyaan itu akan diajukan padanya.

Karena inilah tujuannya, menemui Hime dan mengajak gadis itu bicara. Menjelaskan hal yang tak seharusnya gadis itu ketahui, namun akan membuat semuanya menjadi jelas. Setidaknya, ia tidak akan membiarkan pengorbanan sang pangeran sia-sia.

"Yang saya tahu, Pangeran Damarion sangat mencintai anda."

Sedikit melirik pria di belakangnya. Hime kembali menatap sendu taman bunga di luar sana. "Bukan itu jawaban dari pertanyaanku."

Calvert melebarkan senyumnya, maju beberapa langkah lebih dekat. "Apa pangeran pernah menyinggung peraturan tentang kontrak para iblis di depan anda?"

Ia melayangkan pertanyaan yang tentu saja gadis itu tak tahu apa-apa. Kebungkaman Hime sudah menjadi jawaban.

"Pangeran Damarion bukan hanya sekadar pangeran dari Kerajaan Lucifer, tapi beliau adalah pangeran dari seluruh Helldon. Penguasa dunia bawah, dunia para iblis," Calvert menjeda ucapannya beberapa saat agar gadis di depannya ini dapat mencerna setiap kata yang ia ucapkan.

"Iblis yang mengikat kontrak dengan manusia, mereka harus menyelesaikan kontrak yang mereka buat bagaimanapun caranya."

"Jika kontrak mereka tak dapat selesai seperti yang seharusnya, maka iblis itu tidak diperbolehkan untuk membuat kontrak baru sebelum satu abad. Dan peraturan ini berlaku bagi semua iblis, termasuk bangsawan iblis seperti Pangeran Damarion."

Penjelasan Calvert membuat Hime mengerutkan keningnya, berusaha mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir pria itu penuh keseriusan.

"Menurut anda, bagaimana pandangan rakyat Helldon jika pangeran mereka tak dapat menyelesaikan kontraknya dan membuat kontrak baru dengan manusia lain sebelum waktu yang ditentukan?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Hime berbalik, menatap intens Calvert yang masih mengulas senyum meski kini terlihat samar.

"Tapi, Rion telah membunuh pamanku."

"Benar. Beliau memang telah membunuhnya, manusia yang mengikat kontrak dengan beliau sebelum anda,"

"Tapi, sebelum kontrak itu berakhir."

Manik hazel Hime menajam, kedua alisnya menaut rapat dengan tubuh menegang. "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Calvert?"

Diam sejenak, senyum Calvert perlahan memudar. Manik gelapnya menyiratkan kepiluan.

"Pangeran Damarion telah mempertaruhkan segalanya, Nona. Beliau melanggar peraturan mutlak dunia bawah yang ditetapkan oleh mendiang Raja Lucifer yang sangat dihormatinya, Ayah beliau sendiri."

"Beliau memilih untuk mempertaruhkan keagungannya sebagai seorang pangeran yang disegani oleh rakyat dan raja-raja lainnya." Calvert tersenyum miris.

"Hanya untuk mempertahankan anda di sampingnya."

Pria itu menunduk, mengabaikan raut wajah Hime yang sulit untuk ia artikan.

"Saya pamit undur diri," ucapnya kemudian berbalik menuju pintu yang perlahan kembali terbuka.

"Kau membelanya karena kau adalah pelayan setianya." ucapan Hime membuat langkah Calvert kembali terhenti. Namun, kali ini ia tak berbalik, manik tetap menatap lurus ke depan.

"Jika saya menjadi Pangeran Damarion, saya tidak akan membahayakan gelar saya sebagai pangeran hanya untuk seorang gadis manusia," jawabnya penuh ketegasan.

"Tapi saya kagum dengan tekad beliau yang berani mempertaruhkan segalanya demi gadis yang dicintainya. Itulah yang membuat saya mengabdi sebagai pelayannya sampai saat ini." Senyum di bibirnya kembali mengembang.

Calvert sedikit menoleh, melirik Hime dari balik bahu kanannya. "Beliau benar-benar mencintai anda. Jangan pernah lupakan itu, Nona," ucapnya sebelum kembali melanjutkan langkah.


.......


Di atas ranjang berwarna kebiruan dengan corak menyerupai kelopak mawar, seorang gadis duduk menopang dagu di atas lututnya. Menatap jendela besar yang tengah terbuka, mengibarkan kelambu sewarna laut dengan lembut. Mengantarkan sejuknya angin, pagi itu.

Semilir angin membuat rambut coklatnya yang tergerai menjadi sedikit berantakan hingga menutupi wajah cantik yang telah kehilangan cahaya kehidupan. Membuat kelopak indah itu terpaksa harus memejam sejenak kala helai rambut panjangnya mengganggu penglihatan.

Bibir ranum yang beberapa hari lalu masih tersenyum manis, kini tertutup rapat tanpa cela. Manik hazel yang sebelumnya berbinar bagai cahaya bulan yang berpendar indah, kini semakin meredup, hanya menampakkan kehampaan.

Sudah lebih dari empat hari sejak Hime kembali ke rumah mewahnya. Rumah yang sebelumnya hancur-lebur terlalap api yang bergejolak, kini kembali seperti sedia kala, seakan tak terjadi apa-apa.

Tetapi, tidak dengan hatinya. Hati yang juga hancur itu tak dapat kembali utuh seperti sebelumnya. Kesakitan terus terbayang di mana pun ia memandang, bahkan dalam kegelapan saat matanya terpejam, kesakitan itu semakin kentara.

Hime termenung, menatap kosong kehidupan yang seakan mempermainkannya. Membuatnya jatuh ke dalam jurang kian dalam untuk yang kedua kalinya. Hingga tak mampu lagi membuatnya berdamai dengan takdir yang telah digariskan.

Beberapa kali kelopak cantiknya terpejam, kembali mengalirkan kristal bening yang tak dapat ia tahan.


Sementara di balik pintu di mana gadis itu terpuruk, Damarion berdiri dengan manik kelabu yang kian menyendu. Satu tangannya terulur menyentuh daun pintu yang masih tertutup rapat untuknya. Karena sejak kepulangan keduanya, Hime sama sekali tak mau melihatnya. Hanya para pelayan yang diizinkan masuk ke kamarnya.

Rion menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Memejamkan mata sesaat, berharap bebannya akan sedikit berkurang. Ia berbalik dan menyenderkan punggung tegapnya pada pintu di belakangnya, menengadahkan kepala dengan mata terpejam.

"Maaf ... maafkan aku. Aku mohon," lirihnya terdengar begitu memilukan, membuat air mata Hime mengalir semakin deras saat mendengarnya.

Tak dapat melakukan apa-apa, Rion hanya bisa menunggu pintu itu kembali terbuka untuknya. Memilih membiarkan gadisnya sendirian agar merasa lebih tenang, ia membuat barrier yang melingkupi seluruh kamar Hime sebelum akhirnya memilih beranjak dari sana.

.

.

.

Kembali ke Helldon. Damarion masih tak dapat menjernihkan pikiran meski sudah beribu kali mencoba. Gambaran kesakitan gadis yang sangat ia cintai masih tercetak jelas di kepala tampannya. Menggores luka menganga jauh di dalam lubuk hatinya.

Trank! Trank!

Sttt....

Trank!!

Srrkkk...

Suara pedang kian bertalu, saling menghunus dan beradu.

Seakan haus darah, Damarion terus mengangkat pedangnya. Tak henti-hentinya menggores dan menghunuskannya pada setiap lawan tanding yang ada di depannya.

Karena tak mampu mengungkapkan, ia memilih meluapkan perasaan campur aduk yang ada dalam dirinya melalui hunusan pedang dan ceceran darah yang ia ciptakan, sungguh mengerikan.

Sedang Calvert yang sedari tadi berdiri di sudut arena pelatihan, hanya menatap datar setiap prajurit yang lebur menjadi abu karena hunusan pedang Rion sambil memangku tangan dan menggeleng-gelengkan kepala. Mencoba sabar karena harus merekrut pasukan baru, lagi dan lagi.

"Kakak! Apa kau ingin mmengurangi jumlah prajurit di kastilmu?"

Tiba-tiba suara lantang menginterupsi, membuat Calvert berbalik dan segera menundukkan kepala kala melihat Aylmer berjalan mendekat.

Sementara Damarion tetap menyerang puluhan prajurit yang menjadi lawannya. Menebas dan menusuk jantung mereka hingga tak ada satu pun yang tersisa.

Sedikit terengah, Rion masih membelakangi adiknya yang kini berdiri sejajar dengan pelayan setianya.

"Kemarilah, Aylmer. Kita sudah lama tak berlatih pedang, bukan?" ucap Rion tanpa memandang adiknya.

Aylmer menaikkan sebelah alis, kemudian tersenyum lebar di sudut bibirnya. Mulai melangkah untuk menerima tawaran sang kakak. Tapi, tiba-tiba Calvert melesat dan berdiri di depannya. "Maaf, Pangeran. Jika saya boleh memberi saran, sebaiknya anda menolak tawaran Pangeran Damarion,"

"Dalam waktu kurang dari satu jam, sudah empat ribu prajurit dan tiga ratus enam puluh tujuh kepala prajurit berakhir menjadi abu di tangan beliau."

Melihat raut wajah Calvert yang begitu serius, Aylmer malah terkekeh.

"Kau menghitungnya?"

"Ayolah, Calvert, kakakku tak mungkin membunuhku. Yah, meski pernah sekali ... hampir." Aylmer kembali terbayang saat ia kehilangan Hime dan membuat Damarion hampir melenyapkannya dengan bola api.

Aylmer menepuk pundak kiri Calvert dengan seringaian di sudut bibirnya. "Aku tidak mudah dikalahkan."

Calvert tak dapat mencegahnya. Ia hanya bisa menghela napas dalam, lalu membungkuk hormat.

"Baiklah. Saya akan menyiapkan tempat untuk menaruh abu anda," gumamnya seraya menundukkan kepala.

"Apa katamu?"

Kembali menegakkan kepala, Calvert mengulas senyum lebar.

"Semoga berhasil," ucapnya sebelum berlalu keluar dari arena dengan wajah ditekuk masam. "Jangan bilang saya tidak memperingatkan anda."

Aylmer berjalan ke tengah arena. Merentangkan satu tangannya, mengeluarkan cahaya oranye kemerahan yang membentuk sebilah pedang. Ia mengangkat pedangnya ke arah Rion yang masih membelakanginya.

"Ayo, Kakak, kali ini kau akan bertekuk lutut di hadapanku!" ucapnya lantang penuh percaya diri.

Lima menit kemudian ....

Trank! Trank!

Srakkk...

Bruk!

BLEDAAMMM!!

"Cih! Brengsek!! Kau benar-benar ingin membunuhku?!" teriak Aylmer yang masih terkapar di atas tanah karena terlempar oleh Rion tiga detik lalu.

Rion melangkah, mendekati adiknya yang masih tersungkur dengan wajah datarnya. "Bangun."

"Apa kau gila? Kau ingin melenyapkan adikmu sendiri, hah?!!Dasar sinting!" umpat Aylmer mencaci-maki Rion yang sedari tadi menyerangnya tanpa memberi kesempatan untuk menangkis atau membalas serangan.

Rion berhenti tepat di hadapan Aylmer yang menyorotnya tajam.

Ssttt!

Manik Aylmer membola. Tiba-tiba saja pedang Rion sudah terhunus tepat di depan lehernya.

"Ka-Kakak!" Ia tergagap.

"Bangun! Atau aku akan menghempaskan kepalamu dan menjadikanmu pangeran tanpa kepala," ancam Rion dengan tatapan nyalang penuh aura kegelapan. Sedang Aylmer hanya bisa menatap ngeri sambil menelan saliva.

Manik Rion menajam. Semakin menghunuskan pedangnya, membuat kepala Aylmer refleks menengadah.

Namun, tiba-tiba tangan Rion terhenti. Maniknya membulat sempurna saat merasakan barrier yang dibuatnya untuk melindungi Hime mulai melemah.

Sejenak, Rion kembali menatap adiknya.

"Keberuntunganmu benar-benar tak diragukan, Aylmer," ucapnya sebelum menghilang dari arena.


......



Langit yang tadinya cerah kini digelayuti oleh mendung yang semakin menggelap. Kian menebal dengan gemericik air yang mulai terdengar di telinga gadis cantik yang entah sudah berapa lama terlelap dengan posisinya yang sama sekali tak terlihat nyaman.

Manik indahnya perlahan terbuka, menatap rintik hujan yang menerobos masuk dengan mudah hingga berhasil menyentuh kulit halusnya.

Menghela napas, Hime memejamkan manik indahnya beberapa saat. Berusaha meneguhkan tekad sebelum turun dari ranjang. Berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan.

Begitu pintu itu terbuka, Rion sudah berdiri di depannya. Menatapnya dengan manik kelabu penuh penyesalan.

"Lily ...."

Sorot tajam Hime membuat Rion kembali terbungkam. Keduanya saling menatap dalam kesakitan, meski di baliknya terdapat perasaan yang tak bisa semudah itu diabaikan.

Hingga beberapa lama, Hime mengalihkan pandangannya. Menarik napas dalam dengan manik terpejam sebelum bibir tipisnya terbuka.

"Akhiri kontrak kita, Rion."



~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top