[24]_The "TRUTH"_
.
.
.
Damarion masih terus melangkah, berjalan melewati lorong megahnya begitu saja tanpa arahan dan tujuan.
Manik kelabunya menatap kosong, sama sekali tak memperhatikan jalan. Kepalanya terasa penuh dengan bayangan gadis tercintanya. Tapi kenapa? Kenapa sampai sekarang hanya untuk mengatakan 'Aku Mencintaimu' saja ia tak bisa?
Seakan ada yang mengganjal di dalam hatinya. Mengurung kalimat itu di balik tembok baja yang tak bisa Rion runtuhkan, hingga sampai saat ini pun tak pernah bisa terucapkan.
Kesal? Bukan main! Jika lidahnya bisa tumbuh lagi, ini sudah ke-sepuluh kalinya Rion mencabut lidah kelu itu dari mulutnya agar apa yang ingin diucapkannya bisa meluncur dengan halus. Tapi sayangnya ia tak bisa menumbuhkan lidahnya lagi, dan itu semakin membuatnya frustasi.
Menoleh sekilas, akhirnya langkah Rion terhenti juga. Berhenti tepat di depan ruang kerja. Mengisyaratkan para penjaga agar membukakan pintu untuknya.
Pintu berwarna perak itu pun terbuka, memperlihatkan meja -kursi lengkap dengan setumpuk kotak yang entah apa isinya.
Baru selangkah, Rion kembali berhenti tepat di ambang pintu. Melirik penjaga di sisi kirinya yang menunduk kian dalam saat menyadari bahwa sang pangeran sedang memperhatikannya. Memutar otak guna mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah dibuatnya.
"Sudah berapa kali kau melihatku melewati lorong ini?"
Suara Rion menyentak si penjaga. Maniknya membelalak seperti mendapat pertanyaan dari malaikat maut yang siap menggorok lehernya. Si penjaga menelan saliva, mencoba setenang mungkin menjawab pertanyaan yang seperti pilihan antara hidup dan mati baginya.
"Li-lima kali, Pangeran," jawabnya dengan suara berat dan bergetar hebat.
Tak seperti bayangannya, wajah Rion yang tanpa ekspresi itu tetap tak berubah. Setelah mendengar jawaban dari si penjaga, ia melenggang masuk dengan menyentakkan jubahnya ke belakang.
Tak berselang lama, pintu kembali tertutup. Menyisakan Damarion di dalam ruangan luas yang bisa diisi lebih dari seratus orang jika ia mengadakan pertemuan di dalamnya.
Rion mendengus kasar. Merebahkan tubuh ke atas kursi berukiran rumit di depannya. Menyenderkan kepala dengan mata terpejam, dengan satu tangan memijat dahi yang berdenyut tak tertahankan.
"Lima kali?" Rion mengulang kata-kata sang penjaga dengan suara yang terdengar putus asa.
"Aku benar-benar sudah gila."
Sejenak, keheningan kembali tercipta. Pangeran tampan itu masih berusaha menjernihkan pikirannya. Merangkai kalimat indah yang menyuarakan isi hati pada sang gadis pujaan. Berharap sesaat kemudian lidahnya tak lagi kelu dan berbalik mendukungnya.
Hingga akhirnya, ia bisa mengakhiri kepura-puraannya bersikap angkuh dan menyebalkan selama ini. Berharap Hime akan menerimanya tanpa banyak bertanya, karena ia pun yakin jika gadis itu juga mencintainya.
Saat rangkaian kata mutiara hampir tercipta, senyum lebar hampir terulas penuh di bibirnya, tiba-tiba suara ketukan membuyarkan semuanya.
Rion kembali membuka mata dengan decakan dan sumpah serapah di dalam hatinya.
"Saya ingin menghadap, Pangeran. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Suara Calvert terdengar lantang di balik pintu karena ia memang sedikit berteriak.
Dengan decihan sebal, pria bersurai kelam itu akhirnya mempersilakan Calvert memasuki ruangan.
"Ada apa?" ucapnya datar seraya menatap Calvert yang membungkuk hormat.
Satu tangan Rion menopang pipi kanannya pada sandaran kursi yang membuat kepalanya sedikit miring. Menatap malas Calvert yang tak pernah peka.
Calvert kembali menegakkan tubuhnya, menatap manik kelabu sang pangeran. "Ada yang ingin saya tanyakan."
Rion menautkan alisnya, 'Mengapa anda tidak mengutarakan perasaan anda pada Nona Hime?' Pertanyaan itu kembali mengelebat di kepala tampannya. Membuatnya semakin kesal jika pertanyaan itu akan terulang untuk kedua kalinya.
"Katakan."
"Apa anda yang telah membuka segel penjara bawah tanah itu?"
Rion menurunkan tangannya, menegakkan kepala. Menyipit tajam mendengar pertanyaan Calvert yang sedikit mengusiknya. "Apa maksudmu?"
Calvert ikut mengerutkan kening, jika bukan sang pangeran sendiri yang membukanya, lalu siapa? Bahkan sang raja dan Pangeran Aylmer pun tak pernah tahu jika Damarion memiliki penjara bawah tanah yang ia segel dengan kekuatannya sendiri.
"Maaf, Pangeran, tapi kuncup mawar itu telah berubah menjadi emas. Dan lingkaran sang Naga Agung telah muncul ke permukaan, menunjukkan jalan ke gerbang penjara bawah tanah yang anda buat. Bukankah itu berarti segelnya telah terbuka?"
Calvert sendiri tak yakin dengan apa yang ia tanyakan. Tapi ia benar-benar yakin telah melihat penjara bawah tanah itu terbuka. Ia malah bingung melihat keberadaan sang pangeran di ruang kerjanya saat ini.
"Jika bukan anda yang membukanya, lantas siapa? Bukankah hanya anda dan orang yang terikat dengan anda yang dapat membuka segel itu?"
Tersadar, manik Rion membelalak sempurna. Ia melesat ke arah jendela. Menelisik taman bunga yang ia buat untuk Hime dari kejauhan. Maniknya menajam kala melihat apa yang dikatakan Calvert memang benar adanya. Segel penjara bawah tanah itu telah terbuka. Dan hal yang membuatnya semakin gelagapan adalah saat ia tak melihat Hime di sana.
Manik kelabunya berkilat nyalang. Tangannya mencengkram sisi jendela hingga retak. Napasnya memburu, membuat jantungnya kian berdegup kencang.
Daripada marah karena gadis itu telah membuka ruangan yang selama ini ia simpan rapat-rapat, Damarion lebih merasa takut jika Hime melihat apa yang ada di dalamnya. Rahasia besar yang ia sembunyikan sekian lama. Rahasia yang ia jaga dan ia yakini tak akan pernah terkuak kepermukaan ... selamanya.
Tapi kini, seseorang yang paling tak Rion inginkan untuk tahu malah menjadi orang pertama yang menemukan kebenarannya.
Rion masih mematung, ia benar-benar kehilangan akal. Tak tahu harus bagaimana.
Melihat junjungannya tampak gelisah, Calvert ikut tersadar. Hanya sang pangeran dan orang yang terikat dengannya yang dapat membuka segel itu. Dan orang yang saat ini mengikat kontrak dengan junjungannya adalah ....
"Pangeran-"
Suara Calvert kembali menyentak Damarion. Ia menoleh pada pria itu sesaat sebelum menghilang dalam sekejab mata.
.......
Hime kembali bangkit saat tersadar dari keterkejutannya. Ia mendekat dan menggenggam tiang besi yang mengurung pria itu, menariknya sekuat tenaga meski Hime sendiri tahu itu hanya sia-sia.
"Paman, kenapa paman bisa ada di sini? Apa Paman dipenjarakan oleh iblis-iblis di sini? Bibi bilang, Paman sudah meninggal. Tapi aku tak percaya. Aku yakin Paman masih hidup-"
"Tenanglah, Paman, aku akan segera mengeluarkanmu dari sini. Aku sangat mengenal pemilik kastil ini. Aku yakin dia akan segera melepaskanmu jika aku memintanya," ucap Hime menggebu. Berlarian kesana-kemari, berusaha mencari cara untuk membebaskan pria yang ternyata adalah sang paman yang selama ini dikabarkan telah meninggal.
"Pemilik kastil inilah yang telah memenjarakanku di sini."
Hime terdiam, tangannya yang sedari tadi lincah mencari apa pun yang bisa membuat pamannya terbebas, kini menegang bersamaan dengan tubuhnya yang membeku di tempat.
Gadis itu menoleh cepat, menatap pamannya yang hanya bersinarkan cahaya temaram.
"Apa- Apa maksud Paman?"
Dari dalam kegelapan, ia tahu pamannya menundukkan kepala.
"Maafkan paman, Lily. Maafkan paman."
"Katakan, Paman. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa maksud Paman?" tanya Hime seraya mendekat ke arah pamannya.
Masih menunduk dalam, pria paruh baya itu meneteskan air mata penyesalan. "Empat tahun yang lalu-"
Ssttt....
Jlebb!
"Argghh!"
"Paman!!"
Pekikan ngilu menggema, bersamaan dengan teriakan Hime yang terkesiap saat sebuah anak panah tiba-tiba melesat dan menembus jantung pamannya. Berubah menjadi gumpalan kabut hitam yang menelan tubuh sang paman hingga lenyap tak tersisa.
Hime berbalik, maniknya membelalak saat mendapati Rion berdiri di belakangnya dengan gumpalan kabut hitam yang semakin memudar dari telapak tangan kanannya.
"Rion, kenapa? Kenapa kau melakukannya? Dia pamanku!" teriaknya parau dengan air mata berlinangan.
"Paman? Kau masih menganggapnya pamanmu?"
Manik Hime menajam, ia tak habis pikir kenapa Rion tega melenyapkan satu-satunya keluarganya yang tersisa. Orang yang sangat ia sayangi setelah kedua orang tuanya.
"Ya. Dia pamanku, Rion. Dia sangat menyayangiku, tidak seperti istri dan anaknya yang biadab itu!"
Hime menunduk, maniknya menyayu, menerawang masa kecil di mana pamannya selalu memanjakannya seperti putri kandungnya sendiri.
"Dia-"
"Dia adalah dalang di balik kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuamu empat tahun yang lalu."
Hime tercekat. Kedua alisnya menaut rapat. "Apa maksudmu? Itu- itu tidak mungkin."
"Dia tidak seperti itu. Dia sangat menyayangiku! Kau pasti salah, Rion. Kau salah! Kau hanya mengarang cerita agar aku tak membencimu karena telah membunuhnya! Agar aku tak menyalahkanmu karena kau membunuh satu-satunya keluargaku yang tersisa!!"
Melihat Hime yang lebih mempercayai pria itu dibanding dirinya, telapak tangan Rion mengepal dengan emosi yang mulai meluap.
"Kau bohong, Rion!"
"Dia mengikat kontrak denganku untuk melenyapkan seluruh keluargamu, Hime!"
"Dia membuat kontrak denganku untuk melenyapkan seluruh keluarga Rafhelist!!" Teriakan Rion membuat Hime mematung seketika, bibirnya terbuka, namun tak dapat mendebat.
Sementara Rion yang berada di depannya tak lagi dapat menahan amarah yang sudah meluap. Ia menatap tajam dengan tangan terkepal, berusaha tak kehilangan kendali dan menyakiti gadis yang dicintainya.
"Empat tahun lalu, dia mengikat kontrak denganku untuk melenyapkan seluruh keluargamu dengan jiwanya sebagai imbalan," Rion menjeda sejenak.
"Tapi aku tak dapat membunuhnya karena kontrakku dengannya belum terselesaikan, karena itulah aku mengurungnya di sini."
Rion diam. Di dalam kepalanya kembali berputar kejadian empat tahun yang lalu, saat di mana gadisnya baru saja berumur lima belas tahun.
.
.
.
"Selamat ulang tahun, Lily sayang."
"Semoga panjang umur, ya ...."
"Semoga kau bahagia selalu, putri kecil kami ...."
Hari itu, Lily kecil terlihat begitu bahagia. Tertawa riang menerima ucapan selamat dari semua orang di hari ulang tahunnya yang ke lima belas. Semuanya terlihat begitu sempurna.
"Pa, Ma, mana hadiah Lily?" pintanya dengan kedua tangan mungil terulur ke depan orang tuangnya.
Wanita cantik dengan rambut kecoklatan menunduk, membelai pipi halus putrinya dan menyisipkan rambut indah milik si cantik Lily yang tergerai ke belakang telinga.
Ia membisikan sesuatu. Hal yang langsung membuat mata Lily berbinar, yang kemudian seketika berlari ke kamarnya di lantai dua dengan wajah sumringah.
"Pesta ini belum selesai, Sayang. Kenapa kau memberitahunya sekarang?"
Pria tampan di belakang sang wanita menginterupsi, membuat si wanita itu kembali berdiri. Menatapnya dengan senyum lembut yang membuatnya semakin menawan.
"Di mana keponakan cantikku?"
Pasangan itu menoleh, tersenyum lebar pada seorang pria bermanik legam dengan umur tak jauh berbeda dari keduanya.
"Hans, kau terlambat." Wanita cantik itu memperlihatkan kerucut kecil di bibirnya, membuat pria yang dipanggil Hans itu terkekeh pelan.
"Maaf, Kakak, aku ada meeting penting tadi. Oh, ya ... kenalkan, ini temanku. Namanya-"
Hans menjeda sejenak, melirik pria tegap dengan manik kelabu meneduhkan dan surai segelap malam yang berdiri di sampingnya.
"Nama saya Damarion. Anda bisa memanggil saya Rion, Tuan dan Nyonya Rafhelist." Rion mengulurkan tangan yang disambut dengan senang hati oleh tuan pemilik rumah.
Mereka berempat berbincang dengan hangat, tapi Rion hanya diam. Bukan karena tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi menurutnya itu sangatlah membosankan. Bukankah tujuannya ke sini hanya untuk menentukan siapa target utamanya?
"Ah, maaf ... jika tidak keberatan, bisakah anda menunjukkan kamar mandinya?" Rion tiba-tiba menyela pembicaraan.
"Ada di atas, di sudut sebelah kiri." Nyonya Rafhelist memberi arahan.
Rion mengangguk paham, ia berjalan menaiki satu-persatu anak tangga sambil melonggarkan kancing atas kemeja marunnya. Tapi saat ia sampai di atas, pendengaran tajamnya menangkap sebuah suara merdu. Tawa renyah tanpa beban yang terdengar begitu bahagia.
Dalam sekejab, Rion lupa arah tujuannya. Ia seperti terhipnotis, melangkah pelan mendatangi pintu ruangan yang sedikit terbuka, tempat di mana suara itu berasal.
Rion mengintip ke dalamnya.
Ia melihat seorang gadis tengah berlarian, bermain dengan seekor kucing berbulu putih. Gadis itu terlihat begitu gembira. Terlihat polos dan ... tanpa sadar, Rion mengulas senyum di bibirnya.
Entah sudah berapa lama, maniknya terus mengamati tingkah gadis yang melompat kesana-kemari sembari membawa mainan untuk menarik perhatian kucing kecilnya.
Setidaknya, sampai sebuah tangan menepuk bahu kirinya. "Sedang apa kau di sini? Aku memintamu datang untuk menyelesaikan tugasmu," ucap pria di belakang Rion setengah berbisik.
"Siapa dia?" Tak menghiraukan pria itu, Rion tetap tak berpaling dari gadis dengan manik hazel yang memikatnya dalam sekejab mata.
"Apa?" Pria itu ikut melongok ke dalam ruangan, mengikuti arah pandang sang pangeran iblis yang mengikat kontrak dengannya.
"Dia Angelica Rafhelysta. Putri satu-satunya kakakku. Sudahlah, ayo kita kembali," jawabnya seraya berbalik meninggalkan Rion yang masih enggan berpaling.
"Angelica Rafhelysta, nama yang indah." Senyum Rion kembali mengembang sebelum ikut beranjak pergi dari sana.
"Ah, ya-" Pria bermanik legam itu berhenti sejenak. "Tugasmu adalah melenyapkan seluruh keluarga Rafhelist hingga tak sersisa. Termasuk gadis itu."
Dan seketika, manik kelabu Rion membelalak.
*****
Setelah mendengar cerita Rion, Hime jatuh lunglai. Napasnya menderu, semakin memburu hingga dadanya terasa sesak dan pandangannya mengabur, terhalang lelehan kristal bening mengalir semakin deras.
"Tidak mungkin ...."
Hime meremas gaun indahnya, membuat kepingan kristal yang terpasang apik di sana terlepas menggelinding tak tentu arah.
Gadis cantik itu tersedu, hatinya seakan tercabik mendengar kenyataan pahit akan kebenaran yang seharusnya ia ketahui sejak awal. Kebenaran yang seharusnya ia sadari sebelumnya, bahwa semua yang ada di dunia ini tak ada yang kebetulan. Termasuk pertemuannya dengan pangeran iblis yang kini berdiri di hadapannya.
Kebenaran yang terucap dari bibir Rion mengoyak hatinya. Begitu perih hingga kedua tangannya beralih meremas dadanya sendiri. Hime masih tak percaya, atau lebih tepatnya, tak ingin percaya.
Dan jika semua itu benar, maka kebodohan terbesarnya adalah jatuh cinta pada pembunuh orang tuanya.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Hime mencoba berdiri dengan tiang jeruji sebagai penyangga.
"Membunuh seluruh keluargaku?" Gadis itu tersenyum miris, menatap kosong ruangan pengap yang hanya berpenerangan cahaya temaram.
"Lalu kenapa saat iti kau tidak membunuhku?"
Pertanyaan Hime membuat Rion membeku, mematung di tempatnya dengan bibir mengatup rapat.
"Kenapa kau tak membunuhku juga, Rion?!"
"Kenapa kau tak menyelesaikan kontrakmu dengan membunuhku?!"
"Karena kau, aku harus menerima penghinaan dan dilecehkan oleh Evan! Karena kau, aku harus menghadapi penderitaan yang tak berujung! Kenapa kau tak membiarkan aku mati dan bahagia bersama kedua orang tuaku? Kenapa, Damarion Rensford?!"
Hime berteriak disela-sela isak tangisnya, ia meluapkan seluruh kesakitan dalam dadanya hingga napasnya terengah. Menatap Rion penuh kebencian mendalam.
"Kenapa, Rion?! Katakan!"
"KARENA AKU MENCINTAIMU!"
Rion berteriak lantang, menggema, hingga dinding batu di sekelilingnya retak.
Hime terbungkam seketika, bibirnya sedikit terbuka, sementara tatapannya terkunci pada pria tegap yang kini terengah.
"Ya. Aku mencintaimu, Lily. Sejak aku melihatmu di hari ulang tahunmu yang kelima belas. Sejak aku menatap mata indah dan senyummu untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah aku jatuh cinta padamu."
Rion menatap lekat Hime yang masih terbungkam. Melangkah perlahan mendekati gadisnya yang masih terisak.
"Aku mencintaimu, Angelica Rafhelysta."
"Aku sangat mencintaimu."
"Kumohon, maafkan aku."
Butiran kristal kembali jatuh di pipi halus Hime yang tak kian mengering. Bukankah ini pernyataan yang sudah lama ia tunggu? Tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan? Kenapa rasanya ia malah ingin berlari sejauh mungkin?
Berusaha menahan, Hime masih tak tahu harus berbuat apa. Kenyataan berkata kalau iblis inilah alasan ia menderita. Iblis inilah yang menghancurkan setiap senyum bahagia di bibirnya hingga tak tersisa. Tapi, iblis ini juga yang sangat ia cintai tanpa syarat dan alasan.
Hime mulai melangkah, berusaha menahan setiap kesakitan yang kini memenuhi sudut hatinya.
"Aku ingin pulang ... ke rumahku sendiri," ucapnya saat melewati Rion tanpa menoleh sedikit pun dan berlalu begitu saja.
Langkah Rion terhenti. Ia tertunduk dengan raut begitu menyedihkan.
Ya, semua ini adalah salahnya ....
Kesalahan besar yang membuatnya melanggar seluruh peraturan dunia bawah. Hanya untuk mencintai seorang Angelica Rafhelysta.
Dengan tatapan sendu, Rion kembali menegakkan kepala. Menerawang bayangan Hime yang masih terlihat nyata di depannya.
Mengembuskan napas dalam penuh kepahitan sebelum ikut berbalik dan menyusul sang nona.
"Yes, My Lady."
~°^°~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top