[22]_Don't Worry_
.
.
.
Hime tak henti-hentinya memutar pandangan, terkagum-kagum saat melihat ukiran di sepanjang lorong yang tengah ia lewati. Saat ini ia berada kastil Damarion. Kastil Lucifer yang terletak di perbatasan sebelah timur kastil utama. Atau biasa disebut dengan 'Kastil Timur'.
Dindingnya berlapis perak, berhiaskan batu rubi menyerupai mawar yang merekah. Mengelilingi sesosok naga yang terbuat dari batuan safir biru. Mengerlip indah saat berpadu dengan cahaya lampu kristal di setiap sisinya.
Pangeran Lucifer itu melirik gadis cantik yang berjalan di sampingnya, lirikan sekilas dari ekor mata hanya untuk memastikan gadis itu masih ada di dekatnya. Meski lengan kekarnya menggenggam jari lentik gadisnya, ia tetap tak tenang sebelum melihat wajahnya dengan mata kepala sendiri.
Melihat betapa polosnya wajah cantik yang sedang mengagumi setiap inci kastil hingga beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.
Damarion mendengus, tampaknya ia mulai lelah mengawasi Hime yang berjalan hanya dengan mengandalkan tuntunan darinya.
Ia menghentikan langkah. Tapi Hime masih sibuk menatap ukiran kastil hingga tak menyadarinya. Gadis itu tetap berjalan santai, sampai Damarion harus menarik tangannya dan membuatnya kehilangan keseimbangan sehingga jatuh ke dalam dekapan sang pangeran.
Manik Hime membelalak saat Rion tiba-tiba mendekap tubuhnya tanpa pemberitahuan.
"Rion, apa yang kau lakukan?" Ia berbisik, sementara kedua tangannya berusaha mendorong dada Rion agar pria itu melepaskannya.
Alih-alih menurut, Rion malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku sedang memelukmu, agar kau sadar kalau kakimu masih menapak di tanah, dan kau bisa terjatuh jika tak memperhatikan langkah."
Jawaban Rion membuat Hime mendongak, membuat kedua manik indah itu bersitatap dan terhanyut untuk sesaat.
"Apa kau masih ingin melihat ukiran-ukiran tak penting itu?" ucap Rion setelah tersadar dari pesona gadis di pelukannya.
Hime mengerjap beberapa kali, masih memproses maksud sang pangeran menyebalkan.
Tatapan polos Hime membuat Rion memutar manik kelabunya. Ia melonggarkan pelukan, menarik tangan Hime agar mengalung di lehernya.
Dengan satu hentakan, tubuh mungil Hime terangkat, Rion menggendongnya di depan tubuh ala bridal style, sebelum kembali melangkahkan.
Hime tercekat, begitu pun dengan para penjaga yang sejak tadi berdiri di setiap sisi lorong. Menatap sang pangeran dengan keterkejutan luar biasa sebelum menundukkan kepala, berharap Damarion tak mengetahuinya.
Pasalnya, junjungan mereka terkenal dengan sikap dingin dan tak pernah taat aturan selain pada Raja Lucifer terdahulu. Tetapi, sekarang mereka melihatnya menggendong seorang gadis manusia. Sungguh sangat mengejutkan.
"Rion! Turunkan aku!" bentak Hime dengan desisan pelan dan pelototan tajam.
Namun, Rion sama sekali tak menggubris, ia terus melangkah tanpa menghiraukan tatapan bingung para penjaga yang sangat kentara meski dalam posisi menunduk saat ia lewat.
"Rion! Kubilang - Cepat turunkan - Aku!"
Menyadari apa yang tengah dipikirkan para penjaga di sekelilingnya, Hime kembali membentak dengan menekankan kata yang ia ucapkan. Dan sialnya itu tetap tak berpengaruh pada Damarion.
"Ini perintah!"
Langkah Rion terhenti begitu mendengar kata 'perintah' dari bibir tipis gadisnya. Ia menunduk, menatap bola mata Hime yang hampir tertarik keluar karena memelototinya.
Bibir Rion tertarik samar, "Maaf, My Lady, aku tidak bisa," ucapnya seraya melanjutkan langkah.
"Aku tidak mau kau terjatuh, karena kepala cantikmu itu tak bisa hanya menatap ke depan. Jika kau jatuh, maka semua yang ada di sini akan tahu kalau pangeran mereka mengikat kontrak dengan gadis konyol yang ceroboh."
"Tidakkah kau memikirkan wibawaku?" ucapnya datar sambil sesekali melirik Hime yang semakin memanyunkan bibirnya.
Tentu saja itu bukan alasan sebenarnya. Seorang pangeran yang berani menghunuskan pedang pada sang raja yang tak lain adalah kakaknya sendiri, demi gadis yang saat ini ada di dekapannya, tak mungkin ia lebih mementingkan wibawa daripada gadisnya.
Rion hanya tak ingin Hime terjatuh karena matanya yang sibuk menatap sana-sini. Hanya saja bibirnya masih terasa kelu untuk mengatakan, 'Aku tak mau kau terjatuh dan terluka.'
Akhirnya, Hime pun menurut. Ia tak lagi mendebat. Lagi pula tak ada gunanya berdebat dengan seorang iblis, apa lagi yang didebatnya adalah seorang pangeran berkepala batu.
Gadis itu memilih diam, menatap sekeliling sambil sesekali menatap wajah tampan Damarion dan berpaling dengan pipi bersemu merah saat pria itu memergokinya.
Hingga tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Tergesa-gesa hingga suaranya menggema.
Langkah Rion kembali terhenti, menatap ujung lorong yang masih tak menampakkan siapa pun. Sementara Hime semakin mengeratkan tangan yang sedari tadi mengalung di lehernya.
Manik sang Pangeran Lucifer itu semakin menyipit, menyelidik siapa yang tengah berjalan ke arahnya. Hingga tak lama kemudian, seorang pria berjubah hijau kehitaman dengan pin berbentuk serigala perak di dada kiri dan wanita yang berpakaian hitam dengan renda merah layaknya maid muncul di depannya.
Pria itu tak lain adalah Calvert, seorang mentri yang juga menjadi tangan kanan Damarion.
Calvert berjalan tergesa, menghampiri sang pangeran yang diumumkan kedatangannya beberapa saat yang lalu.
Begitu mendengar Damarion telah kembali, ia segera meninggalkan seluruh pekerjaannya dan berniat menyambut sang junjungan, apa lagi setelah mendengar kabar burung mengejutkan yang membuat kepalanya berdenyut dan pedang latihan yang seketika terlepas dari genggaman.
Dengan sedikit terengah, Calvert berhenti tepat di hadapan Rion. Menatap pria bermanik kelabu itu dari ujung kaki hingga ujung kepala sampai tak menyadari gadis yang berada di dekapannya.
"Pangeran, apa anda baik-baik saja? Saya dengar anda dan Yang Mulia Raja terlibat pertarungan, dan sekarang hanya tersisa kastil utama di pusat pemerintahan. Apa anda terlu-"
"Aku baik-baik saja. Kau sudah melihatnya sendiri," potong Rion disela-sela ucapan Calvert yang ia yakin masih akan lebih banyak lagi mengajukan pertanyaan jika tidak dihentikan.
Calvert terdiam, ia masih meneliti Damarion dengan raut cemas. Sementara kepala maid di belakangnya sedari tadi menundukkan kepala tanpa membuka mulut meski terlihat sama khawatirnya.
Empat detik kemudian, Calvert tersadar saat pandangan keduanya saling bersirobok. Dengan segera, ia bersujud dengan kaki menekuk dan satu lutut memangku lengannya. Menundukkan kepala saat tahu jika perbuatannya barusan adalah suatu kelancangan.
"Maafkan saya, Pangeran. Saya salah. Saya siap dihukum. Sungguh, saya tidak bermaksud untuk-" gerutunya dengan raut sangat menyesal.
"Bangunlah."
Satu kata yang membuat Calvert mendongak sejenak sebelum kembali menundukkan kepala dalam diam.
Kening Rion berkerut, satu alisnya terangkat, menatap Calvert yang sama sekali tak bergerak dari posisisnya. "Apa kau tak ingin bangun dan menjalankan perintah dariku?"
"Saya mohon ampun atas kelancangan saya, Pangeran."
Rion tersenyum samar, "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Calvert. Aku baik-baik saja .... Sekarang bangunlah."
Calvert kembali mendongak, perlahan ia menegakkan tubuhnya. Berdiri seperti permintaan junjungannya.
Suasana menjadi sunyi saat Calvert menyadari kalau Rion membawa seorang gadis di pelukannya, tapi tak berani angkat bicara. Ia hanya menatap ke segala arah sambil menunggu sang pangeran kembali bersuara.
Hime yang pertama menyadari suasana aneh di sekitarnya, menggoyangkan pundak Rion dan memberikan kode pada pria itu agar segera menurunkannya.
Dengan berat hati, Rion menuruti keinginan gadisnya. Dengan wajah sedikit tak rela tentunya.
"Kau tak mau mengenalkanku padanya?" gumam gadis cantik itu seraya menatap Rion dengan mata melotot tajam saat ia hanya diam tanpa berkata apa-apa.
Sementara Calvert dan seorang maid di belakangnya masih terdiam sambil menahan tawa. Baru kali ini ada seseorang yang berani memelototi sang pangeran selain Raja dan Ratunya.
Rion memutar bola mata dengan dengusan pelan. "Dia adalah gadis manusia yang mengikat kontrak denganku. Karena kau sudah tahu apa yang terjadi antara aku dan raja keparat itu, kau pasti juga tahu kenapa aku membawanya kemari," jelasnya datar, hampir tak bernada.
"Kau sudah puas?" Rion menoleh ke arah Hime yang melebarkan senyumnya.
"Namaku, Hime." Hime mengulurkan satu tangan, mencoba mengakrabkan diri dengan berjabat tangan. Tapi Calvert hanya memandangi tangannya kemudian menunduk hormat dengan tangan kanan menekuk ke depan.
"Maafkan saya, Nona. Saya tidak memiliki hak untuk menyentuh anda. Karena anda adalah milik Pangeran Damarion. Saya sungguh meminta maaf."
"Suatu kehormatan bisa berjumpa langsung dengan anda, Nona Hime," ucap Calvert dengan segala hormat yang membuat sudut bibir Rion tertarik ke atas.
Hime menarik kembali tangannya dengan wajah sedikit kecewa, semakin kesal saat melihat seringaian kepuasan di wajah pangeran iblis di sampingnya.
"Calvert, antarkan dia ke kamar," perintah Rion setelah suasana kembali normal.
Sejenak, Rion memutar bola matanya seperti sedang berpikir. "Kamar seperti apa yang kau inginkan? Katakan pada Calvert agar dia bisa menyiapkan semuanya." Ia menatap Hime dengan kepala sedikit dimiringkan.
Manik Hime membulat dengan wajah secerah mentari pagi, seakan menemukan setumpuk harta karun yang hilang.
"Bolehkah?" serunya girang.
Rion mengangguk mantap.
"Jika boleh, aku ingin kamar dengan jendela yang besar agar aku dapat menatap keluar dengan leluasa. Aku juga ingin ada hiasan mawar biru di sana. Oh ya ... jangan terlalu mencolok, berikan saja warna yang sendu pada dindingnya. Warna biru misalnya. Emmm ... apa lagi, ya?" Hime ngetuk-ngetukkan jari telunjuk pada dagunya sambil menerawang ke angan-angan.
"Sudah cukup. Itu saja sudah cukup untukku." Ia tersenyum lebar menatap Calvert yang juga ikut mengulas senyum dan menunduk sebagai tanda meng-iyakan.
"Baiklah." Rion kembali angkat bicara. Membuat semua mata tertuju padanya. "Calvert, buang semua catatan tadi dari kepalamu."
Seringaian kembali terlukis di wajah tampannya, "Dan antarkan dia ke kamarku."
"Apaa?!!"
"Jika kau ingin aku ke kamarmu, untuk apa kau menawarkan pilihan padaku, Iblis brengsek?!" Hime tak lagi bisa menahan geram. Ia berteriak keras, tak peduli dengan tiap pasang mata yang membelalak kaget karena umpatannya.
"N-Nona ...." Calvert sampai tak tahu harus berkata apa.
"Bisakah kau ke kamar sekarang, My Lady? Aku masih punya urusan lain. Aku akan menemuimu nanti." Rion melebarkan senyumnya, tak peduli dengan tatapan tajam Hime yang seakan ingin sekali menamparnya.
Gadis itu membuang muka, mengentakkan satu kaki dan mulai berjalan meninggalkan Rion yang masih berdiri di tempatnya. "Ayo, Calvert. Pangeran menyebalkan itu sudah memberi perintah," ucapnya saat berjalan melewati Calvert.
"Ba-baik, Nona." Calvert tergagap, menunduk hormat pada sang pangeran sebelum bergegas mengikuti Hime. Tapi baru selangkah, ia berhenti dan kembali berbalik.
"Apa anda sungguh baik-baik saja, Pangeran? Saya bisa melayani anda lebih dulu jika anda mau."
Rion hanya tersenyum samar menanggapi pertanyaan yang Calvert ajukan. "Aku baik-baik saja ...."
Calvert menatap sendu dengan wajah cemasnya yang tak kunjung memudar. Ia mengamati tangan kanan Rion yang sejak tadi mengepal sebelum kembali menunduk hormat.
"Kalau begitu, saya pamit undur diri," ucapnya lalu berbalik menyusul Hime.
'Anda tidak baik-baik saja. Lengan kanan anda terluka, Pangeran,' ucapnya melalui mindlink agar Rion dapat mendengarnya.
Saat Calvert melihat lengan kanan Damarion, ia tahu jika ada sesuatu yang salah di sana. Ada darah yang merembes di balik jubah yang Pangeran Lucifer itu kenakan.
Tapi saat Rion berkata baik-baik saja, ia tak mungkin mendebat. Sang pangeran pasti punya alasan mengapa sedari tadi menahannya. Dan sedikit banyak, ia tahu alasannya.
Manik Rion masih menatap punggung orang kepercayaannya yang semakin menjauh. Sudah pasti ia mendengar apa yang baru saja Calvert katakan. Tapi ia tak ingin membuat Hime cemas jika tahu lukanya tak kunjung sembuh. Sudah cukup ia melihat kecemasan di wajah cantik gadis yang sangat dicintainya.
Damarion mendengus keras, ia merenggangkan kepalan di telapak tangannya.
Tes!... Tes!... Tes!..
Darah mengalir begitu lengan kanan Rion melonggar, menetes menyentuh lantai melalui ujung jarinya.
"Sial! Luka ini benar-benar menyusahkan!" geramnya sebelum menghilang.
.......
"Ayah!!"
Zean berteriak histeris dari atas tangga begitu melihat Azzuri memapah ayahnya yang setengah sadar dan penuh luka menganga. Darah terus mengalir dari luka-luka itu hingga pakaian Azzuri pun ikut memerah.
"Zean, bisakah kau membantu ibu?"
Zean mengangguk cepat, melesat turun dan ikut memapah Ayahnya. Membawanya ke kamar dan merebahkannya di atas ranjang.
Azzuri yang kini berdiri di samping ranjang mengulurkan satu tangan, dari telapak tangannya keluar sinar yang menyeruak dan kembali menghilang dalam sekejab.
Saat sinar itu menghilang, pakaian Danta sudah berubah menjadi pakaian yang utuh layaknya manusia biasa. Penampilannya yang berantakan pun kembali seperti sedia kala. Hanya luka-lukanya yang tetap menganga dan tetap merembeskan darah.
"Ibu, kenapa luka ayah tidak sembuh?" tanya pangeran kecil itu tiba-tiba saat Azzuri beranjak untuk mengambil sebuah kotak obat.
Sang ratu membuka kancing baju Danta dengan tatapan sendu, mengobati setiap jengkal luka suaminya penuh kehati-hatian.
"Kau tahu, kan, kekuatan Lucifer sangat besar dibanding iblis lainnya, karena itulah ayahmu dinobatkan sebagai seorang raja?" ucapnya ditengah gerakan jari-jari lentiknya.
Pangeran kecil itu kembali mengangguk sembari membolak-balik perban yang diambilnya dari kotak obat.
"Ada satu lagi kekuatan Lucifer yang membuat lawannya akan berpikir ulang sebelum mencari gara-gara dengannya. Serangan bangsawan iblis Lucifer mampu membuat kemampuan regenerasi para iblis tidak berfungsi. Bahkan iblis kalangan bawah akan langsung menjadi abu saat terkena serangan telak dari mereka."
Jari mungil Zean terhenti. Seolah sedang memproses ucapan sang ratu, ia menatap luka-luka ayahnya dengan teliti. Dan benar, luka itu tak kunjung sembuh bahkan sama sekali tak membaik meski Azzuri sudah mengerahkan kekuatannya. Tak berapa lama, manik rubinya membulat sempurna.
Zean menoleh, menatap Azzuri begitu lekat. Sepertinya ia tahu bagaimana bisa ayahnya sampai terluka separah ini.
Tak berbicara sepatah kata pun, Zean hanya menatap ibunya. Menunggu wanita cantik itu selesai mengobati luka-luka ayahnya. Tapi meskipun ia diam, manik bulatnya sudah mengungkapkan segalanya.
Menyadari Zean menunggu penjelasan darinya, Azzuri menghentikan aktifitas sejenak dan membalas tatapan sang putra mahkota. Ia mengulas senyum sambil meraih tangan mungil Zean dan meletakkannya di pipi kanan.
"Bukankah sudah ibu katakan?"
"Semuanya akan baik-baik saja. Ayahmu akan segera sembuh. Paman dan nona cantikmu juga tidak apa-apa. Semuanya akan jauh lebih baik setelah ini," ucap Azzuri berusaha menenangkan putra kecilnya yang terlihat cemas.
Ia mengelus puncak kepala putranya penuh sayang dengan tatapan meneduhkan.
Zean pun mendekat dan memeluk ibunya begitu erat, menenggelamkan kepalanya di dada sang ibu dengan mata tertutup.
"Ibu?"
"Hm?"
"Apa Paman Damarion akan memaafkan ayah? Aku tahu ayah salah. Aku juga marah padanya. Sangat marah! Tapi-" Pangeran kecil itu semakin menenggelamkan wajah mungilnya, ia menarik napas dalam dan memeluk ibunya semakin erat.
Azzuri kembali menatap suaminya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Sedang tangan kanannya mengusap surai perak Zean, membuat si empunya semakin merasa tenang.
"Semuanya akan segera membaik, Zean. Kau tak perlu mencemaskan apa pun," tambahnya seraya ikut mendekap tubuh mungil putranya dan mengecup puncak kepalanya singkat.
"Semoga ...."
~°^°~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top