[21]_Forgiven_

Rion hanya menatap datar kakaknya yang mulai kewalahan. Maniknya kembali berkilat, tangannya yang sedari tadi terulur perlahan mengepal.

"Maaf, Ayah."

Kratakkk ....

.

.

.

"Ugghhh!" Alis Danta semakin menaut kala retakan di barriernya semakin menyebar. Dan beberapa detik kemudian ....

Pyaarrrr!!

Barrier itu pecah karena tak mampu lagi menahan kekuatan Rion. Melemparkan sang raja hingga menabrak jajaran kastil di belakangnya.

BRRAAKKK!

BOOOMMMM!!!

Ledakan dahsyat menggema, membuat seluruh tanah Lucifer bergetar dan membuat para rakyat mengiba karena berpikir kiamat telah datang.

Hingga beribu-ribu mil jauhnya, ledakan itu masih kentara. Tampak seperti jamur yang membumbung tinggi dengan api biru yang menguar menyelimutinya, membuat langit yang semula gelap kini memancarkan warna yang sama.

Sang Pangeran Lucifer masih melayang di udara dengan sayap legam yang mengepak. Menatap pekatnya kabut yang tercipta akibat ledakan. Matanya semakin memicing saat melihat tangan yang tergeletak lemah di balik reruntuhan akibat serangan yang ia ciptakan.

Rion menapakkan kakinya di atas retakan tanah, melangkah perlahan mendekati selimut kabut yang mulai memudar, menampakkan sosok pria tegap yang kini terbaring lemah di antara reruntuhan.

Terpaan angin membuat sayap Rion yang tampak seperti kelelawar itu perlahan terkikis dan berubah menjadi jubah kebesaran yang sebelumnya ia kenakan. Maniknya yang sempat menggelap kini berubah kelabu seperti sedia kala, masih dengan beberapa goresan di tubuhnya.

Tangan itu bergerak, membuat Rion sontak menghentikan langkah dan menatap kian lekat.

"Ughk!!"

"Uhukh.. Uhukh.."

"Hah ... Hahhh ... Hahh ...."

Desahan napas berat terdengar lirih di telinganya. Membuat Rion akhirnya melanjutkan langkah mendekat.

"Jadi kau masih hidup? Sayang sekali," ucapnya di hadapan Danta yang tengah berusaha menyenderkan punggung diantara puing-puing di belakangnya.

Danta membalas tatapan datar Rion dengan napas terengah dan tubuh berlumuran darah. Tangannya terus meremas dadanya yang seakan remuk dan memanas, bahkan saat ini pun kakinya sudah tak lagi kuat menopang tubuh tegapnya.

Senyum miring terulas di sudut bibirnya,"Kau ... terkejut?"

Suara serak sang kakak membuat Rion menaikkan kedua alisnya, sedikit memiringkan kepala.

"Tak ku sangka kau akan menyerangku dengan kekuatan itu hanya untuk seorang gadis manusia. Bahkan kau tak ragu untuk menghancurkan kastil lucifer yang telah dibangun turun-temurun oleh Raja Lucifer terdahulu-"

"Sesuai janjiku, Kakak." ucapan Rion memotong kalimat Danta.

"Kau adalah satu-satunya alasan mengapa aku melakukan semua ini. Jangan bilang aku belum memperingatkanmu-" Ia menggantung kalimatnya.

"Dan saat Azzuri memberi tahumu aku mencintai seorang gadis manusia, itu bukan bualan semata." Terangnya membuat kedua alis Danta ikut menaut.

"Asal kau tahu, aku benar-benar mencintainya. Sama seperti kau mencintai Azzuri."

Rion mengangkat satu tangannya ke udara, menciptakan api biru yang berputar bak bola api di telapak tangannya.

"Dan akan kulenyapkan siapa pun yang telah menyakitinya,"

"Termasuk kau, Kakak!"

Manik sang raja kembali melebar saat api itu hendak dilemparkan Rion tepat ke arahnya.

"Rion! Tunggu!!!"

Seketika, tangan Rion terhenti dengan manik membelalak lebar. Ia begitu terkesiap hingga lupa bernapas untuk sejenak.

Damarion mendongak, menoleh ke belakang mencari asal suara. Hingga kemudian ia melihat seorang gadis bergaun biru muda dengan rambut coklat yang tergerai bebas tertiup angin, bersama seorang pria dengan surai kuning terang melesat ke arahnya.

Pangeran kedua Lucifer itu masih terdiam kala sang gadis menapakkan kaki di atas tanah dan berlari ke arahnya. Diikuti oleh pria yang tak lain adalah Aylmer, berjalan santai dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada.

"Hime ...."

Rion bergumam dengan maniknya yang masih membola. Tapi Hime sama sekali tak menatapnya atau berhenti saat sampai di hadapannya. Gadis itu melewatinya begitu saja, berdiri di depan Danta dengan kedua tangan yang ia rentangkan lebar-lebar.

"Kau tak tak boleh membunuh kakakmu sendiri!" teriak Hime yang membuat Rion kembali sadar dari keterkejutannya.

"Ke-kenapa kau ada di sini? Dan apa yang sedang kau lakukan?" Rion begitu bingung saat melihat Hime menghadangnya untuk menyerang Danta.

"Wah ... Wah ... Kau melupakan satu kastil, Kak." Aylmer mendekat dan menepuk pundak kanan Rion dengan santainya.

"Lihat itu."

Ia menunjuk satu-satunya kastil Lucifer yang masih berdiri menantang langit meski goresan dan retakan memenuhi sebagian besar dinding luarnya. Dari tiga belas kastil, hanya kastil itu yang tersisa. 'Kastil Utama Lucifer', tempat sang raja menduduki takhtanya dan memerintah seluruh Helldon.

Rion menoleh, menatap Aylmer dan tangan yang masih menggantung di pundak kanannya bergantian.

"Turunkan tanganmu jika tak ingin bernasib sama dengan dua belas kastil yang telah kuhancurkan sebelumnya," ucapnya tajam dengan tatapan menusuk.

Aylmer mengangkat tangannya dengan senyum mengembang, Ia benar-benar tidak peduli dengan suasana mencekam di sekitarnya.

"Katakan, kakak ... kenapa kau menyisakan kastil utama? Dengan sekali lemparan bola api di tanganmu tadi, aku yakin kastil itu akan hancur lebur."

Aylmer melebarkan senyumnya.

"Karena semua kenangan tentang ayah dan ibu ada di sana. Dan kau memang tak berniat menghancurkannya. Benar, 'kan?"

Semuanya terdiam mendengar ucapan Aylmer yang entah kenapa terasa menusuk hati Rion dengan sangat tepat. Pangeran kedua itu tak menyanggah, tapi juga tak membenarkan. Kebisuannya telah menjadi jawaban bagi pertanyaan sang adik.

"Apa kau yang membawanya ke sini?" Rion mengembalikan pembicaraan mereka ke topik awal. Tapi saat Aylmer membuka mulutnya, hendak menjawab. Tiba-tiba ....

"Tidak! Aku sendiri yang ingin menemuimu. Aylmer hanya mengantarku." Hime kembali bersuara, menyela dengan tegas.

Aylmer mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. Dan tatapan Rion pun langsung beralih pada Hime yang masih berdiri di depan tubuh Danta yang tertunduk lemah dan tak bisa berkata apa-apa.

Selain Rion yang bingung mengapa Hime bisa ada di dunia para iblis, Danta juga kebingungan kenapa gadis itu menghadang Rion dan lebih memilih untuk menyelamatkannya.

"Apa yang sedang kau lakukan, Hime? Menyingkir darinya!"

Tak menjawab. Hime masih bertahan dengan posisinya dan itu membuat emosi Rion kembali meluap.

"Apa kau tak mendengarku?!" Rion melangkah diiringi kabut hitam yang kembali menguar.

"Kubilang menyingkir. Atau aku akan-"

"Kau harus membunuhku dulu sebelum membunuh kakakmu! Karena aku tidak akan beranjak dari tempatku. Kau mengerti?!" teriakan Hime membuat langkah Rion kembali terhenti dengan alis menyuram.

"Apa kau tahu ... apa yang baru saja kau katakan?" Manik Rion semakin menajam.

Tatapan Hime perlahan menyendu, gadis itu diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.

"Dia kakakmu, Rion. Dia keluargamu. Aku tak bisa membiarkanmu membunuh keluargamu sendiri ... karena aku tahu bagaimana rasanya hidup tanpa keluarga."

"Apa pun kesalahannya, kau harus bisa memaafkannya. Karena itu akan jauh lebih baik daripada kau kehilangannya karena kemarahanmu sendiri."

Rion mengepalkan tangannya. Ucapan Hime membuatnya teringat, jika selain berusaha melenyapkan gadis yang dicintainya, pria di depannya ini juga telah menghianatinya sebagai seorang kakak.

Kabut hitam semakin menebal, seiring dengan tatapan tajam pemiliknya. Aylmer pun melompat mundur dan bersiap membuat barrier jika kemarahan Rion kembali meledak.

"Apa kau tau-"

"Dia yang membuatmu terbunuh, Hime!"

BLEDAARRR!!!

Guntur menggelegar saat Rion berteriak. Petir pun ikut berkilat seolah menunggu perintah untuk menyambar. Namun, tetap tak membuat gadis itu mundur meski tubuhnya gemetar karena tak pernah melihat Damarion semarah ini.

Jika Hime mundur, maka usahanya untuk datang ke sini hanya akan sia-sia.

"Aku tahu, Rion. Aku sudah tahu semuanya dari Azzuri."

Sekali lagi, Rion terbelalak. Ia melonggarkan kepalan tangannya tanpa disengaja, bersamaan dengan kabut hitam yang menyelimuti tubuhnya mulai kembali memudar.

"Apa?"

.
.
.

Kilas waktu kembali tercipta, tepat setelah Rion meninggalkan Azzuri dan Zean. Beberapa waktu sebelum kehancuran Lucifer bermula.

"Aku punya perintah untukmu, Aylmer."

Aylmer mendekat, menghampiri Azzuri yang kembali berdiri.

"Katakan semuanya pada Hime."

Pria itu tercekat, Ia tidak mengira jika perintah sang ratu adalah memberi tahu Hime semua yang telah terjadi. Apa lagi gadis itu baru saja bangun dari kematiannya. Apa yang Hime alami, pasti masih tercetak jelas di otaknya. Dan tentu akan membuatnya trauma.

"Ta-tapi -"

Azzuri menghela napas berat, Ia tahu kali ini Aylmer pasti akan menolak.

Namun, jika Ia terlambat mencegah semuanya, maka seluruh Helldon akan berada dalam bahaya. Dan sebagai seorang ratu, sudah tugasnya untuk menghentikan kehancuran dunia bawah yang kini juga menjadi tanggung jawabnya.

Azzuri menoleh, mengulas senyum saat menatap putra kesayangannya.

"Bisakah kau menunggu di sini sebentar, Zean?"

Zean mengangguk cepat. Tak ada alasan untuknya membantah.

Sementara sang ratu langsung melangkah pergi dari sana.

"Aku sendiri yang akan mengatakannya," ucapnya pelan saat melewati tempat Aylmer berdiri.

Sementara di dalam kamar Rion, gadis cantik yang tengah mengenakan gaun simple berwarna biru muda itu tengah mondar-mandir di samping ranjang. Sesekali ia menggigit ujung kukunya dengan raut begitu cemas.

Cklekk!

"Rion!"

Hime berbalik dengan wajah sumringah saat mendengar daun pintu terbuka. Tapi senyum itu memudar kala melihat kedatangan seseorang yang bukan ia tunggu sejak tadi.

"Apa aku mengecewakanmu, Hime?" Azzuri masuk dengan senyum manisnya.

Merasa bersalah dengan ekspresi yang ia buat beberapa detik lalu, Hime menghampiri Azzuri yang tengah berjalan ke arahnya.

Ia mengangkat sisi gaun sampingnya dan menundukkan kepala. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud-"

"Apa kau sedang menunggu Damarion?" Azzuri menyela sebelum gadis itu sempat melanjutkan kalimatnya.

Hime kembali mendongak dan menegakkan punggungnya. "Bagaimana anda bisa tahu?"

Sang ratu melangkah semakin dekat, satu tangannya terulur mengusap lembut pipi Hime.

"Sudah kubilang, tak perlu bersikap formal di depanku. Panggil saja aku Azzuri. Rion juga seperti itu." Ucapan itu membuat senyum Hime kembali mengembang.

"Tapi, kenapa anda bisa tahu aku sedang menunggu Rion?"

Sang ratu kembali menurunkan tangannya, raut wajahnya berubah sendu.

"Karena dia tak akan datang."

Azzuri meneruskan langkah, melewati Hime, menuju jendela besar di belakang gadis itu. Jari lentiknya menyentuh kaca yang terasa menghangat karena mentari yang bersinar terang.

"Hime, andai seseorang yang selama ini berada di balik semua yang terjadi padamu, yang membuatmu berada di sini karena hampir terbunuh adalah orang yang kucintai, apa kau akan memaafkannya?" lirih Azzuri seraya menatap keluar jendela.

Hime mendekat, terlihat semakin gelisah.

"Siapa yang anda maksud? Apa selama ini memang ada seseorang yang berencana membunuhku?"

"Azzuri, ada apa sebenarnya?" Manik Hime berkaca-kaca. Entah kenapa ia merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Azzuri berbalik, kedua tangannya menaut tangan Hime erat. Manik birunya menatap gadis itu kian lekat.

"Maafkan aku, Hime. Aku benar-benar minta maaf. Semua yang terjadi padamu, hingga membuatmu terluka. Sejak awal, semua itu adalah rencana Dantalion untuk menyelamatkan Lucifer dari kehancuran."

Hime terdiam dengan bibir sedikit terbuka. Ia masih menelaah kata-kata yang baru saja didengarnya.

Hingga beberapa detik kemudian, maniknya membelalak. Ia menarik tangan dari genggaman Azzuri dan mundur perlahan.

"Apa maksud anda? Kenapa Yang Mulia melakukan semua ini? Beliau sendiri yang menyambut kedatanganku ... bahkan mengajakku berdansa. Ini pasti tidak benar, Azzuri. Kau pasti salah sangka. Raja Dantalion tidak akan melakukannya," ucap Hime berusaha meyakinkan diri bahwa ia hanya salah dengar.

Sejenak, Hime menunduk, mencoba berpikir jernih sebelum mengusap kristal bening yang mengalir tanpa bisa ia tahan. Meski sekuat apa pun ia berusaha mengelak, ucapan Azzuri tidak mungkin mengada-ada.

"Di mana Rion sekarang? Apa dia tahu tentang semua ini?"

Azzuri menganggukan kepala sebagai jawaban. Raut mukanya terlihat begitu menyesal. "Saat ini Rion sedang berada di Helldon untuk membuat perhitungan dengan kakaknya. Jika dia tidak dihentikan, seluruh Helldon akan- "

"Bisakah aku ke sana?"

Hime mengedarkan pandangan. Tatapannya menerawang. "Aku tidak bisa membiarkan Rion menghancurkan Helldon,"

"Terlebih, jika Rion ingin membunuh kakaknya sendiri."

Hime kembali meraih tangan Azzuri dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Jangan cemas, Azzuri. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Raja Dantalion."

Sang ratu terdiam. Ikut mengulas senyum dengan satu tangan mengelus pipi Hime penuh kelembutan.

"Aylmer, aku tahu kau mengawasi kami sejak tadi. Keluarlah."

Sedetik kemudian, Aylmer menampakkan diri di sudut ruangan. Membuat kedua wanita cantik itu serempak menoleh ke arahnya.

"Kau mau mengantarkan Hime, kan?"

Aylmer tersenyum tipis, menekuk satu tangannya ke depan dan menunduk hormat. "Saya siap melaksanakan perintah yang mulia Ratu Azzuri."

"Pergilah, Hime." Azzuri kembali menatap Hime yang kemudian menganggukkan kepala.

Hime beranjak, melangkah ke ambang pintu diikuti Aylmer di belakangnya.

"Hime ...,"

Suara sang ratu membuat Hime kembali berhenti, menoleh pada Azzuri dengan senyumnya yang tak kunjung memudar.

"Terima kasih."

Senyum Hime ikut mengembang, kemudian mengangguk dan menghilang di balik pintu bersamaan dengan Aylmer.

                      *****


"Aylmer juga telah menceritakan mengapa Yang Mulia Dantalion sampai melakukan itu semua."

Damarion masih diam, mendengar cerita dari gadis yang  dicintainya dengan saksama.

"Dia melakukan semuanya untukmu, Rion. Agar Lucifer tak mengalami kehancuran seperti yang diucapkan Putri Gracia. Yang mulia sangat menyayangimu, itu sebabnya beliau ingin melindungimu, meski tanpa disadari itu menyakitimu." Hime diam sejenak, mengamati raut Rion yang masih tak berubah.

"Tak bisakah kau memaafkannya?" ucapnya dengan wajah memelas.

"Aku mohon, Damarion Rensford."

Tatapan Rion berubah lekat beberapa saat, sebelum beralih pada sang kakak yang masih bersender di reruntuhan, berusaha mengatur napas.

Rion mengulurkan tangannya.

"Kemarilah. Mulai sekarang kau akan tinggal di kastilku agar aku bisa melenyapkan siapa pun yang menyakitimu tanpa perlu berpikir ulang."

Senyum Hime merekah. Ia mengangguk cepat dan menerima uluran tangan Rion sebelum pria itu berubah pikiran dan melakukan hal yang lebih mengerikan.

"Tu-tunggu ...,"

Suara serak Danta kembali terdengar setelah membisu beberapa lama. Membuat Hime yang sudah berjalan beberapa langkah berhenti.

Gadis itu berbalik, menatap sang raja yang balik menatapnya nanar.

"Kenapa kau menyelamatkanku?"

Hime mengulas senyum manisnya, "Karena anda adalah kakak dari pria yang saya cintai,"

"Dan saya sudah memaafkan anda, Yang Mulia."

Ucapan Hime membuat manik Danta membulat. Ia tak tahu harus menjawab apa, tak pernah menyangka kalau Hime akan berkata demikian setelah semua yang dilakukannya.

"Ayo pergi."

Rion menarik tangan Hime dan kembali melanjutkan langkah, tapi sejenak kemudian ia kembali berhenti. Melirik sang kakak dari balik bahu kanannya. "Ini adalah kesempatan terakhirmu. Ingatlah kalau aku belum memaafkanmu."

Sedetik kemudian kabut hitam menguar, menyelimuti tubuh Rion dan Hime dan menghilang.

"Ck! Kau hampir mati, Kak." suara Aylmer memecah kesunyian, terdengar layaknya cemoohan dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.

Danta langsung melempar tatapan tajam ke arah adik bungsunya.

"Diam kau, Brengsek! Kemarilah dan bantu aku, daripada kau hanya berdiri di sana seperti orang bodoh." Danta berusaha bangkit dengan bertumpu pada puing di belakangnya.

"Maaf, Kak, tapi ini adalah kesalahanmu. Aku tidak mau ikut campur. Jadi, urus dirimu sendiri."

Aylmer berbalik seraya melangkah pergi dengan melambaikan satu tangannya ke belakang. "Selamat tinggal."

Sedetik kemudian ia ikut menghilang, meninggalkan kabut yang melambung tinggi ke udara.

Danta mencebik kesal, berjalan gontai seraya memegangi luka-lukanya yang masih merembeskan darah. Sejenak, ia berhenti. Menatap Kastil Lucifer yang porak poranda karena amukan Damarion.

"Apa sekarang kau puas?"

Suara seorang wanita membuat tatapannya terpaku. Danta mengenal suara itu dengan baik, tapi enggan untuk berbalik, menatap sang pemilik yang kini berdiri di belakangnya.

Terdengar suara langkah semakin mendekat, tapi Danta tetap bergeming di tempatnya. Hingga jari-jari lentik menyentuh pundak kanannya, mengusapnya pelan.

"Akhiri semua ini, Danta. Kau telah melihat cinta adikmu dengan mata kepalamu sendiri." Azzuri berucap lirih, menatap miris tubuh suaminya yang tampak mengenaskan.

Danta mendongak, menatap langit gelap yang kini tampak kemerahan karena lava yang menyala. Ia kembali teringat dengan ucapan Rion beberapa saat yang lalu. Bahwa cinta adiknya itu sama dengan cintanya pada sang ratu, bahkan mungkin melebihinya.

Beberapa lama, desahan lelah terdengar. Danta menarik napas berat, lalu menggenggam tangan istrinya.

"Maafkan aku."

Kalimat itu membuat Azzuri tersenyum, ia menyejajarkan diri di samping sang raja dan mengaitkan langan kekar itu ke lehernya. Memapah Danta yang tertatih-tatih menahan perihnya luka.

"Mari kita pulang, Yang Mulia."



                       ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top