[19]_Black Mist_

.

.

.

"I-ini tidak mungkin," ucap Azzuri dengan manik membelalak lebar.

Zean memiringkan kepala dan berkedip lucu, menatap sang ratu yang tiba-tiba terlihat gelisah. Perlahan, kedua tangan mungilnya beranjak menggenggam jemari sang ibunda. "Ada apa, Ibu?"

Azzuri melayangkan buku mantra itu di udara. Sedikit menunduk dengan dengan genggaman tangannya pada Zean  yang mengerat.

"Zean, apa benar kau menemukan buku ini di Kerajaan Asmodeus? Apa kau tidak salah mengingat atau melupakan sesuatu?" Suara Azzuri mengalun lembut, tatapannya lekat seolah memastikan sesuatu.

Zean tak langsung menjawab. Kepalanya sedikit menengadah, bola matanya berputar mencoba memastikan jika otaknya dalam keadaan baik-baik saja dan dapat mengingat semuanya dengan benar. Lantas pangeran kecil itu menggeleng penuh keyakinan.

Keheningan kembali tercipta. Azzuri tampak mengedarkan pandangan, menatap kosong dengan beribu pertanyaan. Sementara Zean menatapnya penuh keseriusan. Menunggu bibir ibunya kembali terbuka untuk menjelaskan mengapa ia terlihat begitu cemas.

Tak sabaran, Zean menggoyang-goyangkan tangan Azzuri dengan ekspresi memelas. Hanya itu senjata yang paling ampuh untuk mendapat jawaban.

"Ada apa, Ibu? Jangan diam saja. Kenapa wajah ibu terlihat cemas?"

Sang ratu menegangkan tangannya, membuat ayunan tangan itu kembali terhenti. Ia berjongkok, menangkup pipi cubby putra kecilnya.

"Zean, berjanjilah padaku kalau kau tidak akan pergi ke mana pun lagi tanpa sepengetahuanku. Dan apa pun yang kau ketahui tentang ayahmu, jangan pernah mengungkit hal ini di depan kedua pamanmu. Ini adalah rahasia kita berdua. Kau paham?"

Kening Zean berkerut, bibirnya tampak mengerucut meski tak jelas terlihat. "Aku akan menuruti ibu, jika ibu menjawab pertanyaanku,"

"Kenapa ibu terlihat cemas setelah melihat buku itu? Apa yang sedang ibu pikirkan?" Zean menunjuk buku yang masih melayang di samping Azzuri dengan wajah tak mau dibantah.

Manik Azzuri menajam. "Tak bisakah kau meng-iyakan permintaan ibu tanpa bertanya?"  ucapnya dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.

Bibir Zean semakin mengerucut, tatapannya menurun. Sedang kepalanya menggeleng takut-takut. "Tidak. Ibu harus menjawab pertanyaanku lebih dulu."

Tak mau dibantah dan akan melakukan apa pun sampai ia mendapatkan apa yang  diinginkan. Sekalipun itu hanya berupa jawaban atas pertanyaan. Itulah Zean, sifat egois dan keras kepalanya jelas menurun dari Zavian.

Azzuri kembali menegakkan punggung. Ia berbalik membelakangi Zean dengan tangan yang ia lipat di depan dada. Berpura-pura marah agar pangeran kecil itu mau menuruti perkataannya tanpa banyak bertanya. Karena ia pun tak mungkin menjawab semuanya.

Tidak. Belum waktunya Zean tahu kisahnya.

Tak berapa lama, Zean mendengus kasar. Mengentakkan satu kakinya kesal karena sang ratu tak mau menjawab pertanyaannya.

"Kalau ibu tak mau memberitahuku, Aku akan memberitahu semuanya pada Paman Damarion, kalau ayahlah yang sengaja menyusun rencana untuk melenyapkan nona cantik dengan memanfaatkan Putri Asmodeus itu!"

Kratak ....

kratakk ....

Tiba-tiba terdengar suara retakan dari balik pintu yang membuat Ibu dan anak itu langsung menatap ke asal suara.

BRAAKKK!!!

Azzuri dan Zean terkesiap. Manik keduanya membola saat mendapati pintu itu hancur menjadi serpihan dengan Rion yang berdiri di ambangnya. Tangannya terkepal dengan tatapan tajam, kabut hitamnya semakin pekat menguar hingga memenuhi setengah ruangan.

Rion masuk dengan kilatan merah di kedua matanya.

"Katakan sekali lagi, Zean. Aku ingin mendengarnya lebih jelas," ucapnya penuh penekanan.

Zean melesat, bersembunyi di balik gaun panjang ibunya dengan kedua tangan menggenggam pergelangan Azzuri erat.

Kemarahan ayahnya memang menyeramkan. Tapi jika bisa memilih, Zean lebih memilih dilemparkan ke dinding setiap hari oleh sang ayah ketimbang harus melihat kemarahan pamannya yang seperti malaikat kematian.

Azzuri melirik putranya yang terlihat ketakutan. Tangannya balik menggenggam tangan Zean yang gemetar tak karuan.

"Zean, katakan apa yang kau tau!" Rion semakin menekan kata-katanya.

Rion berhenti di hadapan Azzuri yang berusaha tenang. Sedang Zean semakin menyembunyikan diri di balik pinggang ramping sang ibu, hanya kepalanya yang beberapa kali ia condongkan untuk mengintip sudah sedekat apa langkah pamannya.

Manik Rion memicing tajam, ia berniat melangkah lebih dekat untuk menyeret iblis kecil itu keluar dari persembunyiannya. Tapi belum sempat maju selangkah, sang ratu sudah menghadang dengan satu tangan.

Manik kelabu Rion menatap Azzuri yang menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Rion tak melanjutkan langkahnya.

"Aku hanya ingin bertanya padanya, Azzuri. Biarkan aku-"

"Kabut hitam yang menguar dari tubuhmu tidak mengisyaratkan kalau kau hanya akan sekadar menanyainya," potong Azzuri yang membuat Rion kembali diam.

Damarion menarik napas berat. Meredam emosi yang sudah di puncak ubun, hampir meledak. Membiarkan kabutnya menipis dan perlahan menghilang.

"Keluar ... atau aku akan menyeretmu dengan paksa." Rion bersedekap di depan dada.

Zean kembali mengintip. Menatap Rion yang balas menatapnya datar, sebelum memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.

"Katakan padaku semuanya," ucap Rion yang kini terdengar lebih tenang.

Diam, Zean hanya diam di samping Azzuri dengan satu tangan yang masih menggenggam pergelangan tangan ibunya. Ia menurunkan tatapan, sama sekali tak berani membalas tatapan Damarion yang seakan mengulitinya.

Tiga detik.

Lima detik.

Sepuluh detik. Keheningan itu membuat Rion lelah dan kehilangan kesabarannya.

"Zean! Jawab aku!!" Ia membentak hingga dinding rumah itu sesaat ikut bergetar. "Zean, kau-"

"Semua itu benar, Rion." Azzuri memotong ucapan Rion dengan tenang.


"Apanya yang benar?"

Semua mata tertuju pada suara lain di ambang pintu. Menatap pemuda bersurai kuning terang dengan manik senada yang tengah melompat-lompat kecil menghindari puing pintu yang bersererakan di bawah kakinya.

Aylmer mengedarkan pandangan. Menatap bergantian tiga orang di depannya, kemudian tersenyum lebar.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Ia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi dengan wajah yang sedikit dimiringkan.

Tak ambil pusing dengan tingkah konyol adiknya, Rion kembali menatap wanita cantik di depannya. Matanya menyipit, menunggu penjelasan lengkap dari bibir wanita itu.

"Katakan yang sebenarnya, Azzuri."

Azzuri kembali meluruskan pandangan. Menarik napas dalam sebelum kembali berucap.

Tak lagi bisa disembunyikan, mau tak mau Rion harus mengetahui semuanya. Meski ini bukan waktu yang tepat karena Hime yang belum lama kembali dari kematian, belum lagi buku mantra milik Kerajaan Behemoth yang entah bagaimana bisa Zean temukan di kerajaan Asmodeus.

Kerajaan itu pasti saat ini menjadi salah satu kerajaan yang akan berusaha meruntuhkan Lucifer setelah kejadian yang menimpa Lacreimosa.

Manik Azzuri terpejam sesaat. Ia mulai memilah katademi kata yang akan terucap, meski dampaknya pasti akan tetap sama entah dari sisi mana pun ia memulainya.

"Apa yang Zean katakan ... semuanya benar. Tapi, aku sudah berusaha untuk mengubah pemikirannya sejak awal. Aku sudah mencoba segala cara untuk membuatnya mengerti. Dan awalnya aku pun mengira ia sudah berubah-"

"Apa Zavian yang merencanakan semua ini?" Rion memotong dengan tatapan yang tak terdefinisikan.

"Rion, dengarkan aku dulu. Kakakmu-"

"Aku tak peduli apa pun alasannya! Aku hanya ingin tahu apa dia dalang dari semua yang terjadi pada Hime atau bukan. Jawab aku, Azzuri. Ya atau tidak!"

Sang ratu tak dapat lagi menyusun kata-kata. Apa pun yang ia katakan, Rion tak akan mendengarkannya. Pria itu hanya menginginkan jawaban atas pertanyaannya.

"Ya. Danta yang merencanakan semuanya."

Manik Aylmer ikut membola. Otaknya mulai memproses pembicaraan kedua kakaknya. Hingga ia menarik satu kesimpulan dari pembicaraan singkat yang didengarnya.

'Sang Rajalah yang selama ini berada di belakang seluruh peristiwa yang terjadi, hingga sempat membuat Hime kehilangan nyawanya.'

"Bu- bukankah itu mustahil? Kakak Zavian sudah menerima Hime, bukan? Bahkan ia sendiri yang membuat penyambutan untuk kedatangannya," terang Aylmer dengan manik membelalak tak percaya yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Rion.

"Apa kau masih tak mengenal keparat busuk itu meski sudah hidup ribuan tahun bersamanya?!"

Semua orang terdiam saat Rion memperlihatkan raut wajah penuh amarah. Ia semakin mengeratkan kepalan tangan hingga darah menetes akibat kulit yang tertusuk kukunya sendiri.

Sejenak, Rion menatap kosong sebelum berbalik meninggalkan ketiga orang yang masih membisu menunggu reaksinya.

"Mau ke mana kau?" Azzuri kembali bersuara saat Rion sudah hampir sampai di ambang pintu.

Pria bermanik kelabu itu berhenti. Melirik ke belakang melalui bahu kanannya. Ia tersenyum miring di sudut bibirnya.

"Apa aku punya alasan lain ke mana aku akan pergi?"

"Sebaiknya kau peringatkan Raja Helldon itu sebelum aku sampai di kastilnya dan membuatnya rata dengan tanah."

Rion tersenyum pahit. Ada kesakitan yang ia tahan lebih dari kemarahannya. Kenyataan bahwa kakaknya sendiri telah mengkhianatinya.

Kabut hitam mulai mengelilingi tubuh Rion dan membuatnya menghilang dalam sekejab.

"Ibu ...." Zean menarik tangan Azzuri. Membuat wanita cantik itu sedikit menunduk, membalas tatapan putranya yang kini terlihat cemas.

"Apa semuanya akan baik-baik saja? Apa ini salahku karena Paman Damarion mendengar semuanya?" ucapannya lirih dengan mata berkaca-kaca.

Sang ratu tersenyum lembut, berjongkok dan mengusap pundak putranya lumbut. "Tidak, Putraku. Pamanmu memang harus tau apa yang terjadi sebenarnya. Meski tak seharusnya seperti ini."

Azzuri mengecup kening sang calon pewaris takhta singkat.

"Semuanya akan baik-baik saja."

Sang ratu kembali mengedarkan pandangan. Entah apa yang ia pikirkan sekarang.

Ia menoleh, menatap Aylmer yang masih berdiri di tempatnya karena tak tahu harus berbuat apa.

"Aku punya perintah untukmu, Aylmer."


                        .......



//HELLDON, Kastil Utama Kerajaan Lucifer


BLEDAARRRR!!

BLEDAAMM!!!!

Bugh.... BLEDAARRR!!!!

Drrrttt ... Drrtt ....

"Sial!"

Danta berdiri dari kursi kerjanya dan melempar berkas yang sedang dipegangnya ke sembarang arah.

"Bangsat! Siapa yang sedang bermain lempar bom di depan kastilku?!" umpatnya saat merasakan dinding kastilnya bergetar berkali-kali karena sebuah ledakan.

Raja Lucifer itu berjalan ke arah jendela besar di belakang meja kerjanya. Menatap gerbang utama dan mencari tahu apa yang tengah terjadi di luar sana hingga menimbulkan ledakan yang besar.

Manik Danta kian menyipit tajam. Mencoba memfokuskan pandangan pada kerumunan yang berada di halaman depan kastilnya. Para prajurit berlarian keluar, seperti mengepung satu orang yang berada di tengah-tengah. Tapi dengan sekali ayunan tangan, prajurit itu lenyap begitu saja.

"Damarion?" Danta mengerutkan keningnya.

Seolah tak ingin percaya dengan apa yang dilihatnya. Danta semakin menajamkan matanya, mencoba lebih menelisik pria yang tengah berdiri dengan kabut sehitam jelaga yang berputar bak tornado di depan pintu utama.

"Dasar berengsek! Itu benar-benar dia. Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia sudah tidak waras?!" geramnya dengan tangan mengepal.

"Felix!"

Danta berteriak. Sedetik kemudian, seekor elang tampak menerobos awan gelap dan terbang menghampirinya. Bertengger di lengan kanannya.

"Kau lihat adikku yang berengsek itu?" Danta menunjuk Rion dengan mengendikkan dagunya.

"Pergi ke sana dan tanyakan kenapa dia melepas segel otaknya."

Burung elang itu menundukkan kepala lantas pergi sesuai yang diperintahkan.


Tepat di depan pintu kastil, Damarion mengempaskan ratusan iblis yang menghadang jalannya. Ia masuk dengan menghancurkan benteng utama. Benteng tertinggi Kerajaan Lucifer yang dilapisi oleh barrier milik Zavian Dantalion sendiri.

Rion tak berucap sepatah kata pun. Hanya kedua tangannya yang menggerakkan kabut hitam bagai pedang dan anak panah yang menghunus setiap iblis yang mendekat. Kawan atau lawan, ia tak lagi peduli. Saat ini, yang ada di pikirannya hanya menghancurkan setiap inchi kastil kakaknya hingga tak tersisa.

Tak lama berselang, seekor elang terlihat terbang merendah. Saat cakarnya yang tajam hendak menyentuh tanah, tubuh burung itu bersinar dan berubah wujud menjadi seorang pria dengan pakaian ala panglima, lengkap dengan lencana perak elang bertanduk di dada kirinya. Bersurai coklat dengan manik senada.

Ia mendekati sang Pangeran Lucifer yang masih bermain dengan jiwa para pasukannya.

Di tengah langkah, pria itu mengangkat tangan kanannya ke udara. Membuat para pasukan yang masih bersiaga, mundur teratur. Memberi jalan agar ia dapat lewat.

Menyadari kedatangan seseorang, Damarion ikut terfokuskan. Menatap tajam panglima sekaligus tangan kanan kakaknya yang bersujud dengan menekuk lutut, memberi penghormatan saat berada tepat di hadapannya.

"Salam hormat saya pada Pangeran Damarion Rensford."

"Jika boleh saya tahu, ada apa sampai Pangeran datang dengan cara seperti ini?" Pria itu berucap dengan kepala menunduk.

"Di mana bajingan itu, Felix?" tegas Rion tanpa basa-basi.

Pria yang dipanggil Felix kembali berdiri, menatap Rion lalu tersenyum simpul.

"Maaf, Pangeran, jika yang anda maksud adalah Yang Mulia Dantalion, beliau sedang tidak bisa diganggu. Saya mohon maaf." Felix menundukkan kepala dengan tangan kanan menekuk ke depan.

Manik Rion semakin menajam. "Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Jika kau tak mau mengatakannya, aku akan mencarinya sendiri. Aku hanya perlu menghancurkan kastil ini, 'kan?"

Rion melangkah melewati Felix dengan seringaian menghiasi wajah tampannya. Tapi saat ia masih berjalan beberapa langkah, Felix langsung melesat dan menghadang jalannya.

"Maafkan saya, Pangeran. Tapi Yang Mulia tidak dapat diganggu saat ini. Anda bisa kembali lain waktu." Kembali menundukkan kepala, Felix memberi penghormatan untuk yang kesekian kalinya.

Rion mengepalkan kedua tangannya.

"Persetan dengan waktu. Minggir! Atau kau juga akan menjadi abu seperti pasukanmu!"

"Sekali lagi, saya mohon maaf, Pangeran."

Tetap bersikeras, Felix tak membiarkan Damarion masuk seperti perintah rajanya melalui mind link beberapa detik yang lalu.

"Sepertinya, aku tak punya pilihan lain."

Bugh ....

BlEDAMM!!

Sedetik kemudian, tubuh Felix terlempar dan menghantam patung yang terbuat dari batu di belakangnya. Ia tersungkur dengan mulut memuntahkan darah karena serangan Rion yang tiba-tiba.

Namun, Felix kembali bangkit dan melesat. Menghadang jalan Rion dan mencoba menahan Pangeran Lucifer itu untuk yang kedua kalinya.

Mereka melesat dan bertarung begitu cepat. Felix yang mengeluarkan seluruh kekuatannya, berharap bisa sekadar membuat sang pangeran berubah pikiran. Sementara Rion hanya menangkis serangan Felix bagai bermain perang-perangan.

Blamm ....

BLEDAAMM!!!

Tendangan Damarion membuat Felix kembali terlempar ke udara, kemudian terhempas karena kabut hitam yang seolah mendorongnya dengan kuat sebelum kembali menghantam tanah lebih keras dari sebelumnya.

Masih berlutut di atas tanah, Felix mengeluarkan tombak berbalut api dari tangan kanan dan melesatkannya ke arah sang pangeran. Tombak itu melesat dengan api yang semakin mengobar. Sementara Rion hanya berdiri santai sambil menyilangkan kedua tangannya.

Saat tombak itu semakin dekat, Rion mengulurkan satu tangannya ke depan, menembakkan bola api yang membuat kedua benda itu saling bertubrukan.

BLEDAARRR!!

Ledakan besar kembali tercipta. Tak seperti perkiraan Felix, bola api itu tetap melesat setelah bertumbukkan dengan tombaknya. Menuju ke arahnya dengan kobaran api biru yang semakin membesar.

Blasshh ....

Kraakk

BLEDAMM!!!

Tak dapat menahan dengan kekuatannya, bola itu menghempaskan Felix lebih jauh lagi hingga meretakkan tanah di bawahnya.

Rion menyeringai, mendekati Felix yang masih tersungkur karena kesulitan berdiri.

"Kau jelas tau kalau kau bukanlah lawanku, Felix Lascheriez. Tapi jika kau memang ingin menjadi abu, aku akan senang hati mengabulkanya." Manik Rion berkilat.

Tangan kanan Rion terangkat ke udara dengan telapak tangan menghadap ke atas. Dari telapak tangannya muncul bola dengan api biru yang semakin membesar dan berputar-putar.

"Mati kau!"

BLEDAMMM!!!!

Ledakan kekuatan Rion membuat kabut tebal melayang di udara. Tanah yang sebelumnya hanya retak kini membentuk cekungan, memperlihatkan kawah menganga dasar neraka.

"Di mana otakmu, Damarion?!"

Suara Danta menginterupsi di tengah kabut yang perlahan memudar. Ia membawa Felix menjauh dan melindungi pemuda itu dengan barrier sehingga bola api Rion tak berhasil mengenainya.

Rion kembali menyeringai saat melihat orang yang sejak tadi ditunggu akhirnya datang.

Pria bermanik kelabu itu berjalan angkuh diiringi kabut hitam yang menguar. Mengubah pakaiannya menjadi pakaian biru kehitaman berlapis sutra yang mewah nan elegan bak pangeran iblis yang sesungguhnya. Sementara gumpalan kabut tampak berputar di tangan kanannya dan membentuk sebilah pedang yang bersinar kebiruan.

Sesaat, Rion menutup mata. Dan saat kembali terbuka, manik kelabunya berubah keemasan dengan kilatan merah mengerikan.

"Bagus. Mari kita bermain dengan serius, Kakak."


                       ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top