[16]_Don't LEAVE 'ME'_

.

.

.

BRAKK!!!

Pintu rumah Azzuri terdobrak keras. Seketika terbuka kala kabut hitam mengiringi langkah kaki yang kini melewati ambangnya. Sembari menggendong Hime ala bridal, lengan kekar Rion memeluknya erat, seakan takut tubuh rapuh itu akan hancur jika terlepas dari dekapan.

Damarion melangkah gontai, sepasang kakinya hanya bergerak mengikuti insting. Sedang tatapannya lurus, tampak sayu, seolah cahaya hidupnya telah meredup, perlahan menghilang, tertelan oleh kelam miliknya sendiri.

"Bisakah kau masuk dengan tenang, Ri-" Azzuri yang datang setelah mendengar pintunya didobrak, mematung sesaat. Manik sebiru lautan itu tampak membesar kala melihat siapa yang ada di dekapan Rion saat ini.

Melangkah cepat, sang ratu segera menghampiri dan menarik lengan kekar itu agar sang pemilik menghentikan langkah.

Azzuri semakin kalut, sejenak tatapannya beralih pada Hime yang terlihat damai dalam tidur. Lapisan kaca melapisi manik indah itu dalam sekejab, bibirnya terbuka tanpa mampu mengucap sepatah kata. Sementara jari lentik terulur ingin menggapai wajah Hime yang terlihat pucat. Namun, tatapan Rion membuat lengannya tertahan di udara.

"Apa yang terjadi?" lirih Azzuri seraya menurunkan kembali tangannya.

Masih bergeming, pria tegap bersurai kelam itu kembali melangkah tanpa memedulikan Azzuri yang semakin keras meneriakkan namanya, seakan ia sengaja menulikan telinga.

Rion menaiki satu persatu anak tangga tanpa melihat pijakan. Berjalan mengikuti ke mana kakinya melangkah.

Tepat di depan kamarnya, kabut hitam Rion kembali menguar, membuat pintu kamar itu terbuka dengan sendirinya. Sejenak, kakinya terhenti. Pemilik manik kelabu itu menunduk, menatap gadisnya yang masih terpejam sebelum kembali melangkah.

Dengan penuh kehati-hatian, Rion merebahkan tubuh Hime di atas ranjang. Kembali, sejenak tatapannya terpatri sebelum duduk di sisi ranjang.

Rion merentangkan satu tangannya ke depan, menguarkan kembali kabut hitam dan membuat pakaian Hime yang semula basah oleh salju dan darah kini menjadi gaun tidur lilac yang indah.

Kini, lengan kekar itu beralih mengusap rambut coklat Hime dan merapikannya karena sedikit berantakan, sementara lengan yang lainnya terulur ke arah meja di sisi ranjang. Membuat kabut hitamnya berputar-putar di atas meja dan berubah menjadi sup hangat yang tersaji dengan toping sedemikian rupa.

Manik Rion kembali menatap kelopak mata indah yang masih terpejam. Kedua tangannya beralih menggenggam tangan Hime lembut. Tangan ramping yang begitu dingin hingga terasa beku.

"Apa kau kedinginan?"

Rion menoleh ke arah cerobong asap di sudut ruangan, dan dengan satu kilatan di mata, ia membuat api cerobong asap itu menyala.

Merasa tangan gadisnya tak juga menghangat, Rion mengusap telapak dan punggung tangan Hime dengan kedua tangannya secara bergantian. Pria bersurai legam itu menangkup kedua telapak tangan Hime dan menempelkan di bibirnya, berharap gadis itu bisa merasa lebih hangat dengan embusan napasnya.

Rion terus mengulangnya hingga puluhan kali. Tapi tetap tak membuat gadis itu kembali memamerkan manik hazel yang ia rindukan.

Manik kelabu Rion kian menyendu, perlahan ia mencondongkan tubuhya dan menempelkan telinganya di dada Hime. Mendekap gadisnya begitu erat, dengan harapan tiba-tiba ia akan mendengar jantung Hime kembali berdetak. Entah berapa lama ... hingga akhirnya Rion ikut memejamkan matanya yang mulai memanas.

"Ayo bangun, Lily. Apa tidurmu begitu nyenyak hingga kau tak mau bangun untuk melihat wajah tampanku lagi?" lirihnya sembari mengeratkan pelukan.

"Aku janji, aku akan mengembalikan semua pelayanmu. Bahkan aku akan menambahnya jadi dua kali lipat jika kau ingin." Rion menjeda ucapannya sesaat.

"Aku juga tidak akan mengganggu tidur malammu hingga kau tak perlu melempariku bantal lagi. Aku akan selalu memanggilmu 'Hime' seperti yang kau mau, hingga kau tak perlu menamparku lagi. Jujur ... rasanya agak sakit."

"Tapi, aku tidak akan berjanji untuk tidak menggodamu, karena aku sangat suka melihat rona merah di pipimu. Jadi bangunlah, Aku mohon."

Lirihan parau itu menjadi kalimat terakhir Rion sebelum benar-benar terlelap. Entah kenapa tubuhnya terasa tak bertenaga hingga membuatnya ingin beristirahat sejenak.

.

.

Di ruang tamu, Azzuri berjalan kesana-kemari seperti setrikaan. Beberapa kali berkacak pinggang, menyilangkan tangannya di depan dada, dan kadang menggigit ujung kukunya dengan wajah kusut.

Tak jarang ia menengadahkan kepala, menatap kamar Rion saksama. Mencoba menerka apa yang terjadi sebenarnya. Tapi, otaknya benar-benar tak bisa berpikir, apa lagi mengandai.

Saat ini Azzuri terlalu khawatir.

Ingin rasanya Azzuri berlari dan menyusul Rion ke dalam kamar untuk mencari jawaban atas segala tanya yang memenuhi kepala cantiknya. Namun, raut wajah Rion yang dilihatnya beberapa waktu lalu membuatnya mengurungkan niat.

Wajah itu ... menyiratkan raut sendu seakan tak ada lagi mentari yang akan bersinar untuknya esok hari. Terlebih saat melihat Hime yang tak sadarkan diri dengan noda darah di bajunya. Azzuri semakin merasa was-was, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang terjadi?" Azzuri terus bergumam sembari melangkah.

"Apa Damarion sudah kembali?"

Suara berat yang sangat dikenalnya itu membuat Azzuri menoleh. Ia melesat menghampiri Danta dan Aylmer yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Menghambur dan menggenggam lengan suaminya erat, menatapnya lekat-lekat.

"Apa yang terjadi, Danta? Apa yang terjadi pada Rion? Dan kenapa Hime tak sadarkan diri? Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan?!"

Azzuri terus menyerbu suaminya dengan pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepalanya. Mengguncang lengan sang raja kian kencang dan mengentakkannya di kata terakhir yang ia ucapkan.

Danta balas menatap ratunya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tak tahu harus menjelaskan dari mana. "Kami melihat bekas pertarungan di hutan daerah utara-"

Seketika itu pula Azzuri terbelalak. Genggaman eratnya kian merenggang.

"Pertarungan?" ulangnya seraya berbalik memunggungi Danta.

"Dan aku mencium aroma bangsawan iblis Asmodeus yang masih menguar di sana, tapi aku tak dapat menemukan apa pun. Kemungkinan Rion sudah-"

"Apa kau puas sekarang?" Selaan Azzuri membuat kalimat Danta terputus. Pria bermanik rubi itu menatap punggung istrinya dengan alis bertaut. Hanya sesaat, karena kemudian Danta mengukir seringaian di satu sudut bibirnya.

"Jadi, kau menyadarinya?" ucap Danta dengan santainya.

"Hahh ... Aku lelah dengan permainan ini. Akhirnya semuanya selesai. Yah, meski hasilnya tak sesuai perkiraanku." Danta menghela napas dalam, seakan terlepas dari beban yang berat.

"Jadi benar, kau tak membatalkan perjodohan itu?" balas Azzuri yang masih enggan berbalik menatap suaminya.

Sementara itu, Aylmer hanya bisa membisu mendengarkan pembicaraan suami-istri di depannya. 'Aku tak mau ikut campur rumah tangga orang.' gumamnya dalam hati seraya melangkah mundur, agak menjauh.

Sang Raja Lucifer tersenyum miring.

"Tentu saja aku ke sana untuk membatalkan perjodohan itu. Hanya saja aku tidak sengaja membuat Lacreimosa mendengar pembicaraanku dan Raja Asmodeus. Lalu dengan sedikit sulutan api, ah ... Dia sangat mudah dipengaruhi." Danta berucap dengan wajah menyesal yang dibuat-buat.

"Aku yakin gadis manusia itu sekarang sudah-"

Plakk!!

Manik Aylmer membelalak sempurna kala Azzuri tiba-tiba berbalik dan mendaratkan tamparan keras di pipi kiri kakak pertamanya.

Perlahan, aura kegelapan mulai menguar dari tubuh Danta, maniknya menajam dengan gigi gemertak hingga membuat Aylmer melesat mundur, menjaga jarak lebih jauh.

"Beraninya kau mengangkat tanganmu pada seorang raja!!"

Tak sedikit pun gentar, Azzuri balas menatap tajam Danta yang melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Entah kenapa kemarahan begitu membuncah di dadanya hingga mampu menyingkirkan rasa takut yang sempat berkelebat.

Bukan karena pertarungan, bukan juga karena aroma bangsawan iblis yang menguar di sana. Tapi alasan mengapa pertempuran itu terjadi hingga membuat Rion sebegitu terpuruknya. Semua itu sejak awal adalah rencana Danta.

"Aku bukan menampar sang Raja Agung Lucifer. Tapi aku menampar suamiku yang sudah melewati batasannya-"

Napas Azzuri menggebu, saat ini pun manik sang ratu berkilat tajam dengan aura mencekam yang menguar dari tubuhnya.

"Aku menampar seorang kakak yang merasa puas setelah mempermainkan hidup adiknya hanya karena ketakutan yang tak tentu ada. Bahkan ia mengabaikan seseorang yang yang memberikan hidup manusianya hanya untuk mendampingi iblis sepertinya."

Manik Azzuri menatap Danta kian tajam. Bibirnya bergetar dengan kristal bening yang mulai merembes dari sudut mata indahnya. Sementara Danta hanya diam tak mampu berkata-kata.

Sang Ratu tersenyum miris, maniknya memandang rendah sang penguasa kegelapan yang masih membisu di hadapannya. "Kau benar. Berkatmu gadis itu sudah kehilangan hidupnya, begitu pun hidup adikmu."

"Selamat, Your Highness. Kau telah berhasil menghalau kutukan semu itu dengan mengorbankan seseorang yang menyayangimu dengan tulus. Seseorang yang akan selalu berdiri di barisan terdepan untuk melindungimu dengan segenap jiwanya. Dan sekarang-" Azzuri menjeda sejenak. Ia menghapus sisa lelehan air yang mengaliri pipi halusnya.

"Kau telah menghancurkannya. Begitu juga kepercayaanku terhadapmu, Yang mulia."

Kalimat itu menjadi penutup pembicaraan sang raja dan ratunya sebelum Azzuri beranjak meninggalkan keduanya dengan langkah mantap.

Dantalion masih terdiam, entah ke mana perginya amarah yang tadi sempat membeludak. Kata-kata Azzuri terasa begitu menyayat hingga ke relung hatinya yang terdalam, membuatnya entah bagaimana merasakan sakit dan perih di dalam sana.

Rasa sakit yang menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Membuatnya tak bisa memikirkan hal lain, hanya kata-kata Azzuri yang terus berputar memenuhi kepalanya.

Danta berbalik, menatap Aylmer yang seketika balas menatapnya dengan takut-takut. "Aylmer, aku ingin kau kembali ke Helldon. Tangani semuanya, dan pastikan kau mengamati setiap langkah Kerajaan Asmodeus mulai saat ini. Jika berita lenyapnya Lacreimosa tersebar, aku yakin mereka tidak akan melepaskan Damarion begitu saja ... satu lagi-" Danta menjeda kalimatnya. Menatap manik Aylmer kian lekat.

"Ini adalah masalah pribadi antara Lucifer dan Asmodeus. Jadi pastikan kalau Kerajaan Leviathan, Bhelpegor, dan yang lainnya tidak akan ikut campur."

Aylmer mengangguk cepat. Membungkuk hormat kemudian menghilang, melaksanakan titah sang raja.

Sementara Danta masih berdiri di tempatnya. Azzuri benar-benar membuatnya terpaku hingga linglung sesaat.

"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ratu," ucap Danta seraya memegangi dadanya yang  kian berdenyut ngilu.

                          .......



"Kau terlalu tampan untuk menjadi butlerku."

"Dasar iblis mesum!"

"Aku sangat takut saat kau tak ada di sampingku. Jangan tinggalkan aku, Rion."

"Rion, apa kau mencintaiku?"

"Terima kasih telah datang dalam hidupku."

"Rion ...,"

"Rion ...."

"Rion!"

Damarion terkesiap saat merasakan guncangan keras di bahunya. Memfokuskan pandangan yang sejenak meremang, Rion beralih menatap wanita cantik dengan surai perak yang tengah berdiri di depannya. Mengulum senyum simpul dengan manik sebiru samudra yang menenangkan.

Detik berikutnya, Rion menengadahkan kepala. Menatap lekat gadisnya yang masih terpejam. Ia tersadar, suara Hime yang ia dengar hanyalah imajinasinya. Akhirnya, Rion pun bangkit dan kembali duduk di samping Hime dengan kepala tertunduk, menarik napas kasar saat sejenak merasakan kepalanya seberat lima kilo batu.

"Kau tak ingin kembali ke kastilmu? Semalaman kau tertidur di atas tubuh Hime. Jika bangun nanti, pasti dia akan mengeluhkan dadanya yang terasa sesak karena menjadi bantal empuk untuk kepalamu," hibur Azzuri dengan suara lembutnya. Tapi, itu pun tak memberikan pengaruh pada Rion, pria itu tetap menunduk dengan raut sendu.

"Apa kau ingin Kerajaan Asmodeus memenggal kepalaku karena aku telah melenyapkan putri satu-satunya kerajaan mereka? Kakak keparatku itu pasti sudah menceritakannya padamu 'kan?" Rion berdecih pelan.

"Jangan khawatir, Calvert akan mengurus Kastil Timur dengan baik. Asal raja sialan itu tidak datang dan memonopoli dirinya," lanjut Rion sembari memegangi kepala dengan satu tangan.

Sejujurnya, saat ini Azzuri tengah di landa kebimbangan. Apa ia harus menceritakan yang sebenarnya? Haruskah Damarion tahu jika Danta-lah yang sejak awal mengatur siasat untuk melenyapkan gadis yang ia cintai? Apa yang akan terjadi jika Damarion mengetahuinya?

Akankah ia akan kehilangan kendali dan membalas dendam? Tidak. Jika itu terjadi, maka Lucifer akan benar-benar hancur. Bagaimana dengan rakyat? Bagaimana dengan masa depan Helldon? Azzuri tak bisa membiarkan seluruh dunia bawah hancur hanya karena kebodohan suaminya.

Lagipula, saat ini ada hal penting yang harus ia pikirkan. Sebelum mengungkapkan semua itu, bagaimana caranya memberitahu Rion tentang kondisi Hime saat ini?

Melihat Damarion yang berusaha melawan kenyatan, ia pasti tak akan mendengarkannya. Alih-alih tenang, perkataannya malah akan membuat Rion semakin marah dan melakukan hal di luar dugaan. Tapi, bagaimanapun juga, takdir telah berkata. Kenyataan bahwa gadis itu kini telah tiada.

Bukan tanpa alasan atau hanya sekadar menerka, Azzuri yakin Damarion juga telah menyadarinya. Pangeran Lucifer itu hanya tak mau menerima takdir yang terlalu menyakitkan untuknya.

Sejak Rion membawa Hime pulang semalam, wajah gadis itu sudah memucat. Napasnya tak terasa, detak jantungnya pun tak lagi terdengar. Iblis memiliki indra yang lebih tajam dari manusia, karena itu Azzuri yakin Rion hanya menolak kenyataan bahwa Hime telah tiada.

Memilih tersenyum, Azzuri tak ingin gegabah. Mungkin akan lebih baik jika ia lebih dulu mencairkan suasana.

"Apa aku tak salah dengar? Sebelum kepalamu terpenggal, pasti Kerajaan Asmodeus sudah dijadikan abu oleh keponakan tersayangmu itu." ucapan Azzuri berhasil membuat Rion mendongak, menatapnya.

"Zean pasti akan sangat kesal jika ada orang lain yang menyentuh, apa lagi menyakiti paman kesayangannya."

Rion tersenyum samar. "Ya. Dia pasti akan lebih dulu memenggal kepalaku dengan tangannya sendiri karena tidak bisa membawa pulang nona cantiknya dengan selamat."

Keduanya sama-sama tersenyum dalam keheningan. Senyuman palsu hanya untuk menutup pahitnya luka.

"Azzuri ...." Ucapan Rion membuat Azzuri menaikkan kedua alisnya.

"Aku tahu kau hanya berusaha menghiburku ... terima kasih." Rion tersenyum pahit, menatap manik Azzuri yang mulai menyendu.

"Rion, Hime."

"Dia telah meninggalkanku."

Rion menoleh, menatap sepasang kelopak mata yang tak akan pernah kembali terbuka. Ia tersenyum penuh kepiluan.

"Lily meninggalkanku bahkan sebelum aku sempat mengatakan kalau aku sangat mencintainya."

"Ini salahku. Mungkin sejak awal seharusnya aku tak datang dan mengikat kontrak dengannya. Seharusnya aku tak menuruti keinginanku untuk memilikinya, seharusnya aku hanya menatapnya dari kejauhan ... hingga semua ini tak akan pernah terjadi."

Azzuri yang mendengar penuturan Rion hanya bisa mengulas senyum. Ia mengulurkan satu lengannya, menangkup pundak Rion dengan lembut. "Aku yakin, dia tahu kalau selama ini kau sangat mencintainya. Hime pasti dapat merasakannya."

"Drama macam apa ini?"

Tiba-tiba suara cempreng khas seorang Zean menginterupsi. Bocah itu ternyata mendengar percakapan ibu dan pamannya sambil berpangku tangan, bersender di kosen pintu kamar.

"Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" ucap Rion yang langsung menoleh ke asal suara bersamaan dengan Azzuri.

Zean menaikkan satu alisnya. "Cih! Apa kau bercanda, Paman?"

"Bagaimana kau bisa menanyakan keadaanku saat kau sendiri terlihat menyedihkan seperti itu? Apa kau benar-benar ingin aku memenggal kepalamu?" Zean berucap dengan seringaian menghiasi bibir mungilnya.

"Zean, sejak kapan kau berdiri di sana? Kenapa ibu tidak bisa merasakan auramu?" telisik Azzuri saat mendengar jawaban yang baru saja dilontarkan putranya itu.

Tidak menjawab, Zean hanya tersenyum lebar, memperlihatkan sederetan gigi mungil yang membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

"Apa Paman sudah memastikan kalau nona cantik benar-benar sudah mati?" tatapan Zean kembali pada Rion.

Pertanyaan sang putra mahkota membuat Damarion dan Azzuri tercengang. Mereka menatap pangeran kecil yang masih menyender di sisi kiri pintu itu dengan kedua alis menaut.

"Apa maksudmu?" Kini Rion menatap penuh keseriusan.

Zean kembali menyeringai.

"Haruskah aku menjelaskannya?"

                       

                           
                         ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top