[09]_the Same Pain_
.
.
.
"Sepertinya, sudah cukup untukku bermain-main." Rion menyeringai samar. Seketika, maniknya berkilat merah.
BLEDAARRR!!!
Meledak!
Kilatan merah di mata Rion membuat tanah di depan ketiga pria berjubah hitam itu meledak hingga membentuk lubang yang cukup dalam. Ketiga pria itu menghindar, melompat naik ke atas pohon besar di belakang mereka.
Rion mengangkat tangan kanan sejajar dengan pundaknya. Dengan telapak tangan menghadap ke atas, perlahan jari-jarinya mulai mengatup.
Bersamaan dengan itu, terdengar pula retakan dari dalam batang pohon di sekitarnya. Dan begitu tangannya mengepal, pepohonan itu hancur menjadi serpihan. Dedaunan berguguran, terbang tanpa arah oleh sapuan angin yang masih bergemuruh karena amarah sang pangeran.
Daun-daun yang berterbangan memberikan kesempatan bagi ketiga pria itu untuk mendekat. Kini mereka mengepung Rion dari ketiga sisi berlawanan.
Manik keemasan itu melirik satu-persatu musuhnya. Ia menyeringai menyeramkan. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main lagi."
"Jadi, enyahlah kalian, keparat busuk!" Rion berteriak lantang.
Satu kakinya menghentak tanah, menciptakan angin yang menghempaskan ketiga pria itu hingga terseret beberapa ratus meter menjauh darinya, menabrak pohon-pohon di belakang mereka sebelum jatuh tersungkur di atas tanah.
Tidak menyerah, mereka kembali bangkit. Dua di antaranya kembali melesat ke arah Rion, membom bardir dengan anak panah api seperti sebelumnya.
Kali ini, Rion sudah tidak berniat main kucing-kucingan. Ia mengeluarkan bola api dengan bara biru dari telapak tangannya, menghempaskannya ke arah kedua pria yang menyerangnya membabi buta.
Bola-bola itu terus membelah hingga membuat keduanya terlihat kewalahan menangkisnya. Mereka sibuk menghindar, hingga tak sadar Rion sudah berada di belakang salah satu di antara mereka dengan seringaian sinisnya.
Sratt!!
Kuku-kuku panjang Rion membelah tubuh pria itu menjadi dua tepat di perutnya. Dalam hitungan detik, tubuh itu terangkat ke udara dan meledak begitu saja.
Hujan darah dimana-mana. Kini wajah tampan Rion penuh dengan cipratan darah dari tubuh yang baru saja ia hancurkan.
"Astaga, tanganku kotor sekali." ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kuku hitam yang memerah karena darah musuhnya.
Sesaat kemudian, manik Rion kembali menajam. Menatap pria yang kini melesat ke arahnya dengan kobaran api di tangan kanan. Rion hanya tersenyum di sudut bibir. Manik emasnya kembali berkilat merah.
Blarr!!
Hancur. Tubuh itu meledak tepat setelah kilatan merah di manik Rion tercipta. Kini ganti potongan-potongan tubuh yang menghujani medan permainan sang pangeran.
Rion menoleh, melotot dengan tatapan membunuh saat melihat pria yang terakhir mencoba menghancurkan barrier yang melindungi Hime dengan segala cara.
Kakinya melangkah santai diiringi kabut hitam yang masih menguar kian pekat. Semakin Rion mendekat, entah kenapa pria itu tiba-tiba mengerang kesakitan. Ia memegangi lehernya sendiri seakan ada yang mencekiknya, menggeliat kesana-kemari seperti tengah terbakar sebelum akhirnya tersungkur tak berdaya di depan kaki Damarion.
Rion menunduk, menatap murka pria yang kini berada di bawahnya kakinya.
"Siapa tuanmu?!" tanyanya datar dengan penuh penekanan. Tapi pria itu tak menjawab. Ia masih menjerit kesakitan.
"Am- Ampun, Pangeran. Ampun!" Suara seraknya menggambarkan rasa sakit yang menggerogoti dadanya hingga napasnya seakan tertahan.
Pria itu terus menundukkan kepala, menyembah Rion sembari memohon pengampunan.
"Katakan siapa yang memerintahkanmu, dan aku akan melepaskanmu."
"Pu- Putri Lacreimosa. Hah.. Hah.. Hah.." Ia berusaha mengatur napas yang semakin terasa sesak.
Manik Rion membola, ia begitu terkejut saat mendengar pengakuan pria iblis itu. 'Bagaimana Lacreimosa bisa tahu aku bersama dengan manusia? Dan untuk apa dia mengirim iblis-iblis ini?' Kepalanya berpikir keras.
Rion kembali menatap gadis yang masih terduduk lemas bersender di bawah pohon dengan kesadarannya yang sudah hampir menghilang. Tiba-tiba sesuatu melintas begitu saja di pikirannya, hingga membuat maniknya kembali membola.
"Mungkinkah-" gumamnya pelan.
"Ampuni hamba, Pangeran."
Suara serak itu kembali mengalihkan perhatian Rion. Seringaian kembali tercipta di sudut bibirnya. "Ternyata semua iblis sama saja. Tidak ada yang benar-benar setia pada tuannya. Pada akhirnya, mereka akan mengkhianati hanya untuk menyelamatkan hidupnya."
Krakk!!
"Akkh!!"
Teriakan iblis itu begitu memilukan saat Rion menginjak kepalanya dan menekannya keras hingga membuat tanah di bawahnya retak.
Darah yang mengucur dari retakan tanah, membuat sang pangeran melebarkan seringaian. Satu tangannya terangkat. Api keluar dari telapak tangan Rion dan membakar tubuh iblis itu hingga tak tersisa.
Manik Damarion perlahan kembali kelabu. Ia melangkah ke arah Hime yang masih berusaha bertahan dengan sisa-sisa kesadarannya.
Dihancurkannya Barrier itu dengan mudah. Kening Rion mengerut, menatap lekat wajah cantik yang sudah basah oleh peluh dengan tatapan sendu.
'Maafkan aku, kelalaianku membuatmu terluka. Tapi apa kau tahu? Aku merasakan rasa sakit yang sama setiap melihatmu menderita.'
Tangan Rion terulur, mengusap lengan Hime yang masih menampakkan luka menganga. Gadis itu mengernyitkan alisnya, memejamkan mata erat menahan sakit yang teramat sangat.
Panah yang ternyata beracun itu membuat Hime tak berdaya. Bahkan ia sudah tak sanggup membuka mulut untuk mengatakan sepatah kata.
Manik Hime kembali terbuka saat rasa sakit itu sedikit mereda. Ditatapnya pria yang tengah mengulum senyum manis di depannya.
"Ri ... on," ucap Hime sedikit terbata. Membuat pria yang dipanggilnya semakin memperlebar senyuman.
Ingin rasanya Hime mengulurkan tangan hanya untuk mengusap darah di wajah Rion, tapi tubuhnya begitu lemah hingga tak mampu menggerakkan satu jari saja.
Meski wajah tampan itu terhalang oleh tetesan darah, tapi tetap tak mampu menyembunyikan aura memikat pemiliknya.
Rion berdiri, merengkuh tubuh mungil Hime dan menggendong di depan tubuhnya ala bridal.
"Semuanya sudah selesai. Kau bisa tidur sekarang."
Rion mengecup kening Hime sekilas sebelum gadis itu benar-benar kehilangan kesadaran. Kakinya sedikit menghentak, membuatnya melesat ke udara. Membawa pergi Hime yang terlelap nyaman di dalam dekapan.
.
.
.
Di sisi lain, Lacreimosa berteriak histeris di dalam kamar. Ia menghancurkan apa pun yang ada di depannya. Manik legamnya berkilat marah penuh kebencian.
"Brengsek! Keparat!! Apa yang kau lihat dari gadis manusia itu, Rion?! Dia hanya gadis lemah yang bisa mati kapan saja. Tapi kenapa kau malah membuat kontrak mati dengannya? Dasar Brengsek!!" Lacreimosa mengamuk. Tubuh dan bibirnya bergetar hebat dengan mata melotot tajam.
"Kali ini, kau akan benar-benar lenyap gadis brengsek!!"
.......
Kelopak mata Hime mengerjap. Kedua lengannya terangkat memegang kepala yang entah kenapa terasa sangat berat meski lengan yang sebelumnya terluka, kini sudah kembali mulus seperti sedia kala.
Hime membuka kelopak mata cantiknya perlahan. Mencoba memfokuskan pandangan yang masih terlihat samar.
Manik hazelnya berputar, menatap sekeliling ruangan yang tampak sangat asing baginya. Hingga manik indah itu terhenti pada sesosok anak kecil yang tengah duduk bersila di atas ranjang. Tepat di sampingnya, dengan kedua tangan mungil yang memegang sebuah buku tebal.
Pemilik pipi chubby dengan surai perak dan manik rubi itu mengedip lucu menatapnya. Bibir mungil yang semula datar, kini tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya.
"Paman! Nona cantik sudah bangun!!"
Suara cempreng Zean yang kini sudah sembuh dari lukanya membuat Aylmer yang sedari tadi duduk di sofa terperanjat, dengan sedikit tergesa berjalan mendekati Hime yang masih berusaha duduk di atas ranjang.
"Halo, Manis." Sapaan itu membuat Hime menoleh. Aylmer datang dengan senyum tak kalah lebar, memperlihatkan taring tajam yang mencuat di sudut bibirnya.
"Aaaaaaaaahhh!"
Teriakan Hime seketika memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. Maniknya membelalak lebar menatap dua makhluk yang tak pernah ia temui dan tiba-tiba kini berada di hadapannya. Gadis itu tak pernah bertemu dengan iblis lain selain Damarion.
Zean dan Aylmer saling melirik, sebelum kemudian- "
"Aaaaaaaaaahhh!"
Mereka berteriak bersamaan, meniru apa yang Hime lakukan.
Entah apa yang ada di pikiran kedua iblis itu. Zean memang belum pernah bertemu manusia sebelumnya, pantas jika dia bersikap begitu excited saat bertemu Hime.
Namun, Aylmer? Pangeran bungsu itu sudah menyelesaikan ratusan kontrak dengan manusia selama ribuan tahun lamanya. Tapi kepolosannya, benar-benar kebablasan.
Seorang wanita bersurai perak tiba-tiba membuka pintu dan menghambur ke dalam dengan menutup telinga. Manik biru lautnya memicing tajam ke asal suara.
"Ada apa ini?"
"Si- siapa kau? Di mana aku?" Hime balik bertanya dengan raut wajah begitu panik.
Wanita cantik bersurai perak itu langsung terfokus pada gadis yang tengah meringkuk di atas ranjang dengan tangan meremas selimut erat-erat.
Senyum penuh kehangatan terulas lembut di bibirnya. Ia melangkah, mendekat dan duduk di samping Hime yang masih terlihat takut dan kebingungan. "Tenanglah. Tidak apa-apa. Damarion yang membawamu kemari."
Manik Hime membelalak, ia baru teringat pada pria yang seharusnya bersamanya sejak tadi. Ia kembali menelisik, menatap sekeliling ruangan itu lebih cermat lagi, tapi tetap tak menemukan sosok yang ia cari.
Hime memutuskan untuk kembali fokus pada wanita berparas bak seorang dewi di depannya. "Kau mengenal Damarion?"
Pertanyaan Hime membuat wanita itu tersenyum sembari menganggukkan kepala.
"Dia adalah adik suamiku. Namaku, Azzuri. Dan dia adalah Aylmer, adik Damarion." Azzuri menoleh ke arah Aylmer yang melambaikan tangan, memberikan senyum termanis yang lebih terlihat menyeramkan.
"Dan anak nakal ini adalah putraku." Azzuri mengacak rambut Zean gemas hingga membuat bibir mungil itu mengerucut lucu. "Namanya, Zean."
Dengan sigap Zean meletakkan buku yang dibacanya dan berdiri di atas ranjang, meletakkan telapak tangan kanan di dada kirinya. Ia membungkuk layaknya seorang bangsawan.
"Namaku, Zean Bethalion Lucifer. Aku adalah Putra Mahkota kerajaan iblis, Helldon," ucapnya penuh penghormatan sebelum menoleh menatap tajam Aylmer yang terkekeh menertawakan.
Azzuri yang sempat tertawa kecil melihat tingkah putranya kini kembali menatap gadis di depannya.
"Jadi, siapa namamu gadis manis?"
Hime masih mengatupkan bibir. Otaknya bekerja keras menelaah setiap baris kata yang diucapkan wanita yang kini menatap teduh ke arahnya.
Hanya satu kesimpulan yang dapat ia tangkap di kepala cantiknya. 'Jika kakak Damarion adalah raja iblis, dan anak kecil ini memperkenalkan dirinya sebagai putra mahkota, berarti wanita di depanku ini adalah-'
Seketika, Hime berusaha bangkit dan menunduk. "Namaku, Hime. Yang Mulia Ratu. Maaf aku sudah membuat keributan di kediamanmu," ucapnya menundukkan kepala dengan hormat.
Azzuri mengulurkan kedua tangan, menangkup pundak Hime dan menyuruhnya kembali duduk atas ranjang.
Ia menggelengkan kepala pelan. "Kau tak perlu menunduk, Hime. Kau tak bercita-cita menjadi iblis, 'kan?" Satu tangan sang Ratu mengusap lembut pipi Hime.
Gadis itu memiringkan kepala, menatap sang ratu dengan wajah polosnya. "Apa sekarang aku ada di neraka?"
Pertanyaan itu sontak membuat Aylmer tertawa keras hingga menggema di seluruh ruangan.
"Aylmer, bisa kau diam? Tawamu bisa meruntuhkan dinding rumah ini." ucapan Azzuri membuat Aylmer menutup mulut dengan wajah ditekuk, sedang Zean menjulurkan lidah seolah membalas sang paman yang tadi sempat menertawakannya.
"Tidak, Hime. Kau berada di rumahku, di dunia manusia. Sedangkan Helldon, dunia para iblis terletak di dunia bawah. Begitu orang menyebutnya." Sang ratu menjeda sejenak.
"Hanya saja, rumah ini telah terlindungi oleh barrier yang sangat kuat sehingga hanya para iblis tingkat atas yang dapat melihatnya. Bagi manusia yang datang kemari, mereka hanya akan melihat hutan belantara yang gelap dan menyeramkan." Azzuri menjelaskan.
Hime hanya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti dengan apa yang sang ratu ucapkan. "Lalu, di mana Damarion?"
"Ehem ... Ehem ...." Aylmer berdeham keras hingga membuat semua pasang mata beralih menatapnya.
"Kalau soal itu, biar aku yang jelaskan. Jadi-"
.
.
#Beberapa saat yang lalu ....
Pintu rumah Azzuri tiba-tiba terdobrak keras. Membuat pemilik rumah dan Aylmer yang tengah berkunjung seketika menoleh ke asal suara.
Di ambang pintu, Damarion berdiri dengan seorang gadis yang tengah pingsan di dalam dekapannya. Setelah menatap sesaat, ia melesat menaiki tangga. Masuk ke dalam kamar pribadi miliknya.
Rion membaringkan Hime yang masih tak sadarkan diri di atas ranjang, satu tangannya membelai puncak kepala gadis itu penuh sayang . Sementara lengan Hime yang terkena panah beracun telah berhasil Rion sembuhkan. Hanya saja, mungkin gadis itu kelelahan hingga belum juga membuka mata.
"Paman, siapa dia?" Suara Zean membuat tatapan Rion beralih pada sang ratu dan juga Aylmer yang kini juga sudah berada di belakangnya.
"Dia manusia?" Azzuri kembali melayangkan pertanyaan yang dijawab dengan anggukan oleh Rion.
Manik Rion kembali menatap gadis yang saat ini masih terpejam. "Dia adalah manusia yang mengikat kontrak mati denganku."
"Apa?!"
Mulut Aylmer terbuka lebar dengan mata membulat sempurna begitu mendengar kata 'kontrak mati' dari mulut sang kakak.
Pikirannya kembali terbayang di mana sang raja bersikap sangat dingin dan murka sampai melukai putra mahkota.
Sekarang ia mengerti, inilah sebabnya. Para iblis dilarang membuat kontrak mati dengan manusia mana pun. Dan kakaknya yang satu ini sudah berhasil melakukan hal yang sama sekali tak pernah ia duga.
'Kakakku yang brengsek ini memang selalu penuh kejutan,' batinnya mendesah frustasi.
Azzuri yang mendengar itu tak tampak terkejut. Karena ia pun sudah mengetahui semuanya sejak lama.
Mungkin mereka memang tak terlalu dekat, tapi sosok Azzuri yang begitu mirip dengan Ratu Lucifer yang telah lama meninggal, membuat Rion cukup terbuka padanya. Sebelumnya, Riin pun sudah menceritakan segalanya. Termasuk alasan mengapa ia mengikat kontrak mati dengan gadis manusia yang saat ini masih terlelap di atas ranjang.
Senyum manis terlukis di bibir tipis Azzuri. "Aku mengerti. Tapi kenapa kau membawanya kemari? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Rion menatap penuh keseriusan. "Ada tiga iblis menyerang kami. Sepertinya mereka berniat melenyapkannya. Kota tempat tinggalnya hangus terbakar, begitu juga dengan rumahnya."
"Akan butuh sedikit waktu untuk membuat semuanya bisa kembali seperti semula. Jadi kupikir, jika kau tak keberatan," Manik Rion sedikit memperlihatkan kekhawatiran.
Tangan Azzuri menepuk pundak Rion masih dengan senyum manisnya.
"Tentu saja, Rion. Dia akan aman di sini." Azzuri menoleh, menatap Hime penuh kelembutan. "Aku yang akan menjaganya, jadi kau tak perlu khawatir. Sekali pun itu Dantalion. Aku yang akan mengurusnya."
Mendengar perkataan Azzuri, senyum di bibir Rion kembali mengembang. Ada perasaan lega di hatinya.
"Zean, jangan mengganggunya," ucap Rion tanpa menoleh ke arah Zean yang entah sejak kapan sudah naik ke atas ranjang dan mengusap pipi Hime.
"Nona ini cantik sekali, Paman. Apa aku boleh berteman dengannya?" ucapan polos itu meluncur begitu saja.
Rion mengangguk sebagai tanda persetujuan. "Tapi tunggu sampai nona cantik itu terbangun."
Zean mengangguk dengan semangat.
"Kalau begitu, aku akan menunggu sampai dia bangun." Manik Zean berbinar.
Azzuri menatap putranya yang terlihat begitu antusias. "Ini pertama kalinya Zean bertemu langsung dengan manusia. Sebelumnya, ia hanya menatap mereka dari kejauhan dan menjahili mereka untuk mengusir rasa bosan."
"Kalau begitu, aku akan pergi sebentar." ucapan Rion kembali menarik perhatian wanita itu. "Tolong jaga dia, Azzuri."
"Zean, jaga dia. Terutama dari iblis menyebalkan di sampingku ini-" Rion melirik Aylmer yang langsung membuang muka ke arah lainnya.
"Penggal kepalanya atas perintahku jika dia berani macam-macam."
"Kakak!" Manik Aylmer melotot mendengar ucapan Rion yang mendapat acungan jempol dari Zean.
Sementara Azzuri hanya menggelengkan kepala dengan punggung tangan yang menutupi bibir saat melihat kekompakan putra dan adik iparnya.
"Mau ke mana lagi kau keparat licik?!"
Teriakan Aylmer menghentikan langkah Rion yang sudah di ambang pintu. Ia menatap lurus dengan raut wajah tanpa ekspresi.
"Membuat perhitungan."
Seketika, kabut hitam menguar dan kembali lenyap bersamaan dengan hilangnya Rion.
Setelah menatap kepergian Rion dengan wajah kusut, Aylmer kembali menatap Azzuri yang tengah menyelimuti tubuh Hime. "Bagaimana kita akan menyembunyikan ini dari kakak Dantalion?"
Gerakan tangan Azzuri terhenti, ia kembali menegakkan tubuh, menatap Aylmer yang juga tengah menatapnya menunggu persetujuan. Untuk sesaat pandangannya kembali teralih pada Hime.
"Aku sendiri yang akan mengurusnya."
'Bagaimanapun juga, Danta harus menyadari kesalahannya.' lanjut Azzuri dalam hati.
~°^°~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top