[07]_Crazy of Love_

.

.

.


Lacreimosa, putri tunggal Kerajaan Asmodeus kini tengah menatap ke luar jendela. Meremas kelambu sutra yang berkibar lembut tertiup angin. Manik legamnya menatap lekat penuh amarah. Pikirannya penuh dengan kata-kata sang raja kegelapan dari sebuah surat yang baru saja ia terima.

' Jika kau ingin memiliki Damarion seutuhnya, lenyapkan gadis manusia itu segera. Atau dia akan menjadi penghalang terbesarmu untuk bersanding dengan adikku. Karena Rion telah mengikat kontrak mati dengannya.

Dan pastikan tak ada yang tau soal ini, termasuk Damarion dan kedua kakakmu, para Pangeran Asmodeus.'

Kepalan tangannya semakin mengerat kala barisan kalimat itu kembali terbayang, tercetak jelas di kepala.

Rahangnya mengeras, bibirnya bergetar penuh amarah. "Kontrak mati? Apa-apaan dia? Bagaimana Damarion bisa mengikat kontrak mati dengan manusia?"

"Dasar keparat! Awas kau gadis brengsek!!" Gadis itu murka.

Dari genggamannya muncul kobaran api yang dengan sekejap melahap habis kelambu sutra di depannya. Maniknya berkilat tajam, ingin rasanya ia menghancurkan semua yang dilihatnya saat ini.

Tapi jika ada kebisingan, maka para pengawal di depan kamar pasti akan langsung melapor pada sang kakak dan semuanya akan terbongkar.

Seperti kata Yang Mulia Raja, tak ada yang boleh tahu tentang hal ini.

"Aku akan membuatmu menjadi abu dengan tanganku sendiri, gadis sial!"

Lacreimosa berbalik, mengulurkan satu tangannya yang terkepal. Perlahan kepalan itu terbuka dan mengeluarkan asap putih yang menguar, memenuhi hampir setengah kamar.

Sesaat setelah asap itu menipis dan mulai menghilang, muncul tiga sosok pria berjubah hitam yang berlutut menyembah.

Lacreimosa menyeringai, ia maju beberapa langkah, "Aku memiliki tugas untuk kalian."


                       ......



Di kamarnya yang hangat dan nyaman, Hime sedang menikmati butiran salju yang turun dari balik kaca jendela. Jemari lentiknya menari-nari menyentuh kaca yang tampak buram berembun, sedang menulis sesuatu di sana.

" I - L - O - V -"

Manik Hime membelalak saat suara berat yang sangat ia kenal mencoba mengeja tulisannya. Dengan segera ia mengusap kaca itu dengan telapak tangan. Membuatnya kembali bersih hingga pantulan wajah tampan Rion dapat terlihat lebih menawan dari sana.

Hime menyungging senyum termanisnya, menatap Rion yang berdiri di belakangnya dari kaca jendela. Berharap pria itu tidak curiga dan menanyakan apa yang baru saja ia tuliskan di sana.

Sementara Rion menaikkan satu alis, tidak mengerti dengan apa yang tengah gadis itu lakukan sebenarnya.

Rion berpangku tangan, satu lengan ia gunakan untuk menopang dagu lancipnya. Terbentuk senyuman jahil di sana.

"I - L - O - V -" Rion kembali mengeja.

"Apa selanjutnya?" Kakinya maju, sedikit mendekat.

"Ti- tidak, tidak ada. Bukan apa-apa."

Hime gelagapan, segera ia mengedarkan pandangan. Menatap apa saja yang ada di luar jendela agar pria itu tak lagi ingin menelisik ukiran tangannya.

Senyum jahil Rion semakin melebar. 'Tidak ada salahnya memancing ikan, kan? Jika ikan itu termakan umpan, salah ikannya sendiri yang terlalu bodoh.' Rion bergumam dalam benak.

"Hmm ... benarkah?" Rion mengusap dagu pelan. Jarinya terangkat, meliuk-liuk menirukan tulisan Hime di udara.

"I - L - O - V-" Sekali lagi Rion mengulang. Membuat Hime semakin gelagapan.

Rion menggigit bibir bawahnya tegang, tangannya semakin berpegang erat pada pinggiran jendela. Sepertinya gadis itu lupa, jika ia bisa melihat Rion dari kaca jendela itu, maka Rion juga bisa melihat ekspresi menggemaskannya saat ini.

Rion semakin terkekeh, sepertinya ikan itu akan termakan umpannya sebentar lagi. Jarinya kembali menulis di udara. "Bukankah selanjutnya, harusnya E - U - R - I - O -"

"Tidak! " Hime berbalik dengan setengah berteriak, membuat Rion sedikit tersentak.

"Bu- Bukan itu yang aku tulis! Jangan salah sangka. Aku tidak mungkin menulis yang kau ucapkan! Aku tidak menulis 'I Love U Rion' " ucapnya melotot dengan bibir manyun sambil berkacak pinggang.

"Eh-" Maniknya seketika membelalak, saat Hime menyadari apa yang baru saja ia ucapkan. Menatap Rion yang bersusah payah menahan tawa.

"Pokoknya aku tidak menulis itu!" Hime mendelik, semakin salah tingkah saat ingin mempertahankan argumennya.

Rion semakin terkekeh melihat ekspresi lucu gadisnya saat ini. Inilah pertama kalinya Rion tertawa selepas itu.

Hime yang melihatnya pun terdiam, ia tak pernah melihat bibir Rion tersenyum selebar ini. Biasanya pria itu selalu bersikap dingin meski selalu menghangatkan hatinya. Bersikap sok cool (memang cool sih) dan penuh wibawa hingga membuat banyak wanita tersangkut di jaringnya. Tanpa sadar, bibir mungilnya juga ikut mengukir senyuman.

Tawa Rion mereda, ia kembali menatap Hime seperti biasa. "Lalu kenapa wajahmu memerah?"

Deg!

Dengan cepat Hime menangkup kedua pipinya. Melirik kanan-kiri mencari alasan atau apa pun yang dapat mengalihkan perhatian. Apa pun, asal pria tampan ini berhenti mengusilinya.

'Sial! Aku terjebak.' Hime mendengus kasar, masih berkacak pinggang. Ia berusaha berlapang dada menerima kekalahan. "Memangnya kenapa kalau aku mencin-"

"Lily, awas!!"

Manik Rion membola, terkesiap saat melihat tiga anak panah melaju cepat di belakang Hime. Ia melesat, dengan cepat mendekap tubuh mungil Hime dan memutar posisi mereka hingga keduanya jatuh tersungkur di lantai.

Satu tangannya melindungi kepala belakang Hime agar tidak terbentur lantai, sedang lengan yang lainnya mendekap punggung gadis itu begitu erat.

"Akkh!"

PYARR!!

Suara pecahan kaca di belakang mereka terdengar nyaring, mengisi seluruh keheningan kamar. Jendela besar itu pecah seketika saat ketiga anak panah melesat masuk dan mencoba melukai Hime.

Namun, karena Rion mendekapnya, seharusnya panah itu mengenai punggungnya. Tapi tidak, barrier yang sempat diciptakan Rion membuat anak panah itu hancur bahkan sebelum menyentuh pakaiannya.

Kepala Rion menunduk, menatap gadis yang ia tindih di bawah tubuhnya. Mata Hime masih terpejam erat dengan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantiknya, napasnya terengah, sedang kedua tangannya menggenggam bagian depan baju Rion kuat-kuat, seakan takut jika pria itu tiba-tiba menghilang.

Dengan lembut, Rion menyingkap helaian rambut itu hingga wajah cantik Hime kembali terlihat.

"Apa kau terluka?" Rion menekuk keningnya, menatap dalam.

Perlahan, manik indah itu terbuka. Sedikit melebar, menatap pria di atasnya ketakutan. Bibirnya mengatup rapat. Hanya kelopak matanya yang berkedip beberapa kali dengan raut wajah begitu mengkhawatirkan.

"Lily, jangan diam saja. Jawab aku!"

Rion menaikkan nada suara. Ia menjadikan lengan kirinya sebagai tumpuan, sedang tangan kanannya bergerak kesana-kemari meraba tubuh Hime. Memastikan jika tak ada anak panah atau pecahan kaca yang menggores tubuh gadis itu.

SedangHime masih terdiam. Maniknya menatap lekat pria yang terlihat sangat mencemaskan keadaannya.

'Apa kau mencemaskanku? Apa aku berharga untukmu? Apa aku sungguh berarti untukmu, Rion?' Seakan lupa akan anak panah yang hampir menancap tepat di jantungnya, batin Lily mengalun begitu saja.

"Dasar gadis bodoh! Tentu saja aku cemas!"

"Kau tahu apa yang terjadi jika aku terlambat sedetik saja? Aku bisa menyembuhkan lukamu, tapi aku tidak bisa membangkitkan orang mati!!" Teriakan pria bermanik kelabu itu menggema.

Napas Rion terengah dengan manik menatap Hime lekat. Ia begitu khawatir sampai-sampai wajahnya terlihat pucat.

Ucapan beruntun yang baru sekali ini ia dengar, membuat bibir Hime sedikit terbuka. Berkedip beberapa kali untuk melihat lebih jelas bahwa pria di atasnya ini benar-benar Damarion. "Kau- terlalu banyak bicara." Wajah cantik Hime beralih datar.

"Apa yang kau katakan tadi, hah? Sudah kubilang berulang kali, aku tak ingin mendengar nama itu. Tapi kau malah menyebutnya dua kali. Apa kau ingin aku menamparmu seperti terakhir kali?"

Hime berucap dengan wajah ditekuk masam. Entah ke mana pikirannya teralih sedari tadi. Ia malah memikirkan ucapan Rion daripada nyawanya.

Rion bernapas lega, jika Hime bisa bicara sebanyak itu, pasti ia baik-baik saja. "Jika kau ingin bertengkar denganku, kita bisa lakukan itu nanti."

"Sekarang, aku akan membersihkan pecahan kaca ini lebih dulu. Dan-" Rion melirik tangan Hime yang masih meremas bajunya.

"Lepaskan genggamanmu dari pakaianku. Aku tidak bisa berdiri."

.

.

.

Hime duduk di atas ranjang, sementara Rion dengan kekuatannya mengembalikan jendela itu seperti sedia kala.

Ia berjongkok mengambil serpihan anak panah yang telah hancur setelah menyentuh barrier miliknya. Setelah mengamatinya sesaat, Rion kembali berdiri dan berjalan ke arah jendela. Maniknya menyipit, berusaha melihat lebih jelas asap putih yang perlahan menghilang dari kejauhan. Kedua tangannya mengepal geram.

'Brengsek! Siapa yang berani melakukan semua ini?' batinnya mengumpat kesal.

.

.

.

Malam semakin larut, kejadian tadi siang masih membuat gadis bermanik hazel itu terjaga. Tubuhnya yang terasa lelah sama sekali tak mau diajak beristirahat meski barang sejenak.

Hime menekuk kaki. Tangannya saling berpaut memeluk lutut dan menyenderkan dagu di sana. Pikirannya melayang entah ke mana, yang jelas, pipinya sedikit merona.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk. Tanpa menunggu jawaban, Rion membuka pintu dan langsung masuk membawa hidangan makan malam.

Hime menoleh, menatap pria itu dan makanan yang dibawanya bergantian untuk sejenak sebelum kembali ke posisinya semula.

Rion membuka mulutnya.

"Aku tidak lapar." Gadis itu menyahut sebelum Rion sempat mengeluarkan suara, membuat sang pria kembali membungkam.

Sejak tadi siang, Rion tak meninggalkan Hime sedetik pun. Ia selalu berada di rumah gadis itu meski tak selalu berada di kamarnya.

Serangan itu masih membuat hatinya was-was, takut kalau terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Tapi Rion juga belum mengatakan apa pun pada gadis yang tengah ditatapnya saat ini.

Bibirnya ikut terbungkam melihat Hime yang sedari tadi hanya berdiam diri, senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

"Kau hanya mengatakan dua kalimat padaku sejak tadi siang. Aku tidak pa-pa, dan aku tidak lapar."

"Apa tidak ada kata-kata lain? Aku ingin menamparmu, misalnya?" Rion membuka suara, berusaha untuk menjernihkan suasana, tapi tetap tak membuat perubahan.

Hime tetap diam. Sama sekali tak merespon, gadis itu masih terhanyut dalam hayalan indahnya.

Tentu saja, Rion tahu apa yang bergelayut di pikiran Hime. Dengan begitu mudah ia bisa mendengar apa yang tengah Hime lamunkan.

Gadis itu, gadis yang begitu bodoh dan lugu. Setelah mengalami kejadian yang hampir membuat hidupnya berakhir, ia malah memikirkan tentang 'cinta'.

Kata yang Rion pun tak tahu artinya. Kata yang membuatnya panas dingin dan pusing tujuh keliling hanya dengan memikirkan bagaimana cara mengungkapkannya.

Namun, tadi siang, gadis itu malah mengungkapkannya dengan mudah, meski dengan bibir manyun tentunya.

Dari sisi ini, Rion merasa lebih bodoh dari Hime. Karena sampai saat ini, ia masih tak tahu caranya. Ini benar-benar membuatnya gila.

Baginya, jauh lebih mudah bertarung dan menghancurkan satu benua daripada memikirkan kata yang disebut 'Cinta'.

.

.

.

.

'Cinta telah membuatku tersesat, membuatku buta, membuatku kehilangan akal sehat. Tapi memberikan tempat terindah untuk hatiku bersandar.'

_Damarion R.L_




                      ~°^°~



See u soon ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top