[05]_Call Me 'HIME'!!_

.

.

          Negeri Sakura, Jepang

  Dua Tahun Kemudian.

.

.

.

"Ayo kita berangkat. Kau akan menemaniku, kan?"

Gadis cantik yang tengah mengenakan blush anggun berwarna biru muda itu keluar dari ruang pakaian dan tersenyum manis menghampiri pria yang sedari tadi hanya duduk bersilang kaki di kursi tak jauh dari ranjangnya.

Namun, sang pria justru terdiam menatap gadis yang kini berkacak pinggang di depannya, menatap dari ujung rambut sampai ujung kaki.

'Waktu berlalu sangat cepat. Kini kau sudah tumbuh dewasa.' pikirnya. Senyum terukir di sudut bibirnya. 'Dan semakin cantik.'

"Rion! Ayo!!"

Gadis itu tanpa ragu langsung menarik lengan Rion dan menyeretnya keluar kamar. Sedang Rion hanya bisa pasrah seraya menyamakan langkah.

Dengan sekali hentakan kecil di satu kaki, pakaian penuh keagungan yang sebelumnya Damarion kenakan seketika berubah menjadi setelan jas hitam lengkap dengan dasi yang terlihat lebih simpel, namun tetap elegan, terlihat sangat pas dengan postur tegapnya.

"Eh!" Gadis itu terhenti saat melihat Rion sudah berganti pakaian. Dilihatnya pria itu dengan tatapan menyelidik.

Rion memiringkan kepala. Mengangkat kedua alisnya seolah mengisyaratkan, 'Apa ada yang salah?'

Tangan sang gadis terulur, menyentuh krah baju Rion dan melepas dasi yang ia kenakan. Tak lupa membuka kancing bagian atas kemejanya juga.

Lily tersenyum. "Begini lebih baik. Aku tidak suka jika kau terlalu rapi. Para gadis di perusahaan pasti akan terus menatapmu," ucapnya seraya kembali melangkah di depan Rion.

Sementara Rion hanya tersenyum samar mendengar ucapan polos yang terlontar dari bibir mungil gadisnya.

Senyum manis yang tak pernah Rion lihat sebelumnya, kini selalu ia lihat setiap hari. Membuat Damarion ikut mengulas senyum akan tingkah lucu yang juga tak jarang diperlihatkan oleh sang gadis yang mengikat kontrak dengannya sejak dua tahun lalu.

Gadis itu berubah. Lily yang dulu telah berubah. Seakan tangis dan rasa sakit yang dulu gadis itu rasakan telah lenyap tak tersisa.

Setelah dua tahun lalu rumahnya terbakar habis. Ia menjual seluruh aset keluarganya dan membeli beberapa perusahaan baru. Dan tentu saja tak perlu waktu lama untuk perusahaan itu berkembang pesat selagi Damarion selalu di sampingnya, sang pangeran iblis yang siap mengabulkan permintaan apa pun.

Lily meninggalkan segalanya. Kota, rumah, keluarga, dan segala kenangannya. Kini ia hidup sebagai gadis dengan serba kemewahan. Rumah megah, maid yang tak terhitung jumlahnya, dan kekuasaan di mana-mana. Sedangkan dirinya sendiri adalah wujud dari segala keindahan.

"Kenapa kau tak menyuruhku menjadi pelayanmu? Dengan begitu, aku bisa menyiapkan segalanya untukmu. Jika seperti ini, aku serasa menjadi sopir ketimbang asisten pribadi." Rion berucap sambil tetap fokus menyetir mobil yang tengah dinaikinya bersama Lily saat ini.

Mereka sedang menuju salah satu perusahaan Lily dan melihat pemotretan iklan di sana untuk sekadar melepas kebosanan.

Lily menoleh, memeluk lengan kiri Rion dan menyenderkan kepala di sana. "Kau terlalu tampan untuk menjadi pelayan. Lagi pula, aku tidak butuh pelayan tambahan," jawabnya dengan senyum lebar.

Lily menoleh ke arah kaca mobil di sisi kirinya. Di sana terlihat gumpalan putih nan halus mulai turun dan membasahi kaca mobil mereka. Sejenak ia termenung, "Salju sangat cantik dan lembut. Tapi kenapa mereka sangat dingin?"

Rion hanya melirik dari ekor mata dalam kebungkaman. Seakan ia tahu apa maksud dari ucapan gadis yang masih memeluk lengannya.

Tak lama kemudian, mobil mewah itu berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. "Kita sudah sampai."

Rion turun lebih dulu dan membukakan pintu mobil untuk Lily. Dengan cepat ia melingkarkan syal yang digenggamnya ke leher Lily, entah dari mana ia mendapatkannya.

"Akan kupastikan, dinginnya salju tidak akan membekukanmu. Kau akan tetap hangat bersamaku." Rion tersenyum lembut.

Lily mengangguk pelan dengan senyum manis. Ia berjalan memasuki gedung dengan anggun, diikuti Rion yang berjalan di belakangnya. Melewati setiap barisan manusia yang membungkuk memberi hormat.

Berjalan dalam diam. Layaknya seorang CEO dan asisten pribadi pada umumnya.

"Selamat datang, Lady." Seorang manager sekaligus penanggung jawab pemotretan itu membungkuk pada Lily. Di sini, semua orang memanggilnya dengan sebutan 'Lady'.

"Kenapa belum mulai?" Lily menyilangkan tangan sambil melihat hilir mudik kesibukan di sekelilingnya.

Pria itu sedikit menunduk dengan raut khawatir. Bibirnya bergerak gelisah tapi tak bisa berkata-kata. Membuat Lily yang memperhatikannya dapat menyadari kegugupan itu. "Apa ada masalah?"

Pria itu mematung sesaat sebelum akhirnya angkat bicara. "Maaf, Lady, model yang kita percaya untuk melakukan pemotretan hari ini terjebak salju saat perjalanan kemari-" Ia diam sejenak. "Sedangkan kita sudah sangat terlambat untuk jadwal pemotretan hari ini," lanjutnya dengan nada yang amat bersalah.

"Pemotretan apa kali ini?"

"Pakaian khas Jepang, Lady. Kimono."

"Kalau begitu, biar aku yang menggantikannya."

Seakan tak percaya. Sang manajer sampai terbatuk mendengar ucapan Lily. Pemilik perusahaan menjadi model iklan? Apa yang akan dipikirkan semua orang nanti? Meski tak banyak yang mengetahui sosok gadis cantik ini, tapi tetap saja ini-

"Apa yang kau tunggu?" Pertanyaan Lily membuat lamunan manajer itu buyar seketika. Manik hazelnya tampak menelisik. " Apa kau tak setuju?"

"Bu-bukan begitu, Lady. Tapi ini pemotretan pasangan. Apa anda tidak keberatan untuk-"

"Asistenku yang akan menjadi pasanganku untuk hari ini. Kau tak keberatan, kan, Rion?" Lily melirik ke belakang melalui ekor mata.

Sementara yang dilirik langsung masam seketika. Sejak awal Rion tak terlalu menyukai kerumunan manusia. Baginya, para manusia sangat menyusahkan.

Ia mendengkus kasar, mengikhlaskan diri atas permintaan nonanya. "Tentu saja, Lady, saya merasa sangat terhormat," ucapnya dengan senyum lebar yang terkesan hambar.

Ekspresi Rion sukses membuat Lily tersenyum menang sambil berjalan menuju ruang kostum.

.

.

.

Lily dan Rion baru saja keluar dari ruang makeup menggunakan busana khas Jepang. Semua orang di ruangan itu tampak begitu takjub melihat dua keindahan yang saat ini ada di hadapan mereka.

Dengan hiasan yang tampak begitu cantik dan riasan sedemikian rupa, membuat kedua mahkluk ini tampak lebih sempurna dari dewa-dewi kahyangan.

Bahkan Lily yang setiap hari memandangi wajah tampan Rion ikut terkagum-kagum melihat penampilan pria itu saat ini. Rion tampak berbeda. Tampak ... lebih tampan dari biasanya.

Rion mengeluarkan pedang dari sarungnya yang terkait di pinggang. "Bisa kita mulai sekarang?"

Ia berjalan melewati Lily sambil membisikkan sesuatu. "Aku ingin ini segera berakhir."

Lily bergeming, ia hanya mengikuti arahan yang diberikan tanpa berkata apa pun. Pikirannya hilang entah ke mana saat melihat Rion yang tiba-tiba begitu menyilaukan.

Rion mengambil posisi di belakang Lily, lalu memberikan pedang itu padanya. Ia meletakkan tangan kirinya di pinggang Lily, sementara tangan kanannya ikut menggenggam pedang yang Lily genggam.

Kelopak mawar beterbangan bagai tertiup angin. Membuat jantung Lily semakin berdegup tak terkendali. Hanya ada satu pertanyaan di dalam kepalanya, 'Perasaan apa yang sebenarnya kumiliki padamu, Rion?'

.

.

.

Rion tampak muram. Ia hanya duduk santai dengan tangan dan kaki menyilang. Mengamati seorang gadis yang duduk tak jauh darinya, sedang meneguk minuman dari gelas kecil yang selalu diisi lagi setiap gelas itu kosong.

Entah sudah berapa kali gelas itu terisi penuh kemudian kembali tandas dalam tegukan gadis itu. Mungkin sudah sepuluh, atau lima belas kali?

Damarion sama sekali tak menghiraukan para wanita yang selalu datang silih berganti untuk menggodanya. Meski dengan penerangan yang temaram dan musik yang memekakan telinga terus memenuhi seisi ruangan, Rion masih dapat melihat dan mendengar apa yang dikatakan Lily dengan sangat jelas.

Gadis itu terus saja mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah yang ditujukan untuknya. Bahkan ia terang-terangan mengatakan kalau Rion adalah iblis pada bartender yang menuangkan minuman untuknya. Meski tak akan ada yang percaya pada ucapan seseorang yang sedang mabuk berat.

Rion memijat pelipisnya-pening. Lily sendiri yang memintanya untuk melakukan pemotretan itu. Dan bukan salahnya kalau setelah itu para gadis mengerumuninya karena ketampanan yang bahkan mengalahkan dewa langit, 'kan?

Alhasil, kini ia terperangkap di tempat penuh manusia kotor ini karena Lily yang sedari tadi merajuk.

Setelah hampir tiga jam duduk berpangku tangan, pria bersurai gelap itu akhirnya bangkit juga. Mendekati Lily yang sudah tak sepenuhnya sadar.

Tangannya meraih pundak Lily hendak memapah gadis itu pergi. Tapi Lily malah menghempaskannya begitu saja. "Lepaskan aku, iblis brengsek!" teriaknya serak.

"Sudah cukup. Kita pulang." Tak menyerah, Rion menggandeng jari mungil Lily dan menyeretnya.

"Aku tidak mau pulang! Aku akan pulang jika kau membuat wanita-wanita yang menggodamu tadi menjadi abu," ucapnya menunjuk ke segala arah dengan tubuh yang terhuyung kesana-kemari.

Rion berbalik, menatap Lily lekat. Maniknya berubah keemasan dan berkilat merah. Seketika, teriakan riuh bergemuruh di sana. Semua orang kalang kabut kala beberapa wanita yang bersama mereka tiba-tiba lenyap menjadi abu begitu saja.

"Sudah. Bisa kita pulang, sekarang?" ucap Rion saat maniknya sudah kembali seperti semula.

"Iblis brengsek! Mesum! Bajingan! Keparat! Enyahlah kau! Wusshhh ..." racau Lily sambil menggerak-gerakkan tangan ke arah Rion yang tengah menyetir layaknya seorang penyihir yang memantrai targetnya. Sementara Rion hanya diam tanpa menimpali ucapan gadis yang malam ini membuat kepalanya hampir meledak.

Sesampainya di rumah megahnya pun, emosi Lily belum juga mereda. Ia menolak uluran tangan Rion yang hendak memapah tubuhnya yang tak lagi bisa berdiri tegak.

Membuat gadis itu beberapa kali terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Sementara Rion yang berjalan di belakangnya hanya tersenyum simpul melihat tingkah konyol Lily.

"Jangan mengikutiku lagi. Aku ingin tidur sen-di-ri," ucap Lily sebelum menaiki tangga yang menuju ke kamarnya. Rion diam, tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak. Ia tetap berdiri di anak tangga terbawah, menatap lurus gadis yang menaiki setiap tangga dengan langkah gontai.

"Akkhh!!" Lily memekik. Maniknya membola diikuti dengan manik Rion. Ia terpeleset hingga terhuyung ke belakang.

"Lily!"

Rion melesat, dengan sigap ia menangkap tubuh Lily sebelum benar-benar terjengkal ke belakang.

Plakk!!

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Rion. Membuat rahang pria itu mengeras menahan emosi yang sudah sedari tadi ingin meledak.

Lily menatap manik Rion tajam penuh amarah. Telunjuk kanannya terangkat tepat di depan wajah Rion.
"Sudah kubilang jangan memanggilku dengan nama itu! Namaku Hime, HIME! Kau dengar itu, Damarion Rensford?!"

Gadis itu berkaca-kaca. Semua kenangan yang telah susah payah ia lupakan kini kembali berhambur memenuhi kepalanya. "Nama itu hanya mengingatkanku pada kesedihan dan kesakitan." Lily merengkuh lengannya sendiri.

Rion terdiam. Kali ini adalah kesalahannya. Tanpa aba-aba ia mengangkat, menggendong tubuh mungil itu di depan tubuhnya dan melangkah menaiki tangga. Tak peduli dengan segala umpatan dan tangan mungil yang terus memukul punggungnya meronta minta diturunkan.

Rion membuka pintu kamar Lily dan menurunkan gadis itu di ranjangnya.

"Tidurlah."

Rion berbalik, beranjak pergi. Namun dengan cepat Lily berhasil menahan lengannya.

"Jangan pergi, Rion." Gadis itu menatap sendu.

Rion tersenyum, lalu duduk di sisi ranjang. Diusapnya rambut gadis itu penuh sayang.

Senyuman yang terukir indah di bibir pria iblis di sampingnya membuat Lily ikut tersenyum.

Pandangan Rion menurun, menatap bibir mungil yang tengah tersenyum. Jemarinya tergerak, mengusapnya lembut. Ada desiran kuat yang membuatnya ingin merasakan kelembutan itu.

Perlahan, Rion mendekatkan wajahnya. Semakin dekat hingga mereka dapat merasakan terpaan napas yang saling beradu. Lily memejamkan mata, merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya dan melumatnya lembut.

Rion yang berada di samping Lily, kini beralih naik ke atas ranjang, menindih tubuh mungil gadis itu dan menguncinya di antara kedua kaki.

Pautan tangan keduanya semakin mengerat seiring dengan dalamnya ciuman mereka. Tapi sesaat kemudian, pautan tangan Lily melonggar. Tidak ada lagi gerakan, karena Lily telah kehilangan kesadaran.

Rion memang sengaja membuat Lily pingsan agar ia dapat meninggalkan gadis itu dengan tenang, setelah membuat barrier pelindung untuknya tentu saja.

Rion kembali berdiri di samping ranjang Lily. Menutup tubuh gadis itu dengan selimut dan mengecup keningnya singkat. "Maafkan aku. Aku akan segera kembali."

Detik berikutnya, Rion menghilang.

               

                       ......


Sebuah vila bak istana berdiri megah mengitari kolam di tengah-tengah bangunan itu. Dengan arsitektur mewah nan modern, membuat siapa pun pasti akan jatuh hati saat pertama kali datang ke sana.

"Paman ... Paman Damarion!"

Bocah kecil menghambur ke arah Rion yang baru saja memasuki pintu utama. Memeluk kakinya penuh kerinduan.

Rion berjongkok, mengacak surai anak itu gemas. "Apa kabar, Pangeranku? Kau sudah tumbuh besar, ya?"

"Tentu saja, Paman. Aku akan tumbuh sebesar ini nanti." Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Apa Paman lapar? Aku punya permen. Tapi jangan bilang-bilang ibu, ya ...," ucapnya antusias dengan nada lima oktaf. Rion hanya tersenyum melihat tingkah keponakannya itu.

"Selamat datang, Damarion. Lama tak jumpa."

Suara wanita menginterupsi, membuat Rion mengalihkan pandangan, menatap wanita dengan surai panjang berwarna perak dengan kecantikan luar biasa yang kini tengah menghampirinya.

Rion sedikit membungkuk, memberi hormat. "Salamku untuk Yang Mulia Ratu Azzuri."

"Jangan seperti itu, Rion. Aku juga kakakmu, 'kan? Keluarga tak perlu membungkuk memberi hormat." Wanita itu mengulas senyuman.

"Masuklah. Dia sudah menunggumu."

Rion menangguk, berbisik sejenak pada sang putra mahkota hingga anak itu tersenyum jahil dan membuat sang ibunda mengernyitkan alis.

Rion sampai di depan pintu ruangan terbesar kedua di rumah itu setelah kamar utama. Dibukanya pintu itu hingga menampakkan sosok familiar. Pria dengan surai serupa dengannya, tapi kali ini ia mengenakan pakaian seperti manusia pada umumnya. 

Di sudut ruangan, Danta duduk seraya memangku dagu dengan satu tangan.

"Kau memanggilku?" ucap Rion tanpa basa-basi.

"Apa ada perintah untukku?"

Danta menatap Rion lalu melirik sisi kursi di sampingnya, mengisyaratkan agar adiknya itu duduk lebih dulu. Tapi tampaknya Rion tak tertarik, ia tetap berdiri di tempatnya, menunggu sang kakak membuka mulut.

Danta membuang napas kasar. Ia menyerah, sepertinya Rion sedang tak ingin bersantai ria.

"Baiklah, langsung saja-"

Pria itu menatap Rion penuh keseriusan.

"Rion, aku ingin kau segera mengakhiri kontrakmu dan menikah dengan putri dari Kerajaan Asmodeus."


                      ~°^°~

Mulai part selanjutnya, Lily akan lebih sering dipanggil Hime. Jadi jangan bingung ya ....

Maaf kalau typo masih leluasa bertebaran ^_^

See u Soon ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top