[04]_the Revenge_


WARNING!!
Mulai part ini akan banyak kata-kata kasar khas para iblis. Harap menjaga mata masing-masing agar tidak tercemar seperti saya. Hehee

.

.

.

.

"Di mana Damarion?"

Pria tampan bersurai segelap malam, berbalut jubah kebesaran bak seorang raja tengah berada di sebuah kamar yang sangat mewah.

Ornamen merah menyala menghias sisi-sisi dindingnya yang berwarna perak. Ukiran-ukiran rumit nan elegan terpampang di setiap sudutnya.

Para maid yang tengah membersihkan kamar itu langsung menghentikan seluruh pekerjaan begitu mendengar suara seseorang yang familiar. Mereka menunduk dalam dengan kedua tangan saling berpaut ke depan.

"Selamat datang, Your Highness. Pangeran Damarion belum kembali ke kastel sejak beberapa minggu yang lalu," jawab salah seorang maid tanpa mengangkat kepala.

Pria itu bertopang dagu dengan satu tangan. Manik Rubinya berputar ke seluruh ruangan. "Apa kau tahu dia ada di mana?"

Maid itu semakin dalam menundukkan kepala. "Ampun, Your Highness. Hamba tidak berani mempertanyakan ke mana Pangeran pergi."

Tampak berpikir sejenak, dengan tarikan napas panjang akhirnya pria itu memutuskan keluar dari ruangan. Meninggalkan para maid yang hampir berhenti bernapas karena terkejut atas kedatangan sang penguasa kegelapan secara tiba-tiba.

Saat sang raja kegelapan berjalan melewati lorong-lorong penghubung ruang untuk mencari Damarion yang kelayapan entah ke mana, tiba-tiba langkahnya terhenti. Manik merahnya menatap lurus, terdiam untuk beberapa saat. "Aylmer, jangan membuatku marah. Keluarlah!"

Tak berselang lama, seorang pria bersurai kuning keemasan dengan manik senada tiba-tiba muncul dari balik kegelapan.

"Salamku untukmu, Your Highness."

Pria yang dipanggil Aylmer itu sesaat membungkuk hormat, kemudian kembali mengangkat kepala dengan senyum lebar di bibirnya. "Kakak, ada urusan apa datang ke sini?"

"Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Kenapa kau berada di kastel timur, sedang kastelmu berada di wilayah barat?" ucap pria yang dipanggil kakak itu seraya kembali melanjutkan langkah.

Dengan cepat, Aylmer menyejajarkan langkah dengan sang kakak. "Apa kakak sudah bertemu dengan Damarion?"

"Dia tidak ada."

"Argh, brengsek! Damarion menipuku lagi. Dia bilang ingin memberiku salah satu dari tujuh kristal itu jika aku berhasil menjinakkan singa miliknya yang mengamuk. Dasar keparat licik!" Aylmer menarik surainya geram sambil meracau tak karuan.

"Kau sudah sering ditipu olehnya. Lalu kenapa kau masih saja percaya padanya? Dasar bodoh."

Zavian Dantalion Lucifer.
Pria yang memiliki surai senada dengan adiknya, Damarion Rensford. Hanya manik rubinya saja yang membedakan di antara keduanya.

Dia adalah sang penguasa kegelapan. Raja dari segala raja iblis. Pemilik kekuasaan tertinggi di dunia para iblis, Helldon. Semua kerajaan iblis berada di bawah kekuasaannya. Mereka menyebutnya, 'the King of Lucifer' .

Seorang raja yang disegani karena pemerintahannya yang tak pandang bulu, namun juga amat ditakuti karena kekejaman yang kerap ia perlihatkan di depan para raja iblis yang berani memberontak padanya. Tak ada yang berani menatap matanya. Kecuali kedua adik, sang ratu, dan Putra Mahkota.

Damarion Rensford Lucifer. Pangeran kedua Lucifer setelah sang kakak dinobatkan menjadi raja. Sang pangeran yang memiliki tugas untuk menjaga wilayah bagian timur.

Wajahnya yang berkharisma mampu menarik laki-laki maupun wanita yang menatapnya, membawa mereka ke dalam jurang terdalam di kegelapan.

Satu-satunya lucifer pemilik sekaligus penjaga tujuh kristal abadi peninggalan raja Lucifer sebelumnya. Kristal yang memiliki kekuatan maha dahsyat hingga tak ada seorang pun yang diizinkan untuk menyentuh kecuali ketiga lucifer.

Pemilik naga agung yang siap meluluh-lantahkan kerajaan iblis mana pun di bawah perintahnya. Sang pangeran lucifer yang memiliki kekuatan setara dengan sang raja kegelapan dan bahkan sanggup melebihinya.  Sekali pun hanya beberapa dari mereka yang layak tahu akan kekuatan sesungguhnya dari Damarion Lucifer.

Aylmer Northcliff Lucifer.
Sang pangeran termuda. Ia bertugas menjaga wilayah barat.

Meski sikapnya terkenal ramah dan bersahabat, murah senyum dan tampak konyol, namun ia memiliki kegelapan yang kelam di dalam dirinya. Aylmer tak akan segan menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Salah atau benar, baik atau buruk, selama itu membuatnya marah, maka tamatlah riwayatnya.

Hanya ada satu hukuman bagi mereka yang berani menentang para lucifer.

KEHANCURAN!


Kedua kakak beradik itu berjalan berdampingan di lorong kastel milik Damarion. Di ujung lorong, mereka berpapasan dengan seseorang yang sedang menuju ke arah berlawanan.

Dengan segera, ia bersujud di hadapan keduanya. "Salam hamba untuk Your Highness dan Pangeran Aylmer."

"Calvert, lama tak jumpa." Aylmer membuka pembicaraan dengan senyum manisnya.

"Benar, Pangeran. Senang bisa bertemu dengan anda dan Yang Mulia." Pria bernama Calvert itu menjawab sopan.

"Kau orang kepercayaan Damarion, bukan? Di mana dia sekarang? Kenapa kau tak ikut dengannya? Setauku, kau selalu mendampingi ke mana pun Damarion pergi. Bahkan saat berada di kastel utama sekali pun. Lalu kenapa kau ada di sini?"

Danta langsung menghujani Calvert dengan pertanyaan yang sedari tadi membuatnya frustasi karena Rion yang selalu saja menghilang.

Pria itu kembali menunduk dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi wajahnya. Meski nada bicara sang raja terdengar biasa, tapi ia dapat merasakan aura mencekam yang sedari tadi mengelilinginya. Jika Calvert sampai salah satu kata saja, hari ini akan menjadi detik terakhir kehidupannya.

"Ampun beribu ampun, Your Highness. Pangeran Damarion melarang hamba untuk menemani beliau. Sejak dua tahun yang lalu, beliau berada di dunia manusia dan hanya beberapa kali kembali ke kastel. Dan-" Kalimat itu terputus. Calvert benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana.

"Dan?" Manik Danta memicing tajam menunggu kelanjutan dari ucapan Calvert.

"Da- Dari yang hamba dengar, Pangeran Damarion telah mengikat kontrak dengan seorang gadis manusia."

Manik rubi milik sang raja mendelik mendengar ucapan Calvert. Ia adalah satu-satunya orang yang dipercayai oleh Damarion. Karena itu, informasi yang ia terima pastilah sudah terbukti kebenarannya.

Rahang Danta mengeras, membuat tanah yang di tapakinya ikut bergetar dan retak.

"Kakak!" Aylmer memekik, takut kalau sang raja akan murka dan membinasakan kastel ini beserta dirinya. Sementara Calvert sudah pasrah dengan hidupnya yang fifty-fifty.

"Jika Damarion sudah kembali, suruh dia untuk menemuiku," perintah Danta sebelum menghilang, menyisakan kabut tebal yang muncul dari tempatnya berdiri.

Aylmer membuang napas kasar saat kakaknya sudah menghilang dari hadapan. Wajah yang tadinya terlihat ceria kini memucat. "Astaga! kakak Damarion benar-benar bajingan," umpatnya sambil mengusap wajah, frustasi dengan kelakuan kakak keduanya yang tak pernah mendengarkan siapa pun.

                         .......



Di kamarnya, Lily tengah menatap satu-satunya foto kedua orang tuanya yang berhasil ia selamatkan saat Bibi membakarnya.

Jemari lentik Lily mengusap wajah papa dan mamanya dengan wajah sendu. Ini adalah hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas, membuat kenangan dua tahun lalu kembali menari-nari di kepalanya. Termasuk kecelakaan itu.

"Apa kau berubah pikiran, Lily?" Suara Rion membuyarkan lamunan Lily. Pria tampan itu mendekat dan memeluk pinggang Lily dari belakang. Sontak Lily reflek memegang tangan Rion yang semakin erat memeluknya.

"Kau milikku sekarang." bisikan lembut menerpa telinga kiri Lily yang perlahan melepaskan genggamannya yang menahan tangan Rion, membuat pemilik tangan kekar itu tersenyum menang.

"Aku tidak akan berubah pikiran." Lily menjawab tegas.

"Itu yang ingin kudengar." Rion mengecup singkat leher jenjang Lily sebelum kemudian kembali menghilang di balik kegelapan.

                 .    .........
      


Di kastel Damarion, retakan akibat kemarahan sang raja sudah kembali seperti semula.

Di lorong panjang menuju ruangan di mana sang Pangeran biasa menghabiskan sebagian besar waktunya.

Rion berjalan angkuh. Mengenakan jubah kerajaan dengan surai yang sebagian dikuncir ke atas, membuat wajahnya yang rupawan terlihat lebih jelas.

Tepat di depan pintu berlapis emas, para pengawal membukakan pintu untuk sang pemilik kastel.

Rion duduk dengan santai di kursi terbesar dari ke empat kursi yang mengitari meja bulat di sudut ruangan. Menikmati jamuan dari para maid yang melayaninya.  

Tak lama berselang, ketukan pintu terdengar. Calvert masuk dengan tundukan dalam. "Hormat saya pada Pangeran Damarion."

Tangan kiri Rion terangkat, mengibas ke belakang mengisyaratkan agar para maid segera meninggalkan ruangan.

"Jangan bicara seformal itu padaku, Calvert. Aku tidak suka," ucapnya setelah hanya ada mereka berdua di sana.

"Jadi, kakakku baru saja datang? Aku masih bisa merasakan aura kemarahannya." Rion tersenyum di sudut bibirnya.

"Apa yang dikatakannya?"

Pertanyaan Rion membuat Calvert terdiam sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Damarion sudah tahu jika sang raja berkunjung sebelum ia sempat berbicara. Calvert menelan saliva, keringat dingin mulai mengucur di balik kebungkamannya.

Rion yang melihat ketakutan di wajah iblis kepercayaannya itu kembali angkat bicara.

"Apa kau memberitahunya apa yang aku lakukan di dunia manusia?" Rion berucap tenang.

Calvert segera bersujud. Tubuhnya bergetar hebat.

"Ampun, Pangeran, hamba tidak bisa menyembunyikannya dari Yang Mulia Raja, karena beliau pasti akan tahu jika hamba berbohong. Hamba siap mati." ucap Calvert dengan suara bergetar.

Rion hanya menghela napas berat saat mendengar pengakuan Calvert. Ia tahu, jika Calvert tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkan hidupnya.

"Sekarang dia pasti sedang menungguku." Rion bangkit dan berjalan melewati Calvert, kemudian berhenti beberapa saat.

"Lain kali, kau harus memutuskan pada siapa kau berpihak. Aku, atau kakakku."

Calvert yang mendengar kata-kata Damarion merasa sangat bersalah. Seharusnya ia lebih memilih untuk mematuhi sang pangeran meski itu mengorbankan nyawanya sendiri.

.

.

.

Sementara itu, di kastil utama tempat sang raja Lucifer duduk di atas singgasana berlapis emas miliknya.

Dari jauh terdengar pengumuman bahwa Pangeran Damarion telah datang. Segera ia menyuruh semua orang di ruang takhta untuk keluar saat mendapati Damarion sudah berdiri di ambang pintu.

"Salamku untukmu, Your Highness." Rion menunduk memberi penghormatan pada sang kakak.

"Damarion, sudah berapa kali aku mengingatkanmu-"

"Tentang memutuskan untuk menikah dengan putri dari salah satu kerajaan lain? Aku sudah mendengarnya lebih dari seribu kali," jawab Damarion enteng seraya menyilangkan kedua tangan.

Sang raja mendengus, percuma jika membahas pernikahan dengan Rion. Ia bukan tipe adik yang penurut. Tapi bagaimana pun juga ia harus menikah, bukan?

"Kudengar kau mengikat kontrak dengan manusia. Berapa lama kau terikat dengan kontrak itu?"

"Selamanya."

Rion sukses membuat Danta terkejut hingga bangkit dari singgasana.

"Aku terikat kontrak mati dengannya."

Jawaban itu membuat Danta menggeretakkan giginya, geram. Kontrak mati. Kontrak yang tidak akan pernah berakhir hingga salah satu pengikat kontrak tiada.

Itu berarti, selama Rion terikat dengan kontrak itu, maka ia tidak akan bisa menikah dengan iblis dari kerajaan mana pun. Itu adalah aturan mutlak.

Jika kontrak itu berlaku selamanya, maka sudah bisa dipastikan akan ada peperangan besar karena pangeran lucifer menolak untuk meminang salah satu putri dari kerajaan iblis. Kesalahan yang dulu pernah sang raja perbuat.

"Apa kau sudah gila? Beraninya kau mengikat kontrak mati tanpa persetujuanku! Di mana otakmu, Damarion Renford?!"

Teriakan sang raja membuat seluruh ruangan bergetar hingga seisi kastel merasakan getarannya. Bahkan lantai tempat mereka berpijak mulai retak.

"Kuberikan kau kesempatan, Damarion. Lenyapkan manusia itu setelah keinginannya terpenuhi dan akhiri kontrakmu. Atau aku sendiri yang akan melenyapkannya." Tangan Danta terkepal erat. Adik pertamanya ini benar-benar membuatnya murka.

Masih berdiri di tempatnya, manik Rion memicing tajam. Balas menatap sang kakak tanpa rasa takut.

"Jika kau berani menyentuhnya. Akan kupastikan, kastelmu ini rata dengan tanah, Kakak," ucap Rion penuh penekanan sebelum berbalik meninggalkan ruangan.

"Aku permisi."

Sekali pun hanya berucap, Rion tidak akan segan membuat ancamannya menjadi kenyataan.

Mungkin, Danta masih bisa menghadapi kemarahan adiknya. Tapi jika sang adik mengeluarkan naga agung yang bersemanyam di tangan kanan, maka kehancuran sudah dapat dipastikan. Karena itulah Danta lebih memilih membiarkan Damarion pergi daripada meneruskan perdebatan.

"Keparat kau, Damarion. Kau membuatku dalam masalah besar!" Danta memijat keningnya yang terasa berdenyut.

"Aku bisa terkena darah tinggi jika terus berhadapan dengannya."



                        .......



Di kediaman Rafhelyst. Bibi dan kedua anaknya itu tengah menyiksa Lily habis-habisan karena tak sengaja menumpahkan minuman di baju Ririane. Tentu saja itu hanya alasan. Mereka hanya ingin bersenang-senang sebelum melemparkan Lily ke jalanan.

Menjambak, memukul, menampar, mereka bahkan menendang tubuh Lily hingga tersungkur ke lantai. Tapi gadis itu sama sekali tak menangis, ia malah tersenyum.

"Kelihatannya kau sudah mulai gila, ya?" ejek Ririane seraya berkacak pinggang.

"Semakin kalian menyiksaku, semakin aku yakin kalau keinginanku untuk balas dendam memang tidak salah," ucap Lily sambil mengusap darah di sudut bibirnya yang sobek.

"Apa? Apa aku tidak salah dengar? kau ingin balas dendam? Hahaha ... jangan konyol kau!"

Lily yang masih tersungkur di lantai mengepalkan tangannya. Dengan lantang, ia berteriak, "Rion!!!"

PYAARRR!!!

Jendela besar di ruangan itu pecah saat sesuatu terlempar ke dalam.

Teriakan bibi dan putrinya menggema di seluruh ruangan. Sementara Evan terbelalak tanpa mampu berkata-kata saat melihat mayat Tuan James yang masih berlumuran darah terlempar dari jendela begitu saja.

Kabut hitam mulai memenuhi ruangan, membuat hawa mencekam menguar di mana-mana.

Rion muncul dengan manik keemasan berkilat merah yang mengerikan. Berjalan santai menginjak mayat itu bagaikan sebuah boneka. Ia mengangkat dan menggendong tubuh Lily di depan tubuhnya, lalu mendudukkan gadis itu di sofa.

"Kau tak apa, My Lady?" diusapnya bibir tipis Lily, dan lebam di beberapa bagian tubuhnya. Dalam sekejap luka dan lebam itu menghilang.

"Si- siapa kau?" Suara wanita paruh baya itu bergetar ketakutan.

Rion beralih menatap wanita dan kedua anaknya yang masih terduduk di lantai dengan air mata yang berderai.

"Aku tak berhak memberitahumu siapa aku." Ia kembali menatap Lily, "sekarang, apa perintahmu?"

Lily berdiri. Mendekat, menatap ketiga orang itu dengan sorot kebencian. "Kau!"

Ia menunjuk Ririane. "Kau selalu menyuruhku ini-itu, padahal kau masih bisa melakukannya sendiri. Kau masih bisa berjalan, 'kan, Ririane?"

"Dan kau, Evan. Beraninya kau menyentuhku dengan tangan kotormu."

Lily tersenyum. Senyuman yang sulit diartikan. "Aku ingin tangan dan kaki itu dicabut dari tubuh mereka."

Rion menyeringai, menundukkan kepala. Sesaat kemudian, hanya teriakan memilukan yang terdengar. Isak tangis penuh kesakitan menggema di setiap sudut ruangan.

"Lily, tolong ... tolong maafkan Bibi." Wanita itu merangkak menyentuh kaki Lily dengan isak tangis.

"Menjauh dariku!" Ditendangnya wanita itu hingga kembali tersungkur di lantai. Penderitaan, rasa sakit, dan dendam telah mengubah gadis lugu itu menjadi sesosok iblis.

"Kau telah membunuh orang tuaku! Dan kau ingat apa yang kau lakukan pada kucing malang itu? Haruskah aku merebusmu hidup-hidup?!"

Manik Lily berkaca-kaca karena rasa sakit saat mengingat semua yang telah bibinya lakukan. Napasnya terengah menahan amarah yang kian menyelimutinya.

Lily berjalan ke arah Rion. Ia menatap Rion lekat, lalu berbalik menatap kengerian yang tercipta di depannya.

"Damarion, aku ingin kau membakar seluruh rumah ini. Jangan sampai ada yang tersisa sedikit pun."

Untuk sesaat, manik Rion membola. Tak percaya dengan apa yang diucapkan gadis di depannya. Tapi kemudian, seringaian kembali mencuat di balik bibirnya.

Diangkatnya tubuh mungil Lily ke depan tubuhnya. Dengan satu jentikan jari, tangan kiri Rion mengeluarkan api yang semakin lama kian membesar.

"Yes. My Lady."

Dalam sekejap, api itu berkobar membakar seluruh rumah dan manusia yang masih berteriak memilukan saat jilatan api ikut membakar tubuh mereka. Menghanguskan setiap inchi rumah mewah peninggalan keluarga Rafhelyst.

.

.

Kini Rion tengah berjalan menjauh dari rumah yang tengah dilahap sang jago merah, masih merengkuh tubuh Lily di depan tubuhnya. Maniknya sudah kembali seperti semula.

"Benarkah tak apa jika rumah itu terbakar? Bukankah rumah itu menyimpan kenangan dari orang tuamu?" Rion menatap Lily yang masih terdiam dalam dekapannya.

"Kenangan itu sudah mati sejak dua tahun yang lalu," jawab Lily tanpa membalas tatapan Rion.

"Bawa aku ke tempat di mana kenangan itu tak akan bisa kembali lagi."

Rion tersenyum, mengecup lembut kening Lily sebelum kembali melanjutkan jalannya.

"As you wish. My Lady."


                      ~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top