[03]_Death Contract_

.

.

.

.

Lily mematung dengan manik membelalak lebar, menatap pria dengan aura kegelapan yang mencekam. Seakan ada paku yang menancap di antara lantai dan kaki hingga membuatnya tak dapat bergerak.

"Sepertinya aku belum memperkenalkan diri dengan benar." Rion mendekat. Ia berhenti tepat di depan Lily dengan jarak hanya tiga kepalan tangan.

"Namaku, Damarion Rensford ... Lucifer."

Manik Lily semakin membola kala mendengar kata 'lucifer'. Selama ini, ia pikir lucifer hanyalah mitos belaka. Iblis yang membuat perjanjian dengan manusia, yang akan mengabulkan apa pun keinginannya, dengan jiwa sebagai balasan. Tapi itu tidak nyata, bukan?

"Tidak mungkin!" bantah Lily setengah berteriak. Kepalanya menggeleng pelan, bibirnya sedikit terbuka.

"Kau ... bukan, Aku tidak percaya." Suara Lily bergetar, ia menatap Rion dengan tatapan yang sulit diartikan, antara takut dan kebingungan.

Rion menaikkan kedua alisnya. "Apa aku perlu membuktikannya?"

Tiba-tiba Damarion melesat, mendorong tubuh Lily hingga membentur dinding di belakangnya. Membuat gadis berambut coklat itu memekik ngilu sesaat.

Dikuncinya tubuh Lily dengan menggenggam erat kedua tangan gadis itu ke samping, sejajar dengan kepala.

"Ri - Rion, apa yang ingin kau lakukan?" Suara Lily terdengar parau, hampir seperti berbisik. Ada ketakutan terselip dari bola matanya yang bergerak gelisah. Takut kalau tiba-tiba Rion mencabik-cabik tubuhnya.

"Bukankah kau ingin bukti?" Rion semakin merapatkan tubuhnya, memajukan wajah hingga hidung mereka hampir bersentuhan.

Dari jarak sedekat ini, Rion dapat mendengar dengan jelas detak jantung dan napas dingin yang memburu menyapu wajahnya. Membuatnya menatap lekat sesaat, sebelum manik emasnya bergerak turun pada bibir mungil Lily yang sedikit terbuka karena ngos-ngosan.

Sementara Lily tak mampu lagi berkata-kata. Napas dan jantungnya yang berdetak tak sesuai irama membuatnya harus terus diam jika tak ingin kehabisan napas. Ia hanya bisa menatap pemilik iris keemasan yang kian mendekatkan wajahnya. Seketika menutup mata saat merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh bibir mungilnya.
.

.

.

.

.

"Lily ... Lily ...."

Saat suara berat yang khas berbisik merdu di telinga Lily, saat itulah sang gadis berambut coklat terbangun dengan manik membola.

Manik hazel Lily menyapu pandang sebelum akhirnya terhenti pada Rion yang tengah menatapnya dengan senyum semanis gula, dalam posisi tidur miring dengan satu tangan ditekuk untuk menopang kepala -- di sampingnya.

"Jadi itu hanya mimpi?" Lily bermonolog pada dirinya sindiri.

"Mimpi?" Rion membeo seraya merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik Lily. Dengan cepat ia mencondongkan wajahnya, "apa kau bermimpi tentangku?"

Gadis itu terdiam. Melirik ke segala arah guna menghindari tatapan menyelidik Rion yang membuat pipinya memanas.

"Rion, Aku kesiangan!"

Dengan cepat Lily bangkit dan berlari keluar kamar, meninggalkan Rion yang masih pada posisinya begitu saja.

Saat punggung Lily telah menghilang di balik pintu, seringaian samar tercetak di wajah tampan Damarion. "Tidak semua mimpi hanyalah bunga tidur, Lily."



.......



Hari ini sinar mentari begitu terik, hingga baju Lily yang tengah membersihkan halaman belakang itu mulai basah. Selaras dengan rambut coklat panjangnya yang lepek dan wajah kotor bercampur tanah karena tangannya yang hampir tiga menit sekali mengusap peluh.

"Hahh ... akhirnya selesai juga."

Gadis cantik itu berdiri sambil menepuk-nepuk kedua tangan dengan senyum lebar. Dengan wajah sumringah, Ia masuk guna mengambil segelas air sebelum menuju kamar untuk beristirahat sejenak. Namun, di tengah jalan perhatiannya teralih pada sebuah koper yang tergeletak di atas meja ruang tamu.

'Apa ada tamu? Tapi aku tidak mendengar bel pintu berbunyi?' Satu tangan Lily reflek menggaruk pelipis karena bingung, tapi kemudian ia mengangkat kedua bahu, tak ingin ambil pusing.

Hingga kemudian hal lain kembali membuat langkah Lily terhenti. Samar-samar ia seperti mendengar suara pria di kamar bibinya. Karena rasa penasaran yang sudah mencapai ubun-ubun, akhirnya Lily memutuskan untuk mencari tahu.

Melangkah pelan mendekati kamar sang bibi, Lily membuka sedikit pintu kamar yang ternyata tak terkunci itu agar ia dapat melihat siapa yang ada di dalam sana.

Namun, betapa terkejutnya saat Lily mendapati laki-laki yang tak asing sedang bermesraan dengan sang bibi.

"Tuan James?"

.

.

.

Lily duduk di atas alas tidur sederhananya. Matanya yang kini terasa perih masih saja mengalirkan butiran kristal.

Bukan karena melihat bibinya bermeseraan dengan Tuan James; pengacara kepercayaan keluarganya. Tapi ada hal lain yang bahkan tak dapat ia percaya.

Suami sang bibi memang sudah lama tiada, jadi tak salah jika wanita itu ingin memulai keluarga baru. Tapi apa yang Lily dengar masih membuat telinganya terasa panas.

Mereka. Bibi, suaminya yang telah meninggal, dan pengacara kepercayaan Keluarga Rafhelist. Ternyata merekalah dalang dari kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua Lily, kecelakaan yang membuat keluarganya hancur dan membuat hidupnya seolah di neraka seperti sekarang.

Beberapa saat yang lalu ....

"Bagaimana, James? Bagaimana dengan surat-surat itu?" ucap seorang wanita paruh baya sambil mengalungkan tangannya di leher sang pria.

"Tenanglah, sayang, aku sudah mengatur semuanya. Setelah anak itu berusia tujuh belas tahun, akan kubuat dia menandatangani surat yang membuatmu akan menjadi pemilik satu-satunya rumah, perusahaan, dan seluruh properti Keluarga Rafhelist." Pria yang dipanggil James itu menjawab dan membalas pelukan si wanita yang tak lain adalah bibi Lily sendiri.

"Ah, benarkah? Kita dan suamiku yang bodoh itu sudah berhasil menyingkirkan orang tuanya, tinggal selangkah lagi aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan --"

"Dan aku mendapatkanmu." James mengecup pipi wanita itu gemas. "Lalu, apa yang akan kau lakukan pada anak itu?"

"Entahlah. Mungkin aku akan menjualnya pada rumah bordir, lalu memalsukan surat kematian untuknya. Atau mungkin, aku akan membiarkan Evan bersenang-senang dengannya sebelum itu. Sejak awal Evan sangat tertarik padanya. Hahaha ... anak yang malang," jawab sang bibi dengan tatapan merendahkan.

"Kalau begitu, mari kita rayakan kemenangan kita sayang," ucap James sesaat sebelum mereka berciuman.

......


Kedua tangan Lily terkepal erat saat mengingat apa yang telah didengarnya. Sang bibi memang memperlakukannya dengan kejam, tapi ia masih tak mengira kalau wanita itu tega membunuh kakaknya sendiri hanya untuk mendapatkan harta keluarganya.

Terlebih, Tuan James yang sudah hampir lima belas tahun bekerja untuk keluarga mereka ternyata juga ikut andil dalam rencana busuk itu.

Lalu Evan? Apa maksud sang bibi dengan membiarkannya bersenang-senang dulu? Apa sebenarnya mereka sudah tahu sikap kurang ajar Evan pada Lily selama ini? Apa mereka juga tahu Evan sudah beberapa kali berusaha melecehkan Lily? Dan mereka diam saja?

Semua pertanyaan itu terus berputar di benak Lily. Membuat kepalanya terasa panas hingga hampir meledak.

Menangis terisak, Lily terus memegangi kepalanya yang terasa berat. Matanya terpejam erat, menahan kesakitan karena tak mampu menerima kenyataan.

Tanpa sadar, Lily bergumam lirih, "Rion ...."

Gumaman itu membuat angin yang tadinya berembus lembut menderu kencang, membawa hawa dingin yang menusuk kulit dan menerbangkan rambut coklatnya.

Tak berselang lama, seorang pria berbalut pakaian serba hitam dengan sulaman naga emas di dada kiri, tiba-tiba sudah berada di samping Lily.

Tes!

Air mata Lily kembali jatuh. Tapi kali ini tidak sampai menyentuh lantai atau bajunya. Melainkan berada di genggaman telapak tangan yang sengaja terulur di bawah dagunya.

"Apa ini? Kau berjanji tak akan menangis lagi, 'bukan? Lalu kenapa kristal-kristal ini bisa berjatuhan? Dari mana asalnya?"

Suara berat itu membuat Lily menoleh, menatap pria di sampingnya dengan kristal bening yang masih berjatuhan.

"Aku ada di sini." Tangan Rion terulur, mengusap air mata Lily dengan lembut. Bibirnya melengkungkan senyuman tipis dengan tatapan teduh.

"Rion--"

Lily menghambur ke dalam pelukan Rion. Tangannya memeluk punggung Rion erat, menumpahkan semua kesedihannya di sana.

Mengulas senyum lebih lebar, satu tangan Rion membalas dekapan Lily, sementara tangan yang lain mengusap lembut rambut gadis itu agar merasa tenang.

"Mereka jahat, Rion. Merekalah yang sudah menghancurkan keluargaku. Mereka yang sudah membunuh orang tuaku," ucap Lily di sela tangisnya.

"Siapa yang kau maksud?" Rion menjawab lembut.

"Mereka. Bibi dan suaminya yang sudah tiada. Mereka bekerja sama dengan pengacara kepercayaan papa untuk menguasai seluruh harta keluargaku." lanjut Lily yang masih terisak.

Rion melepaskan pelukannya. Menangkup pipi Lily yang terasa dingin dan basah dengan kedua tangannya. "Apa kau yakin?"

Lily mengangguk pelan.

Setelah mendengar penjelasan Lily, Rion tiba-tiba bangkit dan berjalan membelakangi gadis itu. "Lalu apa yang akan kau lakukan, Lily? Meski aku selalu bersamamu, dalam hal ini, aku tidak bisa membantumu."

Manik Lily tampak sendu. Apa pun yang terlintas di pikirannya, semua yang dikatakan Rion adalah benar. Ia rapuh dan tak memiliki apa pun, bahkan hanya sekadar untuk membalas perbuatan Evan selama ini padanya.

Rion berbalik dan menatap Lily. "Jika memang mereka yang melakukan semua itu, bukankah mereka harus mendapatkan balasannya?" Rion menjeda sejenak.

"Mereka yang telah membuatmu terpisah dari orang tuamu dan menyiksamu selama ini. Tidakkah kau pikir mereka harus membayar semua itu?" Pria bermanik kelabu itu kembali mendekat dan berlutut, mengusap lelehan air mata yang tersisa di pipi halus Lily.

"Tidakkah mereka harus membayar setiap tetes air matamu ini?"

Lily terdiam mendengar semua yang Rion ucapkan. Gadis itu masih menelaah setiap kata yang keluar dari bibir pria yang ada di hadapannya saat ini. Hingga kemudian Lily pun berdiri. Melangkah melewati Rion, menuju ambang jendela dengan desiran angin yang mengibarkan perlahan rambut coklatnya.

Maniknya menerawang jauh langit senja yang kian menggelap, menawarkan ketenangan, namun tak sedetik pun mampu menundukkan hatinya yang berkecamuk.

Kedua telapak tangan Lily mengepal. Maniknya yang sesaat menyendu kini menatap penuh amarah. Rahangnya mengeras, menahan gejolak yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas.

"Kau benar, Rion. Mereka harus membayar semuanya. Andai itu mungkin, aku bersedia melakukan dan mengorbankan apa pun untuk membalas perbuatan mereka."

"Apa pun?" Rion menaikkan sebelah alisnya, menyeringai penuh kemenangan. Ia melangkah mendekati gadis lugu yang telah kehilangan harapannya.

"Kalau begitu, biar kutarik ucapanku sebelumnya. Kini aku memiliki alasan untuk membantumu. Asal kau --" Tatapan Rion terpatri pada Lily, kilatan emas tercipta di maniknya meski hanya sesaat.

"Membuat kontrak mati denganku."

Lily terkesiap. Seketika ia berbalik menatap Rion yang berdiri tak jauh darinya.

"Apa maksudmu? Kontrak apa?" Kening Lily mengerut dalam.

"Bukankah aku sudah memberitahumu sebelumnya, siapa aku sebenarnya?" Rion kembali berucap - semakin mendekat.

Kabut hitam muncul dari langkah kaki Rion, membuat hari yang baru saja berganti malam dengan hiasan langit yang mulai terlihat, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Angin bergemuruh tanpa arah, seakan ikut menyambut datangnya sang pangeran kegelapan.

Damarion menatap Lily lekat. Maniknya yang semula kelabu perlahan berubah keemasan dengan kilatan merah menyala.

Kabut yang sebelumnya hanya berada di sekitar Rion, kini membumbung mengelilingi mereka berdua.

"Sekarang, kau mengingatku, Lily?" Rion menyeringai di sudut bibirnya.

Otak Lily berputar cepat. Memperlihatkan setiap baris memori dari mimpinya. Wajahnya tak mampu menyembunyikan ketakutan dan keterkejutan di saat yang sama.

"Aku, Damarion Rensford Lucifer. Aku adalah iblis."

"Ja- Jadi kau benar-benar iblis?" Lily berkedip cepat beberapa kali. Masih tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Sementara Rion semakin memperlihatkan seringaian yang membawa aura mencekam.

Lily mengalihkan tatapan, terlihat kebingungan. Namun, beberapa detik kemudian tatapannya menajam. Rasa takut yang ia rasakan menghilang seketika saat suara bibi dan James kembali terngiang di telinganya. Amarah dan kebencian yang sempat surut sesaat, kembali menyelimutinya.

"Apa yang akan kudapatkan jika mengikat kontrak denganmu?" Lily menatap Rion lekat.

Rion tersenyum dengan rentangan tangan. "Segalanya ... akan bertekuk lutut di bawah kakimu."

"Lalu apa yang kau minta sebagai balasannya? Jiwaku?" Lily kembali mengajukan pertanyaan yang membuat Rion melangkah lebih dekat.

Senyuman di bibir pria tampan itu belum memudar, kini ia mengusap lembut wajah Lily dengan punggung tangan. "Dirimu. Aku menginginkanmu, seutuhnya ... milikku."

Rion mengulurkan tangan kanan dengan telapak tangan menengadah. Memberikan tatapan lembut yang menyimpan kengerian di baliknya. "Jadi, Maukah kau mengikat kontrak mati denganku, Angelica?

Tatapan Lily beralih pada uluran tangan Rion. Gadis itu sudah tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, dan apa yang harus ia korbankan. Saat ini yang memenuhi pikiran dan hatinya hanya amarah, kebencian, dan balas dendam. Ia harus membalas kematian orang tua dan hidupnya yang sudah berantakan.

Tanpa ragu, Lily menerima uluran tangan Rion. Manik hazelnya kembali menatap manik keemasan Rion.

"Aku bersedia mengikat kontrak mati denganmu, Damarion Rensford Lucifer."

Seketika, kabut hitam semakin tinggi membumbung, seperti pusaran angin yang menenggelamkan keduanya hingga tak terlihat. Hanya ada kegelapan dan sepasang mata menyeramkan milik Rion yang dapat Lily lihat.

Tiba-tiba, kepala Lily serasa ikut berputar. Pandangannya memburam dan tubuhnya terasa berat. Kakinya mendadak lemas, tak dapat mempertahankan keseimbangan. Dan sesaat kemudian, semuanya- gelap.

.

.

.

Lily mengerjapkan mata. Satu tangannya memegangi kepala yang masih terasa sedikit pusing. Sementara tangan yang lain ia gunakan untuk membantunya duduk.

"Kau sudah bangun?"

Suara Rion menginterupsi dari samping. Membuat Lily seketika menoleh, memperhatikan manik Rion yang kembali berwana kelabu, sementara kabut hitam menyeramkan itu sudah lenyap entah ke mana.

"Jadi, kau akan mengabulkan keinginanku?"

Pertanyaan Lily sekali lagi membuat senyum Rion mengembang. Ternyata gadis cantik di sampingnya sungguh tidak sabaran. "Apa aku harus melenyapkan mereka sekarang?"

Lily berusaha berdiri. Beralih menatap kerlipan bintang yang telah kembali menghiasi langit malam.

"Tidak sekarang. Dua hari lagi, tepat di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Tapi sebelum itu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," ucap Lily dengan sorot mata penuh kebencian.

Di bawah sinar bulan, Lily tampak menyungging senyuman. 'Kupastikan, mereka akan membayar semua yang terjadi pada kalian.'

Melihat Lily yang diselimuti api dendam, Rion menyeringai. Ia berlutut, menekuk tangan kanan ke depan dan meletakkannya di dada kiri dengan tundukan kepala.

"Yes. My Lady."




~°^°~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top