Bagian 24


Kuy yang belom ikutan PO cus buruan ikutan. Gitutuh layoutnya. Cakep kan.

Harga 99k belom ongkir yes.

Wa 085788190001 / 082165118979

*****

Ophelia terjaga tanpa busana. Matanya kini bertemu dengan dada bidang Aexio yang tak tertutupi apapun.

Rasanya semalam seperti sebuah mimpi yang jadi kenyataan.  Aexio benar-benar membuat Ophelia merasakan bahwa Aexio adalah miliknya.

Kepala Ophelia mendongak.  Ia menatap wajah Aexio dari bawah. Meski setiap hari ia melihat wajah rupawan itu, ia merasa tak pernah bosan. Semakin ia pandang, wajah Aexio semakin tampan. Entah berapa banyak wanita yang menggilai Aexio.

Perlahan bulu mata Aexio bergerak. Kelopak matanya terbuka. Senyum merekah di wajah Aexio, membuat pria itu semakin memikat bagi Ophelia.

"Pagi, Macanku." Aexio menyapa Ophelia dengan panggilan kesayangannya.

"Pagi."

Aexio mengecup kening Ophelia. Ia mengeratkan pelukannya tanpa membuat Ophelia merasa sesak. Rasanya begitu nyaman.

Jika saja Aexio tidak harus bekerja maka ia pasti akan menghabiskan 24 jam waktunya untuk memeluk Ophelia.

Seperti Ophelia yang merasa bagai mimpi indah yang jadi kenyataan, Aexio juga merasakannya. Selama ini ia selalu menahan diri untuk menyentuh Ophelia, ia takut jika Ophelia tidak siap dengan sentuhannya. Namun, apa yang mereka lewatkan semalam menjelaskan bahwa Ophelia juga menginginkannya.

Salah Aexio memang, ia tidak pernah ingin mencoba. Sebagai seorang pria tentu saja ia yang harus memulai bukan Ophelia.

Akan tetapi, itu sudah tidak penting lagi. Sekarang ia bisa menyentuh Ophelia kapanpun ia mau tanpa berpikir Ophelia mungkin akan menolaknya.

****

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Tiffany pada Cia yang berada di depan meja kerjanya.

"Aexio ada di ruangannya?" Cia menjawab pertanyaan Tiffany dengan pertanyaan juga.

Tiffany menatap Cia sengit. "Untuk apa kau menanyakan Aexio?!"

"Aku tidak harus menjelaskannya padamu." Cia melirik ke arah ruangan Aexio. "Dia pasti ada di dalam." Cia berlalu begitu saja. Ia keluar dari ruangan Tiffany dan pergi ke ruangan Aexio.

"Wanita tidak tahu diri itu!" Tiffany mengejar Aleycia.

Cia masuk ke dalam ruangan Aexio tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia tersenyum melihat Aexio yang kini tengah serius dengan berkas yang ia baca.

Aexio dengan wajah serius seperti itu merupakan kesukaan Cia. Dahulu ia bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk memandangi Aexio ketika bekerja.

Mata Cia terus memperhatikan Aexio yang menggoreskan tinta pada berkas di meja. Senyumnya pudar kala ia menyadari bahwa ia telah meninggalkan Aexio demi kekuasaan.

Aexio mengangkat wajahnya setelah ia menyadari orang yang masuk tidak kunjung bicara juga. "Apa yang kau lakukan di sini?" Wajah Aexio berubah dingin. Ia pikir tadi Tiffany yang masuk karena sejauh ini hanya Tiffany yang suka masuk tanpa mengetuk pintu.

Cia mendekat. Bersamaan dengan itu pintu ruang kerja Aexio terbuka. Tiffany masuk dengan wajah yang menunjukan ketidaksukaan mendalam pada Cia.

"Maafkan aku, Aexio. Aku akan segera memanggil security untuk mengusirnya." Tiffany berdiri di sebelah Cia dengan wajah angkuh.

Cia terkekeh pelan. "Kau tidak bisa mengusir adik ipar atasanmu dengan cara kasar, Tiffany. Keharmonisan keluarga Schieneder akan jadi bahan lelucon."

Tiffany memiringkan wajahnya. Matanya setajam pisau yang siap mencabik-cabik wajah Cia. Bagi Tiffany, Cia masih menjadi ancaman besar. Saat ini mungkin Aexio sedang bersikap dingin pada Cia, tapi siapa yang tahu apa yang ada di hati Aexio. Bisa saja Aexio masih mencintai Cia. Tiffany tidak ingin hubunhan Aexio dan Cia membaik. Meski ia tahu Aexio pria yang sangat rasional, tapi ada kemungkinan Aexio kehilangan akal sehatnya dan kembali pada Cia.

"Tinggalkan kami, Tiff." Aexio melerai Tiffany dan Cia. Apa yang Cia katakan memang benar adanya. Jika Cia diusir dari sini dengan cara kasar maka mereka pasti akan jadi bahan gosip. Aexio tidak ingin nama baik keluarganya tercoreng hanya karena masalah sepele seperti Cia.

Tiffany jengkel, tapi ia tidak bisa apa-apa. Ia keluar dengan wajah ditekuk. Sebaliknya, Cia tersenyum menang. Ia melambaikan tangannya memprovokasi Tiffany.

Aexio tidak tahu ada urusan apa Cia ke perusahaannya, tapi apapun alasannya Cia terlalu berani mendatanginya. Bukankah Cia sendiri yang tidak ingin siapapun tahu masa lalu mereka?

"Jika kau tidak memiliki urusan penting denganku, maka pergilah. Aku memiliki banyak pekerjaan." Aexio tidak berbohong. Ia memang memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Terlebih ia tidak ingin membicarakan apapun dengan Cia. Lebih tepatnya tidak ada hal yang bisa dibicarakan.

Kaki Cia mulai melangkah, mengelilingi ruangan Aexio. Jemarinya menyentuh buku-buku yang ada di rak. "Kita hanya tinggal berdua saja, Aexio. Jangan terlalu kaku."

Aexio sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di otak Cia. Bagaimana bisa ia yang dikhianati dengan begitu parahnya bisa bersikap seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Aexio jelas bukan malaikat, ia tak bisa membalas kejahatan dengan kebaikan, termasuk untuk Cia. Ia telah dicampakan, dan ia mencoba menerima itu tanpa dendam, tapi, apa yang Cia lakukan saat ini membuatnya cukup geram.

Kenapa Cia seolah mencoba mengusik ketenangannya lagi? Apakah Cia mencoba membuat kegilaan lain?

"Untuk apa kau datang ke sini.  Jangan bertele-tele!"

Cia menaikan sebelah alisnya. Seolah berpikir sejenak. Kemudian ia berkata, "aku merindukanmu. Itu alasanku kemari."

Aexio tertawa sinis. "Berhenti mengucapkan kata memuakan itu, Cia. Kau tidak pantas sama sekali."

Jari Cia berhenti pada sebuah buku. Ia mengambil buku itu dan membukanya. Cia menjadi sangat tidak tahu diri. Ia duduk di meja kerja Aexio dengan anggunnya. Kaki lurusnya ia silangkan, wajahnya yang cantik terlihat sempurna. Namun, sayangnya Aexio tidak melihat ke arah Cia sama sekali, ia menghindari kontak mata dengan Cia. Alasannya bukan karena takut rasa cinta yang mungkin masih ada akan kembali menguat, tapi karena ia benar-benar ingin mengakhiri semuanya dengan Cia.

"Kau masih menyimpan buku pemberianku." Cia melihat ke catatan tangannya yang ada di halaman pertama buku yang ada di tangannya.

Ia membeli buku itu saat ia berada di Paris. Cia sangat tahu Aexio menyukai jenis tulisan tentang motivasi kehidupan. Cia menuliskan kata cinta yang memabukan. Membuat seolah Aexio merupakan satu-satunya.

Cia memiringkan wajahnya, tersenyum penuh arti pada Aexio yang tampak sedingin es. "Begitu juga dengan perasaanmu. Kau masih menyimpannya untukku." Cia meneruskan tanpa tahu malu.

Aexio mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Cia. Tatapan itu tajam dan menenggelamkan. "Tak ada yang tersisa untukmu." Ia mengatakannya dengan serius.

Hati Cia seperti ditusuk pisau, sakit, tapi ia berusaha tersenyum. "Aku tahu kau bohong."

"Kau sangat menggelikan. Pergilah, aku tidak ingin memiliki urusan apapun lagi denganmu."

Cia diusir berkali-kali oleh Aexio. Inikah balasan baginya yang sudah mencampakan Aexio? Namun, Cia tidak mempedulikannya. Ia menebalkan mukanya dan tetap di sana.

Di luar ruangan ada Ophelia yang datang dengan setelan berwarna peach. Rambutnya tergerai indah. Wajahnya dilapisi oleh riasan tipis. Ini adalah kesekian kalinya Ophelia mengunjungi kantor Aexio, tapi masih sedikit orang yang mengetahui bahwa Ophelia merupakan istri Aexio.

Kehidupan Aexio memang jauh dari pemberitaan ataupun gosip. Aexio memang tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi pembicaraan banyak orang.

Ophelia mengetuk pintu Tiffany pelan. Ia masuk setelahnya.

"Apakah Aexio ada di ruangannya?" Ophelia bertanya sopan.

Tiffany membenci Ophelia lebih banyak dari ia membenci Cia. Itu karena Tiffany merasa bahwa Ophelia sama sekali tidak cocok menjadi pendamping Aexio. Ia tidak melihat ada kelebihan dari Ophelia. Dilihat dari segi manapun ia jauh lebih baik dari Ophelia.

Bagi Tiffany, Ophelia tidak lebih dari wanita oportunis yang memanfaatkan Aexio. Wanita yang merangkak naik ke atas ranjang Aexio.

"Aexio ada di ruangannya." Tiffany menjawab pertanyaan Cia dengan menyembunyikan kebenciannya.

"Ah, baiklah. Kalau begitu aku ke ruangan Aexio." Ophelia tersenyum simpul lalu pergi.

Wajah ramah Tiffany seketika lenyap berganti dengan wajah licik. Tiffany tak mencegah Ophelia masuk ke dalam ruangan Aexio meski ada Cia di sana. Ia sengaja melakukannya agar hubungan Ophelia dan Aexio merenggang. Wanita dan kecemburuannya, itulah yang Tiffany gunakan.

Tiffany akan duduk tenang di kursinya. Menunggu keributan yang akan terjadi di dalam ruangan Aexio.

Ophelia membuka pintu ruangan. Ia mendorong pintu yang terbuat dari kayu oak itu. Kakinya berhenti bergerak tepat di tengah pintu. Matanya yang tenang kini terpaku pada satu titik.

Hati Ophelia dihancurkan sekali lagi. Masih dengan orang yang sama, Cia dan Aexio.

Meski saat ini Cia membelakanginya, Ophelia tetap bisa mengenali Cia.

Tangan Ophelia bergerak. Ia menutup pintu itu kembali dan pergi ke ruangan Tiffany. "Tolong berikan ini pada Aexio." Ophelia menyerahkan makan siang yang ia beli di dalam perjalanan, kemudian ia keluar dari ruangan Tiffany.

Senyum licik terlihat di wajah Tiffany kala ia melihat tangan Ophelia yang gemetaran. Ia tak peduli apa yang terjadi di dalam ruangan antara Aexio dan Cia, tapi situasi ini sangat baik untuknya. Ia hanya ingin Ophelia merasakan sakit hati, kemudian perlahan-lahan pergi dari hidup Aexio.

Hari ini Ophelia telah mendaftarkan dirinya di sebuah universitas ternama, dan setelah selesai ia berniat untuk mengunjungi Aexio. Menemani pria itu makan siang kemudian pergi ke yayasan untuk bekerja.

Sayangnya, niat baik itu malah membawakannya pada luka baru. Ophelia memukul dadanya yang sesak. Ia bergegas melangkah menuju ke lift. Ketika pintu lift terbuka ia masuk dengan cepat. Tak ada seorang pun di lift itu.

Air mata Ophelia luruh begitu saja. Ia tak pernah menangisi pria sebelumnya, tapi kini Aexio telah nenjadi alasan tangisnya. Ophelia kecewa dan sakit hati.

Dua kali ia menangkap basah Aexio sedang berciuman dengan Cia. Ophelia merasa dibohongi, dan ia sangat benci itu.

Jika memang Aexio ingin kembali pada Cia, maka lakukan saja. Ia tak akan pernah melarang. Ia akan melepaskan Aexio tanpa mempersulitnya. Ophelia memang mencintai Aexio, tapi ia tak akan jadi bodoh dengan terus bertahan dalam sebuah hubungan yang tidak sehat.

Kaki Ophelia terasa lemas. Ia memeluk dirinya sendiri. Ternyata seperti ini sakitnya patah hati, begitu tak tertahankan.

Baru semalam ia merasa berada di awan, kini ia sudah dijatuhkan ke dasar jurang oleh Aexio. Aexio mengatakan bahwa Aexio adalah miliknya, tapi pada kenyataannya itu hanya sebuah omong kosong. Aexio hanya milik Cia, bukan miliknya.

Harapan Ophelia hancur tak bersisa. Angannya sirna, seperti buih di lautan luas.

Harus bagaimana ia menata hatinya setelah ini? Harus bagaimana ia bersikap pada Aexio sekarang?



Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top