Bagian 15

Ophelia berdiri di depan cermin. Ia baru saja selesai mandi. Kini ia melihat ke perutnya. Ia masih tak menyangka ada makhluk mungil di dalam sana.

Senyum Ophelia mengembang. Meski sebelumnya ia tak ingin menikah dan memiliki anak, tak bisa dipungkiri bahwa menjadi calon ibu merupakan sesuatu yang menyenangkan. Ophelia tak sabar ingin menggenggam jemari mungil anaknya kelak. Ia tak sabar ada suara kecil yang memanggilnya ibu.

Ophelia bahkan berjanji pada janin yang ada di perutnya, apapun yang akan terjadi kelak ia tak akan pernah melakukan kesalahan yang telah ibunya lakukan padanya. Ia akan menjaga anaknya dengan baik.

Jemari Ophelia mengelus perutnya. "Kuatlah di dalam sana, Ibu menantikan kehadiranmu, Sayang." Ophelia ingin mengecup perutnya, tapi tubuhnya tidak lentur seperti karet, jadilah ia hanya mengecup dari jauh.

Aexio menyaksikan apa yang istrinya lakukan. Hatinya bahagia melihat Ophelia berinteraksi dengan calon anak mereka.

Aexio bersandar di dinding, ia mulai membayangkan bagaimana nanti ketika Ophelia menjadi seorang ibu. Ophelia yang pendiam mungkin akan jadi bawel dan cerewet. Ah, Aexio sangat tidak sabar menunggu hari itu tiba.

Ophelia memiringkan tubuhnya. "Aexi?!" Ia menjerit sembari menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan dalaman saja.

Aexio terkekeh geli. "Tidak usah ditutupi, Ophelia. Kau benar-benar sexy dengan pakaian dalam saja."

"Otak mesum!" Ophelia segera menyambar handuk yang ada di dekatnya.  Ia malu bukan main. Meski ia sudah menjadi istri Aexio hampir 2 bulan, ia tetap merasa tak terbiasa jika Aexio melihat tubuhnya.

Aexio mendekat ke arah Ophelia. Ia menarik Ophelia ke dalam rengkuhannya. Membawa Ophelia kembali menghadap ke cermin. Aexio mengelus perut Ophelia, memberi sensai geli pada si pemilik tubuh.

Jantung Ophelia berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia memandangi wajah Aexio yang kini tersenyum menatap ke pantulan perut Ophelia.

Jatuh cinta padamu merupakan sesuatu yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya, Aexio. Ophelia terus menikmati apa yang ditangkap oleh matanya saat ini.

"Apakah dia sudah mulai bergerak?" tanya Aexio.

Ophelia menggelengkan kepalanya. "Belum." Ia masih memperhatikan wajah Aexio yang terlihat bahagia ketika menanyai tentang calon anak mereka.

"Kau tidak ingin makan sesuatu, atau yang lainnya?" Aexio memiringkan wajahnya bertemu dengan wajah Ophelia. Ia masih berharap Ophelia akan ngidam. Ia sangat ingin direpotkan oleh Ophelia.

"Tidak."

"Hal kecil pun tak ada?" tanya Aexio lagi.

Ophelia menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak menginginkan sesuatu. Entah itu besar pun kecil.

Aexio sedikit kecewa. Ia menghela napas pelan. "Padahal aku sangat ingin memenuhi keinginanmu."

"Kau benar-benar aneh. Sebagian suami tidak ingin repot karena masa ngidam istrinya."

"Aku bukan mereka, Ophe."

Ophelia tahu bahwa Aexio berbeda dari pria kebanyakan. Aexio nyaris mendekati sempurna. "Terima saja takdirmu."

Aexio tertawa kecil. "Baiklah. Mungkin sudah nasibku."

Ophelia ingin memiliki Aexio seutuhnya, tanpa bayang-bayang masa lalu Aexio. Apa yang harus ia lakukan agar Aexio bisa mencintainya dan melupakan Cia?

"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu mandi." Ophelia tidak tahu harus memulai dari mana, mungkin menjadi istri yang baik dan pengertian bisa membuat Aexio tersentuh.

Aexio mengeratkan pelukannya di atas perut Ophelia. Ia meletakan dagunya di bahu sang istri. "Biarkan seperti ini sebentar lagi."

Aexio menemukan kenyamanan ketika ia memeluk Ophelia. Seperti beban yang ada di pundaknya lenyap entah ke mana. Aexio menghirup udara di sekitarnya, ia tersenyum kala bau shampo Ophelia tertangkap oleh indera penciumannya. "Aku suka aroma rambutmu."

"Kau bisa menggunakan shampoku jika kau menyukainya."

"Itu tidak akan sama.  Mungkin aku menyukai baunya karena kau yang memakainya."

Ophelia mencubit lengan Aexio. "Kau mulai menggodaku lagi."

Aexio mendesis pura-pura. "Kau menyakitiku."

Ophelia memutar bola matanya malas. Aexio terlalu suka drama. "Lepaskan aku, dan biarkan aku melakukan tugasku."

"Menemaniku di ranjang?" Aexio mengerlingkan sebelah matanya.

Ophelia tahu Aexio hanya menggodanya. Kala itu mereka melakukannya karena mabuk, dan sekarang mungkin Aexio tidak tertarik pada tubuhnya atau ia tidak bisa menyentuh tubuhnya karena memikirkan Cia.

"Berhenti bercanda, Aexio."

Aexio terkekeh pelan. "Kau benar-benar macanku."

"Baiklah, sekarang lepaskan aku."

"Aih, apakah pelukanku sangat tidak nyaman hingga kau terus meminta dilepaskan." Aexio sengaja memasang wajah kecewa.

"Bukan seperti itu." Ophelia menyela cepat.

"Jika bukan begitu kenapa kau tidak suka aku peluk."

"Pelukanmu sangat nyaman. Aku hanya tidak ingin terbiasa akan rasa nyaman itu."

Aexio terdiam karena jawaban Ophelia. Niatnya hanya ingin bermain-main dengan Ophelia, tapi jawaban Ophelia tidak main-main sama sekali.

Aexio melepaskan pelukannya. Menggerakan tubuh Ophelia hingga berhadapan dengannya. Aexio mengangkat dagu Ophelia, memaksa mereka saling bertatapan. "Aku suamimu, tidak ada salahnya jika kau merasa nyaman akan pelukanku. Jika kau menyukainya aku akan memelukmu hingga kita menua bersama."

Ophelia tersentuh, sangat tersentuh. Hatinya saat ini sudah sepenuhnya jadi milik Aexio. Tak ada pria lain yang mampu membuatnya seperti ini. Tak ada pria lain yang mampu menerobos pertahanan dirinya. Ophelia memang penyendiri, tapi ia cukup populer dikalangan pria, entah itu teman sekelasnya, rekan kerjanya atau orang yang menyewa hotel. Sayangnya tak ada yang bisa mendekati Ophelia. Mereka menganggap Ophelia terlalu menganggap tinggi nilainya.

"Kau yakin kita akan menua bersama?"

"Aku yakin." Aexio memberi jawaban tanpa keraguan.

Ophelia tak tahu harus memegang ucapan Aexio atau tidak, keberadaan Cia sebagai wanita masa lalu Aexio sungguh mengusiknya. Ophelia tak pernah takut kehilangan sebelumnya, tapi saat ini ia mulai merasakannya. Aexio menikahinya hanya karena sebuah tanggung jawab, bukan karena keterikatan perasaan atau emosional.

"Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu dan anak-anak kita kelak." Aexio menambahkan.

Ophelia menyelami mata Aexio, mencoba mencari keraguan di sana, tapi ia tidak menemukannya.

"Kau tidak ingin melewati hari tuamu bersamaku?" tanya Aexio.

Ophelia sangat ingin, tentu saja dia ingin. Akan tetapi, ia tak mau terlalu berharap. Ia takut jika suatu hari nanti Aexio akan kembali pada Cia, atau menemukan wanita lain yang lebih cocok bersama Aexio. "Aku tidak tahu. Kau terlalu cerewet untukku."

Aexio menyentil hidung mancung Ophelia. Ia sedang serius dan jawaban Ophelia terdengar seperti gurauan di telinganya. "Aku bertanya serius, Macanku."

"Aku juga serius."

Aexio mencubiti hidung Ophelia gemas. "Bukankah menyenangkan memiliki pria sepertiku?"

Ophelia berdecih.  "Sangat percaya diri."

"Bukan percaya diri, kenyataannya memang seperti itu." Aexio mendekatkan wajahnya ke wajah Ophelia, saat ini jarak wajah mereja hanya 3 senti saja. "Sangat tampan bukan?" Ia tersenyum.

Ophelia tidak bisa mengendalikan debaran di dadanya. Pandangannya terkunci pada mata Aexio. Dunia seolah berhenti berputar, suasana menjadi begitu hening.

"Benar, sangat tampan."

Bukan hanya Ophelia yang terjebak dalam situasi saat ini, tapi Aexio juga. Dari jarak sedekat itu ia bisa merasakan hembusan napas segar Ophelia. Mata Aexio turun ke bibir mungil Ophelia, tanpa ia sadari ia lebih mendekatkan wajahnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir Ophelia.

Aexio tak pernah ingin melewati batasannya. Ia juga tak mau menyentuh Ophelia tanpa izin dari Ophelia, tapi saat ini ia sungguh ingin merasakan bibir Ophelia.

Manis, memabukan, seperti candu. Aexio melepaskan sejenak ciumannya karena merasa Ophelia mulai kehabisan napas. Namun, detik berikutnya ia memagut bibir Ophelia lagi dan lagi. Tak ada penolakan dari Ophelia membuat Aexio semakin agresif.

Ophelia tenggelam dalam ciuman Aexio. Katakanlah ia terlalu rakus, ia menginginkan Aexio menyentuhnya lebih.





Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top