Bagian 14

Mata Aexio melengkung indah kala menatap Ophelia yang saat ini mengenakan gaun berwarna hitam dengan ornamen emas.  Warna kulit Ophelia terlihat begitu cocok dengan gaun itu. Kesan sexy tidak melekat pada Ophelia saat ini, ia lebih terlihat elegan, berkelas dan misterius.

Aexio berdiri, menghampiri Ophelia disertai dengan senyuman puas. "Gaun ini sepertinya sengaja diciptakan untukmu." Ia merengkuh pinggang Ophelia, membawa Ophelia menuju ke kaca raksasa yang menempel di dinding.

Ophelia diam, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun yang ia pakai begitu indah, membuatnya merasa tak pantas mengenakan gaun tersebut.

"Kau sangat cantik, Ophelia."

Pipi Ophelia memerah. Pujian Aexio selalu membuatnya seperti ini.

"Gaun ini terlalu bagus untukku. Aku tidak pantas memakainya."

Aexio menggenggam tangan Ophelia. Ia tahu Ophelia tak terbiasa dengan pakaian-pakaian seperti ini. "Kau salah. Kau sangat pantas memakainya."

Ophelia masih merasa tak pantas, tapi karena ucapan Aexio akhirnya ia memilih gaun itu. Terlebih acara yang akan ia hadiri merupakan acara yang penting, ia harus mengenakan pakaian yang baik agar tidak mempermalukan keluarga Schieneder.

Usai dari butik, Ophelia kembali ke yayasan. Ia masih harus mempelajari banyak hal, masih harus menyesuaikan dirinya dengan berbagai berkas.

"Ah, rupanya kau sudah kembali dari bersenang-senang dengan suamimu." Bibi Aexio mulai menyerang Ophelia dengan tatapan sinis lagi.

Ophelia tak mengerti kenapa orang-orang suka sekali datang ke ruangannya, kemudian mencemoohnya. Apa mereka tidak memiliki pekerjaan lain?

"Baru berapa hari bekerja kau sudah bertingkah seolah yayasan ini akan jadi milikmu."

Ophelia mengerutkan keningnya. Kapan kiranya ia bertingkah seperti itu?

"Maaf, Bi. Apakah Anda memerlukan sesuatu?" tanya Ophelia sopan.

Wanita itu mendengus jijik. Bibi? Ia geli mendengar kata itu keluar dari mulut Ophelia. "Jangan merendahkan aku dengan memanggilku seperti barusan."

"Baiklah, Nyonya. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?"

"Kenapa? Apa kau tidak suka aku datang ke sini?" Pertanyaan Ophelia dijawab kembali dengan pertanyaan. Tatapan bibi Aexio begitu merendahkan.

Ophelia masih bisa menahan dirinya. Ia tidak terpancing sama sekali meski ia sudah direndahkan sedemikian rupa.

"Jika Anda tidak memiliki kepentingan, silahkan Anda meninggalkan ruangan saya. Saya memiliki beberapa hal yang harus saya kerjakan, dan kedatangan Anda sedikit mengganggu saya," balas Ophelia tenang.

Bibi Aexio memerah. Apakah baru saja ia diusir oleh Ophelia? Seketika amarahnya memuncak. "Berani sekali kau mengusirku dari sini?!"

"Kenapa?" Ophelia mengerutkan keningnya. "Apakah saya tidak bisa melakukannya? Ini ruangan saya, saya berhak menentukan Anda boleh berada di sini atau tidak."

"Kau!" Diana menggeram jengkel. Ophelia sungguh bernyali melawannya. Status sebagai istri Aexio pasti telah membuatnya jadi besar kepala.

Diana semakin tidak menyukai Ophelia. Alasan awal ia membenci Ophelia adalah karena Ophelia menempati jabatan yang menantunya  incar, ditambah Ophelia merupakan istri Aexio, bukan tidak mungkin jika Ophelia berambisi untuk menjadi penerus Kath. Diana tak akan membiarkan itu terjadi, selama ini ia yang sudah banya bekerja di yayasan, jika seseorang harus menggantikan Kath, maka itu adalah dirinya, bukan Ophelia.

"Cepat atau lambat kau akan ditendang dari keluarga Schieneder. Wanita menjijikan seperti kau tidak pantas sama sekali berada di tengah kami!"

Ophelia tak membalas, ia hanya memandangi wajah marah Diana tanpa rasa berdosa. Membuat Diana semakin jengkel padanya.

Diana ingin menghancurkan wajah Ophelia saat ini juga. Ia merasa seperti badut sekarang.

"Wanita jalang!" geram Diana.

Ophelia yakin Diana akan menggunakan seluruh waktu dalam hidup wanita itu untuk mencemooh dan merendahkannya, sayangnya ia tidak memiliki waktu luang untuk mendengarkan segala sumpah serapah Diana. "Sudah selesai?"

Diana seperti akan meledak. Wajahnya merah padam. "Sangat kurang ajar! Lihat saja aku akan mengadukanmu pada Kakak Ipar agar dia bisa sedikit mendisiplinkanmu!"

Lagi-lagi Ophelia tak menjawab. Ia menganggap ocehan Diana seperti angin lalu.

Diana keluar dari ruangan Ophelia dengan perasaan kesal, marah, dan benci yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Diana bersumpah, ia akan membuat Ophelia ditendang keluar dari keluarga Schieneder.

Ophelia menghela napas panjang. Memasuki keluagar Schieneder bukanlah hal mudah, terlebih baginya yang bukan siapa-siapa. Ia harus bisa membela dirinya sendiri, dan tidak perlu mempedulikan orang-orang yang membencinya. Ophelia tak akan membuang waktunya untuk hal-hal tidak penting. Ditambah ia tidak ingin stress ataupun tertekan, karena hal itu tidak akan baik bagi bayinya.

Setelah perginya Diana, Ophelia kembali mempelajari struktur organisasi. Apa saja yang harus ia lakukan dengan jabatannya saat ini. Ophelia memijit pelipisnya pelan, menjadi seseorang dengan jabatan tinggi tidaklah menyenangkan. Terlalu banyak kegiatan yang harus ia hadiri. Ophelia tidak suka berada di tengah-tengah keramaian, tapi kehidupannya saat ini menuntut ia harus membiasakan diri berada di tengah banyak orang.

***

Tiffany masuk ke dalam ruang kerja Aexio dengan membawa secangkir kopi. Sejak pagi hingga saat ini, ia dan Aexio tidak membahas kejadian semalam. Sedikit banyak, Tiffany menyadari apa yang ia bicarakan pada Aexio, ia tidak merasa malu sama sekali.

"Aku membawakanmu kopi." Tiffany meletakan kopi ke meja kerja Aexio.

"Terima kasih, Tiff." Aexio tak beralih dari berkas yang ia baca.

Tiffany melangkah ke belakang kursi Aexio, tangannya bergerak menyusuri kerah leher jas Aexio.

Merasakan tangan Tiffany yang bergerak, Aexio menghentikan kegiatannya. Ia melihat ke jemari Tiffany. Ia tak tahu apa maksud dari sikap Tiffany saat ini.

"Aexi, biarkan aku menjadi simpananmu." Tiffany dengan tak tahu malunya mengatakan itu. Tiffany sudah tak peduli lagi, ia sangat sakit hati memikirkan Aexio bersama Ophelia. Aexio lebih pantas bersamanya, meski ia hanya menjadi simpanan, ia tak keberatan.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Tiff?" Aexio tak bisa mengartikan ucapan Tiffany dengan baik.

"Jadikan aku yang kedua, Aexio. Aku tidak bisa merelakan kau bersama wanita tidak jelas itu."

Aexio tidak menyangka bahwa kalimat itu akan keluar dari mulut Tiffany. Ia mengenal Tiffany lebih baik dari siapapun, Tiffany membenci perselingkuhan dan juga wanita simpanan.

"Jangan mempersulitku, Tiff." Aexio tidak ingin berada dalam dilema lagi. Ia tidak ingin menyakiti Tiffany ataupun Ophelia. Keduanya penting bagi Aexio, Tiffany adalah sahabatnya, sedang Ophelia, wanita itu adalah istrinya, ibu dari calon anaknya.

Tiffany tak mendengarkan ucapan Aexio. Ia menjauhkan tangannya dari Aexio, tapi apa yang ia lakukan selanjutnya jauh lebih berani dari yang ia lakukan tadi. Tiffany membuka pakaiannya.

"Tiff! Kau gila!" Aexio segera bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih pakaian Tiffany yang dijatuhkan di lantai.

Tiffany bukannya berhenti malah makin agresif. Ia melepaskan bra-nya, kemudian menempel pada Aexio. "Aku lebih bisa memuaskanmu daripada wanita itu, Aexio."

Aexio tidak bisa melihat kegilaan Tiffany. Ia memalingkan wajahnya. "Pakai pakaianmu kembali, Tiff. Kita bicarakan ini setelah kau berpikiran jernih." Aexio menganggap bahwa saat ini Tiffany hanya sedang kacau. Ia yakin Tiffany bisa mengendalikan dirinya dalam beberapa waktu ke depan. Seperti ia yang membiarkan Cia menikah dengan Cello.

"Aku sudah berpikiran jernih, Aexio. Aku ingin jadi yang kedua."

Aexio memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. "Tiffany, mengertilah, aku tidak bisa. Dan kau tidak pantas sekali jadi yang kedua. Kau berharga, Tiff. Jangan merendahkan dirimu sendiri." Aexio memegang teguh kesetiaannya pada Ophelia. Cinta memang belum ada, tapi Aexio tak akan pernah mengkhianati Ophelia. Ia tahu benar bagaimana sakitnya dikhianati, dan ia tak akan membiarkan Ophelia merasakannya.

"Aku rela merendahkan diriku demi kau, Aexio. Jangankan jadi yang kedua, ketiga, keempat atau yang kesepuluh aku siap." Tiffany benar-benar serius dengan ucapannya.

Aexio frustasi. Kenapa permasalahan yang ia hadapi semakin pelik saja?

"Aku pernah dikhianati, dan aku tidak akan pernah mengkhianati siapapun."

"Kalau begitu ceraikan dia, dan menikahlah denganku."

Tiffany makin gila. Ia tak memberi Aexio pilihan sama sekali. Tiffany harus egois demi perasaannya sendiri. Bagaimanapun caranya Aexio harus jadi miliknya. Ia mengenal Aexio lebih baik dari siapapun.

"Dia mengandung anakku, Tiff. Dan dia tidak melakukan kesalahan apapun. Aku tidak bisa menceraikannya."

Tiffany tersenyum pahit. "Apakah aku benar-benar tidak pantas bersamamu?"

"Bukan seperti itu, Tiff. Aku sudah beristri."

Tiffany meraih pakaiannya dari tangan Aexio. Saat ini Aexio mungkin masih teguh pada pendiriannya, Tiffany tahu Aexio sangat bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tiffany tak akan menyerah, ia akan terus menggoyahkan Aexio hingga Aexio memilihnya.

"Aku tidak akan pernah menyerah padamu lagi, Aexio. Kali ini aku akan berjuang untukmu. Hanya aku yang pantas bersanding denganmu." Tiffany meninggalkan ruangan Aexio setelah ia selesai berpakaian.

Aexio kembali ke tempat duduknya. Ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Haruskah ia bersikap kejam pada Tiffany agar Tiffany mengerti bahwa ia tak akan mungkin berubah pikiran? Tapi, bukankah ia terlalu jahat jika ia melakukannya pada Tiffany? Tiffany sudah banyak terluka olehnya.






Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top