UNPERFECT
Arkan Hendradi tersenyum sembari menggandeng tunangan cantiknya keluar dari mobil. Mereka tengah menghadiri acara perayaan ulang tahun sebuah stasiun televisi. Arkan beberapa kali pernah tampil sebagai bintang tamu menyampaikan materi dan promosi bisnis di stasiun televisi tersebut. Genggaman lembut di tangan Arkan menyadarkan pria itu untuk segera beranjak menuju ballroom tempat berlangsungnya acara. Empat pengawal Arkan langsung sigap mengitari begitu pewawancara yang melihatnya berkerumun meminta bahan berita.
"Malam Pak Zarkan, apakah akan ada kabar gembira untuk kami beritakan dalam waktu dekat?"
"Pak Zarkan, hubungan Anda dengan Nona Lily sepertinya selalu terlihat harmonis, berbeda dengan hubungan sebelumnya. Kiranya apakah ada treatment khusus untuk menjaganya?"
"Apakah Anda akan segera melangkah ke pelaminan?"
"Dua tahun sudah berlalu sejak acara pertunangan anda, kapan akan melangkah ke jenjang berikutnya? Mohon informasinya."
"Proyek bussiness distric yang sudah berjalan, apakah ada kendala Pak?"
"Nona Lily, bagaimana dengan rencana pameran tunggalnya?"
Pertanyaan-pertanyaan serupa yang mengiringi langkah Arkan dan Lily. Empat pengawal mereka sudah sangat terlatih untuk menjaga jarak sehingga Arkan bisa melangkah dengan tenang. Tidak menanggapi apapun, hanya tersenyum kecil sembari menggandeng tunangan cantiknya segera memasuki ballroom. Lily juga begitu, tidak menanggapi apapun, hanya tersenyum kecil dan membiarkan Arkan mengurusnya.
Mereka aman memasuki ballroom, berbasa-basi dengan penerima tamu sebelum duduk di tempat yang sudah disediakan. Lily merapikan setelan gaun malamnya sebelum duduk di samping Arkan. Selanjutnya yang dilakukan Lily adalah bersikap sempurna mengimbangi pembicaraan Arkan dengan teman-teman atau relasinya.
Arkan sendiri datang hanya untuk menghormati dan menjaga relasi bisnisnya. Tidak terlihat tertarik dengan hiburan penyanyi luar negeri yang memeriahkan acara ulang tahun tersebut. Lily berperan sangat baik sebagai pendamping yang sempurna. Perempuan yang selama dua tahun ini menjadi tunangan Arkan itu telah banyak berubah. Lily yang sekarang lebih pandai mengatur emosi dan menjaga tingkah lakunya.
Sebenarnya Arkan tidak ada mood untuk mendatangi pesta apapun. Tapi ada sebuah rencana yang harus dilakukannya. Rencana yang harus berhasil, agar dapat menyelesaikan segala permasalahan yang mengimpitnya beberapa minggu ini.
"Lily mau ke toilet sebentar." Lily berkata pelan di dekat Arkan.
"Cloud akan menemanimu," kata Arkan lalu seorang pegawal perempuan mendekat mendampingi Lily beranjak menuju toilet.
"Kau serius dengannya?" tanya Eriko, teman kuliah Arkan sekaligus CEO stasiun televisi yang saat ini sedang mengadakan acara.
"Kami akan menikah," jawab Arkan, membuat dua teman mereka yang lain langsung menoleh dengan tatapan serius.
"Zarkan Mahesh Hendradi, menikah? menikahi itik kecil, Lily Rahardian... wah!" Reon langsung menggelengkan kepala takjub.
"Kau butuh lebih banyak minuman, Bro," komentar Juan.
"Atau berkenalan dengan perempuan yang lebih banyak," kata Eriko mengekeh dengan kedipan sebelah mata.
"Pertunangan kalian hanya sebatas bisnis, tidak perlu terlalu serius." Reon menambahi lalu menyeringai. "Itik kecil itu hanya menjadi angsa dalam semalam."
Arkan menghela napas pendek sebelum melirik sekitarnya, tiga teman semasa kuliahnya itu memang terkadang sedikit ngawur saat bicara. Jika saja keadaan tidak berkembang lebih buruk, menikah tidak akan ada dalam pikiran Arkan. Apalagi menikahi Lily Rahardian, tentu saja itu bukan rencana jangka pendek yang Arkan inginkan. Tapi tidak ada pilihan lain. Arkan harus segera membuat perempuan itu jatuh kepadanya dan menikah sesegera mungkin.
"Oh! Dia hamil?" Givanna, kekasih Eriko tiba-tiba berkomentar. Dalam hati Arkan langsung tertawa, jika saja kejadiannya sesederhana itu.
"Givy, Arkan dan Lily tidak mungkin terlibat hubungan seperti itu. Mereka berbeda dari kita," ucap Eriko sambil menyecap bibir kekasihnya. Keduanya terkikik sedikit sebelum berlanjut asik dengan dunianya sendiri.
"Reynand Rahardian mungkin akan langsung meledakkan seluruh agenda proyek kalian jika Arkan berani macam-macam dengan putrinya," kekeh Juan lalu mendentingkan ujung gelas sampanye.
Reon memberi tatapan curiga. "Tapi tidak mungkin kau mencintainya, kan? Lily hanyalah boneka pendamping, kau bukan jenis pria yang berkencan, apalagi menikah. Yang benar saja, Man."
"Aku membutuhkan Lily, tidak ada pilihan lain. Secepatnya kami harus menikah," kata Arkan sembari meminta tambahan sampanye ke gelasnya dan satu koktail tanpa alkohol.
"Jadi, akan ada pesta bujangan dalam waktu dekat? Yeah!" Juan seketika bersemangat.
Arkan tertawa kecil. "Akan kupikirkan. Jika aku tidak sibuk dengan sepupu-sepupuku."
Reon langsung paham dan menggerutu, "Kau hanya menghampiri kami, saat sepupu-sepupumu tidak dalam jangkauan."
"Darah selalu lebih kental daripada air," ungkap Juan seraya menepuk-nepuk bahu Reon.
Pelayan selesai menuang tambahan sampanye lalu menurunkan gelas koktail berhias irisan lemon. Arkan mengangguk lalu mengambil sebuah tablet obat dalam saku jasnya, selewat gerak memasukkan tablet obat tersebut dalam gelas cocktail untuk Lily.
Tablet obat kecil itu langsung larut saat Arkan beralih memegang dan menggoyangkan gelas tersebut. Lily kembali ke sampingnya dalam semenit, Arkan menyodorkan gelas tersebut.
"Minum dulu, Sayang."
Tanpa curiga, Lily menyesap dan menghabiskan cocktailnya. Hal itu membuat senyuman Arkan terkembang penuh. Ia meraih pundak tunangan cantiknya itu, merangkulnya ringan.
"Kita pulang sekarang," kata Arkan, obatnya akan menimbulka efek kurang dari satu jam lagi.
Lily mengangguk dan meraih tas tangannya. Siap untuk berpamitan dengan teman-teman Arkan.
"Kok pulang sih? Belum masuk acara inti nih!" Eriko sedikit memprotes.
"Kami juga punya acara sendiri," kata Arkan sambil merangkul Lily. Terasa sedikit sentakan terkejut dari tubuh yang dirangkul Arkan, tapi pria itu cuek saja. Malahan menoleh untuk menatap Lily lekat-lekat, wanita itu tidak dalam posisi bisa menolak sehingga membiarkan Arkan mengecup sekilas bibirnya.
"Kami harus pulang, ada acara spesial berdua," kata Arkan sambil tersenyum penuh maksud.
"Kode keras, bahaya kalau nggak segera dilemaskan." Reon berseloroh sambil melambaikan tangan. Juan tertawa mendengar komentar ngawur itu.
"Bye bye, enjoy your night," kata Givanna, mengedipkan mata lentiknya saat Arkan melambaikan tangan dan menggandeng Lily pergi dari acara pesta tersebut.
***
Lily langsung melepas sepatu hak tinggi yang dikenakannya begitu mereka aman di dalam mobil. Arkan juga langsung melepas genggaman tangannya, membiarkan Lily meraih karet rambut dan mengucir surai panjang gelapnya menjadi ikatan kuda sederhana. Perempuan itu juga melepaskan segala pernak-pernik perhiasan yang sebelumnya terpasang cantik melingkari leher, pergelangan tangan dan jari Lily. Hanya sebuah cincin berlian yang tidak dilepaskan Lily, cincin tunangannya.
"Mengenakannya selama lima belas menit lagi tidak akan membuatmu alergi," komentar Arkan saat melihat Lily memasukkan perhiasan itu ke dalam tas tangan.
"Lima menit mengenakan itu saja, Lily sudah nggak betah," balas Lily sambil meraih tissue dan melap lipstick yang memulas bibir indahnya.
"Cukup, nanti bisa membersihkan diri di suite. Aku nggak mau mobil penuh tissue," larang Arkan, membuat Lily langsung mengurungkan niat untuk meraih tissue lainnya.
Setiap kali ada acara yang mengharuskan mereka tampil bersama, Lily selalu berganti dan berdandan di suite Arkan. Selain karena Lily harus menyesuaikan dengan penampilan Arkan, perempuan itu juga selalu didandani seperti apa yang Arkan mau. Dengan penata rias yang Arkan pilih. Segala hal yang ada dalam diri Lily selama acara bersama itu sudah diatur oleh Arkan. Yang dilakukan Lily hanya menurut dan bersabar mengikuti acara tersebut sampai selesai.
Gaun malam model strap pas badan yang mengekor hingga ujung jemari kakinya jelas bukan setelan yang akan dengan senang hati Lily kenakan. Belum lagi sepatu hak tinggi dengan hiasan kristal yang sebelumnya terpasang di kaki Lily, jelas bukan jenis sepatu yang akan disukai Lily untuk melewati hari. Semua itu adalah kesukaan Arkan, wanita anggun dengan dandanan cantik dan setelan berkelas.
Lily suka mengikat rambut panjangnya, Arkan menginginkan rambut itu selalu tergerai dengan ujung mengikal. Lily suka berjalan dengan angkle boots atau sneakersnya, Arkan menginginkan jenis sepatu yang lebih mewah dan berkelas, jenis sepatu yang biasa dibeli oleh para wanita sosialita, dengan minimal hak tujuh senti dan benda berkilau sebagai hiasannya. Lily tidak suka perhiasan, Arkan menyukai perhiasan. Pria itu akan memastikan Lily tampil berkilau sebelum menggandengnya ke sebuah acara.
"Jangan angkat gaun kamu!" tegur Arkan saat Lily tertatih berjalan menuruni mobil.
"Susah jalannya," kata Lily, pandangannya juga sedikit berkunang dan tubuhnya mendadak terasa terlalu ringan. Ia agak melayang.
"Cloud akan membantumu berjalan. Pastikan lift aman," kata Arkan dan dua orang pengawal mereka mendekat. Yang perempuan membantu Lily berpegangan dan berjalan ke arah lift, yang laki-laki memastikan lift aman tanpa pengunjung lain menggunakan.
"Aman!" kata pengawal dan Arkan memasuki lift, menarik Lily yang terhuyung ke sampingnya. Obatnya jelas bekerja lebih cepat.
"Leave us alone!" perintah Arkan membuat Cloud siaga dan mengerutkan kening.
"Saya harus mengantar Nona Lily pu—"
"Lily tidak akan pulang!" sela Arkan, merapatkan rangkulan sebelum tubuh Lily kian melemah dalam pelukannya. Cloud terlihat ingin bicara, namun pintu lift cepat menutup dan membawa Arkan naik menuju suite pribadinya.
"Pu... pusing..." kata Lily dengan nada lemah saat Arkan membopong tubuh perempuan itu keluar dari lift.
"Tidurlah," bisik Arkan sebelum menscan kartu penggunanya dan membawa Lily masuk ke dalam. Ia langsung menuju kamar, membaringkan tunangannya ke tempat tidur.
Arkan tersenyum melihat Lily yang pulas. Dengan cepat, ia melepas sandal yang dipakai Lily, selanjutnya menggerai rambut perempuan itu sebelum melepaskan kancing gaun malam itu satu per satu.
"Sorry, Lily ... but I really have no choice," ucap Arkan sebelum menarik gaun malam itu dari tubuh Lily.
Bra biru muda berenda dan celana dalam serasi menyusul lepas kemudian. Arkan menunduk menciumi leher dan pundak Lily, memastikan beberapa tanda cumbuan tertinggal disana dengan jelas. Selanjutnya ciuman Arkan berpindah ke lengan, perut, pinggul dan paha bagian dalam Lily. Ia memastikan tanda-tanda serupa tertinggal dengan sama jelasnya di setiap jengkal kulit leher dan dada yang wangi.
Terakhir, Arkan menciumi wajah, sudut bibir dan menjelajahi mulut Lily, memastikan tunangannya mengerang, memberi respon yang nyaris menyulitkannya sendiri.
Sial! Batin Arkan, cepat-cepat menenangkan diri saat berguling ke samping tubuh telanjang yang sudah dikondisikannya dengan sedemikian rupa.
Ia tidak bermaksud berbuat bejat dan menjadi penjahat kelamin. Oleh karena itu, Arkan memastikan keadaannya terkendali dan baru melepaskan pakaiannya.
Mereka harus terlihat meyakinkan telah melewatkan malam dengan bercinta. Arkan segera menempelkan tubuhnya, memeluk Lily dan menutupi mereka dengan selimut.
"See you tomorrow morning, Light Lily," bisik Arkan seraya menyamankan posisi mereka.
Hanya ini yang Arkan butuhkan sekarang, sisanya akan diurus besok pagi.
***
Rasa pusing yang sedikit demi sedikit datang, menyadarkan Lily. Tubuhnya terasa berat terhimpit kepadatan hangat yang asing melingkupi tubuhnya. Desau angin dari pendingin ruangan membuat Lily entah kenapa reflek menggerakkan tubunya meringkuk dalam kepadatan hangat itu. Gesekan kaki berbulu di sela kakinya langsung membuat Lily tersadar penuh. Kelopak matanya sontak membuka lebar, Lily nyaris tidak percaya pada apa yang ada di hadapannya.
Dada bidang, perut dengan enam lekukan maskulin dan bulu pusar yang mengarah pada bagian paling pribadi Arkan yang baru dilihat langsung oleh Lily. Selimut terdorong jauh dari mereka.
"HWAAAAAAAAAA!!!!" Lily berteriak, langsung turun dari tempat tidur. Tidak percaya dengan pemandangan tubuh telanjang yang nyatanya berbagi tempat tidur bersamanya itu. Arkan membuka matanya sebelum beralih menyangga kepala dengan sebelah tangan. Lelaki itu menguap lebar memandangi Lily yang tampak shock.
"Nice view, anyway!" komentar Arkan sambil menggendikkan dagu pada tubuh Lily.
"KYAAAAAAA!!!" Lily berteriak kembali saat sadar dirinya juga telanjang, begitu saja berlari memasuki kamar mandi.
Teriakan Lily semakin nyaring saat kaca besar memantulkan penampilan tubuh telanjangnya. Banyaknya tanda kemerahan yang tertinggal membuat pikiran Lily pias seketika. Dirinya tidak mungkin melakukan itu dengan Arkan. Mereka bahkan hanya berbagi ciuman formalitas, tidak terlibat keintiman apa pun selama berhubungan sebagai tunangan.
"Sayang, aku pesan sarapan di kamar, kamu mau?" tanya suara Arkan dan Lily langsung melongo.
Arkan tidak pernah memanggilnya 'Sayang' secara pribadi. Jelas, ada yang salah. Lily berdeham sebelum meraih handuk kimono, menutupi tubuh telanjangnya sebelum keluar. Arkan bertelanjang dada, pria itu hanya mengenakan celananya dan terlihat memunguti pakaian yang berserakan di sekitar tempat tidur.
"Apa yang terjadi?" tanya Lily sebelum merebut setelan baju dalamnya yang akan dipungut Arkan. Pria itu menatap sebentar sebelum mengerutkan kening.
"Kamu nggak tau? Kita having seks," jawab Arkan gamblang, membuat pipi Lily merona.
"Kenapa bisa begitu? Aku... engh, kamu nggak mungkin mau. Kita nggak mung—"
"Nyatanya sudah terjadi?"
"Bagaimana bisa terjadi?"
"Aku akui, aku yang cium-cium kamu dulu tapi kamu membalasnya. Dan kamu nggak menolak waktu aku lepas bajunya, kamu mengerang dan—"
"Stop!" Lily menyela sebelum memalingkan wajah karena malu. Kepalanya yang pening samar-samar mengingat erangannya dan ciuman Arkan. Tapi selebihnya Lily tidak mengingat apa pun dan tidak ada rasa aneh dalam tubuhnya meski tanda-tanda bekas ciuman tersebar di badannya.
Mengingat hal itu, Lily bergegas menyibakkan selimut tebal di tempat tidur. Rasa tak percaya langsung menghinggapi Lily saat melihat noda merah mengering di atas sprei, noda lainnya tak kalah membuat kening Lily semakin berkerut.
"Ba... bagaimana bisa?" tanya Lily seperti setengah sadar, otaknya agak macet.
"Kamu perawan dan kamu tau bagaiman prosesnya hingga bekas-bekas itu bisa tertinggal di sprei tempat tidur kita," komentar Arkan lalu menarik selimut kembali menutupi noda sprei tersebut.
"Tapi aku— wait, ini rasanya... aku enggak merasakan apa-apa ... uh, no way ..." kata Lily, bingung dan kesulitan mengungkap isi pikirannya.
Ia menatap tidak percaya pada Arkan yang malah tertawa sambil menggelengkan kepala. Seolah bukan hal besar bagi lelaki itu menghadapi situasi pagi ini.
"Serius? Yang benar aja kamu nggak merasakan apa-apa? Ukuranku membuatmu gila semalaman dan kamu bilang nggak terasa? Wah! kapan-kapan kita replay saat sama-sama sadar supaya kamu bisa merasakan," ucap Arkan sambil tertawa lebar, membuat Lily semakin pias.
"Pusing... aku pusing!" kata Lily dan beralih duduk di kursi meja rias. Sumpah mati, dia tidak mengingat apa pun.
Arkan tersenyum sebelum mendekat dan berlutut dengan sebelah kakinya di hadapan Lily. Pria itu mengambil alih setelan pakaian dalam yang sedari tadi tergenggam di tangan Lily, melemparkan setelan pribadi itu ke arah tumpukan baju mereka. Arkan kemudian beralih menggenggam tangan tunangannya itu.
"Apasih yang kamu takutkan? Pucat banget kamu, Hmm?" tanya Arkan, Lily menatap pria itu sebelum menggigit bibir karena bingung.
"Kamu," jawab Lily, membuat Arkan menarik sebelah alisnya.
"Aku? Aku tunangan kamu."
"Kamu nggak ... kita nggak mungkin melakukan ini. Kita bahkan nggak mungkin berdekatan tanpa ada tujuan untuk mencitrakan sesuatu bagi orang lain." Lily mencoba mengurai kebingungan yang dirasakannya.
"Aku laki-laki biasa, punya batasan pengendalian diri juga. Semalam, aku akui itu nggak seharusnya dilakukan tapi kamupun nggak menolakku, Lily."
"A... aku nggak ingat."
"Kamu ingat atau enggak, yang jelas aku bukan pria brengsek yang sengaja mengambil keuntungan. Semalam, kamu membiarkan dan mengizinkan aku melakukannya," kata Arkan membuat Lily semakin menajamkan matanya. "Aku paham kamu takut dan bingung, makanya aku juga bersiap untuk memenuhi tanggung jawab terkait hal ini."
"A...apa? Tanggung ja.. wab?" tanya Lily semakin kebingungan.
"Iya, aku nggak masalah kita segera menikah," jawab Arkan tenang
"Me... menikah?" Lily semakin tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kepalanya mendadak berdenyut pening.
"Cloud tau bahwa aku bermalam bersamamu, dia pasti melaporkan itu jika Papamu menelepon menanyakan keberadaanmu. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kalau Papamu tau."
"Bagaimana bisa Cloud tidak menghentikan aku? Dia seharusnya membawaku pulang!"
"Kita sudah sibuk bermesraan sejak di dalam lift, Lily. Aku bahkan harus bopong kamu masuk kamar."
Lily menggeleng. "Kita tidak bermesraan, aku pusing dan kamu meng—"
"Fine, kita memang masih menjaga sikap di lift, tetapi jelas begitu di dalam kamar kita enggak menahan-nahan diri lagi." Arkan meralat dan memperhatikan wajah shock Lily yang semakin pias.
Perempuan itu tidak dibiarkan lolos oleh Arkan. Pagi ini juga, Arkan harus mendapatkan jawaban 'YA' untuk pernikahan mereka. Tidak bisa ditunda lagi.
"Kita bahkan punya rencana pribadi masing-masing, bagaimana bisa menikah?" Lily menggeleng gusar. Arkan mengeratkan genggaman tangannya.
"Jadi kamu tidak mau menikah? Aku pria yang bertanggung jawab dengan apa yang kuperbuat. Kamu tidak perawan lagi, Lily," kata Arkan membuat Lily ingin menangis keras menyadari nasibnya.
"Tapi kita... aku—"
"Kamu tau betapa berharganya status keperawanan bagi kalangan beradab seperti kita? Itu bagian dari harga diri sekaligus kehormatanmu, aku sudah mengambilnya dan aku rasa lebih baik bagimu memiliki suami yang sudah mengambil keperawananmu dibandingkan suami masa depan yang mungkin akan kecewa dengan keadaanmu yang tidak lagi suci," kata Arkan setengah memaksakan logikanya pada Lily.
Perempuan itu tampak berusaha menahan air mata, meski akhirnya tetap memberikan anggukan samar.
Arkan tidak bisa menahan senyuman terbit di wajahnya, segera meraih Lily dalam pelukannya. Terasa ada isakan dari tubuh perempuan yang dipeluknya, namun bagi Arkan itu tidak lebih dari bumbu dramatis yang akan diantisipasinya.
"Menuruti aku adalah jalan terbaik untuk kamu, Lily," bisik Arkan sambil mengusap-usap pelan rambut panjang yang tergerai di punggung tunangannya.
"Ketidaksempurnaanmu juga, dengan situasi pernikahan ini akan selalu terlindungi olehku," lanjut Arkan membuat pias di wajah Lily semakin membayang.
Tangis tak lagi ditahan Lily setelah mendengar kenyataan menyakitkan yang disampaikan oleh Arkan tersebut.
Ketidaksempurnaan.
Satu hal itulah yang membuat Lily berakhir dengan keadaan ini.
[]
📸
Kalau bisa jangan ada yang spoiler cerita ini, hahaha. Thank you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top