Two of us
Ada yang masih melek?
23.23 WIB pas
sengaja biar cakep waktu updatenya
hahahaha silly me
.
Jumlah kata 3.200, aw aw~
🔥 menyala jempolku 🔥
kalian nyalain juga dong biar rame
🔥🔥🔥🔥🔥
Selamat membaca
&
Terima kasih
🐊
--
"Sayang ..."
Panggilan lembut yang membangunkan Lily dan membuatnya sejenak terdiam, mencerna apakah ini sungguh realita atau bunga tidurnya terkembang sesuai harapan.
"Sayang, Lily ..." panggil Arkan lantas menempelkan telapak tangan kanan istrinya ke pipi. "Sayang, cintaku."
Lily mengembuskan napas lega, memejamkan matanya lagi selama beberapa detik lalu menyapa pelan, "Hei ..."
"Hei?" ulang Arkan dengan agak tidak terima. Ia berusaha dengan begitu manis dan penuh kasih saat menyapa sang istri. Tidak seharusnya ditanggapi dengan sekadar 'Hei'.
Lily meringis kecil. "Kenapa sih?"
"Kenapa sih?" Arkan kembali mengulang ucapan istrinya yang terkesan dingin dan menatap lekat. "Kamu yang kenapa, tiba-tiba ke Jakarta tapi dicari ke mana-mana enggak ketemu dan ternyata malah masuk rumah sakit!"
"Kalau carinya sambil nongkrong di bar emang enggak bakal ketemu," sindir Lily, lirih namun tepat menyasar pada kesalahan Arkan beberapa hari lalu.
"Itu salah paham, Sayang ... udah langsung diklarifikasi. Aku cuma bantuin tamu, itu juga akhirnya diurus manajer bar. Aku enggak ngapa-ngapain."
"Oh ya?" tanya Lily sambil berusaha melepas tangannya.
"Enggak boleh, mau pegangan terus pokoknya!" Arkan menahan genggaman tangannya, bahkan menggeser wajah lalu mengecupi telapak tangan istrinya itu. "I miss you so much, enggak mau lepas."
Lily seketika menahan tawa. "Kamu cium-cium gitu emang enggak bau asem-aneh gitu?"
"Asem aneh apa?" tanya Arkan.
"Sebelum tidur aku nahan muntah pakai tangan itu, terus cuma dilap sama Papa pakai air dingin."
"What! Muntah?" Arkan langsung menjauhkan wajah dan berjengit bangun dari duduk, ganti memegang area pergelangan tangan sembari memperhatikan istrinya tertawa.
Arkan memang lega bisa mendengar suara tawa istrinya lagi, melihat bagaimana seraut wajah cantik itu kian nyata di hadapannya. Namun, tetap saja dirinya yang jadi bahan tertawaan.
"Lily," panggil Arkan pelan lalu kembali duduk di kursi penunggu, menjangkau botol handsanitizer untuk menyemprotkannya ke telapak tangan sang istri, mengusapnya hingga ke ujung jari dan memastikannya wangi lembut. "Dokter bilang apa memangnya? Kenapa sampai muntah-muntah?"
"Alergi suami playboy!" jawab Lily iseng dan kembali tertawa karena ekspresi sang suami yang seketika lesu.
"Sayang ..." protes Arkan seraya menyabarkan diri, tidak apa-apa disindir sedemikian rupa yang terpenting bisa bersama sang istri dan melihatnya tertawa.
"Aku bukan suami playboy ya, Sayang," ujar Arkan lembut dan tersenyum karena melihat kilau cincin kawin di jari manis sang istri. "Berita rese yang trending beberapa hari lalu itu udah diklarifikasi, aku juga udah telepon Mama Meira untuk menjelaskan, all is clear ..."
Lily menatap raut wajah suaminya yang berusaha meyakinkan. "Mama kasih tahu aku di sini?"
"Enggak, aku frustrasi udah nyari kamu di mana-mana enggak ketemu, jadi minta tolong Kak Ken untuk 'tracking' dan aku langsung ke sini pas dikasih tahu." Arkan menghela napas lega, tidak sia-sia dia memohon sampai menangis pada kakak sepupunya itu.
"Papa tahu?" tanya Lily.
Arkan menggeleng. "Kata suster tadi Papa pulang ke rumah."
"Oh iya, Papa dapat kabar kalau Kakek jatuh, jadi mau cek dulu," kata Lily kemudian berusaha mengatur napas, menahan rasa mual yang timbul kembali.
"Kenapa, Sayang?" tanya Arkan menyadari Lily sedikit gelisah.
"Ng ... aku ... suster aja deh," pintanya.
Arkan menggeleng, mengeratkan genggaman tangannya. "Sayang, ada aku di sini ... kamu bisa mengandalkan aku dalam segala hal. Kamu butuh apa, mau minum?"
"Suster, please." Lily meminta dengan ekspresi serius, sebab dia tahu benar suaminya ini anti hal-hal menjijikkan. Sekesal apa pun pada Arkan rasanya tidak patut juga jika dirinya langsung memuntahi suaminya ini.
"Tenang, aku bisa urus kamu, Sayang ... aku bantu bangun dulu, ya," ujar Arkan lalu melepas tangan Lily dan membungkuk, bermaksud memeluk lalu menegakkan tubuh sang istri.
Ia memang berhasil melakukannya namun begitu tubuh ringkih sang istri dalam posisi duduk, cairan asam dingin seketika membasahi bahu hingga lengannya, membuat Arkan seketika terpaku.
What the . . .
Lily berdeguk sejenak, beralih menuntaskan muntahnya sekalian di dada sang suami, mengatur napas saat isi perutnya beralih membasahi pakaian Arkan dan membuat sang suami terperangah kaku.
"K ... kamar mandi sebelah sana," ujar Lily pelan.
Arkan mengangguk, menolak memperhatikan kondisi pakaiannya dan lebih dulu memastikan, "Are you okay now?"
"Mau dilap, muka sama mulutku pakai air dingin."
"Okay, gimme two minutes!" Arkan mencium kening Lily dan bergegas menjauh, mengangkat ujung kemejanya agar muntahan tidak bercecer. Ia memasuki kamar mandi, melepas kemeja yang langsung dia buang ke tempat sampah. Secepat mungkin Arkan menyeka kulit tubuhnya dengan air mengalir, meraih sabun untuk menetralisir sisa bau.
This is crazy! Arkan membatin penuh kesabaran, usai merasa bersih bergegas mengambil waslap, membasahi dengan air dingin lalu kembali pada sang istri yang mulai pucat.
"Kamu sakit apa sebenarnya, Sayang?" tanya Arkan sembari duduk di pinggiran tempat tidur, berhati-hati menyeka kening, kedua pipi dan baru area bibir sekaligus dagu istrinya. "Dokter bilang apa?"
Lily bukannya tidak mau menjawab, namun dia teralihkan tubuh setengah telanjang Arkan. Tubuh sehat dan bugar, ototnya terbentuk padat, bahkan tetap wangi setelah dia muntahi, wajah yang meski diliputi kecemasan namun kulitnya terlihat cerah, jelas tersentuh alat cukur setiap pagi, bahkan tatanan rambut Arkan juga paripurna.
Sungguh berbanding terbalik dengan Lily yang selama dalam perawatan ini hanya sanggup menggosok gigi dan dilap suster setiap pagi. Lily bahkan belum menyisir rambut!
"Sayang ..." panggil Arkan dengan gelisah. "Kamu mau muntah lagi? Biar aku siap—"
"Di saat aku sampai enggak karuan begini, kenapa kamu masih aja ..." Lily geleng kepala, tidak bisa melanjutkan keluhannya dan berbaring kembali. "Aku mau sama keluargaku aja."
"Sayang, aku suami kamu, keluarga terdekat kamu," Arkan cepat-cepat meraih tangan Lily, kembali menggenggamnya. "Lily, udah ya marahnya, ya? Aku udah enggak sanggup pisah lama-lama, rasanya beneran menyiksa dan merana—"
"Merana tapi masih gitu!" sela Lily tidak menutupi ekspresi sebalnya. Dari sisi mana sebenarnya suaminya ini merana?
"Gitu gimana, Sayang? Aku beneran tersiksa, dua bulan lebih enggak ketemu kamu, enggak lihat kamu." Arkan mencium-cium punggung tangan istrinya. "Udah cukup ya, Sayang ... enggak boleh dilamain suami-istri pisah tempat tinggal, bisa dosa besar."
"Kalau bareng juga belum tentu tahan mengurus aku!" kata Lily dengan helaan napas panjang. "Biarin aku sama Papa dan Ma—"
"Aku bisa tahan!" Arkan menegaskan cepat. "Enggak peduli kamu sakit apa, separah apa pun itu, aku akan merawat kamu sampai sembuh!"
"Kalau enggak sembuh?" tanya Lily.
"Pasti sembuh! Aku akan melakukan segalanya agar kamu sehat lagi, janji!"
Lily memperhatikan tangannya dan sang suami yang bertaut erat. "Kalau sakit hatiku yang belum sembuh? Belum bisa maafin, kamu bisa apa?"
Arkan hampir-hampir menangis karena pertanyaan itu. Ia tidak sanggup lagi jika harus menghadapi perpisahan. "Sayang, please ... aku juga sakit dalam penyesalan ini, enggak gampang bertahan karena jarak dan nihilnya komunikasi kita," ujarnya sungguh-sungguh, berusaha tidak terisak saat kembali berjanji, "Please, minta apa saja dariku selain hal yang menyangkut perpisahan. Aku akan berusaha keras memperbaiki diri, jadi suami yang pantas mendapatkan cinta kamu."
"Minta apa saja?" ulang Lily.
Arkan mengangguk. "Iya, bilang aku, harus gimana memperbaiki semuanya dan kita bisa kembali bersama lagi."
"Aku mau Arsen," ucap Lily.
"H ... hah?"
Lily mengangguk, dia sudah menahan keinginan ini sejak pertama kali melihat foto bayi Calista itu. "Mau ketemu sama gendong Arsen."
"Sekarang juga?" tanya Arkan memastikan keseriusan istrinya.
"Iya," jawab Lily.
Arkan menelan ludah. "Ng, butuh waktu buat mengatur—"
Lily seketika mencoba melepas tangannya.
"Oke! Oke!" sahut Arkan cepat dan mengangguk. "Aku pastikan, paling lambat besok Cally sama Arsen dibawa pulang."
Lily tersenyum, menyebut permintaan keduanya, "Terus aku mau keluar dari sini sekarang."
"K ...keluar? Tapi kamu masih sakit lho, ini gima—"
Lily kembali mencoba melepas tangannya.
"Oke!" sebut Arkan cepat dan menahan genggaman tangan sang istri. "Oke, Sayang, aku akan atur situasi supaya keluar dari sini."
Lily berdeham pelan saat memberi tahu. "Tapi enggak mau turun pakai lift."
"Gimana?" tanya Arkan bingung.
"Iya, mau gendong aja lewat selasar turunan rumah sakit atau tangga darurat."
Itu permintaan yang teramat ganjil, namun Arkan memutuskan langsung menurut, apa pun akan dia lakukan demi sang istri. "Oke, aku akan menurutinya. Ada lagi?"
Lily sejenak mengusap perutnya dengan tangan kiri yang ada di balik selimut. "Ini benar-benar kesempatan terakhir buat kamu dan ini benar-benar kali terakhir aku membuat keputusan bodoh untuk kembali bersamamu."
Arkan segera menggeleng. "Enggak, Sayang ... aku pastikan ini bukan keputusan bodoh," ujarnya lembut seraya mengecupi buku-buku jemari sang istri. "Dan kalau pun benar ini merupakan keputusan bodoh ... aku janji, kamu enggak akan pernah menyesalinya. I love you so much, Lily ... and I can't live without you."
Lily menahan tangisnya, tidak mau terlena atau terbawa suasana. Ia balas menggenggam tangan Arkan, mengulang permintaannya yang paling serius, "Bawa aku keluar dari sini ... sekarang juga."
***
Papa,
Maafkan Lily karena tiba-tiba memutuskan keluar dari Rumah Sakit. Lily akan baik-baik saja, untuk sementara tinggal di tempat yang aman, bersama seseorang yang akan menjaga Lily dengan seluruh kemampuan terbaiknya. Dia akan membuktikan dirinya pantas atas kesempatan ini, karena itu Papa ... sekali lagi ya, percayai kami.
— Putri Papa selamanya, LR.
Reynand Rahardian menyugar rambutnya yang semakin didominasi helaian kelabu. Ia hanya meninggalkan rumah sakit selama kurang lebih lima jam, bahkan baru sejam terlelap saat mendapatkan kabar bahwa putrinya tidak ada di dalam ruang rawat.
Ia tidak perlu mengecek CCTV ataupun memerintahkan seseorang untuk mencari tahu siapa yang membawa sang putri pergi. Sudah jelas siapa sosok yang Lily maksud dalam suratnya ini.
Reynand menghela napas panjang, merapikan sisa barangnya yang masih tertinggal di ruang rawat dan mendapati suster mengantarkan tamu.
Amaris dan Adam Hendradi tampak tergesa mendatangi Reynand, ekspresi wajah mereka diliputi kecemasan.
"Kalian tahu dari mana?" tanya Reynand.
"Itu tidak penting!" Amaris ganti bertanya dengan sangat cemas. "Bagaimana keadaan Lily? Apakah penyakitnya begitu parah sampai lima hari tertahan di rumah sakit?"
"Kamu seharusnya mengabari kami, Rey! Kami kenal dokter—"
"Lily hamil," jawab Reynand dan membuat besannya sama-sama bergegas ke pintu geser yang terbuka, melihat ruang rawat Lily kosong.
"D ... di mana Lily?" tanya Amaris.
Reynand memilih duduk di sofa tunggal dekat dengan kopernya. "Itu juga pertanyaan yang ada dalam kepalaku sekarang."
"Apa maksudmu?" tanya Adam tidak mengerti.
Reynand melemparkan secarik surat ke meja di hadapannya. "Putramu membawa putriku kabur."
"What!!!" seru Amaris dan Adam bersamaan.
Reynand mengangkat tangan kanannya, memijat pangkal hidungnya dengan ekspresi sangat kelelahan. "Adam, ini benar-benar batasku dalam menghadapi putramu ... karena itu, jika dia kembali membuat putriku terluka, jangan harap bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang di dunia ini!"
Adam Hendradi menelan ludahnya dan mengangguk serius. "Aku sendiri juga akan menghajarnya dua kali ... tidak, seratus kali lebih serius jika Arkan mengacau lagi."
Amaris membaca surat di meja lalu memandang dua sosok ayah yang masih saling tatap dengan aura peringatan serius. "Jadi, keputusannya, kita akan mencari mereka atau sementara membiarkan mereka kabur berdua?"
Adam dan Reynand sama-sama menyipitkan mata lalu menjawab kompak, "Cari dan biarkan!"
"Dasar konyol!" geram Amaris lantas mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi asistennya. "Halo, Patricia ... tolong minta Ken untuk melacak Arkan, dia membawa Lily kabur dari rumah sakit ... setelah ketemu lokasinya, cukup pastikan mereka ada di tempat yang aman dan pastikan ada ambulance dengan tenaga medis bersiaga di sekitar tempat mereka tinggal. Thank you."
***
Calista benar-benar tidak menyangka, bukan sekadar karena dia pulang ke Indonesia, tetapi juga dibawa ke Green-mansion, kediaman pribadi sang kakak yang ternyata sudah selesai dibangun.
Arkan menyambut di ruang depan, langsung mengambil alih stroller khusus bayi usia 0-3 bulan dan mendorongnya ke kamar utama di lantai satu.
Calista tidak sempat mengagumi interior dan pilihan furnitur di sekitarnya, langsung membuntuti sang kakak beranjak. "Arsen anteng banget di pesawat, anak pinter."
"Udah kenyang kamu susui?" tanya Arkan.
"Iya, tadi di mobil juga nyusu, emang kena ..." Calista tidak meneruskan pertanyaannya dan terbelalak melihat sosok yang ada di atas ranjang. "Mbak Lily!"
Lily melambaikan tangan sekilas. "Hai, Cal ..."
Arkan menghentikan stroller di samping ranjangnya lalu berhati-hati mengeluarkan keponakannya yang sudah bertambah bobot. "Ini dia, yang selama di Tokyo suka nendang pas perut Mamanya dielus."
Calista masih berusaha memproses situasi namun dirinya begitu lega mendapati Arkan terlihat jauh lebih bahagia, mendekatkan Arsen kepada Lily yang antusias.
"Hallo, Arsen ... ini Tante Lily," ujar Lily lembut, otomatis menekuk lengan, mendekap bayi yang sejenak terbangun, menatap dengan mata jernihnya dan mengulas senyum.
"Yee, seneng! Tau aja digendong yang cantik-cantik," ujar Arkan sambil terkekeh.
Lily tersenyum, mengusap pipi Arsen yang lembut. "Iya dong, belajar dari Om Lakan pasti."
"Ya ampun, enggak gitu, Sayang," ujar Arkan lantas memindahkan helaian rambut Lily yang menjuntai ke belakang kepala.
Genap dua puluh empat jam mereka bersama. Hal pertama yang Arkan lakukan begitu tiba di sini bersama Lily adalah membantu sang istri mandi. Membantu dalam artian menyiapkan bathup air dingin, menyediakan perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Lily mandi sendiri, berpakaian rapi lalu keluar dari kamar mandi meminta dibantu mengeringkan rambut dan menyisirnya rapi seperti sekarang.
Lily tidak terlihat seperti orang yang sakit kecuali setelah selesai makan, bisa langsung muntah. Seharian kemarin Arkan sudah berganti baju sebanyak enam kali, ditambah piama dua kali semalam. Namun, meski begitu, Arkan tidak mengeluh atau sedikit pun menunjukkan kekesalan. Ia tetap sabar, memeluk tubuh hangat istrinya sepanjang malam.
"Cally, Arsen minumnya bisa pakai botol?" tanya Lily.
Calista segera mendekat. "Iya, bisa, kenapa, Mbak?"
"Nanti aku diajarin ya caranya kasih susu gimana," pinta Lily sambil terus membuai bayi manis yang terlihat nyaman di dekapannya.
Calista melirik Arkan sekilas. "Abang bisa ngajarin, Mbak."
"Cal!" protes Arkan. "Jangan panggil Abang!"
"Itu panggilan sayang," sebut Calista lalu mengekeh dan menaiki tempat tidur untuk duduk di samping Lily. "Ih, senyum-senyum ... seneng ya, akhirnya ketemu Tante Lily, setiap digendong Om Lakan cuma diceritain melulu."
"Eh?" tanya Lily dan menatap suaminya.
"Y-ya ... aku mau Arsen tahu aja, soal kamu," jawab Arkan dengan jujur. "Arsen bikin aku tenang, enggak merasa dihakimi juga kalau cerita soal kamu, gimana kangenku selama ini."
"Emang kangen?" tanya Lily dengan raut tidak percaya, membuat Calista jadi tertawa.
"Wah!" sebut Arkan lantas menatap sang adik. "Ceritain semuanya, Cal ... ckckck kamu tuh, enggak percayaan banget, aku tersiksa lahir-batin tanpa kamu, Sayang."
"Manis banget Om Lakan ya..." ujar Lily sambil menggodai bayi di lekukan lengannya, kedua kaki Arsen seketika bergerak-gerak, demikian juga lengannya yang terangkat gembira. "O oh, iya, Arsen lebih manis ya, iya?"
Calista ikut takjub dengan antusiasme anaknya, seolah benar-benar mengenali Lily dan merasa nyaman. "Ya ampun, seneng banget sih ini."
Arkan ikut takjub. "Iya, mana enggak nangis tadi aku pindahin langsung ke dekapannya Lily."
Calista saling pandang dengan sang kakak lalu memastikan, "Ngomong-omong ini sepi banget rumah, kayak enggak ada pelayan juga."
"Iya, emang, dari kemarin just two of us," jawab Arkan.
"Hah? Kok gitu?" tanya Calista heran.
"Mau berduaan aja emang," kata Arkan lalu tersenyum pada sang istri yang masih mengagumi Arsen.
"Cally, aku boleh nyayang Arsen? Sun pipinya?" tanya Lily penuh harap. "Aku udah gosok gigi, cuci muka dan enggak pakai make-up!"
Calista mengangguk. "Ya bolehlah, kan Mbak Ly keluarga."
Lily mengangkat Arsen lebih dekat lalu mencium pipi kanan, berlagak membuat bunyi kecupan yang justru membuat Arsen semakin senang.
"Wah! Iri banget sama Arsen," ungkap Arkan karena meski semalam sudah memeluk sang istri, tetap belum mendapat porsi kemanjaan sejauh itu.
Lily menulikan telinga dan sekali lagi mencium ke pipi kiri. Ia juga menarik napas panjang, wangi bayi sungguh menentramkan.
"Ini berarti aku mau minum, ambil sendiri ke dapur?" tanya Calista.
"Iyalah! Itu kulkas penuh kok," ujar Arkan dan sang adik langsung beranjak pergi ke luar kamar.
"Arsen emang biasanya anteng dan happy baby begini?" tanya Lily dan membaringkan Arsen ke area pangkuannya.
Arkan menggeleng. "Biasanya sama Mama, aku, Cally aja anteng ... Alexi masih kaku banget kalau urus Arsen, Papa juga, kayak tegang gitu gendong, hahaha ... eh! Muter ke mana kamu."
Lily menunduk pada bayi yang tiba-tiba menoleh dan mendusel ke area perutnya. Arkan mengulurkan tangan untuk membetulkan posisi berbaring keponakannya.
"Arsen tahu ya," ucap Lily penuh sayang.
"Tahu apa?" tanya Arkan bingung.
Lily meraih tangan kanan Arkan yang selesai membetulkan Arsen, memindahkan ke perutnya. "Aku enggak sakit, justru dapat berkat luar biasa ..."
"Lily ..." sebut Arkan dengan napas yang tercekat. "Is this real?"
"She's now as big as a strawberry."
Arkan hampir-hampir tidak bernapas sekarang. "She ..." ulangnya lirih.
Lily tersenyum simpul. "Aku pengin anak perempuan, apa Mas Arkan kebera—"
"She's perfect then," ungkap Arkan lalu begitu saja menangis, melepaskan tangannya untuk memindahkan Arsen kembali ke stroller.
"Eh, loh!" sebut Lily bingung.
Arkan menggeleng. "Enggak boleh, Sayang, Arsen 'kan anak cowok ... kalau anak kita perempuan, aku aja yang boleh nyayang dia," ucapnya masih dengan derai air mata haru.
Lily hampir-hampir bingung dengan reaksi suaminya, namun detik berikutnya Arkan beralih menyurukan kepala ke perutnya, mencium-cium seraya mengucapkan terima kasih dan ungkapan syukur, barulah ia mengerti ... betapa besar selama ini harapan yang terus dipendam, kemungkinan demi kemungkinan yang terus didoakan agar mereka tetap terikat pada satu sama lain.
Lily mengusap lembut helaian rambut di kepala suaminya dan bercerita lirih, "Aku juga belum lama sadarnya ... setelah cari tahu dan tanya dokter separah apa stressku, sampai enggak mens, padahal waktu pulang ke Dubai langsung muncul bercak darahnya. Dokter suruh aku testpack, ternyata garis dua."
"T ...terus?" tanya Arkan sembari mengusapi sisa air matanya.
"Dokter bilang bercak darah awalku itu berhubungan sama proses implantasi, bukan menstruasi." Lily mengusap bekas air mata di pipi sang suami. "Paginya aku minta Papa diantar pulang ke sini, tapi sesemangat apa pun, waktu landing rasanya enggak karuan, makanya aku pingsan dan langsung perawatan intensif di rumah sakit."
Arkan seketika menegakkan diri mendengar penuturan itu. "Berarti ini bahaya dong, Sayang ... kamu sama bayi kita enggak boleh kenapa-kenapa, ayo kembali aja ke—"
"Dokter bilang selama aku lebih banyak bedrest, menjaga cairan tubuh dan tetap hangat ... aku akan baik-baik aja." Lily meyakinkan dengan serius. "Aku enggak suka rumah sakit ... mau dirawat sini aja."
Arkan mengangguk. "Oke, nanti aku minta dokter datang dan cek kamu, ya?"
"Iya ... sekarang, aku mau Arsen lagi," pinta Lily.
Arkan seketika menunjuk dirinya sendiri. "Arsen? Bukan Mas Arkan aja?"
Lily menggeleng. "Arsen," tegasnya dan bertepatan dengan bayi itu merengek. "Tuh, kan dia nangis tadi dipindahin."
"Enggak boleh, kalau bayi kita perempuan, cuma aku yang boleh sayang-sayang."
"Arsen juga bakal sayang adiknya!"
"Aku yang paling sayang sama si bayi!"
Calista yang kembali ke kamar, menyimak perdebatan itu dengan ekspresi bingung sekaligus penasaran. "What baby?" tanyanya sembari bergegas mendekat.
Lily tertawa melihat ekspresi Calista yang menantikan penjelasan.
"Our baby,"jawab Lily.
"What?" cetus Calista lalu menatap Arkan yang tengah menenangkan Arsen. "How?"
Arkan mengerutkan kening karena pertanyaan itu, "Ya, sama kayak kamu dan Alexi bikin Arsen."
"Heh! Maksudku 'kan ...oh! Astaga! Kalian honeymoon beneran?" Calista nyaris menjerit saat detik berikutnya langsung siap memeluk.
"Be careful!" seru Arkan serius.
Lily mengekeh. "Cally peluk Mas Arkan aja, aku mau peluk Arsen," katanya lalu mengulurkan tangan. "Sini, Arsen sama Tally ya ..."
Arkan menyerahkan bayi yang baru tenang ke dekapan sang istri. Lily benar-benar senang, terus tersenyum bermonolog dengan si keponakan.
Calista menempel ke sisi sang kakak, "Keren banget honeymoon seminggu dapat hasil."
"I'm an expert," ujar Arkan dan mengaduh karena Calista memukul lengannya.
"Jangan sombong!" Calista mengingatkan.
Arkan meralat santai, "Well, then, we're blessed."
"Mama sama Papa udah tahu?" tanya Calista dan detik itulah Arkan terkesiap sadar.
"God! Ini Lily aku bawa gitu aja dari rumah sakit. Astaga kalau ketahuan Papa sama Mama, Lily kondisinya hamil begini dan enggak proper perawatan medis ... mampus aku!"
Calista berdecak, menepuk-nepuk bahu sang kakak. "Ini alasan kita bersaudara, sama kacaunya!"
[]
📸
Hendradi' brother & sister
emang enggak ada lawan
wkwkwkwkkacau
.
Sepanjang aku nulis sibling connection kayaknya yang paling klop kacaunya, tingkah kampret ft. beban keluarga emang cuma Arkan sama Cally ini, pfftt
Oh!
Pascal-Iris juga kacau sih
tapi ini family background juga ngehe
jadi wajar mereka sesat
Hirdaan-Ava kacau dikit
tapi ini juga wajar karena kompleks
permasalahan keluarga
Wkwkwkk top tier kampret dengan
sibling & family issues 🤣
.
emang cuma ijo-ijo neon yany sehat juga sibling connection; Red-Emerald, Hiza-Rave, The Hashmi brother-Lulu, Lukesh-Lyre ✨️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top