Sharing, caring
Malming pertama di 2025~
udah bikin target/ resolusi?
atau nerusin resolusi tahun lalu
yang belum realisasi 🤣
Apa pun itu,
semangat untuk kita semua di tahun ini
wish everything alright, Aamiin.
.
3.500 kata untuk bab ini
semoga suka yay!
Terima kasih
🐊
--
"Kok aneh ya?" tanya Kai sambil menggaruk kening. Di seberang tempatnya duduk, Arkan begitu sigap menangani Lily yang muntah.
"Beda ya, Kai?" tanya balik Amaris, melihat beberapa tomat yang tersisa di piring. Lily baru makan sebuah dan langsung muntah.
"Enggak, ini sisa yang kemarin, persis!" Kai menjawab yakin sembari memperhatikan Lily yang kembali lemas bersandar. "Apa karena udah enggak kepengin lagi, iya, Ly?"
Lily menggeleng, tomat cherry itu masih sangat menggiurkan baginya. "Aku masih mau tapi enggak tahu kenapa muntah," jawab Lily lemah.
"It's okay, kemarin makannya dikit juga," kata Arkan menenangkan, membetulkan bantal sofa yang disandari sang istri lalu membersihkan tissue bekas. "Sayang udah enakan?"
Lily mengangguk lemah, kembali memandang suaminya dan mengulurkan tangan, meminta berpegangan.
Arkan segera mengelap tangannya dengan waslap basah di meja, mengeringkannya sekilas lalu menggenggam tangan sang istri. "Aku janji, kamu akan baik-baik aja ... bayi kita juga, ya?"
"Iya," jawab Lily.
Amaris menggeser piring di meja dan mengangkatnya. "Mama bawa balik ke dapur aja, ya?"
"Aku makan aja sini, Ma," pinta Arkan dan meminta persetujuan sang istri, "Boleh, Sayang?"
"Iya," jawab Lily karena toh dia terbukti tidak bisa makan.
Arkan tersenyum, melepas pegangan tangannya untuk mengambil buah pertama lalu menggigit setengah bagian. "Masih manis dan segar banget ini."
Lily seketika fokus menatap lekat-lekat pada suaminya yang sibuk mengemil bulatan buah selanjutnya. Ia menelan ludah, keinginan kuat itu kembali dan seketika membuatnya membuka mulut, "Aaa ..." pintanya.
"Mau?" tanya Arkan dan Amaris langsung kembali mendekatkan kotak tissue, berjaga-jaga. "Setengahan ini?"
"Iya ... mau setengah itu."
Arkan menyuapkan sisa buah tomat di ujung jemarinya, memperhatikan sang istri tenang mengunyah, menelan lalu menunjuk buah selanjutnya.
"Itu, yang lebih gede, gigit dulu," pinta Lily.
Amaris memastikan maksud menantunya. "Ly, enggak mau muntah dulu?"
Lily menggeleng, menunjuk-nunjuk buah yang dimaksudnya. "Mas, itu!"
"O... oh, iya," ujar Arkan lalu mengambil buah yang dimaksud, menggigit setengah lalu membiarkan tangannya ditarik dan sisa buah tomat itu beralih ke mulut sang istri.
Arkan mengerjapkan matanya, sebagaimana Kai yang juga terkesiap. Lily terlihat senang, nyaman dan tenang mengunyah sisa buah tomat cherry.
"Jadi, harus lo gigit dulu?" tebak Kai karena Lily tidak terlihat kesulitan, bahkan raut wajahnya kembali segar.
"Gue juga mikir gitu," jawab Arkan menunggu reaksi istrinya. "Gimana, Sayang?"
"Enak! Ayo maem itu lagi," kata Lily membuat Amaris seketika menatap takjub.
"Kok bisa begitu ya?" Amaris keheranan usai sekali lagi memastikan menantunya tenang mengemil tomat cherry sisa gigitan Arkan.
"Enggak tahu," jawab Arkan, sama heran dan bingungnya. Namun, di sisi lain, kemajuan ini amat melegakannya.
"Aneh-aneh aja, berapa hari lo enggak gosok gigi?" tanya Kai pada Arkan.
"Sembarangan! Gue ini selesai makan wajib gosok gigi, mulut selalu wangi. Iya kan, Sayang?" kata Arkan meminta dukungan Lily.
"Ng, iya... gigit lagi ini," kata Lily menunggu dengan raut tidak sabar. Arkan menurut, menggigit setengah bagian, menyodorkan setengahnya untuk dimakan sang istri.
"Bisa kali ya, kalau makan caranya gitu? Coba nanti lo makan buah lain trus sisanya kasih Lily," usul Kai tapi Lily menggeleng tegas.
"Enggak kepengin kalau buah lain, nanti coba makan rendang aja," usul Lily.
"R... rendang?" ulang Arkan agak panik membayangkan daging berempah, berminyak, dengan bumbu kental warna gelap tersebut.
"Ng, gepuk aja dulu deh yang lebih ringan dan gampang gigit," ralat Lily.
"G... gepuk?" Arkan mengulang kembali.
"Jadi beo gitu sih lo? Gampang itu dicari, di rumah makan Padang juga ada," kata Kai yang membuat raut sepupunya tampak semakin nelangsa.
"Gue enggak mau makan yang begitu kalau bukan masakan Tante Greta atau Tante Faira!" Arkan seketika menunjukkan bulu halus di lengannya. "Sumpah, belum-belum gue merinding, Kai."
"Ck! Jangan aleman lo! Ini kemajuan bagus yang kudu semakin diapresiasi," ungkap Kai lalu menatap Amaris. "Kalau minta Bunda atau Mama Faira masak kelamaan ya, Tante? Kasihan Lily yang udah penasaran begini."
Amaris mengangguk. "Iya, benar! Udah kamu itu tugasnya makan setengah terus kasih Lily."
Arkan menatap melas pada sang ibu. "Y-ya tapi, Ma ... Mama tahu aku enggak pernah makan, makanan begitu kalau bukan karena lagi kumpul keluarga di Yogyakarta."
"Ya makanya dicoba!" desak Kai.
"Ck! Bilang Mr. Kim suruh pilih rumah makan Padang yang paling bersih se-Jakarta, kalau bisa yang masaknya nggak pakai terlalu banyak minyak trus rempahnya jangan terlalu kerasa juga, tapi enak!" pinta Arkan seraya melempar ponselnya pada Kai.
"Mana enak kalau rempahnya nggak kerasa? Gimana sih, Mas Arkan ini?" protes Lily dengan ekspresi tidak setuju. "Gepuk yang Lily mau juga enggak dibeli di Jakarta... belinya di Bandung, aduh... mau nasi kalong juga... yang tumis buncisnya masih kriuk-kriuk itu," lanjut Lily tiba-tiba menyebutkan nama makanan dengan raut penuh damba. "Batagor Riri, tahu susu, peuyeum bakar ... pisang bolen Kartika."
Amaris tertawa melihat wajah putranya semakin pucat. "Oh! Akhirnya, ada masa Mama melihat kamu makan nasi kalong."
"Si bayi kayaknya bakal jadi keponakan kesayangan keluarga kita, Tante, udah cocok gitu seleranya," kata Kai sambil tertawa penuh kepuasan.
"Nasi kalong itu bentuknya kayak apa?" tanya Arkan.
Kai melakukan pencarian, menunjukkan jenis kuliner yang dimaksud. Arkan menelan ludah mendapati kilat-kilat minyak yang tampak dalam setiap foto. Tubuhnya bukan lagi merinding, sekarang ditambah keringat dingin. "Sayang, ini koki di hotel pasti bisa deh bikin—"
"Enggak mau! Mau yang asli, yang di Cihapit!" Lily langsung menyela saat menyadari apa yang ingin diusulkan suaminya.
"Lo sukanya bikin repot koki hotel deh!" timpal Kai dan langsung tertawa saat Arkan memelototinya.
"Y-ya tapi gue tuh—"
Amaris mengibaskan tangan santai. "Udah, kamu jangan banyak usul atau protes, Lily mau apa ya dituruti aja!"
"Iya, ingat kemarin udah nazar! Ini bisa jadi jawaban atas janji lo kemarin." Kai mengingatkan dengan senyum semringah.
"Seneng ya lo!" geram Arkan.
"Oh, lo enggak senang Lily bisa makan?" tanya Kai.
Lily seketika menatap sedih. "Kalau Mas Arkan enggak mau—"
"Mau, Sayang ... iya, mau kok berbagi makanan apa aja sama kamu, ya!" Arkan segera mengangguk-angguk, menegaskan sikap kooperatifnya dengan kembali memegangi tangan sang istri. "Aku akan makan semuanya nanti ya, Sayang."
"Iya," ucap Lily senang lalu menoleh pada sisa buah di piring. "Itu maem lagi setengah ya."
"Oke, Sayang," jawab Arkan yang sepenuhnya takhluk dan tunduk pada permintaan sang istri.
***
"Lo yakin gue bisa makan?" tanya Arkan serius.
Kai menahan tawa, lebih dulu mengangguk pada Mr. Kim yang berlalu membawa dua paperbag di tangan kanan dan kiri. Jelas, isinya adalah setiap makanan yang Lily inginkan untuk dicoba.
Amaris terlihat keluar dari ruang duduk, meminta pelayan untuk menyiapkan setiap makanan itu, memastikan penyajiannya menyelerakan.
"Kai!" panggil Arkan.
"Aman! Lagian mending lo yang mules atau muntah daripada Lily terus-terusan enggak bisa makan," kata Kai enteng.
Arkan mengusap dada sekilas. "Gue kira kita saudara, Kai."
"Gue 'kan udah bilang seluruh keluarga besar ada di pihak Lily." Kai mengingatkan dengan ekspresi senang. "Lo mau gue pilihin sendok buat cobain makanan-makanan itu?"
"Enggak usah!" tolak Arkan kesal yang kemudian langsung berlalu pergi.
Kai tertawa geli. "Yee, ngambek!"
Arkan kembali ke ruang duduk tempat istrinya kini membaca buku. Ekspresi wajah cantik itu semakin terlihat senang dan Arkan merasa dirinya akan sangat menyesal jika sang istri sampai kehilangan mood. Oleh sebab itulah, Arkan memutuskan untuk pasrah terhadap makanan apa pun yang akan dicobanya.
"I'm gonna be fine," ungkap Arkan lirih lalu mengusap perut berototnya. "Just bear with that ... we can do this."
Lily teralihkan kehadiran suaminya. "Mas Arkan ngomong sama siapa?"
"Ngomong sendiri, hahaha ... itu makanan yang kamu minta udah datang, Sayang."
"Iya, Mama tadi bilang mau plating dulu," kata Lily dan menutup bukunya. Ia mendecap-decap tidak sabar. "Pengin segera cobain, soalnya lama banget enggak makan jajanan Bandung."
"Ng, anu, kalau memungkinkan dan biar adil juga buat bayi kita cobain makanan, habis jajanan Bandung ya gantian jajanan Belgia gitu, bisa?" pinta Arkan dengan sedikit modus. "Biar balance, Sayang, ya?"
Lily mengekeh. "Lily aja enggak pernah ke Belgia, gimana bisa tahu jajanannya apa?"
"Y-ya aku yang kasih tahu," ujar Arkan.
"Enggak ah! Lily 'kan lama kemarin di Tokyo sama Dubai, jadi kalau beneran bisa makan, mau puas-puasin sama makanan nusantara yang kaya ini."
Mati aku! Arkan membatin dengan sejenak menahan napas. Ia berusaha tetap tenang dan terkendali. Arkan harus yakin bahwa ini bukan masalah yang tidak dapat dia atasi. Everything' gonna be alright.
"Ini akan bagus juga buat Mas Arkan, biar makin terbiasa sama traditional food ... jangan western terus, makan kok pilihannya steak pakai kentang goreng atau steak pakai kentang tumbuk!"
"Aku makan Italian juga, Sayang. Japanese food, bahkan sampai—"
"Enggak ada yang bisa ngalahin traditional Indonesian cuisine, Mas ... makanya ini moment tepat untuk Mas Arkan merasakan sendiri." Lily bersikukuh dengan pendapatnya dan tersenyum lebar. "Duh, enggak sabar mau makan."
Arkan meringis, ia justru sangat berusaha menyabarkan diri.
"Ini dia makanan pertamanya." Amaris Fabian datang dengan sepiring daging kering, dengan serat-serat terlihat, tidak terlalu tebal.
Arkan mencium wangi gurih saat piring itu didekatkan. Ia agak tidak yakin saat memperhatikan potongan cabai diantara serat daging itu. "Pedas ini?"
"Lumayan."
"Emang enaknya maem pakai nasi anget, terus pakai kerupuk blek gitu." Lily memberi tahu.
"Kerupuk blek?" tanya Arkan.
Lily mengangguk. "Iya, kerupuk seribuan bulat-bulat yang dijual dalam wadah kaleng alumunium gitu. Di Jawa sebutnya blek."
Arkan tidak punya bayangan apa pun tentang jenis makanan itu. Ia meraih garpu lalu menyuwir sedikit bagian daging di piring. "Ini kayaknya pedas banget lho, Ma."
"Enggak, masih dalam toleransi kamu pedasnya." Amaris meyakinkan dengan serius. "Ini juga empuk banget, tuh kamu suwir langsung lepas juga."
Arkan memperhatikan sang istri yang tampak menantikan. Ia segera menggigit setengah bagian suwiran daging di garpunya, menahan makanan gurih-manis-pedas yang tidak terasa familiar bagi lidahnya.
"Enak?" tanya Lily.
Enggak! Jawab Arkan dalam hati. Ia berjuang menelan daging yang dikunyahnya dan tersenyum. "Iya, ini, gilirannya Sayang ..."
Lily menghindarkan kepala dan menggeleng. "Rasanya udah lega pas Mas Arkan bisa makan."
"Hah?" tanya Arkan bingung.
"Mama, mau nasi merah sama tumis buncis dan perkedelnya aja, dapat kan?"
Amaris mengangguk. "Dapat dong," katanya lantas memanggil pelayan untuk menyajikan.
Arkan meletakkan garpunya di piring. "Sayang, ini maksudnya tuh bukan mengerjai aku, 'kan?"
"Enggak," jawab Lily dengan ekspresi wajah lugunya. "Lily beneran udah lega, Mas."
"Kalau dikerjai itu kamu disuruh makan yang aneh-aneh, ini jelas enak begini!" kata Amaris lantas tersenyum saat pelayan mendekat. "Nah, ini maemnya Lily yang udah dinanti-nanti."
Arkan memperhatikan isi piring. Nasi merah bukan masalah, itu tampak pulen. Namun, buncisnya seperti kelebihan minyak dan kurang matang. Ia juga tidak yakin dengan gorengan yang ada di pinggiran piring.
"Ini apa?" tanya Arkan.
"Perkedel, kentang tumbuk terus digoreng," jawab Lily.
Amaris memberi tahu, "Itu lho, yang Kenny suka banget kalau makan sup kasih ini."
Oh, sial! Batin Arkan, karena apa yang disukai keponakannya itu tidak disukai olehnya. Namun, sekali lagi, Arkan tidak punya pilihan.
"Ini berarti makannya gimana?" tanya Arkan saat mulai menyendok makanan di piring.
"Mas Arkan dulu makan sesendok, terus aku, coba gitu," pinta Lily.
Arkan melakukannya, menahan-nahan segala rasa beserta tekstur makanan di mulutnya, berjuang menikmati itu seraya menyendok kembali, menyuapkan bagian untuk sang istri.
Lily tersenyum senang, menikmati makanan yang seolah langsung meredakan keinginan terdalamnya, memuaskan rasa laparnya. "Enak bangetttt ..."
Amaris mengangguk lega, melihat rona gembira menantunya. Lily sungguh-sungguh menikmati setiap suapan makanan sampai sesekali kepalanya menggeleng-geleng, seperti tidak percaya akan perpaduan rasanya.
"Enak banget, Ly?" tanya Amaris.
"Iya, Ma, banget! Lily emang kangen makan ini ... Mas, terakhir maem buncisnya yang banyak."
"O... oke." Arkan menurut. Ia sudah merasa lega karena makanan di piring habis dan sang istri tidak menunjukkan gejala mual, namun tampaknya ... kelegaan itu semu, tidak bertahan lebih dari lima detik.
Kai datang dengan sepiring makanan baru. "Ly, lihat nih yang baru digorengin sama Mbak."
"Batagor Riri!" sebut Lily antusias.
"Astaga, gorengan lagi!" Arkan nyaris memekik dan menunjukkan bekas minyak di piring. "Sayang, udah dulu makan yang goreng-goreng, ini tadi perkedel udah digoreng, terus buncisnya tuh juga minyakan lho."
"Buncisnya kan ditumis, sayur enak itu." Lily berkilah lalu mengangkat tangan ke arah Kai. "Sini, aku racik dulu bumbunya."
Kai menyerahkan dengan senyum ramah. "Silakan ... Tuan Putri."
"Heh!" protes Arkan dengan tatapan tajam. "Sepupu adalah maut!"
"Gue jelas bagian malaikatnya," sanggah Kai yakin, membuat Amaris tertawa.
Arkan hendak kembali memprotes namun teralihkan. "Eh! Sayang, itu gorengan kenapa dikasih perasan jeruk?"
"Iya ini begini bumbunya, bikin lebih sedap!" Lily memberi tahu lalu menuangkan bumbu kacang dan kecap ke atas gorengan batagor. "Aduh, senang banget, gorengnya pas."
"Buruan lo, ambil sendok!" kata Kai sambil mengeluarkan ponsel. "Ini sih patut diabadikan ya."
"Seneng lo?" gerutu Arkan sembari mendelik.
"Seneng dong!" Kai menjawab jujur.
Lily ganti bertanya, "Mas Arkan enggak senang?"
Raut muka Arkan seketika berubah, menjadi penuh senyum dengan tatapan kasih ke arah sang istri. "Senang dong ... soalnya Sayang beneran bisa makan."
Lily mengangguk. "Iya, makanya ayo coba ini."
Arkan meraih gelas minumnya terlebih dahulu, menandaskan segelas penuh dan baru mencoba potongan batagor berbumbu itu. Ia menggigit setengah bagian lalu mengangkat alis.
Rasanya masih tidak familiar bagi indra pengecapnya, namun diantara semua makanan sebelumnya, ini cukup enak. "Wow!"
"Enak kan?" tanya Lily sembari menggerakkan tangan Arkan ke arahnya, memakan sisa batagor di garpu. "Hmm ... nyam!"
Kai menyadari perubahan ekspresi Arkan, begitu juga Amaris yang memperhatikan. Seorang Zarkan Mahesh Hendradi kini terlihat benar-benar menikmati sepiring batagor berdua bersama sang istri tercinta.
"Mana yang protes goreng-goreng tadi?" tanya Kai sambil menurunkan kamera ponselnya, jadi tidak seru karena sepupunya terlihat suka.
Arkan mengekeh. "Surprisingly, lumayan ini, mirip gyoza kombinasi pangsit, tapi ini pakai tahu."
"Enak, 'kan?" ujar Lily senang.
"Iya, Sayang ... ayo makan lagi," ucap Arkan.
Amaris menghela napas lega, diam-diam mengirimkan foto putra dan menantunya itu, menambahkan keterangan berita yang jelas melegakan besannya di Dubai.
Lily berhasil makan tanpa muntah! Sungguh satu kemajuan yang teramat melegakan bagi mereka.
***
"Oh, ternyata jajanan tadi ada yang enggak boleh dimakan Lily! Peuyeum bakar itu fermentasi ketela, kayak semacam tape, ibu hamil enggak boleh."
Saat Kai memberi tahukan itu Arkan langsung lega luar biasa. Ia sudah melihat sebentuk makanan yang dimaksud, tekstur lembeknya terasa mencurigakan, ditambah dengan aroma asam pekat. Ia yakin bakal pingsan jika nekat memakannya.
"Yahh, sungguh tidak seru!" keluh Langit seraya menyandarkan tubuh ke sofa. "Kirain nginep bisa lihat Yang Mulia makan peuyeum bakar."
"Kalau enggak boleh, emang jangan maksa," ujar Arkan dan menatap istrinya yang duduk tenang memperhatikan film. "Lagian Lily juga udah kenyang, ya, Sayang?"
"Iya, nanti malam goreng tahu susu aja, tambah ikan asin, sama sayur asem," ungkap Lily sambil mengelus-elus perut dan memberi tatapan menantikan.
"Ikan asin?" ulang Arkan membuat kedua sepupunya langsung tergelak.
"Sayur asem?" Arkan juga mengulang itu. Ia semakin tidak yakin dengan jenis makan malamnya dan mencoba menego, "Sayang, kayaknya mending tumisan buncis tadi aja dibanding—"
"Hehh! Dilarang mengintervensi pilihan makanan ibu hamil ya!" Langit segera bersuara dan menggoyangkan telunjuk untuk mempertegas larangan, "No! No! No! Yang Mulia sebaiknya kooperatif."
"Gue udah kooperatif mampus, Lang!"
"Ya, nanti malam kooperatif lagi!" Kai ikut menegaskan.
Arkan menatap kedua sepupunya dengan raut muram. "Are you guys still my best brother?"
"Right now, it's not a big problem to be your closest enemy," balas Langit lalu kembali tertawa bersama Kai.
Sialan! Arkan menahan makian dan sebagai ganti langsung beralih, menubruk tubuh besar Langit, menumbangkannya ke karpet.
"Wooyy!" seru Kai lalu ikut bergabung, bergulat tidak serius dengan Arkan yang meluapkan kesal.
Lily hanya geleng-geleng kepala memperhatikan tingkah ketiga pria dewasa itu. Ia tidak mau repot-repot melerai, selain karena itu memang salah satu gaya keakraban sang suami dengan dua saudara terdekat ... Lily sedang senang, tidak bisa berhenti membayangkan kenikmatan menu makan malamnya nanti.
***
Langit sebisa mungkin menahan tawa setiap kali suara muntahan terdengar dari arah kamar mandi. Kai sedang membantu Arkan di dalam, menyangga tubuh yang jelas menjadi lemas tidak bertenaga itu.
Acara makan malam sebenarnya berlangsung aman, jelas nyaman bagi Lily yang sekali lagi keinginan makannya terpenuhi. Namun, lain cerita soal Arkan, tidak lama setelah makan malam selesai ... perutnya mulai melilit, berkeringat dingin dan tidak enak badan.
Arkan mencoba menahannya dengan baik, masih sempat membantu Lily bergosok gigi, berganti baju lalu pindah ke tempat tidur untuk meneruskan bacaan buku. Usai memastikan sang istri aman, Arkan beralasan keluar kamar karena alasan pekerjaan.
Ia bohong, karena begitu menutup pintu langsung berlari ke kamar mandi terdekat, memuntahkan menu makan malam yang baginya sungguh aneh. Cita rasanya terlalu beragam, demi apa pun juga ... Arkan sangat tidak menyukai perpaduan asin-asem-gurih-manis dari setiap jenis makanan tadi. Sambal trasi juga sangat tidak disukainya.
"Aman, Kai?" tanya Langit saat suara muntahan seperti mereda.
"Belum," jawab Kai dan sekali lagi terdengar suara muntah.
Langit segera berlalu ke dapur, bertanya pada pelayan apakah ada minuman isotonik. Beruntung, di lemari es tersedia dua botol. Langit mengambil satu, memilih yang paling dingin lalu membawanya.
Arkan sudah duduk bersandar di ruang tengah, memegangi botol air mineral yang sepanjang siang tidak dihabiskan Lily.
"Bisa minum?" tanya Langit.
Kai mengangguk. "Ini lagi nunggu, kerasa bakal muntah lagi enggak tuh."
"Oohh ..." Langit memilih duduk di samping Arkan, mengganti botol air mineral dengan minuman isotonik. "Mulai pucat lo."
"Keluar semua makanan gue, sial!" jawab Arkan lemah, inginnya tidak mengeluh namun sulit juga menahan diri.
"Makanya perlu ini pengganti cairan tubuh, tapi pelan-pelan aja lo minumnya." Langit kemudian beralih menaikkan kedua kaki Arkan ke meja, sehingga lebih nyaman duduk berselonjor.
"Thanks Lang," ujar Arkan lalu mengatur napas dan tidak lama kemudian justru tersadar akan satu hal hingga meneteskan air mata.
"Ck! Jangan aleman deh!" sebut Kai.
"Gue enggak aleman ... tapi ternyata rasanya seburuk ini," ungkap Arkan lalu mengusap lelehan air mata dengan kain lengan atasnya. "Kerongkongan gue juga sakit ..."
Langit paham maksud Arkan. "Lily muntah berkali-kali dan enggak pernah ngeluh, iya 'kan? Enggak pernah bilang sial sekali juga."
Arkan mengangguk. "Gue aja rasanya udah enggak tahan banget. Lily tuh sebelum bisa makan kayak hari ini ... beneran setabah itu, kadang cuma minta digenggam tangannya, dipeluk aja."
"Ini belum nanti pas trimester akhir, bayinya udah gerak, nendangin dari dalam, tidur sampai miring sana-sini nyari posisi nyaman." Langit memberi tahu dan memperhatikan Arkan menolehnya lekat. "Kebelet pee tiap saat. Alka dulu kakinya bengkak juga, pinggang suka sakit. Gue tuh tersiksanya ya karena lebih banyak kebagian cerita, pulang cuma seminggu sekali dan saat akhirnya dapat cuti, Kayden pas siap lahir."
"Gue malahan pas pulang, Freya udah balita," kata Kai lantas meringis, sekalian menjelaskan pilihan sikap mereka pada Lily. "Makanya nih, saat kita tahu lo bisa jadi calon ayah siaga, gue sama Langit pengin lo beneran hadir buat Lily ... enggak mengacau apa pun lagi."
"Gue enggak bakal begitu, Kai, enggak akan lagi jadi brengsek atau mengacau." Arkan bersungguh-sungguh terhadap ucapannya. "Lily adalah segalanya buat gue. Lily dan bayi kami."
Langit mengangguk, menepuk-nepuk bahu Arkan. "Enggak ada perempuan yang sempurna, Ar ... bahkan bagi gue aja walau Alka itu paripurna dan luar biasa, kalau udah ngamuk ya jadi singa juga dia ..." kekehnya dan mengabaikan rolling eyes Kai. "Jadi, maksud gue, setelah banyak hal yang dilewati sejauh ini, udah cukup lo bertingkah ... mulai banyak-banyak jaga ucapan, kontrol emosi, seminimal mungkin lah jangan bikin Lily sakit hati lagi."
"Iya, gue berusaha," ungkap Arkan.
"Kalau bukan Lily, gue rasa lo enggak akan bisa dicintai sampai setulus ini." Kai ikut bicara untuk membuat Arkan semakin sadar. "Lily tuh ibaratnya udah lihat semua topeng yang lo pakai, kenyang juga lo bohongin, diatur-atur seenak jidat dari awal kenal, sampai yang paling parah aja dia masih enggak melakukan aksi balas dendam selain menihilkan komunikasi. Setelah hamil juga ke sini buat lo, bersedia balikan lagi."
"Keberuntungan seumur hidup lo kepakai tepat pada detik Lily bersedia balikan, Ar ... kalau lo mengacau lagi, dijamin sial seumur hidup!" ujar Langit penuh ancaman.
Suara petir yang terdengar keras dan menggelegar membuat Arkan terkesiap.
Astaga! Sejak kapan hujan turun? Pikirnya tidak menyangka.
"Nah tuh! Alam aja memberi kode!" sebut Kai.
Arkan menghela napas pendek, duduk lebih tegak. "Gue tahu semua itu dan tanpa ancaman sial seumur hidup juga udah bertekad sedari awal untuk enggak lagi-lagi menyiakan cintanya Lily. I love her to death."
"Jangan ngomong sial lagi," ujar Langit.
"Iya, gue akan berusaha lebih sabar ... karena udah bagus Lily beneran bisa makan, bahkan katanya baru hari ini merasa beneran kenyang," ujar Arkan dan seketika ingin menangis kembali.
"Bener-bener lo!" kata Kai lalu bergeser untuk mengambil kotak tissue.
Langit juga berdecak saat Arkan kembali meneteskan air mata. "Ini gimana nanti Lily melahirkan, lihat anak lo pertama kali ..."
"Kita bawain kanebo aja, biar hemat tissue!" usul Kai membuat Langit tergelak.
"Siapin bahu kalian lah, buat gue nangis! Sepupu macam apa kayak begitu aja enggak peka!" protes Arkan sembari meraih tissue dan mengusapi area pipinya.
"Bahu gue udah eksklusif buat Alka seorang!" seloroh Langit.
"Bahu gue buat Freya tiduran," imbuh Kai.
"Bahunya Kakeknya Lily aja tuh! Nganggur pasti!" usul Langit membuat Kai ganti tergelak.
"Asem!" protes Arkan.
"Langit bener lah! Ya, dari pada risiko kesrempet kalau milih bahu jalan!"
Arkan langsung melemparkan tissue bekasnya pada Kai. "Ya enggak bahu jalan juga, sepupu kurang ajaaaaaarrrrr ..."
Kai dan Langit kompak tertawa lalu menghindar, berlari dari ruang keluarga dan membuat Arkan mengejarnya untuk melampiaskan kekesalan.
Lily yang bergerak ke pintu untuk memeriksa keadaan hanya bisa tertawa. Ia mengusap-usap perutnya yang berlekuk. "Nak ... sungguh, kali ini kita bersama keluarga yang memang beragam dalam memperlihatkan cinta, juga kasih sayangnya. Terima kasih ya, sudah hadir dan menyatukan semuanya."
[]
📸
Si cantik emang bawa berkatnya banyak banget, wakakaka 100% luck buat bapak lacozte.
.
Anyway ... udah berhak dikasih uwu-uwu, lovey dovey asoy belum nih Jang Moelia kita? Wkwkwkwkk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top