Prejudice

Aw aw, senank deh kalau banyak pembaca yang mulai berspekulasi dan menerka-nerka, wakakakaka

Yah, walau jadinya enggak plot twist tetapi ... happy aja, kalau beneran pada bisa nebak tanpa minta spoiler.

Satu bab terakhir ini sebelum huru-hara lacoste vs lily, wish you enjooy~

🐊

--

"Ly, lain kali teriak aja sebelum diculik siluman buaya," kata Langit begitu melihat Lily berjalan di belakang Arkan, kembali ke area pesta yang belum sepenuhnya usai.

Arkan menanggapi santai, "Saudara, tolong dijaga kata-katanya, ya."

"Saudara, tolong dijaga tingkahnya, ya." Kai menimbrungi dengan ekspresi menahan tawa. "Baru sah berapa jam, udah bawa anak orang ngilang aja."

"Anak orang! Istri gue," gerutu Arkan, menoleh sang istri yang masih menunduk malu. "Sayang, cuekin aja ya, anggap Langit sama Kai kadal buluk."

"Wah!" protes Langit.

"Enggak bisa dibiarkan emang!" ucap Kai yang kemudian bergerak mendekat, langsung merangkul dan memiting leher Arkan.

Lily buru-buru menjauh, mendekati Freesia yang hanya tertawa-tawa melihat kelakuan tiga perusuh dalam keluarga itu.

"Om Lakan kenapa sama Om Kai?" tanya Freya yang penasaran.

"Kakak Ya, tolong Om Arkan ..." ujar Arkan cepat. "Coba tendangan atas, serang Om Kai."

"Eh, enggak boleh copot roknya, Kakak Ya, malu ini," protes Kai bergegas melepaskan Arkan karena Freya yang tiba-tiba memelorotkan rok batiknya.

"Aku pakai celana, hyaaaattt..."

"Rasain lo, Kai!" ujar Arkan gembira, meski tidak bertahan lama karena Langit gantian memitingnya, jelas dengan tenaga yang lebih kuat. "Aduh! Lang, woy! Ini pelanggaran, tindak kekerasan pada rakyat sipil."

"Rakyat sipil nyebelin!" sebut Langit.

"Rasain! Rasain!" Kai balas meledek setelah berhasil menghindari tendangan Freya dan menggendong anak gadis yang menggeliat lincah, mencoba melepaskan diri.

"Kenny, help me ..." seru Freya.

"Wah! Wah ini, makin seru," ujar Freesia dan benar saja karena anak lelakinya yang semula anteng menikmati buah potong langsung berlari.

"Bukan Om Kai yang diserang, tapi Om Arkan ... sini tendang sini Kakak Ya, hyaattt ..." ujar Kai mengarahkan posisi tendangan agar mengenai lengan kiri Arkan.

"Aduh! Woooyyyyy ... ini gimana sih?"

Lily menyadari meski Arkan diserang dengan demikian rupa, berseru memprotes dan tampak tidak terima. Namun, beberapa detik kemudian begitu bisa melepaskan diri dari Langit langsung balas mendekap Freya, tangan kirinya juga sigap mengangkat Kenny, mengayunkan dua anak yang begitu saja tergelak dalam tawa.

Arkan juga ikut tertawa, terutama saat ada lebih banyak keponakan yang mendekat, minta gantian digendong dan bermanja. Hanya dalam beberapa menit, Arkan sudah sibuk menyenangkan mereka. Ekspresi wajah suami Lily tampak gembira, bisa bercanda-canda layaknya seorang paman yang begitu penyayang.

"Padahal biasanya kemeja kusut aja, Mas Arkan langsung ganti," ucap Lily masih mengamati bagaimana Arkan bersikap santai, ganti memakaikan blangkon ke kepala Kayden lalu tertawa saat bocah itu meminta gendong.

Freesia tersenyum. "Ini masih mode Om Lakan, jadi enggak begitu peduli penampilan."

"Ya?" tanya Lily dan memperhatikan lawan bicaranya.

Freesia mengendik kepada Arkan yang kini menciumi pipi Kayden. "Antara Kai, Langit, Arkan ... anak-anak lebih suka Arkan, bukan hanya karena selalu dimanja tapi memang kalau udah punya waktu buat anak-anak, bakal sepenuhnya fokus main sama mereka."

"Selama ini kalau pas gabung acara keluarga, seringnya cuma temani main sebentar atau bagi hadiah kalau ada yang nilainya bagus."

"Kamu harus bisa mengenalinya, lebih baik dibanding kita semua ya, Ly ... tentang sosok Arkan yang sebenarnya," ungkap Freesia kemudian mengulurkan tangan, merapikan untaian melati di gelungan rambut Lily. "Arkan itu terkadang enggak sekuat kelihatannya, tapi dia juga yang paling sungkan meminta bantuan ... saking sebelum keluarga yang lain sejahtera, kami bergantung pada Om Adam dan Tante Amaris. Arkan jadi kayak punya kewajiban memastikan dirinya sekuat Om dan Tante, selalu bisa diandalkan, safety net bagi semua orang."

"Makanya Mas Arkan merasa enggak boleh punya cela," ujar Lily.

"Benar." Freesia mengakui dengan helaan napas panjang. "Keluarga kami, sama seperti keluarga pada umumnya, punya kurang dan sisi yang enggak sempurna di sana-sini. Nama besar Om Adam dan Arkan Hendradi ibaratnya adalah tameng semua itu, yang berdiri di bawah lampu sorot dan menjadi pusat perhatian."

Lily bisa memahami itu, karena meski bisnis keluarga Arkan yang lain juga terkenal, menghasilan keuntungan, namun liputan medianya tidak massive seperti ketika menyoroti perkembangan MH-Corps.

Lily kembali memperhatikan Arkan dan kali ini bertepatan dengan momen saat suaminya itu balas menatapnya. Lily seketika mengulas senyum, senang melihat bagaimana Arkan luwes menimang Kayden, membuat anak itu nyaman dan gembira.

Namun, alih-alih senyum Lily dibalas, Arkan justru langsung memutus tatapan mata, menggendong Kayden di bahu lalu mencium-cium bocah itu seraya beranjak pergi.

"Gemes ya," kekeh Freesia.

Lily mengangguk, senang karena menyadari sisi lain suaminya yang memang baru terlihat jelas. "Om Lakan kalau dilihatin lagi mode penyayang ternyata malu-malu ..."

"I believe he's gonna be a good father."

Hati Lily menghangat mendengarnya, berharap bahwa dalam beberapa hari ke depan dirinya sudah bisa mendapatkan konfirmasi kehamilan. Itu pasti bakal sangat melegakan dan menggembirakan.

***

Arkan berganti pakaian untuk acara resepsi, berbeda dengan busana pernikahan untuk akad dengan setelan kebaya dan beskap beludru hitam yang khas. Kali ini, dirinya dan Lily memakai tema busana basahan.

"Udah gue bilang, ini pentingnya olahraga," sebut Langit yang membantu memakaikan perlengkapan busana.

Arkan tersenyum, tampilan dirinya dengan busana ini juga sempurna. Otot lengan dan dadanya layak dipamerkan. "Gue emang pakai setelan atau baju apa aja cocok."

"Baju badut coba," usul Kai yang siap dengan untaian melati di samping kiri Arkan.

"Ck! Itu kembang-kembang begitu beneran udah dicuci dulu?" tanya Arkan agak curiga.

"Udah, lo jangan ribet, tahan-tahanin sejam dua jam ini," tegas Kai lalu membantu memasangkan kalung bunga melati tersebut.

"Sekarang tinggal selopnya," kata Langit yang beralih mundur, menyiapkan selop. "Dipikir-pikir, semua ini beneran barang baru. Parah, dipakai beberapa jam doang tetap enggak mau nyewa."

"Apa itu nyewa?" balas Arkan dengan enggan, dirinya tidak mau memakai baju bekas orang, terutama untuk acara sekali seumur hidupnya ini.

"Kata Tante Ris, satu set punya Lily buat akad tadi, lengkap sama hiasan kepala, termasuk kalung, gelang, terus yang di lengan sini ... sampai lima ratus juta." Kai memberi tahu dan mengendik pada Arkan yang masih memperhatikan kaca. "Jadi dua stel busananya Yang Mulia ini, kurang lebih satu em juga."

"Bayar lebih karena harus jadi dalam dua minggu, kata Mama beruntung enggak dimaki-maki desainer bajunya, yang baju akad kan bordir emasnya itu custom motif bunga lily, amarilys, sama simbol dua keluarga." Arkan menambahi detail informasi.

"Mau lo simpan ini baju semua perlengkapan?" tanya Kai, memastikan effort sepupunya tidak sia-sia belaka.

Arkan mengangguk. "Iyalah, bahannya bagus, desainernya bilang busana pernikahan begini umumnya lintas generasi juga."

"Wah, siap-siap tambah banyak ponakan ini," sebut Langit.

"Satu dulu kayaknya, cowok."

"Cewek dong!" pinta Kai dengan raut serius. "Biar Freya enggak makin tomboy, Ar."

"Ya lo bikin sendiri lah!" kata Arkan membuat Langit tergelak. "Lo juga nambah, Lang! Kayden udah gede."

"Enggak, makasih!" tolak Langit serius. "Gue aja di rumah udah saingan berat sama Kayden, malesin kalau kudu nambah saingan lagi."

"Anak kok dianggap saingan," ucap Arkan sambil mengenakan sandal selopnya.

"Nah, ini, ini, belum nyampe pelajaran hidupnya," kata Langit lalu memandang sepupunya di kaca. "Believe me, Bro, anak itu saingan terberat dapetin perhatian istri sendiri."

"Alka enggak cuek sama lo," ujar Kai, membela adik kembarnya. Alka selalu penyayang.

"Kalau disuruh milih Kayden apa gue dia langsung pilih Kayden, enggak pakai mikir, demi apa ... belum pernah gue kayak patah hati sesakit ini."

"Aleman lo," protes Kai.

"Lo makanya jangan jomlo melulu, lamar Nourah, susul gue sama Arkan biar paham yang gini-gini gue rasain!"

Arkan jadi tertawa. "Tapi kalau disuruh pilih anak daripada pasangan, gue juga bakal pilih anak lah."

"Gue catet nih, ya!" Langit seketika menatap Arkan lekat. "Awas kalau tahun depan beda narasinya."

"Asli! Bibit posesifnya Yang Mulia aja udah kelihatan," sebut Kai dan mengungkit kejadian sebelumnya. "Baru berapa jam sah, udah ngilangin Lily dari semua orang, ck!"

"Om Reynand udah siap aja manggil tim keamanan suruh ngecek CCTV, hahaha untung diingetin Tante Meira, udah sah ..." Langit memberi tahu dan menyikut lengan Arkan. "Tapi mestinya lo behave dikit jugalah, sabar jadi suami."

"Gue sabar!" tegas Arkan kemudian beralih keluar dari ruang ganti.

Langit mengendik ke kamar bagian ujung koridor yang difungsikan sebagai ruang ganti para perempuan. "Gue cek Alka sama anak ganteng dulu."

"Ikut, mastiin Freya enggak minta baju cowok!" kata Kai dan ikut beralih.

Arkan mengetuk ruang ganti Lily, dibukakan pintu oleh Meira yang tersenyum dan mengangguk.

"Lily juga udah siap, sebelum masuk ruang resepsi foto berdua dulu, ya," pinta Meira.

"Iya, Ma," jawab Arkan lalu melangkah masuk dan menatap sosok jelita yang tengah dibantu memposisikan selendang batik.

Tuhan! Sebut Arkan dalam hati, saking cantik dan menawan penampilan istrinya. Lily dalam busana pengantin tadi pagi sudah luar biasa dan kini justru semakin memancarkan aura kewanitaan yang memikat.

"Mas, Lily udah siap juga," ucap Lily, suaranya pelan, sepelan langkahnya menuju Arkan.

"You're so beautiful ..."

Lily tersenyum agak malu-malu karena dipuji terang-terangan begitu. Make-up artist yang merapikan peralatan rias juga diam-diam langsung beralih bersama para asisten dan tim juru paes, memberi mereka waktu berdua.

Meira tetap wajib mengingatkan sebelum ikut beralih dari ruangan, "Arkan, kali ini beneran, jangan dirusak lipsticknya Lily ... waktunya mepet."

"Noted, Ma," kata Arkan tanpa mengalihkan tatapan.

"Mas, jangan bikin malu," ujar Lily kemudian bergerak ke sisi kanan Arkan untuk memegangi lengan. "Heelsku yang ini lebih tinggi, jadi jalannya juga lebih pelan, ya?"

"Aku gendong aja."

"Mas Arkan! Aku serius."

Sejatinya Arkan juga sama seriusnya, namun teringat ucapan Langit untuk behave. Ia memang perlu menjaga ketenangan, menilik kebutuhan dokumentasi dan publikasi resmi acara pernikahan ini.

"Ready?" tanya Arkan.

Lily mengangguk. "Iya, Mas ..."


***

Aliran tamu undangan baru mulai terjeda setelah hampir satu jam acara resepsi berlangsung. Tentu, Lily hanya mengenal sebagian kecil diantaranya. Itu karena kebanyakan tamu memang berasal dari kenalan atau relasi bisnis para orang tua.

"Cantik sekali pengantinnya, pantesan Arkan jadi sering ngilang acara kumpul-kumpul."

Basa-basi semacam itu kerap Lily dengar, terutama ketika menyalami circle para artis, desainer kondang hingga penyanyi Indonesia yang masuk dalam daftar member VIP tamu di jaringan Grand Amarilys Hotel.

Arkan menanggapi sekenanya, karena dirinya sudah melakukan seleksi khusus, memastikan tidak ada mantan kekasih atau mantan teman kencannya yang diundang ke acara ini.

"Kumpul-kumpulnya yang dimaksud itu kayak kalau sama Kak Eriko gitu?" tanya Lily.

"Enggak, mereka member sport club di beberapa resortku di Bali. Jadi, yaa dulu suka janjian ngumpul golf bareng atau tenis, surfing sampai diving." Arkan memberi tahu dan mengarahkan sang istri. "Duduk dulu, kamu udah kelamaan berdiri."

Lily segera duduk, meski tetap mengutarakan penasarannya. "Enggak ada mantan yang diundang?"

"Enggak penting lah, Sayang."

"Banyak ya berarti mantan Mas Arkan, aku lumayan hapal artis-artis papan atas yang biasanya jadi undangan khusus dan di sini justru enggak diundang."

Sial! Batin Arkan, karena dugaan istrinya tidak salah. "Bisa aja mereka sibuk juga, enggak bisa datang. Acara pernikahan kita bukan acara wajib untuk dihadiri."

Lily menyipitkan mata. "Masa? Padahal jelas di acara ini banyak orang menyempatkan datang, bukan sekadar menikmati pesta tapi jalin koneksi juga."

Itu juga bukan penilaian yang salah, namun Arkan enggan menanggapi. Beruntung seorang tamu yang mendekat, mengalihkan perhatiannya. "Lex! Wah, finally!" Arkan berseru gembira.

Lily segera ikut berdiri dan mengulas senyum. Alexi Venandzio adalah sekretaris kedua Arkan, yang enam bulan lalu memutuskan resign dan kembali ke Milan untuk melanjutkan usaha keluarga.

"Congratulation, Boss!" ucap Alexi, menyalami Arkan dengan senyum lebar. "So stunning, groom and bride."

"Thank you," kata Arkan senang. "And anyway, biasakan panggil Arkan ... udah bukan boss lagi."

Alexi menyengir. "Berarti boleh panggil Lily gitu aja?"

"Dia pengecualian," ralat Arkan membuat Alexi jadi tertawa kala beralih menyalami Lily.

"Selamat, Nona Lily ... Pak Arkan lelaki terberuntung di dunia," ungkap Alexi tulus.

Lily mengangguk. "Saya sama beruntungnya, terima kasih sudah datang."

"Pak Arkan mengirimkan undangan beserta tiketnya sekalian." Alexi melepas jabatan tangan dan kembali tersenyum ke arah Arkan. "You are the best."

"Percuma jadi yang terbaik, itu enggak membuatmu kembali bekerja padaku," kata Arkan, setengah kesal karena hingga hari ini juga belum menemukan sekretaris pengganti yang cocok.

Alexi menanggapi itu dengan tawa, teralihkan sosok orang tua yang sedari tadi melayani obrolan dengan para tamu. "Ah, saya harus beri salam pada Tuan dan Nyonya dulu."

"Jangan lupa nikmati makanannya juga," ucap Arkan.

Alexi mengangguk, tatapannya sempat terpaku pada area meja tempat para sepupu Arkan duduk, meski segera berubah lebih hangat kala menyapa ramah lalu menyalami Adam dan Amaris.

"Kenapa kamu lihatin mantan sekretarisku segitunya?" tanya Arkan.

Lily geleng kepala. "Enggak, Pak Alexi kayak kurusan aja, dan enggak serapi dulu."

"Take over bisnis yang nyaris bangkrut memang menyita banyak perhatian. Alexi menolak bantuanku juga, jadi ya ... butuh banyak waktu untuk menyehatkan bisnis keluarganya."

Lily mengangguk, kembali duduk dan menikmati hiburan pesta resepsi yang ditampilkan. Arkan duduk di sisi sang istri, meraih tangan berhias henna dan menggenggamnya lembut.

"Mas Arkan lapar enggak?" tanya Lily karena sang ibu memberi kode perihal makanan.

"Lapar kamu, banget," jawab Arkan.

"Serius, itu Mama nanya," ujar Lily.

Arkan juga serius dengan jawabannya, meski ke arah ibu mertua menanggapi secara sopan bahwa mereka akan makan siang bersama setelah acara selesai.

***

Lily nyaris tidak fokus sepanjang acara makan siang bersama. Ia hanya menikmati beberapa suapan sup krim hangat, sekitar enam potong buah melon Yubari dan segelas jus jeruk.

Arkan sendiri tidak makan, lebih senang mengamati sang istri dan begitu  merasa Lily cukup kenyang segera pamit. Ia membawa Lily ke suite room tempatnya biasa tinggal dan langsung meminta pelayan mengosongkan ruangan.

"Mas, tapi Lily butuh bantuan untuk lepas semua perlengkapan—"

"Aku bisa membantu." Arkan menyela, lebih dulu melepas setiap aksesoris di tubuhnya.

Jantung Lily hampir kebas saat kemudian suaminya itu dengan santai menguraikan helai-helai kain, melepas celana dan menyisakan bokser hitam setengah paha.

"M ... Mas, a- aku ..."

"Kamu enggak bisa sendiri," tegas Arkan, menarik istrinya ke depan meja rias, membantu melepasi setiap hiasan kepala, melepas untaian hiasan bunga dan berdecak. "Beneran ya ada maling-maling melati begini, bunganya tinggal setengah bagian."

Lily mengekeh. "Konon kabarnya kalau berhasil ngambil tanpa ketahuan, cepet jodohnya, Mas."

"Enggak masuk akal! Justru merusak penampilan orang," gerutu Arkan lalu melanjutkan kegiatannya, membebaskan kepala Lily dari pernak-pernik juga beragam jepitan rambut.

Setelah selesai dengan rambut, aksesoris lengan menyusul lepas, termasuk kalung leher dan sepasang giwang berlian. Arkan memastikan semua perhiasan itu terkumpul dengan aman, kecuali cincin kawin yang tetap terpasang di jari manis Lily.

Lily menahan lengan Arkan saat berikutnya ikat pinggang yang menahan bebatan kembennya akan diuraikan. "A ... aku cuma pakai strapless bra aja."

"Bahkan kalau kamu enggak pakai apa-apa di balik bebatan kain itu, bukan masalah bagiku." Arkan melanjutkan kegiatannya tanpa ragu. "Kecuali menurutmu aku enggak berhak."

"Mas Arkan berhak," ucap Lily, dia sadar posisi mereka sebagai pasangan suami-istri. "A ... aku cuma malu."

"Enggak perlu malu, karena kamu cantik dan aku menyukai semuanya," kata Arkan perlahan mengurai kain dan kemben yang menjadi penutup tubuh bagian atas Lily.

Arkan perlu mengingatkan diri untuk tidak lepas kendali, karenanya melanjutkan fokus untuk mengurai kain bawahan, memastikan semuanya terlelas dan Lily berdiri di hadapannya, hampir sama polosnya, hanya mengenakan sepasang pakaian dalam warna gading yang feminin dan berpotongan rendah.

Arkan menelan ludah, menangkup wajah istrinya dan kembali memberi ciuman panjang, sejenak merapatkan tubuh mereka sebelum yakin melepaskan perlahan. Ia tidak boleh mengacaukan rencananya sendiri.

Lily juga menahan gejolak aneh dalam benaknya, ia mendadak suka dicium dan penasaran akan kelanjutan kemesraan itu. "M ... Mas, kita bisa—"

"Kita belum bisa melakukannya, waktunya enggak cukup." Arkan menghela napas panjang lalu menatap pintu kamar mandi. "Sayang, mandi aja duluan."

"B ... beneran?" tanya Lily.

Arkan mengangguk. "Ya," jawabnya dengan tatapan yang kembali menelusuri tubuh setengah telanjang Lily. "Karena saat memilikimu aku enggak mau itu terjadi dengan tergesa-gesa."

Lily mematung di tempatnya karena ucapan itu. Ia mengamati sang suami juga langsung beranjak, meninggalkannya sendiri.

"Aneh," sebut Lily lirih. Ia mengulang kata-kata Arkan dalam hati; Karena saat memilikimu aku enggak mau itu terjadi dengan tergesa-gesa.

"Seolah... itu dikatakan karena Mas Arkan belum pernah memiliki aku sebelumnya," bisik Lily pada keheningan kamar yang sebenarnya merupakan saksi bisu dari segala peristiwa yang membuatnya dan Arkan akhirnya menikah.

***

"Harus banget kamu bawa tas kamera itu?" tanya Arkan.

"Harus!" tegas Lily dan siap menggendong tas ransel barunya.

Arkan geleng kepala, mengambil alih tas ransel berisi peralatan memotret itu. "Kamu cek tas tangan aja, pastikan ada uang, dompet kartu dan ponsel kita berdua."

Lily menerima tas tangan yang dimaksud dari Cloud, mengecek isinya dan sesaat menahan napas. "Kenapa uang tunainya banyak banget?"

"Buat kasih tips ke orang-orang yang bantuin," jawab Arkan lalu memastikan dua koper yang disiapkan sudah diambil alih petugas maskapai. "Kami lebih suka masuk belakangan, jadi pastikan aisle sudah kosong dalam dua puluh menit."

"Sure, Mr. Hendradi," kata petugas yang kemudian membawa pergi dua koper Arkan.

Amaris dan Adam Hendradi yang semula duduk di ruang tunggu segera berdiri, mereka memeluk Lily bergantian dengan keluarga Rahardian yang turut menunggu. Meira hampir menangis karena putrinya akan benar-benar menjalani kehidupan baru, memulainya dengan jarak ribuan kilometer yang membentang, memisahkan mereka sementara.

"Mama, aku enggak suka kalau dibawa-bawain barang begitu," protes Arkan ketika Patricia, sekretaris sang ibu tiba dengan satu koper kabin tambahan.

"Itu buat Cally, ada turkish delight juga yang dibikin sendiri sama Mama Meira lho. Elina sama Freesia juga bawain beberapa selai buah, keju bikininan sendiri, sama setoples gede roasted almond. Cally suka banget sarapan toast pakai selai strawberry dan nanas. Terus itu ada bumbu masak Indonesia juga buat Bibi masakin Lily."

Arkan tidak habis pikir. "Ya ampun, ini tuh justru kesempatan biar Lily makin doyan sushi, sashimi, bahan mentah grade terbaik adanya di Jepang."

Lily begitu saja menoleh sang suami, agak mengerjapkan mata, karena ibu hamil baiknya menghindari makanan mentah selama trimester awal kehamilan. Apa suaminya benar-benar tidak mempelajari tentang detail-detail semacam ini?

Amaris berdecak. "Kamu ini gimana? Lily enggak boleh makan mentah-mentah begitu! Udah nurut aja sama Mama, bawa pokoknya."

"Iya, Mas, biar Lily yang bawa kalau Mas Arkan enggak mau," kata Lily dan mendekat pada sekretaris sang ibu mertua.

"Ehh, enggak Lily, jangan, ini isinya cukup berat," larang Adam lalu menatap sang putra lekat, memanggil sekali, "Arkan ..."

"Iya," jawab Arkan, mengambil alih koper kabin tersebut dan ganti berpamitan pada keluarga Rahardian yang selalu memilih bersikap tenang.

"Selamat bulan madu, Mas," ucap Romeo dan sejenak memeluk Arkan.

"Ya, kalau udah pulang ke Jakarta aku kabari, kamu bisa belajar back hand," kata Arkan membuat Romeo mengangguk, senang dengan janji itu.

Reynand tidak memeluk hanya menyalami Arkan dan berujar singkat. "Jangan sampai Lily sakit, pastikan semua vitaminnya selalu diminum dan makan tepat waktu."

"Iya, Pa," jawab Arkan, ganti menyalami kakek tua yang hanya masih tanpa ekspresi.

"Hati-hati di sana," kata Randy Rahardian.

Arkan mengangguk dan sesaat terdiam karena tatapan haru dari Meira, ibu mertuanya itu memang selalu terlihat lebih emosional, namun kali ini tampak benar-benar dilanda perasaan yang tidak terungkapkan. "Terima kasih ya, Arkan ... Mama tahu Lily akan bahagia, karena itu kedepannya kalian berdua juga selalu saling menjaga dan mengasihi."

Arkan berdeham pelan dan mengangguk, mencium tangan ibu mertuanya. "Iya, Mama, doakan kami."

"Ya, jangan ragu juga setiap mau telepon, ya ... Mama selalu tunggu kabar kalian."

Lily tahu ini gilirannya pamit juga dengan orang tua sang suami. Ia menyalami papa mertuanya yang tersenyum ramah.

"Ryura dan Elina sudah bicara sama kamu, Ly?" tanya Adam.

"Iya, Pa ... sampai dikasih daftar tempat wisata terdekat, yang iconic sampai restauran halal yang paling direkomendasikan." Lily menepuk-nepuk tas tangannya. "Udah Lily catat semua di phone notes."

"Kamu memang selalu lebih bisa diandalkan kalau dibanding Arkan," ujar Amaris lalu memeluk Lily. "Terima kasih ya, Lily, Mama tahu enggak mudah menghadapi Arkan, tetapi terima kasih karena terus bertahan ... sampai sejauh ini dan sampai nanti-nanti juga."

"Iya, Mama, terima kasih juga, selalu baik dan menerima Lily, apa adanya begini."

"Oh, stop it ... kamu satu-satunya gadis pilihan Mama untuk Arkan, it's a mother feeling ... kedepannya, Mama masih berharap banyak sama Lily, tetapi apa pun itu jika Arkan melakukan kesalahan, membuat kamu hampir kehilangan kesabaran, jangan ragu untuk cerita ya, Ly ... Mama akan selalu di pihak kamu."

Itu ucapan yang membuat Lily hampir terharu, namun dia menjaga sikapnya dan menanggapi dengan anggukan pelan. "Terima kasih, Mama."

"Mama jangan malah bikin istriku menangis, ayo ... Sayang, waktunya masuk pesawat," panggil Arkan sambil mengulurkan lengan.

Lily tersenyum, mengurai pelukan dan sebelum meraih lengan Arkan tetap lebih dulu berlalu memeluk Reynand. "Terima kasih, Papa ..." ucap Lily.

Reynand membalas pelukan itu, mencium kepala sang putri yang begitu disayanginya. "Kabari Papa sesering yang kamu bisa."

"Iya," jawab Lily, sekali lagi memeluk adik dan ibunya juga.

Arkan bisa melihat kecanggungan saat Lily hanya bisa menatap sang kakek yang tidak turut berekspresi sebagaimana keluarga lainnya.

Lily tetap tersenyum, "Kakek, jaga kesehatan ya, jangan lupa minum obat dan istirahat cukup."

Randy Rahardian menanggapi dengan anggukan lalu mundur untuk kembali duduk di sofa tunggu. Arkan menahan decakan, meraih lengan istrinya dan menggandengnya beranjak.

"Salam sayang buat Cally ya," ucap Amaris.

"Jangan terlalu galak sama adikmu," imbuh Adam.

Arkan mengangguk. "Iya, begitu landing aku kabari Papa ... terima kasih semuanya sudah antar, we're leaving now."

Lily melambaikan tangan, mengikuti langkah Arkan dan menenangkan dirinya, menghalau prasangka tidak beralasan yang entah kenapa terus muncul begitu saja. Arkan adalah seseorang yang meyakinkannya tentang hubungan ini, berkomitmen terhadap pernikahan dan juga masa depan mereka, tidak ada lagi yang perlu Lily risaukan. Ia hanya perlu menjalani hari ke hari sebagai istri yang baik ... juga calon ibu bagi anak mereka nanti.

[]

📸

kapan hari aku baca komen yang; Lily tuh bodoh banget ya, masa di era modern gini masih bisa ditipu hamil bohongan.

Jangankan ditipu hamil bohongan. Di era modern begini tetap masih ada perempuan terjebak toxic relationship, dinikahi sampai dihamili beneran tapi masih juga dipukuli, diselingkuhi, digasak harta-bendanya sama suami sialan.

They're not stupid, karena kebanyakan 'rumah tangga' itu dipelajari sambil dijalani sama pasangannya, makanya butuh waktu buat sadar, ambil keputusan, itu juga beberapa masih pikir ulang lagi, kompleks bestie.

.

Bukan Lily yang bodoh, si Arkan kepinteran dan manipulasinya terstruktur rapi, pffttt siluman buaya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top