Outing-hunting
Hallo,
Mumpung dapat signal nih 😆
padahal besok juga sudah on the way pulang tapi enggak sabar update!
.
3.100 kata
semoga mengobati rindu pada Mas Lacoste yang minta di-hih! 🙈
.
terima kasih
buat yang selalu vote & comment
kalian semangatku lho, eciaat~
🐊
--
Ini kesempatan bagus dan Lily sadar, ia harus memanfaatkannya dengan baik. Tidak ada gunanya jika hanya terus menangis atau meratapi nasib. Lily segera beralih, melihat buku-buku di rak baca kamar, merasa lega kala menemukan city map yang cukup informatif. Ia juga mengambil semua majalah di rak paling bawah, memeriksa satu per satu, menandai nama pusat perbelanjaan, hotel atau restoran besar di sekitar area wisata yang diulas.
Bi Marni mengantarkan ulang makan siang, Lily menerimanya, makan dengan lahap sambil terus membaca.
"Lily boleh minta pulpen sama kertas?" tanya Lily saat selesai makan dan Bi Marni kembali ke kamarnya untuk mengambil piring kotor dan alat makan.
Wajah pengurus rumah itu agak sendu dan seketika menggeleng. "Enggak boleh, Non ... ruang kerja Mas Arkan dikunci, saya kalau bersih-bersih sana juga ditungguin."
Lily mengangguk paham. Suaminya memang sangat berhati-hati. "Ya sudah, enggak apa-apa. Nanti malam saya mau mi instan rebus, pakai telur."
"Eh? Mi instan rebus?"
"Iya, pakai sawi sama cabai rawit juga kalau ada."
Bi Marni agak mematung sejenak, karena tahu jenis menu makanan itu akan dilarang oleh Arkan. Namun, mendapati raut semangat dan ini adalah kali pertama Lily mau meminta makanan tertentu membuat sang pengurus rumah akhirnya mengangguk. "Baik."
"Terima kasih, Bibi," sahut Lily dan membiarkan Bi Marni meninggalkan kamar.
Lily meraih majalah berikutnya, namun ketika membuka halaman pertama langsung terkesiap menjatuhkannya.
"Astaga," sebutnya karena sadar, itu majalah dewasa yang dikamuflase dengan sampul majalah yang mengulas ragam festival musim panas.
"Ihhh ..." sebut Lily jijik, namun setelah menjauhkannya mendadak ia penasaran, apa sebenarnya isinya?
Lily meraih majalah itu lagi, memberanikan membuka halaman demi halaman dan hampir malu sendiri karena menemukan para wanita berpose vulgar, sebagian dari mereka benar-benar telanjang.
Lily mencermati bagian tanggal penerbitan, setahun yang lalu. "Mas Arkan enggak bisa dipercaya ..." ujarnya namun sejenak terdiam membaca judul kolom spesial di tengah majalah tersebut: Maintenance Adult Relationship & Sexuality.
Pipi Lily merona saat mulai membaca tulisan dari seorang seksolog itu, namun perlahan, semakin banyak dirinya memahami maksud penjabaran hubungan orang dewasa, intimacy dan seksualitas antara pasangan ... memang ada poin-poin yang membuatnya jadi berpikir keras.
Lelaki biasanya tidak menahan diri terhadap pasangan mereka, terutama ketika dilanda kebutuhan. Lily mengerjapkan mata, karena Arkan ketara sekali menahan diri terhadapnya. Bahkan, pria itu tidak pernah benar-benar menidurinya selama ini.
Why?
Satu kata tanya itu langsung muncul di kepala Lily. Padahal jika dulu Arkan benar-benar melakukan hubungan seksual dengannya, pria itu jelas paham cara melindungi diri, ditambah keadaan Lily yang tidak sadar, seharusnya mudah bagi Arkan jika memang punya keinginan untuk itu.
"Enggak mungkin," sebut Lily dengan lirih sewaktu otaknya memikirkan kemungkinan kesehatan suaminya bermasalah. Arkan Hendradi selalu sehat.
Lily memang tidak berpengalaman dalam hubungan romansa ala orang dewasa. Ia mengetahui caranya berciuman, tidak salah tingkah saat duduk berdekatan atau berangkulan, semua itu Arkan yang mengajari sekaligus membiasakan.
Itulah sebab, dirinya mudah diperdaya, ditipu sedemikian rupa. Satu kesadaran yang membuat Lily menutup majalah dewasa itu, kemudian terdiam dan menoleh ke tempat tidur.
"Periode menstruasimu sudah berakhir bukan?"
Lily ingat saat Arkan mengancamnya dengan pertanyaan itu. Ia benar-benar takut dan sedih, sungguh ketara sang suami hanya lanjut mempermainkannya saat itu.
Lily kembali menunduk ke majalah yang tertutup di karpet. Ia semakin termangu memikirkan bagaimana harus merespon, apabila esok, atau entah kapan ... pada akhirnya Arkan meminta haknya secara baik-baik.
Bagaimana juga cara menolaknya? Lalu, akankan suaminya itu bisa menerima penolakan?
Lily sungguh khawatir apabila setiap hal kembali berlanjut dan tidak berjalan sesuai dengan harapannya.
***
Arkan tidak bisa menyembunyikan rasa leganya saat kembali ke kamar dan mendapati istrinya tidur lelap. Tidak ada bekas tangisan di wajah Lily dan lebih dari itu, istrinya bersedia makan. Bi Marni melaporkan hal-hal yang ingin Arkan dengar, meski informasi tentang mi instan sebagai menu makan malam sempat membuatnya agak kesal.
"Non Lily yang minta dan saya punya simpanan beberapa mi instan, makannya lahap sambil lihat hujan salju. Mas Arkan jangan marah, ini sudah kemajuan yang baik."
Bi Marni mengatakan itu dan Arkan harus mengakui sisi kebenarannya. Apa boleh buat, mi instan untuk makan malam Lily kali ini adalah pengecualian.
Arkan berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri, berganti piama dan perlahan mendekat ke arah tempat tidur. Ia semakin lega karena mendengar suara helaan napas teratur sang istri, tanda bahwa seseorang dalam kondisi deep sleep.
"Ngh ... nymmm ..."
Suara gumam itu membuat Arkan menahan tawa. Ia bergerak, mengalihkan tangan untuk merapikan selimut dan memandangi buku yang terlihat di bawah guling.
Arkan mengambilnya, buku panduan wisata dan city map Tokyo. Ia membuka buku tersebut, menyadari sang istri memberi beberapa penanda dengan memanfaatkan kosmetik di meja rias.
Arkan menyeringai, menoleh ke sosok yang begitu pulas tertidur dan membatin pujian; boleh juga Light Lily Hendradi.
Ia begitu senang menyadari usaha istrinya tidak main-main untuk melawannya. Sebagai pria penyuka tantangan seperti Arkan, mendapatkan lawan yang bersemangat, terencana dan tidak mudah menyerah adalah suatu kesenangan tersendiri.
Arkan menutup buku di tangannya lalu menunduk, menyapukan hidung dan bibirnya ke pipi halus Lily. Ia mengecupnya sebanyak dua kali.
"I can't wait about tomorrow outing," bisik Arkan lembut.
Lily bergerak dalam tidurnya dan Arkan mendapati tangan sang istri meraih lengannya. Ia duduk diam, menunggu selama hampir satu jam hingga Lily kembali melepasnya.
"See you, Sayang," kata Arkan saat akhirnya meninggalkan area tempat tidur, kembali ke sofa yang sebenarnya sangat tidak nyaman untuknya.
Namun, senyuman tetap menghiasi wajah Arkan saat dia berbaring, mencoba menganalisa apa yang Lily rencanakan dengan city map dan buku panduan itu. Tepat sebelum kantuk mendera, Arkan sudah asyik menyusun antisipasi jika istrinya benar-benar menjalankan rencana kabur darinya.
Ia tentu tidak akan membiarkan itu.
***
"Mas Arkan enggak pulang?" tanya Lily saat bangun pagi dan mendapati sofa yang ditiduri suaminya kosong.
Ia menguap pelan, bergeser ke pinggiran tempat tidur untuk minum. Usai menghabiskan isi gelasnya, barulah Lily beranjak ke kamar mandi.
Arkan memasuki kamar saat Lily sudah selesai bersiap-siap. Tidak ada senyum yang menyambut kehadirannya, namun wajah sang istri yang tampak segar membuat Arkan sungguh senang. Cuaca hari ini pun bersahabat, beberapa derajat lebih hangat dibanding kemarin.
"Aku makan dengan baik kemarin," ucap Lily lantas berdeham kecil, "Ya, meski sarapan agak sekenanya tapi aku makan perkedel sama minum susu jahe, itu tetap terhitung ya. Sarapanku sedikit aja soalnya."
Arkan mengangguk. "Sure," jawabnya lalu pergi untuk mengambil mantel sekaligus syal.
"Terus, mau ke mana ini?" tanya Lily sambil mengenakan kaus kaki.
"Tempatnya pasti bagus."
"Ya apa nama tempatnya."
"Rahasia."
Kening Lily berkerut. "Apa maksudnya rahasia?"
Arkan tertawa karena ekspresi wajah sang istri juga beralih waspada. "Tenang, Sayang ... cuma taman dan kuil dekat sini kok, nanti kamu lihat sendiri."
"Musim dingin begini, ngapain ke taman?" tanya Lily heran.
"Cuacanya agak hangat hari ini, baik buat jalan-jalan ... kamu perlu merasakan udara bebas juga."
Lily memperhatikan sang suami yang bersiap-siap. Arkan mengenakan sweater abu-abu, celana jeans panjang dan sepatu boots yang keren. Suaminya itu menyugar rambut di depan cermin, membuat cincin kawinnya sesaat berkilau.
Lily jadi menunduk ke cincin di tangannya dan seketika mempertimbangkan dalam hati.
"Don't you dare," ucap Arkan lalu memperjelas maksudnya kala sang istri kembali menatap ke arahnya. "Jangan coba-coba melepasnya, Sayang ..."
Lily berdecak. "Suatu hari akan kukembalikan dengan lemparan serius ke arahmu."
"Lalu setelahnya akan aku pakaikan kembali, don't worry."
Lily malas memperpanjang perdebatan, segera memakai sepatunya lalu mengambil mantel untuk melengkapi pakaiannya.
"Kamu boleh bawa ini," kata Arkan saat mengeluarkan slingbag Lily.
Lily segera menerima dan memeriksanya. Tidak ada ponsel, tidak ada dompet, tidak ada uang tunai, hanya kartu nama Arkan, sebuah lipstick, dua helai sapu tangan, dan sebuah benda yang berkedip di dasar tas.
"Apa ini?"
"Tracker, untuk kemungkinan terburuk."
Lily berdecih ketika sadar benda itu terjahit di dasar tasnya. "Dasar curang."
Arkan tersenyum. "Aku hanya melakukan antisipasi dengan baik."
"Tapi aku butuh uang tunai juga, kalau mau jajan, bagaimana?"
"Tinggal minta aku." Arkan menjawab enteng lalu mengulurkan sehelai syal. "Pakai ini lalu kita siap pergi."
Lily menerima syal tersebut, memakainya dan baru tersadar itu syal kembar dengan yang terlilit di leher Arkan.
"Ini ..."
"Syal couple, kita harus ambil banyak foto bersama nanti," kata Arkan lantas mengulurkan tangan. "Ayo, mobil jemputan udah siap dan jam segini Cally masih mandi. Dia enggak akan ribut karna tahu kita mau pergi."
Lily hanya melirik ke tangan yang terulur ke arahnya. Ia langsung melangkah ke pintu. "Buka ini ..."
"Say please, Sayang ..." sebut Arkan lalu tertawa karena bibir istrinya mencebik.
Lily memang sebal digoda begitu. Ia tetap mempertahankan wajah datarnya hingga Arkan bergerak menekan kode pintu lalu membukanya.
Lily hampir terkesiap saat tangannya diraih, namun Arkan menggenggamnya dengan lembut. Pria itu juga memberi tatapan tenang dan menggandengnya perlahan.
"Ngapain gandeng-gandeng segala?" gerutu Lily.
"Soalnya aku enggak mau kehilangan kamu," jawab Arkan dan ketika Lily merespon dengan pelototan mata, itu membuatnya menyengir.
"Ini hari gencatan senjata, Sayang ... aku pengin kita sama-sama menikmati momen jalan-jalan ini. Kamu juga bisa hunting foto yang bagus, iya 'kan?"
Itu ucapan yang masuk akal, namun tetap saja Lily tidak bisa berhenti curiga pada sang suami.
"Aku bisa jalan sendiri," kata Lily, mencoba menarik tangannya dari genggaman Arkan.
Alih-alih melepas, Arkan justru membawa tangan itu ke dalam saku mantelnya. "Begini lebih hangat lho, coba kamu rasain ..."
Pada akhirnya segala usaha Lily untuk melepas genggaman tangan itu memang tidak berhasil. Arkan sadar dirinya memang curang, tetapi ada damai yang hadir ketika Lily tetap dekat di sampingnya.
***
Lily geleng kepala. Sulit sekali mengingat nama daerah atau jalan yang dilaluinya ini. Terlebih, karena ada banyak penanda yang hanya ditulis dalam huruf Jepang.
Arkan sepertinya juga memilih tidak melewati jalan besar, sehingga Lily benar-benar buta daerah mana yang dimasuki kali ini. Ia hanya berhasil mengingat nama jalan di komplek apartemen, nama stasiun terdekat dan pusat perbelanjaan yang tadi dilewati.
Butuh satu jam perjalanan sampai akhirnya mobil perlahan menepi, memasuki area taman yang sepi dan serba putih di segala sisi.
"Kamu harus setting kamera dulu atau bisa sambil kita jalan?" tanya Arkan ketika membukakan pintu dan mengulurkan tas kamera sang istri.
"Setting dulu!" kata Lily dan langsung bersemangat turun, menerima tas kameranya.
"Dingin enggak?" tanya Arkan.
"Enggak," jawab Lily cepat bahkan tanpa teralihkan dari kamera yang baru dikeluarkan.
Arkan tersenyum, memperhatikan istrinya berkutat serius dengan kamera tersebut. Beberapa kali Lily menekan tombol-tombol kecil yang tersedia di badan kamera sebelum mengangkat benda itu ke papan penanda tempat.
Terdengar bunyi klik dan Lily menurunkan kamera, memeriksa hasilnya. "Bagus ..."
"Benarkah?" tanya Arkan sambil beranjak menjauh dari mobil.
Lily mengarahkan kameranya, menunggu Arkan berhenti berjalan dan menyebutkan aba-aba, "I hate you ..."
"Apa yang terjadi dengan aba-aba semacam 'smile' atau 'cheese' gitu?" tanya Arkan heran.
"Aba-aba kuno!" kata Lily sambil mengalungkan kamera di lehernya. Ia merapikan sisa isi tas ranselnya, menutup kembali dan meninggalkannya di mobil.
"Cukup satu kamera aja?" tanya Arkan.
"Iya, ayo jalan!" ajak Lily dengan tidak sabar.
Arkan tersenyum, membuntuti Lily dengan langkah yang lebih pelan. Ia sekalian mengamati setiap objek foto yang dipilih Lily untuk diabadikan.
Taman ini semacam cagar budaya sehingga masih ada beberapa bangunan kuno yang dipertahankan, temasuk undakan ikonik sebagai akses menuju kuil di atas bukit.
"Indah banget." Lily segera mengangkat kameranya.
Arkan mendapati senyum istrinya terkembang penuh, sepasang mata Lily juga berbinar-binar. Ketara, begitu takjub dan senang.
"Iya, indah banget," ucap Arkan, merujuk pada pemandangan yang dilihatnya sendiri.
Lily menoleh sejenak lalu mengendik ke susunan tangga di hadapannya. "Boleh naik, lihat ke atas?"
Arkan menjawab dengan lebih dulu mengulurkan tangan kanan. "Asal kita gandengan," jawabnya dan menahan tawa karena Lily langsung meraih tangannya, antusias menggandengnya menyusuri satu per satu anak tangga.
***
Lily benar-benar menyukainya, sama sekali tidak bosan menjelajah karena tempat ini sungguh kaya. Kaya dalam artian, memiliki sejarah panjang dan menyimpan beberapa koleksi artefak kuno yang indah.
Seorang penjaga kuil bersedia menjelaskan beberapa hal dan Arkan setia menerjemahkan pada Lily, setiap informasi atau pengetahuan tentang kuil.
Lily mengambil banyak foto yang bagus, termasuk foto-foto Arkan juga. Pria itu ikut serius dalam mengamati artefak kuno, pola pahatan, bentuk pagoda, hingga pohon harapan yang hampir setiap tangkainya dipenuhi gantungan origami burung bangau.
"Kamu tahu ada filosofi soal seribu origami bangau di Jepang?"
Lily menurunkan kameranya. "Apa?"
"Beberapa orang percaya kalau membuat seribu origami bangau, permintaan atau permohonannya akan terwujud. Makanya, kadang orang Jepang menghadiahkan seribu origami bangau ke orang tersayangnya."
"Tapi ... pasti capek lipat seribu origami begini," ungkap Lily.
Arkan tersenyum. "Iya, effort yang enggak main-main itu memang yang jadi tolak ukur kesungguhan dan harapan."
"Aku baca-baca biasanya kertas harapan di kuil itu diikat, kalau di sini dibentuk origami bangau, ya?" tanya Lily sambil mengikuti langkah Arkan kembali ke halaman kuil.
"Beda-beda, ada yang digantung pakai lonceng atau pola ikatan. Ada yang diikat biasa. Ada yang diterbangkan pakai lampion. Ditulis di genting juga ada. Termasuk, yang dibentuk origami bangau," ucap Arkan lalu menjelaskan lebih lanjut. "Beberapa kuil di Tokyo dan Hiroshima itu ada api abadi sebagai sarana doa perdamaian dunia. Di kuil tersebut, wisatawan atau pengunjung biasanya menyumbangkan seribu origami bangau kertas untuk mendoakan perdamaian dunia. Origami bangau kertasnya sengaja dipajang di ruang terbuka, dibiarkan perlahan-lahan memudar sampai robek, terlepas dan menghilang ... dengan anggapan itu adalah bagian permohonan yang mulai dikabulkan."
"Waahhh ..." sebut Lily takjub.
Arkan mengangguk. "Iya, itu mirip juga kayak bendera doa di India dan Tibet."
Lily melihat Arkan berlalu untuk berpamitan pada penjaga kuil. Pria itu memang selalu menjaga sikap pantas, berlaku sopan dan tentunya beramah-tamah. Lily tidak sadar sudah menghabiskan waktu dua jam di sini dan ketika Arkan kembali untuk menggandengnya turun, Lily harus mengakui kegiatan jalan-jalan ini membuatnya senang.
"Ayo, ada kedai okonomiyaki enak, kamu harus coba," ajak Arkan.
Lily mengangguk, mengikuti langkah suaminya seraya mengingatkan diri untuk tetap mencari celah dan kesempatan menjalankan rencananya. Ia tidak boleh terlena.
***
Usai menikmati okonomiyaki yang memang enak dan hangat, Arkan membawa Lily berjalan ke kawasan toko oleh-oleh daerah setempat.
"Cantik banget kimononya," puji Lily.
"Itu yukata." Arkan kemudian menunjuk area lengan. "Kimono itu lengannya panjang, disebut furisode. Yukata lengannya lebih pendek sekitar 50 sentimeter. Bahannya juga, kalau kimono itu eksklusif sementara yukata dari katun, motifnya juga ... untuk kimono lebih mewah."
"Ah ... begitu." Lily menjajari langkah Arkan dan tersenyum. "Enggak sia-sia kamu banyak berpergian ke luar negeri, jadi tahu banyak hal."
"Sebaliknya, kalau urusan budaya dan tradisi Indonesia, kamu yang tahu banyak hal," kata Arkan lalu tertawa. "Jodoh memang begini, saling melengkapi."
Lily menahan cibiran karena kalimat picisan sang suami. Ia fokus mengalihkan ke toko yang menjual beragam mainan kayu. "Eh, aku pengin beliin Freya mainan deh ... sama buat keponakan kamu yang lain juga."
"Mereka enggak tertarik mainan begitu."
"Tapi kalau dikasih pasti mau menerima, ayo lihat-lihat dulu ... Freya tuh suka sama semua mainan bentuk pesawat."
Arkan akhirnya menurut, memasuki toko yang dimaksud lalu bertanya tentang beberapa jenis model pesawat.
"Aku lihat-lihat yang lain," ujar Lily sambil beranjak ke etalase seberang, tempat berbagai mainan kayu berbentuk hewan dipajang.
Arkan berusaha tidak kecewa saat ia sengaja menyibukkan diri dan sang istri langsung mendekati pegawai yang tengah menata ulang mainan.
"Please help me, may I borrow your phone? Phone ... handphone."
Lily mengucapkan itu dengan cepat dan ketara menunjukkan ekspresi panik. Itu membuat si pegawai juga kebingungan merespon.
Lily membuat gestur menelepon dengan satu tangan. "Phone ...handpho—"
"Sayang, jangan gangguin orang gitu," ucap Arkan yang tidak tahan dan segera menyusul, meminta maaf pada si pegawai lalu merangkul sang istri dengan ekspresi geli. "Ini memang kawasan wisata lokal sehingga sedikit yang mahir bahasa Inggris ... kamu coba lagi nanti saat kita makan malam di hotel, oke?"
Sial! Lily membatin dengan rengutan muram.
Arkan mengekeh, melanjutkan ledekan tersiratnya. "Anyway kalau mau pinjam telepon sebut aja sumātofon, tapi itu juga kalau kamu paham hiragana ya, karena format bahasa handphonenya bukan latin, hahahaha ..."
Lily menghela napas, mengikuti Arkan beranjak dan mau tidak mau mengakui, mustahil memang bisa menjalankan rencananya dengan semudah ini.
***
Usaha Lily untuk meloloskan diri sebenarnya patut diapresiasi. Setelah gagal meminjam handphone, istrinya itu sedikit lebih cerdik ... sengaja memasukkan sebuah barang ke tas, menyerahkan tas itu kepada Arkan dan ketika beralih keluar, sensor keamanan yang berbunyi membuat petugas sigap menahan Arkan, Lily langsung berlari pergi.
Arkan menjelaskan situasi dengan cepat, terpaksa meninggalkan salah satu kartu kreditnya sebagai jaminan dan mengejar Lily. Beruntung, sebelum istrinya nekat melapor polisi, ia berhasil mengamankannya.
Lily terengah-engah, lelah berlari dan mau tidak mau kembali digiring ke area aman bersama Arkan.
"Kok tahu aku lari ke sini?" tanyanya heran, karena bagaimana pun cepat sekali Arkan menyusul.
"Kamu pikir, aku cuma pasang tracker di tas itu aja?" tanya balik Arkan lalu tersenyum santai. "Kecuali kabur dengan bertelanjang, aku akan selalu menemukan kamu."
Menyebalkan! Lily memaki dalam hati dan memilih segera menenangkan kejaran napasnya. Ia lelah sekali.
"Sabar ya, Sayang ... aku memang lebih pintar dari kamu," kata Arkan lalu mengusap-usap kepala Lily dengan ekspresi geli.
"Diam deh! Nyebelin!" gerutu Lily.
"Habis ini kita ke hotel aja."
"Ng, aku mau belanja dulu! Cally udah disiapin perlengkapan persalinan belum?"
"Perlengkapan persalinan?"
"Iya, ada beberapa hal, sama aku mau beliin vitamin buat Bi Marni juga."
"Beli vitamin?"
Lily mengangguk. "Bahaya tahu buat lansia kalau cuma di dalam rumah aja, udah gitu kegiatan monoton, bebersih juga sendiri."
Arkan berdecak dan menggandeng Lily. "Ya udah, terserah ... kita ambil kartuku dulu, baru belanja."
Lily menahan senyum. "Oke."
***
"Buat apa beli amplop?" tanya Arkan, mengamati tambahan barang yang dimasukkan sang istri.
"Aku mau kirim postcard."
"Postcard?"
"Iya, kita cetak foto-foto hari ini terus kirimkan buat orang rumah."
Arkan seketika menggeleng. "Nope! Jelas ada akal-akalan kamu ini."
"Akal-akalan?" tanya Lily.
"Iya, entah apa pun rencana kamu, enggak ada postcard. Lupakan saja!" Arkan mengambil kemasan amplop dan bermaksud mengembalikannya.
"Aku bilang kita lho," ujar Lily sambil menahan lengan Arkan. "Lily udah capek ... dikurung, diawasi, dan usahaku untuk lolos sepanjang hari ini juga terus gagal."
"Lalu?"
"Lily suka sama foto-foto tadi, foto-foto kita juga bagus ... pengin berbagi ke keluarga. Mama dan Papa pasti senang, at least aku pengin nunjukin langung kebahagiaan hari ini."
Arkan terdiam, bukan hanya karena ucapan sang istri namun juga tangan yang beralih menggenggamnya.
"Kalau memang enggak bisa percaya, Mas Arkan boleh periksa semuanya sebelum dikirim," kata Lily sungguh-sungguh.
"M ... Mas Arkan?" ulang Arkan.
Lily mengangguk. "Ini permintaanku, satu-satunya ... please."
Arkan mempertimbangkan situasi dan kemungkinan. Ia kemudian mengangguk, sebelum dikirim akan dia pastikan setiap postcard itu bersih. "Okay ... tapi kita kerjakan ini sama-sama, aku juga akan memeriksa setiap surat dan gambar sebelum dikirimkan."
"Terima kasih," kata Lily yang kemudian langsung memeluk Arkan, sejenak membuat tubuh suaminya itu terkesiap sebelum balas memeluk.
"Iya, Sayang ... ya ampun, kamu butuh apa lagi? Kita beli sekalian di sini," ajak Arkan yang menjadi antusias.
Lily tersenyum dalam pelukan itu, ia cepat belajar hari ini dan menyadari bahwa strategi terbaik menghadapi Arkan ... memang bukan dengan perlawanan. Namun, kelembutan, penyerahan, sikap patuh yang perlahan akan membuat suaminya itu terlena.
Suka tidak suka, salah satu kesamaan mereka adalah haus kasih sayang dan kedekatan fisik dengan pasangan. Oleh karena itu, Lily berniat untuk mengubah sikap, menjadi sekooperatif mungkin, bermanja-manja, diam-diam dalam melanjutkan rencana dan ketika sang suami sudah sepenuhnya terbuai ... penghianatan kecilnya akan memberi jalan keluar sesuai harapan.
[]
📸
udah naik belum level belum, sisi kerennya female lead kita inieh? Hohoho ... memangs kudu fast response ya Lily kalau menghadapi Yang Mulia.
.
One step clooooseeerr, ea~
selangkah lagi menudju hari pembalasan, pfft Jang Moelia Zarkan Hendradi mohon bersiap ygy.
.
*gini kan ya trennya itu? 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top