Lift-up our love

Hallo, bestie 🎊

Semoga belum terlalu malam yay!
Soalnya besok fullday event, jadinya
daku update sekarang

3.200 kata untuk bab ini
udah happy-happy dong
semoga kalian makin sukaaa
terima kasih ~

🐣

--

"Selamat, Pak Arkan ... kondisi Ibu Lily sekarang benar-benar sangat baik dan sehat."

Ucapan selamat dari dokter itu menghadirkan kelegaan yang luar biasa. Pada minggu ke-20 kehamilan, Lily akhirnya dinyatakan berada pada berat badan ideal ibu hamil. Ukuran janinnya juga sesuai tahap perkembangan.

Arkan hampir terharu merasakan tepukan bahu dari sang ayah. Ibunya yang ikut mendampingi juga tersenyum semringah, menyimak penjelasan dokter terkait hasil test Amniocentesis yang dilakukan minggu lalu.

"Hasil testnya juga sangat bagus sekali, tidak terdeteksi kemungkinan kelainan genetis seperti down syndrome ataupun trisomi yang membahayakan. Pada USG terbaru, kepala bayi juga terbentuk dengan baik." Dokter menunjukkan beberapa lembar hasil pengujian dan foto USG yang dimaksud lalu tersenyum menatap Arkan. "Bapak secara pribadi ingin mengetahui jenis kelamin si bayi..."

"Oh ya, setiap kali USG, bahkan tadi juga masih tertutupi dan katanya melalui tes dapat dipastikan jenis kelamin anak saya," ungkap Arkan antusias.

Dokter mengangguk. "Ya dan sekali lagi selamat, karena memang sesuai harapan Bapak, seorang bayi perempuan."

"Oh! Thanks, God!" ucap Arkan dan seketika beralih memeluk sang ibu, menumpahkan tangis haru.

Amaris tersenyum senang. "Pantesan ditutupi terus, malu kayaknya ya, cucu perempuan Mama."

Adam Hendradi mengekeh, kembali menepuk-nepuk bahu sang anak dan saling pandang dengan istrinya yang juga terharu. Perjalanan mereka hingga pada momentum ini sangatlah tidak terduga, segala kerumitan, persoalan keluarga, ancaman perpisahan, sampai akhirnya menuai buah kesabaran. Kebahagiaan terasa begitu lengkap, di tahun yang sama punya cucu lelaki dan perempuan.

"Malu-maluin kamu ini, jadi ayah masih aja nangis sama ibunya," kekeh Adam lantas meminta permakluman dokter yang hanya bisa tersenyum, "Maaf ya, Dok ..."

"Oh tidak apa-apa, Pak ... selama ini pasti memang tidak mudah juga untuk Pak Arkan dan Ibu Lily, mereka berusaha sangat baik untuk menjaga kehamilan ini," ujar Dokter dengan tatapan lembut yang penuh apresiasi. "Empat minggu terakhir juga benar-benar seperti suatu keajaiban, Ibu Lily dapat kembali menikmati makanan, bahkan beraktivitas ringan termasuk jalan pagi setiap hari. Itu sangat bagus sekali."

Amaris tersenyum, membalas pelukan anaknya penuh sayang. Ia yang selama beberapa bulan ini ikut tinggal bersama jelas paling tahu bagaimana Arkan sangat kooperatif, membantu Lily bisa menikmati makanan lagi, memastikan Lily beristirahat dengan baik, sigap mendampingi setiap kali Lily didera kejenuhan dan ingin melakukan suatu kegiatan; sekadar jalan-jalan di taman, memotret, mengisi perpustakaan, mendekor ruang duduk, melihat kolam ikan, sampai merawat tanaman bunga di rumah.

"Oh, seperti biasa Pak Reynand meminta hasil pemeriksaan Ibu Lily dikirim juga kepada beliau," ucap Dokter sekalian menunjukkan riwayat komunikasinya dengan orang tua Lily di Dubai.

Adam mengangguk. "Iya, silakan dokter, masih bulan depan sampai Reynand bisa kembali tinggal bersama kami."

"Iya, sekalian persiapan tujuh bulanan ya, Pak?" tanya Dokter.

"Oh iya, Kakeknya Lily juga menanyakan soal acara itu." Amaris memberi tahu dan perlahan mengurai pelukan karena sang anak mulai menenangkan diri.

Arkan mengusap sisa-sisa tangis dan menggeleng. "Tetap lihat kondisinya Lily dulu, Ma, aku enggak mau bikin acara apa pun kalau cuma bikin Lily capek-capek."

"Ada benarnya, karena bagaimana pun meski sejauh ini kesehatan membaik dengan signifikan tetap perlu beberapa hal untuk diperhatikan." Dokter menatap Arkan dan menunjukkan grafik tahapan perkembangan kehamilan. "Pada tahap ini Ibu Lily akan semakin merasakan gerakan si bayi dan jika sudah lebih aktif juga Bapak mungkin bisa ikut merasakan dari sentuhan di area perut sang ibu."

"Oh," sebut Arkan lalu memandang telapak tangannya. Selama ini saja, bisa mengusap-usap perut Lily yang membulat sudah sangat membahagiakan, apa lagi ikut merasakan gerakan si bayi.

"Kondisi Ibu Lily yang sudah baik ini memang tinggal dipertahankan, namun seiring bertambahnya usia kehamilan, pengawasan juga perlu ditingkatkan ya ... masih perlu dijaga dari kelelahan, mengelola stress dengan baik, mempertahankan nafsu makan bergizi, olahraga ringan dan berhati-hati untuk aktivitas seksual."

Arkan seketika terbatuk mendengarnya, membuat ayah dan ibunya kompak melirik dengan tatapan curiga.

"Enggak! I'm not doing anything," ungkap Arkan cepat, menahan malu saat berterus terang, "Aku tahu itu bahaya dan enggak melakukannya."

Dokter menahan tawanya dan menjelaskan, "Sebenarnya Ibu Lily yang tadi menanyakan hal tersebut."

"Ya?" sebut Amaris dan Arkan kompak.

"Iya, bertanya apa sudah boleh melakukannya," kata Dokter dan mengangguk. "Sudah boleh tetapi memang harus berhati-hati dan selalu memakai pengaman."

"O ..oh, ya, that's a good news," ungkap Arkan lantas menahan pekikan terkejut karena sang ayah memukul punggungnya, lumayan sakit.

Amaris tertawa, memang salahnya dan suami yang memaksa untuk mendampingi Arkan pada pertemuan ini. Mereka seharusnya tetap memberi privasi, sadar akan kemungkinan hal-hal pribadi yang bakal diinformasikan juga.

Suara denting notifikasi chat masuk mengalihkan Arkan, Lily sudah selesai kegiatan trial senam kehamilan dan bisa dijemput. "Ma, ini Lily udah selesai trial senamnya," kata Arkan.

"Oh, ya ... Lily masih harus minum vitamin dok?" tanya Amaris, memperhatikan kemasan yang disiapkan dokter.

"Ya, ada tambahan kalsium juga," jawab Dokter dan menyerahkan kemasan berisi beberapa botol vitamin untuk Lily. "Saya akan datang untuk pemeriksaan dua mingguan, tanggal lima belas ya, Pak Arkan."

Arkan mengangguk. "Terima kasih."

***

"Mas ..."

Arkan mempercepat langkahnya karena panggilan itu. Lily duduk di kursi panjang yang juga digunakan oleh beberapa ibu hamil lain untuk memakai kembali sepatu mereka.

Lily baru memakai sepatu sebelah kanan dan menyempatkan melambaikan tangan dulu pada sosok suaminya yang mendekat. "Papa sama Mama tunggu di bawah, ya?"

"Iya," jawab Arkan lalu mengangguk pada empat ibu hamil yang duduk berjejeran dan otomatis memperhatikannya.

Lily memang terbiasa dibantu Arkan melakukan banyak hal ketika di rumah, tetapi tetap tidak menyangka suaminya bakal langsung berlutut dan mengambil sepatu yang belum terpasang. "E.. eh, aku bisa sendiri."

"Aku juga bisa bantuin, Sayang," kata Arkan yang lebih dulu memastikan telapak kaki istrinya bersih dan baru memasangkan sepatu. "Gimana senamnya? Bikin enakan?"

"Iya, ada sesi atur napas dan meditasi juga." Lily tersenyum senang sambil mengusap-usap perut. "Ini senang juga kayaknya ibunya banyak gerak."

"Oh?" Arkan seketika mengangkat tatapan matanya. "Udah kerasa?"

"Iya, kayak sentuhan gini tapi udah jelas gerakan si bayi," ungkap Lily dengan gembira.

Arkan turut gembira mendengarnya, beralih bangun dan membantu sang istri berdiri dari duduk. "Capek enggak?"

"Lumayan," jawab Lily dan balas mengangguk pada ibu-ibu lain yang lebih dulu beranjak.

Arkan mendapati sang istri yang tetap tidak beranjak dan hanya memperhatikan para ibu-ibu yang kemudian menunggui lift.

"Sayang ..." panggil Arkan.

Lily begitu saja merapat dan memegangi bagian depan kemeja Arkan. "Eng ... jalan aja kayak tadi lewat selasar."

"Kenapa? Pakai lift langsung turun ke lobi."

Lily menggeleng. "Enggak mau."

Arkan sebenarnya mencurigai sikap istrinya ini, karena di rumahnya pun Lily selalu maunya memakai tangga untuk beranjak ke lantai dua dan tiga. Setiap pemeriksaan di rumah sakit juga, bahkan saat selasar sedang ramai justru memilih tangga darurat dibanding lift.

"Sayang, apa kamu-"

"Dipikir-pikir kayaknya Lily capek," ungkap Lily dan tersenyum saat ganti memegangi bahu Arkan. "Mau gendong ya?"

"Capek?" tanya Arkan yang kemudian segera menyelipkan lengan dan mengangkat tubuh Lily, terasa pertambahan bobotnya jika dibanding dulu. Hal yang sekali lagi membuat Arkan lega, tidak sia-sia lambungnya dihajar berbagai makanan tradisional nusantara selama ini.

Lily tersenyum senang saat sang suami mulai melangkah. "Semangat Papa ..."

Arkan mengecup pelipis Lily penuh sayang. "Ini nanti begitu sampai rumah bonus plus plusnya, tambah pijat juga ya."

"Pijat atau ..." Lily sengaja menggantung penawarannya karena harus berbisik untuk menyebutkan pembandingnya.

"Atau?" tanya Arkan penasaran.

"Mandi bareng?" bisik Lily lalu mengedipkan mata. "Kata dokter boleh berendam juga, air suhu ruang atau suam-suam kuku gitu aman."

Arkan memantapkan kedua lengannya dan mengangguk penuh tekad. "Let's go home!"

***

"Kenyang banget, ya," ujar Lily selepas makan siang bersama mertuanya yang kelewat perhatian.

Arkan mengangguk, mengusap-usap perutnya sendiri. "Aku harus telepon PT untuk program lagi, body build."

"Kenapa?"

"Jangan sampai kamu hamil, aku ikut buncit juga," ujar Arkan lalu dengan gemas mendekap sang istri yang duduk di pinggiran ranjang.

"Aduh," sebut Lily lebih karena kaget tiba-tiba kepala suaminya sudah mendusel ke perut.

"Sayangku di sini udah kenyang, ya ..." ucap Arkan lembut, mencium-cium area pusar. "Mama habis nasi sepiring, ikan gurami separuh, pakai tahu cabai garam sama tauge rebus."

"Itu cah tauge!" ralat Lily kemudian tertawa, ingat suaminya malas-malasan menyendok jenis sayur tersebut. "Rasanya emang aneh banget? Papa sama Mama aja suka banget."

"Aneh, sayur lemes-lemes basah gurih begitu."

Lily mengingat-ingat. "Berarti yang sejauh ini aman buat Mas Arkan cuma sop bening bayam, cah brokoli paprika, kailan bawang putih, kale udang tumis, oh sama bobor kelor."

"Tempe gorengnya enak waktu bobor kelor itu." Arkan mengakui, chefnya di hotel sengaja membuat sendiri tempe organik dengan kedelai pilihan.

"Sayang ya, waktu itu cuma bikin satu papan tempe." Lily tahu jika standar higienitas suaminya ini kadang membuat senewen, tapi persoalan tempe papan organik itu betul-betul pengecualian.

"Nanti malam pengin apa, Sayang?" tanya Arkan.

"Papa tadi bilangnya kangen bakmi Jawa terus Mama atur Patricia untuk jemput Pak Pono atau siapa gitu katanya itu langganan bakmi Jawa di Jogja."

"Ah iya, enak dia masaknya." Arkan mengangguk dan menciumi perut istrinya lagi. "Cantiknya Papa, makan enak lagi ya nanti malam."

"Eh?" tanya Lily agak bingung. "Cantik?"

Arkan mendongak dan tersenyum. "Iya."

Lily segera memastikan, sebab selama perjalanan pulang ke rumah memang lebih banyak membicarakan tentang senam kehamilannya, pilihan jadwal dan urusan menu makan siang. "Apa kata dokter, selain aku sehat dan bayi kita baik-baik aja."

"Kita akan punya anak perempuan," jawab Arkan.

"Beneran?" tanya Lily, suaranya tercekat haru.

Arkan menegakkan tubuh, memeluk sang istri dan menciumi puncak kepala berulang-ulang untuk mengungkap kebahagiaan. "Beneran dong, Sayang ... and I'm so happy."

Lily tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya, namun segala hal terasa begitu tepat dan luar biasa. Their dream just become true.

"Sayang ..." panggil Arkan karena sang istri kemudian menangis haru.

"Thank you," ucap Lily serak dan hampir-hampir tidak bisa menahan keharuan, air matanya terus menetes. "Kalau bukan karena Mas Arkan yang selalu berkorban, bersedia setengahan makan sama aku terus, pasti bayinya enggak-"

"Sayang ... I'm commit to do anything for you and our dearest baby. Aku hanya membuktikan itu." Arkan menyela lembut, mengurai pelukan dan menghapusi lelehan air mata sang istri. "Hidupku punya kalian berdua selamanya."

"Mencintaimu ... enggak pernah terasa semudah hari ini," ungkap Lily dengan binar kebahagiaan.

"Suatu hari itu bakal terasa semudah bernapas, Lily," kata Arkan dan menundukkan wajah, mencium bekas aliran basah di pipi istrinya. "Just like my love, to you."

Lily memang merasakan embusan napas lembut di pipinya, membuatnya tersenyum saat mengangkat dua tangan, ganti merangkum wajah Arkan. "Dokter enggak ada bilang hal yang lainnya?"

Arkan jadi hampir tertawa mengingat kekonyolan tadi. "Kamu beneran menanyakan itu?"

"Iya, kenapa?"

"Dokter ngasih tahu pas masih ada Papa dan Mama."

"Hah?" sebut Lily dan seketika menjauhkan tangannya dengan was-was. "Serius, Mas?"

Arkan mengangguk. "Beneran! Makanya tadi di mobil dan sepanjang makan siang juga enggak bahas soal obrolan ketemu dokter, awkward."

Lily sungguh tidak menyangka. "Terus, gimana? Malu banget pasti Papa sama Mama ikut dengar."

"Ya, malu, tapi pas keluar ruang dokter, Mama sama Papa langsung bilang ini kali terakhir mereka mau menemani, hahaha," kata Arkan dengan kekehan geli.

"Papa sama Mama selalu nemenin karena kita juga yang kelihatan mengkhawatirkan," ungkap Lily.

Arkan tidak memungkiri itu, selama ini memang ibunya punya banyak peran dalam membantunya beradaptasi sebagai calon ayah siaga dan bisa diandalkan. Saat Arkan harus meeting atau mengurus pekerjaan, Amaris Fabian juga setia menggantikan menemani Lily, ikut memanjakan dan memastikan keadaan rumah selalu nyaman.

"Kita memang harus banyak belajar," kata Arkan dan meraih tangan sang istri, menggenggamnya lembut. "Kita mulai belajar sama-sama jadi orang tua yang baik dan siap dengan kehadiran si bayi."

"Si cantik," ralat Lily, suka dengan panggilan itu untuk bayinya.

Arkan tersenyum. "Iya, untuk si cantiknya kita."

"Uhm ... terus, apa kata dokter tadi soal pertanyaanku?" tanya Lily kembali memastikan, "Boleh atau enggak?"

Senyum Arkan berubah menjadi tawa pelan. "Ada untungnya kita makan siang lebih awal."

"Ya?" tanya Lily dan terkesiap saat Arkan beralih mendekap lalu membaringkannya di tempat tidur.

"Mandi berendamnya habis ini, ya," ucap Arkan lalu mendekatkan kepala, mencium bibir lembut Lily yang masih setengah membuka.

Sewaktu tubuh mereka merapat secara alami dan mulutnya jadi lebih lama dijelajahi, Lily menyadari bahwa jawaban atas pertanyaannya ... tentu saja, boleh.

***

"Ibu Light Lilyyy ... apple strudel spesialnya sudah sampaiii ..." Kai berseru penuh semangat memasuki ruang duduk, mengacungkan paper bag berisi roti manis oleh-oleh khas kota Malang tersebut.

Arkan yang tengah bekerja di salah satu kursi sofa hanya memberi lirikan sekilas. "Lily tidur siang."

Kai memeriksa jam tangannya, pukul setengah dua. "Selesai periksa jam berapa emang?"

"Setengah sebelas udah selesai," jawab Arkan lalu menghela napas panjang dan memindahkan laptop dari pangkuannya. Saatnya jeda setelah satu jam bekerja.

"Makan siang apa kalian?"

"Cah tauge, gurame goreng pakai sambal kecap, tahu cabai garam, sama rujak kirimannya Sara dan Dinia." Arkan geleng-geleng kepala sebelum mendengkus. "Kapan ya kira-kira si cantik mau ramen, beef yakiniku, pizza, braciole, pasta panggang atau-"

"Wait!" Kai berseru cepat, bergegas mendekat dan duduk di sisi Arkan. "Si cantik?"

Senyum Arkan terkembang, penuh kemenangan mendeklarasikan sumber kebahagiaannya, "Test result confirm that my baby is a girl."

"Oh Tuhan!" ungkap Kai, membatin puji syukur dan segera menego, "Oke! Jadi jadwalnya Senin sampai Rabu tinggal di sini, Kamis sampai Minggu pulangin ke mansion, deal?"

"Enak aja, pulangin ke mansion, orang di sini rumahnya!" tolak Arkan mentah-mentah. "The baby is mine, no sharing."

"Freya pasti mau main sama adik perempuannya."

"Freya ajalah yang tinggal sama gue!"

"Enak aja!" Kai ganti menolak tegas dan mengingatkan, "Gue selama ini berbagi pengasuhannya Freya ya, jadi lo juga harus berbagi soal—"

"No! No! No!" Arkan langsung menggeleng, kembali menyuarakan penolakan. "Si cantik punya gue dan gue harus jadi her number one."

"Ck! Pelit!"

"Kalau lo tahu Freya dari awal juga enggak bakal mau berbagi dia," tuduh Arkan.

Kai memikirkannya dan tertawa. "Terus Freya bakal punya ayah yang goblok ya, Ar ..."

"Kai," sebut Arkan, tidak bermaksud mengesankan keadaan semacam itu.

Kai angkat bahu. "Gue begini juga karena enggak punya kesempatan jadi ayah sejak awal ... ya, emang pas Kenny sama Kayden ikut merasakan tapi kalau anak perempuan kan belum."

"Lo bisa punya anak lagi, Kai, makanya buruan serius sama Nourah!" tegas Arkan.

"Enggak segampang itu..." Kai kemudian mengerutkan kening, memastikan wangi sabun mandi yang tercium kuat. "Lo nih habis mandi?"

"Hah?" tanya Arkan, berdeham pelan. "Y-ya tadi habis makan."

"Lily sempat muntah?" tanya Kai.

"Enggak, ya ... guenya aja yang gerah," jawab Arkan lantas mengalihkan tatapan ke paper bag di meja. "Itu jenis makanan apa, Kai?"

"Pastry, kayak pie gitu, enak."

"Coba lihat."

Kai mengambilnya, menunjukkan makanan yang dikemas rapi dan saat kotak dibuka tercium wangi manis.

"Oh ini, gue pernah coba dessert kayak gini juga pas di Austria isi keju krim sama rum."

"Iya emang asalnya dari sana." Kai memperhatikan Arkan yang tampak penuh minat. "Lo muntah lagi pas habis makan siang tadi?"

"Enggak, yang enggak tahan rujaknya aja, asem banget tapi aman."

"Terus lo ngapain mandi?"

"Gerah!"

Kai geleng kepala. "Suhu ruangan di rumah ini stabil ya dinginnya! Langit ngegym dua jam di atas aja keluar sini langsung dingin katanya!"

Arkan berlagak tidak mendengar dan justru menoleh pada pelayan yang melintas. "Mbak, tolong piring kue sama garpu."

Kai menyipitkan mata, curiga namun memilih membiarkan. "Lo mau cobain ini, Ar?"

"Iya, kelihatannya enak," jawab Arkan.

Kai memperhatikan dalam diam saat pelayan mengantarkan alat makan yang diminta sepupunya. Ia membantu mengiriskan kue tersebut, menghidangkan irisan pertama untuk Arkan.

"Coba dikit dulu," ucap Kai.

Arkan memakannya dan mengangguk. "Not bad."

Kai jadi tertawa saat Arkan memindahkan sendiri irisan kue selanjutnya ke piring. "Kayaknya misi melokalkan lidah Yang Mulia berhasil ini."

"Gue yang enggak tahan banget itu kalau udah full rempah, santan, apalagi kental, minyakan!" Arkan kembali mengunyah, mengangguk-angguk. "Ini beneran lumayan, isian buahnya enggak over ... nyaris balance kalau pastry-nya bisa lebih lembut dikit."

"Jangan lo makan semua, ini buat Lily juga!" Kai langsung mengamankan sisa kue di kotak, mengembalikannya ke dalam paper bag sekalian.

Arkan berdecak sebal, baru juga dia mulai menikmati. "Makanya kalau beli-beliin yang sekiranya gue bisa doyan jangan cuma sekotak!"

"Mana gue tahu lidah lo udah adaptif begini!" balas Kai tidak kalah sebal dan tidak lama jadi tersadar karena sepupunya kembali tersenyum-senyum menghabiskan sisa apple strudel di piring, "Hasil pemeriksaannya Lily pasti bagus banget, lo kelihatan happy-nya."

"So perfect!" sebut Arkan dengan raut lega. "Berat badan Lily ideal, tahapan perkembangan bayinya juga sesuai, hasil tesnya bagus, enggak ada kelainan atau apa pun itu, ditambah jenis kelaminnya perempuan."

"Lo udah ngabarin Langit?" tanya Kai.

"Belum, tapi dalam waktu dekat kayaknya Mama yang bakal mulai menghubungi orang-orang."

"Kenapa?"

"Prepare buat tujuh bulanan, nanti Mama baru mau ngabarin Mama Meira dan ya ... ngobrol dulu sama Kakek untuk pemberitahuan ini."

Kai mengangguk-angguk. "Tuh Kakek belum jenguk Lily juga, ya?"

"Habis jatuh itu memang lebih banyak aktivitas di rumah dan kayaknya Papa Rey yang secara pribadi minta Kakek buat enggak terlalu ikut campur di sini."

"Ketara ya jaga jaraknya?" tanya Kai.

"Iya, cuma sekilasan kalau nanya Lily atau keadaan kehamilannya ... sisanya kalau telepon atau conference meeting ya beneran ngomongin proyek kerjaan." Arkan kemudian menghela napas panjang.

Hal yang membuat Kai kembali bertanya, "Kenapa? Ada masalah kerjaan?"

"Enggak ..." Arkan memelankan suara saat bercerita. "Kayaknya Lily ada trauma soal lift."

"Lift?" ulang Kai.

"Iya, selama ini dia enggak pernah lagi mau naik lift ... beneran menghindari dan selalu milih lewat tangga atau selasar tiap ke rumah sakit."

"Tapi trauma kenapa?"

"Waktu Cally kabur dulu, Lily yang kejebak di lift sama dia yang udah pendarahan siap melahirkan itu."

Kai seketika teringat momen yang dimaksud. "Iya ya, waktu itu Lily juga pucat dan lemas banget."

"Makanya." Arkan kembali menghela napas panjang. "Lily kayaknya belum mau ngomongin soal itu juga dan gue jadinya kepikiran, kenapa begitu ... kalau beneran jadi masalah, masih sempat untuk dicari solusinya. Konsultasi atau—"

"Mungkin Lily juga masih meraba atau berusaha meyakinkan diri kalau bakal baik-baik aja, you know ... selama ini dia udah kuat banget menghadapi banyak hal." Kai menatap foto pernikahan Arkan dan Lily yang dipajang. "Perempuan itu kadang bukannya enggak mau berbagi, cuma perlu waktu aja supaya lebih yakin; oh butuh bantuan lebih nih untuk mengatasi."

"Gitu?"

Kai mengangguk. "Sabarin sebentar lagi, kalau menurut lo beneran udah enggak bisa didiamkan, baru ajak bicara pelan-pelan."

"Oke," kata Arkan lalu mengangguk, apa yang Kai katakan memang ada benarnya.

***

Ting!

Lily mengamati pintu lift rumah bergerak membuka dan ibu mertuanya keluar dari sana.

"Wah, nyore apa, Ly?" sapa Amaris ceria.

"Apple struddle, Ma ... Mama mau?" tanya Lily sambil menatap ke kotak kue yang di dalamnya masih tersisa beberapa iris.

"Sayang kalau kamu udah, ini aku mau sisa kuenya," kata Arkan membuat ibunya jadi memperhatikan.

"Lho, tumben kamu mau?" Amaris tidak menyangka.

Arkan mengangguk. "Enak ini, lumayan lah."

"Ya udah buat Arkan aja, Mama pengin teh sereh jahe," kata Amaris yang kemudian berlalu ke dapur.

Arkan menyengir gembira, siap menikmati sisa kue namun teralihkan pada sang istri yang masih menoleh ke area lift rumah. "Sayang?"

"Ha?" tanya Lily dan kembali fokus pada Arkan. "Iya, Lily udah kuenya, Mas."

Arkan lebih dulu menggenggam tangan sang istri, mengangkatnya ke bibir untuk meninggalkan kecupan sayang. "I love you, Sayang."

Lily mengekeh. "Mas Arkan sesuka itu sama kue—"

"Aku sesuka dan secinta itu sama segala hal tentang kamu, jadi apa pun itu yang mungkin masih jadi satu atau dua ketakutan bagi diri kamu ... aku di sini akan selalu siap menghadapinya juga," ungkap Arkan dengan kesungguhan. "You'll always have me by your side."

Lily memang masih berusaha mengatasi satu kecemasan yang membuatnya kerap dilanda perasaan tidak nyaman dengan bayang-bayang kesakitan yang masih terlalu lekat, tidak mudah dilupakan.

"Sayang ..." panggil Arkan.

"I love you too ..." ujar Lily kemudian menyodorkan bibirnya ke arah pipi Arkan, meninggalkan kecupan ringan.

Genggaman tangan yang menguat memang menghadirkan ketenangan untuk Lily, membuatnya tahu, kapan saja ingin mencoba melawan ketakutan itu  ... Arkan ada bersamanya.

[]

🧸

Berani dong!
Menghadapi Buaya kampret aja berani
naik-turun lift mah so izy~~

.

Siap ya 2-3 part lagi tamat?
Eehhhh 🐊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top