Handle the truth


Aku datang~
Hehe maaf, kemarin malming absen, dan baru bisa update lagi sekarang.

Udah siap, pilihan kata hujatan spesial untuk Arkampret?

zuzur, aku tyda menyangka 7 tahun berlalu dan masih ada yang emosyenel dengan Jang Moelia inieh.

Selamat membaca yay!
terima kasih buat yang selalu semangat komentar dan vote.

🐊


--

Lily benar-benar berharap apa yang baru dialaminya hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk yang tidak nyata. Mimpi buruk yang akan dilupakannya ketika terbangun dan melanjutkan hari-hari. Namun, sudah sejak lama, ia menyadari bahwa sedikit sekali harapannya yang terkabul. Seperti kali ini, ketika Lily membuka mata, mimpi buruk itu masih bersamanya, berikut rasa sakit yang tidak juga sirna.

Arkan menahan tangan sang istri, tetap menggenggamnya meski Lily berusaha melepaskan. "Listen to me," pintanya.

"I am here, because I'm listening!" balas Lily, agak menggeram sedih dan kesal. "I listen to your lie."

"Cally akan melahirkan, sekitar empat sampai lima minggu lagi ... enggak banyak pilihan yang bisa aku buat untuk tetap mengamankan semuanya." Arkan berusaha menjelaskan secara perlahan. "Pernikahan kita adalah solusi untuk—"

"Solusi?" ulang Lily dengan muak.

"Kita adalah solusi agar anaknya Cally bisa secara resmi diakui dan masuk dalam keluargaku sebagaimana seharusnya."

Lily menahan napas, teringat obrolan mereka tentang Freya dan juga dirinya sendiri. Terkait kesamaan situasi. "Apa yang sebenarnya Mas Arkan pikirkan? Ini salah, Mas ... enggak—"

"Cally memang berbuat salah, karena itu kita memperbaikinya."

"Ini bukan seperti ketika dia memilih berdandan cosplay saat kita semua mengenakan setelan formal, lalu Mas Arkan tinggal memintanya untuk menyesuaikan." Lily mengingatkan dengan getir. "Apa Papa dan Mama tahu kondisi Cally? Rencana Mas Arkan?"

Arkan menggeleng. "Hanya butuh kita berdua untuk menyelesaikan ini."

"Mas! Papa dan Mama juga berhak tahu tentang kondisi Cally sekarang, dia masih tanggung jawab orang tua."

"Papa dan Mama cukup tahu bahwa Cally baik-baik saja, sementara kita berdua akan memberi mereka seorang cucu."

Kebohongan itu! Lily sampai perlu memejamkan matanya lagi untuk menahan pedih. "Bukan kita yang akan memberi mereka cucu, tapi Calista!"

"Anak Calista adalah anak kita."

"Bukan!" Lily berseru tegas dan memaksa agar tangannya benar-benar terlepas dari genggaman Arkan.

Suaminya itu melepaskan hanya untuk bersedekap dan menanggapi dengan nada yang kelewat tenang, "Aku pikir karena punya sejarah kelahiran yang sama, kamu bakal lebih cepat mengerti, ternyata enggak juga..."

"Apa maksudnya?" tanya Lily seraya berusaha bangun dari posisi berbaringnya, menatap sang suami lekat-lekat. "Lily enggak bisa dukung Mas Arkan kalau jelas-jelas melakukan kesalahan, terlebih fatal seperti—"

"Aku tahu kamu disayang sama orang tua asuhmu, kita juga sama-sama bisa melihat kalau Freya tumbuh dengan baik dalam asuhan Kak Kenzo dan Kak Freesia." Arkan menyela dengan tenang. "Yang dibutuhkan anak enggak selalu orang tua kandungnya, tetapi orang tua yang siap mengasuh, bisa bersikap dewasa dan penyayang."

"Tetap saja, seorang anak harus tau sejak awal kepada siapa dia sebenarnya memanggil ayah dan ibu." Lily hampir menangis lagi karena perlu menegaskan ini. "Hanya karena merasa dewasa dan mampu memberikan kasih sayang, Mas Arkan enggak berhak begitu saja mengklaim anak orang lain sebagai anak sendiri!"

"Calista bukan orang lain! Anak itu juga bagian dari keluarga Hendradi." Arkan menghela napas pendek, seakan begitu lelah dalam menjelaskan, "Sudah terlambat untukku mengaturkan pernikahan bagi Cally dengan kondisi kehamilannya itu. Hanya pernikahan kita dan kesiapan kita sebagai calon orang tua yang bisa jadi solusi agar reputasi—"
 
"Reputasi?" Lily setengah menjerit saat mengatakannya. "Mas Arkan mempertaruhkan masa depan seorang anak, menipu Lily sedemikian rupa, hanya untuk reputasi?"

Wajah Arkan seketika mengeras, ekspresinya kaku. "Reputasi mencerminkan harga diri keluarga yang harus selalu kujaga dan aku akan melakukan apa pun agar semua itu tetap terjaga. Kamu hanya perlu menurutiku, menandatangani beberapa berkas, mulai mengasuh dan menyayangi anak itu sampai batas waktu aku mengakui kebenarannya!"

"Dan saat itu terjadi, seorang anak akan menderita karena seorang yang dianggapnya sebagai ayah sejak awal merencanakan kebohongan atas kelahiran—"

"LILY!!!" tegur Arkan dengan suara tinggi yang sarat kemarahan.

Lily berusaha tidak takut atau mengalah dari pendapatnya. "Apa yang terjadi padaku, apa yang terjadi pada Freya, tidak boleh terjadi pada anak lain. Lily enggak akan mendukung Mas Arkan, Lily akan pulang sekarang juga. Bicara pada Papa dan Mama, membantu mereka mencari jalan terbaik untuk masalah Calista!"

Lily segera menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Namun, baru dua langkah dirinya beranjak, lengannya ditarik, tubuhnya terangkat sebelum Arkan menjatuhkannya lagi ke tempat tidur.

"Mas!" pekik Lily, kaget dan setengah panik karena Arkan beralih ke atas tubuhnya, menahan kedua tangannya di atas kepala.

Arkan memastikan tubuh ramping di bawahnya ini telah sepenuhnya terpenjara. Ia menunduk, memberi tatapan dingin dan serius. "Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan di dunia ini, banyak hal selain membantahku."

"Aku—"

"Apa yang terjadi padamu, apa yang terjadi pada Freya, adalah jawaban untuk masalahku kali ini." Arkan menyela, masih dengan nada serius, seakan memastikan sang istri mampu memahami. "Aku merencanakan masa depan kita berdua dengan baik, tugasmu adalah mewujudkan beberapa bagian dari rencana itu agar sempurna."

"You're horrible!" sebut Lily karena baru merasakan betapa suaminya ini sungguh tidak terduga dan benar-benar mengerikan.

Arkan tidak menanggapi itu, hanya menegaskan, "Kamu boleh pergi, kamu juga boleh bicara pada Papa dan Mama, itu ... jika kamu bisa melakukannya," katanya lalu menyeringai, sebagaimana iblis bermain-main dengan pendosa yang merupakan korban kejahatannya. "Rencanaku akan tetap berjalan, sebagaimana mestinya, entah kamu setuju atau tidak."

"Egois! Manipulatif! Mas Arkan mengerikan!!!" ucap Lily lagi, mencoba tegar dan menghilangkan tatapan ketakutan di wajahnya.

Bukannya tersinggung, Arkan malah tersenyum mendengar ucapan istrinya itu. "Jika ketakutan yang dibutuhkan agar kamu bisa tunduk dan menurut, I can be your nightmare."

Lily seketika mencoba memberontak untuk melepaskan diri. Namun Arkan tetap bertahan, mengeratkan cekalan dan membuat istrinya tidak dapat berbuat banyak.

"I hate you," ucap Lily dan mulai terisak. Situasi ini betul-betul menyedihkan baginya.

"You love me," balas Arkan dan tetap percaya diri kala perlahan menunduk, menyapukan hidung pada wajah yang seketika berpaling menghindarinya. "Kamu bisa terus mengatakan benci sebanyak yang kamu mau ... but in fact, I know for sure, how deep is your love, for me."

Lily benar-benar menangis karena ucapan itu, hatinya yang hancur seolah menjadi keping-keping tajam yang turut merusak jiwa kehidupannya. Cintanya jelas tidak berharga lagi.

Arkan sempat hanya terdiam memandangi lelehan air mata yang membasahi pipi sang istri. Sejenak ia merasa tak nyaman namun kebulatan tekad membuatnya tetap bersikap tegas. Arkan tidak mau kalah dengan hal-hal remeh seperti tangisan perempuan.

"Sure, menangislah sebanyak yang kamu perlukan," ujarnya lalu perlahan melonggarkan cekalan tangan. "Kita akan terus bicara sampai kamu mengerti! Rencanaku akan terus berjalan dan kamu harus menurutinya."

Lily tetap tidak merespon selain dengan isakan tangis, membuat Arkan menipiskan bibir dan beralih dari atas tubuh istrinya itu. "Kamu juga harus tahu, di keluargaku, lebih baik aku yang datang dengan seorang anak haram dibandingkan Calista punya seorang anak tanpa seorangpun mau bertanggung jawab atas anaknya!"

Usai mengatakan itu Arkan beranjak dari tempat tidur, berjalan keluar dan menutup pintu. Lily meraih bantal, mendekapnya di dada lalu menangis sejadi-jadinya ... berupaya meluapkan semua rasa sakit yang semakin tidak tertahankan.

***

Amaranth Calistamaya Hendradi menatap sang kakak yang muram. Ia mengelus perut buncitnya dan bergerak mendekat untuk berbicara, "Mas—"

"Diam!" kata Arkan sembari berlalu ke dapur, mengambil air mineral dan membukanya.

"Mbak Lily nangisnya sampai gitu dan—"

"Bibi!" panggil Arkan, membuat sosok wanita keibuan berusia enam puluh tahunan mendekat dan langsung meraih tangan Calista.

"Non Cally, ayo ... jangan diganggu dulu Mas Arkannya," ucap Bi Marni sambil berupaya menariknya kembali ke tangga menuju lantai dua.

Calista menahan tangis. "Mas, aku cuma minta dibantu biaya hidup dan modal untuk salon—"

"DIAM!!!" teriak Arkan, membuat Bi Marni bergegas memaksa Calista beranjak pergi.

Arkan mengatur napas seiring suara-suara langkah kaki menjauh dan berurutan menaiki tangga. Namun, semakin hening suasana membuat suara tangis sang istri justru terdengar. Kamarnya cukup kedap suara dan itu menegaskan betapa keras sekaligus menyakitkan kesedihan yang tengah Lily ungkapkan.

"SIALAN SEMUANYA!!!" teriak Arkan kesal lalu meremas botol minuman di tangannya, membuat isinya seketika meluber, membasahi lengan juga seluruh genggaman tangannya.

***

Satu hari itu Lily merasa dirinya seperti manusia monoton, menangis hingga tertidur, bangun hanya untuk membersihkan diri setelah itu menangis lagi hingga kepalanya pusing, tubuhnya juga sepenuhnya lemas.

Ia butuh makan, namun rasanya tidak sudi menyentuh makanan yang selalu Arkan tinggalkan di nakas. Lily sadar, sikapnya ini tidak akan membuat suaminya berubah pikiran, apalagi serta merta memutuskan kembali ke Indonesia.

Lily harus mengupayakan itu sendiri! Karenanya, pada hari kedua dirinya terbangun di apartemen, Lily bergegas mandi, menyempatkan berendam air hangat seraya mengompres mata dengan handuk dingin.

Ia memilih setelan rumahan yang rapi, mengikat rambutnya dan berdandan tipis, berusaha terlihat baik secara penampilan. Lily keluar dari ruang ganti, langsung mencari ponsel, laptop atau perangkat komunikasi. Namun, nihil.

Lily beranjak ke pintu, mendapatinya terkunci rapat dan hal itu sempat menyurutkan tekad barunya. Suaminya sungguh keterlaluan!

"Mbak ... Mbak Lily."

Suara samar Calista membuat Lily kembali merapat ke pintu. "Cally?"

"Mbak, kode pintunya 2331."

Lily segera menginput kode pintu tersebut, menggerakkan handel dan membukanya.

Calista bergerak mundur, tersenyum kikuk sembari merapatkan cardigan abu-abu yang melapisi gaun selututnya. "Mas Arkan tadi bilang Bibi mau meeting di hotel, ada waktu bebas selama dua jam di sini ... walau tetap diawasi."

Lily mengikuti arah pandang Calista, CCTV. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya karena meski tubuh ibu hamil di hadapannya tampak ideal, tatapan Calista diliputi kesedihan.

"Iya, aku baik, Mbak," ucap Calista lalu menunjuk meja makan. "Ayo, makan dulu ... Bibi bikinin sup, soalnya Mbak Lily belum makan dari kemarin jadi yang ringan-ringan dulu masuk perut."

Lily mengikuti adik iparnya dan duduk di salah satu kursi, ada dua mangkuk nasi yang sudah disiapkan, juga dua gelas tinggi berisi air putih.

"Bibi mana?" tanya Lily.

"Belanja," jawab Calista lalu membuka penutup claypot dan wangi gurih sup ayam seketika menguar, membuat perut Lily berbunyi.

"Oh!" sebut Lily, memegangi perutnya.

Calista tersenyum. "Waktu pertama kali dibawa ke sini, aku berniat ngelawan Mas Arkan dengan enggak makan juga, tapi ternyata enggak bisa karena baru dua jam aja ... dia udah protes melulu," katanya sambil sekilas mengusap perut.

"Kapan tepatnya HPL-nya?" tanya Lily.

"Hari ini genap tiga puluh tiga minggu, jadi ya sebulanan lagi."

Lily memperhatikan Calista menuangkan sup untuknya dan ia menunggu sampai adik iparnya itu kembali duduk. "Kamu enggak mau bilang Mas Arkan, siapa ayahnya?"

Calista balas memandang Lily dan menggeleng. "Enggak, Mbak."

"Kenapa?"

"Karena aku enggak mau orang itu jadi ayah bayiku."

Lily menyipitkan mata, was-was dan gugup saat kembali bertanya, "Apakah kamu diperko—"

"Enggak," ucap Calista cepat lalu menggeleng. "Enggak, Mbak, tapi hubungan itu juga bukan jenis yang pantas diungkap. Aku memang nakal dan ini akibatnya."

Lily tahu Calista tidak nakal, memang benar adik iparnya itu kerap bertingkah, berdandan terlalu bold atau gothic saat keluarga yang lain memilih tampil formal dan elegan. Calista juga beberapa kali ketahuan membolos kelas, demi mengikuti event cosplay dan membuat Arkan marah. Namun, itu jenis pemberontakan yang wajar bagi gadis muda yang masih dalam proses pencarian jati diri.

Calista bukan gadis nakal yang hobi bermain di kelab malam atau bertingkah genit dengan lawan jenis. Setahu Lily, Calista justru sangat menjaga pergaulan, bahkan teman-teman gadis itu sangat terbatas.

"Mbak, kita makan dulu, ya?" pinta Calista lalu mengulurkan sendok.

Lily menerimanya dan mengangguk. Ia lebih dulu meminum air putih, menunggu beberapa detik untuk memastikan tidak ada rasa mual, setelahnya baru menyendok kuah kaldu. Cita rasa hangat dan gurih membuat Lily mengerjapkan mata. "Wow!"

Calista tersenyum. "Sebenarnya ini bakal lebih enak kalau Bibi bikin tempe goreng, sambal sama pakai kucuran jeruk ... tapi bahan makanan beneran terbatas."

"Bibi bisa banyak masakan Indonesia?"

"Bisa banget, pokoknya enggak perlu khawatir urusan makanan," cetus Calista sambil dirinya juga ikut mengangkat sendok, mulai makan.

Lily mencoba sebaik mungkin untuk makan, namun tiga sendokan nasi dan setengah mangkuk kuah sup terasa cukup mengisi perutnya.

"Iya, enggak usah dipaksa, Mbak," kata Calista pengertian, melihat Lily sudah kesulitan menikmati sisa makanan.

Lily mengangguk, menghabiskan air minumnya lalu menunggui Calista selesai makan sambil memperhatikan ruangan.

"Enggak ada telepon, enggak ada internet, enggak bisa komunikasi sama siapa pun," ucap Calista, bisa menebak arah pikiran Lily.

"Udah berapa lama kamu di sini?"

"Aku bilang Mas Arkan waktu kehamilanku jalan dua puluh dua minggu, aku punya rencana tinggal di Swiss ... ada rumah di sana, aku hanya butuh bantuan keuangan buat biaya hidup awal, memaksimalkan bisnis jual-beli pakaian cosplay yang tahun lalu kumulai. Aku juga pengin bikin salon."

"Lalu?"

"Lalu Mas Arkan nanya, aku udah kasih tahu siapa aja tentang kondisiku ini ... waktu aku bilang baru Mas Arkan aja, sejak itu aku udah enggak pegang ponsel atau perangkat komunikasi apa pun." Calista memperhatikan sekitarnya. "Aku dikurung di hotel sebelum dipindahkan ke sini bareng Bibi, sekitar tiga bulanan yang lalu."

Lily mengerutkan kening. "Tunggu, apa maksudnya kamu enggak pegang ponsel? Kamu selalu berkomunikasi dengan—"

"Bukan, itu bukan aku."

"Lalu?"

"Sejak tahun lalu Mas Arkan investasi banyak di bidang tech-communication, ada tim yang selama ini bertugas mengurus ponselku atau telepon di rumah Kak Ryura, seolah kami masih tinggal dengan nyaman di sana. Padahal enggak."

Lily menatap tidak percaya. "Y ... yang benar saja?"

"Ruangan kamarku di sini persis banget kamarku di rumahnya Kak Ryura, dapurnya juga, bahkan alat masaknya Bibi. Jadinya yang terekam CCTV ini sama kayak tampilan rekaman CCTV di rumah Kak Ryura, tapi ya jelas main editing supaya enggak ada yang curiga."

"Mas Arkan melakukan semua itu?"

"Kata petugas yang waktu itu ngawasin aku di hotel, yang dibutuhkan cuma rekaman profil wajah sama suara aja ... terus sisanya bisa diatur pakai teknologi seolah berkomunikasi langsung, padahal bukan."

Ingatan Lily berkelana pada momentum dirinya diminta untuk liputan setibanya di hotel. Ada script dari Arkan untuk dibaca dengan jelas dan wajah yang fokus menghadap kamera. "O ... oh, jadi itu ..."

"Kenapa, Mbak?"

"Mas Arkan minta aku liputan, dia siapkan script dan kamera buat merekamku ... astaga, itu artinya ..."

Calista mengangguk. "Mungkin itu sebabnya Mas Arkan meeting di hotel, dia pasti koordinasi ulang sama timnya untuk menyiapkan alibi dan skenario kebersamaan kita ... buat laporan ke keluarga dan orang tua."

"T... tapi kenapa Mas Arkan sampai segitunya, Cally?"

"Aku juga enggak ngerti, Mbak ... padahal lebih mudah buat dia kasih uang aja, terus biarkan aku menetap di luar negeri, tapi enggak gitu ... Mas Arkan malah berbuat sejauh ini."

"Kamu tahu apa rencananya?"

Calista menatap sang kakak ipar, menghela napas pendek lalu mengangguk. "Mas Arkan bilang dia akan mengadopsi bayiku dan secara resmi memasukkannya ke dalam keluarga Hendradi ... itu sebabnya dia harus menikah."

"Adopsi?" ulang Lily dengan suara tercekat.

"Mas Arkan mau bilang ke Mama, Mbak Lily keguguran dan adopsi dilakukan supaya Mbak Lily enggak semakin terguncang karena kehilangan."

Itu benar-benar keterlaluan, membuat Lily semakin tidak dapat berkata-kata. "Cally itu sangat ..."

"Iya, itu sangat mengerikan." Calista mengakui dan geleng kepala. "Aku rasanya juga kehilangan Mas Arkan di detik pengakuan itu ... sejak tinggal di sini juga aku cuma bisa terus menyesal kenapa enggak langsung telepon Papa aja."

"Cally," panggil Lily karena adik iparnya terisak.

"Aku takut banget, Mbak ... aku tahu rencananya Mas Arkan itu enggak benar. Sekalipun aku juga belum merasa siap jadi ibu, tapi aku sayang anak ini ..." isak Calista.

Lily segera beralih untuk memeluk dan menenangkan, keadaan Calista sama seperti dirinya, baik secara fisik atau penampilan ... namun di balik semua itu sama terluka dan sedihnya.

Terdengar suara ritmis dan debuman pintu yang membuat Calista terkesiap. "Oh, no ..."

"Kenapa?" tanya Lily bingung.

"Mas Arkan pulang!" kata Calista dan benar saja, kakaknya terlihat melangkah melewati pintu, tanpa melepas sepatu langsung beranjak ke arah Lily duduk.

"Mau apa?" tanya Lily, serta merta berdiri dan menghalangi Arkan menyentuh Calista.

"Yah, well ... setidaknya kamu makan," ujar Arkan lalu meraih tangan Lily. "Kalian sudah cukup mengobrolnya."

"Mas Arkan jangan kasar sama Mbak Lily!" sebut Calista memperhatikan tangan sang kakak mencengkeram Lily.

"Kamu jangan banyak tingkah dan tetap tenang!" balas Arkan dingin, memperkuat tarikannya hingga Lily juga hanya pasrah mengikuti dan kembali masuk ke dalam kamar.

Arkan melepas tangan Lily setelah itu berkutat di pintu untuk mengganti kodenya.

"Mas Arkan seharusnya jadi penulis naskah, produser, sekaligus pemain filmnya ... jelas ada bakat," ujar Lily sembari mengusap pergelangan tangannya yang agak memerah.

"Akhirnya ada yang bisa kudengar darimu selain tangisan," ujar Arkan lalu menoleh sang istri dan bergegas mendekat. "Tanganmu ... aku enggak bermaksud menyakiti—"

"Mas Arkan udah sejak kemarin menyakitiku. Jadi enggak perlu bertingkah seakan merasa bersalah!" Lily menyela cepat dan menghindari sentuhan suaminya. "Lagian enggak capek apa? Gonta-ganti topeng dan kepribadian? Lily enggak butuh sosok suami sok perhatian!"

"First of all, aku memang suami kamu." Arkan menegaskan lalu memegang kembali tangan Lily, tidak peduli istrinya itu mencoba menghindar. "Aku juga bukannya sok perhatian, tetapi ini pelajaran buat kamu ... supaya enggak sakit, sebaiknya segera menuruti apa yang kuperintahkan."

"Seharusnya Mas Arkan menikahi boneka atau robot aja yang bisa—"

"Itu salah satu alasanku memilihmu," sela Arkan lalu memberi tatapan remeh, "Kamu memang boneka yang sebelum beralih padaku digerakkan oleh keinginan kakekmu."

Lily seketika terdiam dengan tatapan nanar, tidak percaya dirinya masih tetap diserang dengan kalimat menyakitkan itu. "Lepas enggak?" geramnya.

"Enggak akan," balas Arkan dengan geraman yang sama.

"Lepas!" teriak Lily.

Arkan terdiam sejenak namun tetap menahan genggaman tangannya. "Enggak akan, setidaknya sampai kamu paham, bahwa selain bersamaku ... kamu enggak boleh keluar dari kamar ini."

Lily memejamkan matanya sejenak, berpikir bagaimana membalas pria otoriter di hadapannya ini. "Mas Arkan bilang ... rencananya udah sempurna, terus kenapa takut hanya karena aku dan Cally ngobrol bersama?"

"Aku enggak takut."

"Mas Arkan jelas takut."

Arkan menggeleng. "Aku mengantisipasi drama ala perempuan yang enggak diperlukan!"

"Mas Arkan sendiri yang bikin drama itu!" sindir Lily membuat suaminya sesaat terdiam dan itu memberinya kesempatan mengumpulkan kekuatan lalu melepaskan cekalan tangan.

Tatapan mata Arkan menajam seketika. "Lily!!!"

"I hate you!" sebut Lily kemudian berlalu pergi dari hadapan Arkan, memasuki kamar mandi dan membanting pintu gesernya hingga berderak kasar.

***

Lily mendapatkan siang dan sore hari yang tenang karena Arkan meninggalkan kamar usai pertengkaran mereka. Namun, ternyata suaminya itu kembali ke kamar saat malam tiba.

Lily yang membaca buku di tengah tempat tidur memberi tatapan bertanya, terutama ketika Arkan beranjak ke kamar mandi, menggunakannya lalu ketika keluar sudah mengenakan piama.

"Aku selalu tidur di bagian ranjang sebelah kanan," ujar Arkan.

"Jangan bercanda," sebut Lily dengan tatapan tajam.

Arkan menanggapi santai. "Aku memang suka bercanda tentangmu, berbohong dan memanipulasimu juga ... tetapi pernikahan kita nyata, begitu juga statusku sebagai suamimu."

"Ini enggak lucu, ya! Lily enggak mau tidur sama Mas Arkan!"

"Ini bukan perkara mau dan enggak mau. Ranjangnya cuma satu, jadi memang setengahnya adalah bagianku."

Lily tidak percaya saat suaminya itu tetap menaiki tempat tidur, menata bantal dan membetulkan selimut sebelum berbaring nyaman.

Pria ini benar-benar gila! Lily membatin kesal, bergeser ke sisi kiri lalu menuruni tempat tidur. Ia meraup bantal dan guling, membawanya ke sofa dua dudukan yang berhadapan dengan tempat tidur.

Kalau Arkan memilih untuk bersikap seenaknya, Lily juga akan melakukan itu! Tekad kuat yang kemudian membuat Lily beranjak menuju kamar mandi, mengganti pakaian santainya dengan gaun tidur seksi berbelahan paha tinggi.

Ia melepas kepangan rambutnya, membuat penampilannya sedikit eksotis lalu melangkah keluar dari kamar mandi.

Arkan terkesiap bangun, sesaat melongo sebelum detik berikutnya berseru dengan galak, "Kamu ngapain? Baju kamu ... apa-apaan!!!"

Lily berlagak santai. "Lily mau tidur."

"Sudah gila, tidur pakai baju begitu? Ini musim dingin!!!"

"Pemanas ruangan bekerja dengan baik, lagipula aku emang mau ambil selimut," ujar Lily kembali melangkah ke tempat tidur, mengambil quilt rajut yang melapisi bedcover.

Tatapan Arkan seperti tidak beralih ketika Lily mendekap quilt tersebut, menariknya perlahan. "Kalau ini rencanamu agar sakit lalu punya kesempatan keluar dari sini, lupakan saja ... aku punya tim dokter yang bisa diajak bekerja sama."

"Yang selalu penuh dengan rencana itukan memang Mas Arkan ..." ucap Lily lalu mendekap quilt sewarna gading tersebut di dadanya. "Rencanaku tidur tenang dan nyaman!"

"Begitu caramu tidur tenang dan nyaman?" tanya Arkan tidak percaya.

"Masalah buat Mas Arkan?" tanya Lily sengit dan segera beranjak menuju sofa.

Ia hampir mencapai pinggiran sofa itu saat tiba-tiba dua lengan kuat mendekap lalu mengangkatnya, membawanya ke tempat tidur.

"Mas!!! Aku menstruasi!!!" teriak Lily, jelas panik saat Arkan menjatuhkannya ke tempat tidur.

Pria itu membungkuk di atas tubuh ramping yang ketara menahan gugup. "Aku tahu kamu menstruasi, kamu pikir aku mau ngapain?" tanya Arkan lalu menyibak bed cover dan sepenuhnya menutupi tubuh Lily.

Lily mengerjapkan mata saat suaminya langsung beralih dan memungut quilt yang dijatuhkannya. Lily hampir bernapas lega saat Arkan terlihat melangkah ke sofa yang semula akan menjadi tempatnya tidur.

Pria itu duduk memandanginya di sana dan tersenyum lebar, "Aku anggap yang barusan itu pertunjukan yang lumayan, Sayang."

Kalimat yang membuat Lily seketika terdiam kaku.

"Tapi, jika yang kamu lakukan tadi merupakan wujud keberanianmu dalam melawanku ... aku menantikan pertunjukan serupa ketika menstruasimu berhenti. Kita lihat sejauh mana keberanian yang kamu miliki itu bertahan di hadapanku," lanjut Arkan dengan suara kekehan pelan yang sarat akan ejekan.

Lily terdiam, kembali bergelung dalam selimut sembari menahan rasa malu. Ia dengan cepat menyadari bahwa situasi justru berubah menjadi semakin menyedihkan baginya.

[]

📸

Sabar ya, Ly.
Kampretnya tuh lacoste emang enggak ada lawan, sabar 😭

.

Pembaca juga yang sabar ya.
revisinya tuh jadi buanyak byanget dan karena mau kasih dobel siksaan buat Jang Moelia ini, jadi ada beberapa alur yang kuganti.

Aku optimis bakal epic, hahaha
karena itu, sabar sambil doakan terus ya, semoga lancar semuanya. AAMIIN~

.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top